Verbatim:4: Perbedaan antara revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
211 bita ditambahkan ,  11 bulan yang lalu
tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
<u>Pembicara:</u><br>'''[[Muhibbin M Dahlan]], [[Irfan Afifi]], [[Putut]] (host)'''
<u>Pembicara:</u><br>'''[[Muhibbin M Dahlan]], [[Irfan Afifi]], [[Puthut EA]] (host)'''


<u>Judul Tautan:</u><br>'''[https://www.youtube.com/watch?v=9r0pS_7bcWM MUHIDDIN M. DAHLAN X IRFAN AFIFI: ALAT PEMERSATU KITA POLITIK ATAU AGAMA? - PutCast]'''<br>
<u>Judul Tautan:</u><br>'''[https://www.youtube.com/watch?v=9r0pS_7bcWM MUHIDDIN M. DAHLAN X IRFAN AFIFI: ALAT PEMERSATU KITA POLITIK ATAU AGAMA? - PutCast]'''<br>
Baris 98: Baris 98:


Nah salah satunya adalah Mas Irfan Afifi dengan langgar.co-nya ini. Kalau kita...kalau saya baca ya. Saya sederhanakan saja ya, bagaimana mencoba mengidentifikasi kemunculan pemikiran ini dari sisi sejarah? Kurang lebih begini, milestone-nya ya, Perang Diponegoro terjadi, kebangkrutan di Belanda kemudian terjadi, lalu Diponegoro kalah, ya. Setelah kalah kemudian ada kebijakan tanam paksa. Rakyat Indonesia hancur. Miskin. Tapi kerajaan Belanda kaya raya. Lalu kemudian ada orang-orang di Belanda yang mulai mengkritik. Seharusnya kerajaan Belanda nggak boleh begitu. Lalu mulailah ada politik etis. Salah satunya kemudian muncul adalah pendidikan. Dari pendidikan yang dibikin di Indonesia inilah yang dulunya dicita-citakan hanya cukup sebagai administratur bagi perkebunan-perkebunan atau perusahaan Belanda, munculah para intelektual-intelektual Indonesia. Lalu intelektual intelektual inilah yang kemudian di berbagai tempat ya, lalu menyatakan keinginan untuk bersatu dan membuat satu nation ya, bernama Indonesia. Singkat kata kemudian Indonesia merdeka, setelah Indonesia merdeka terjadi tragedi '65. Setelah terjadi tragedi 65 politik hampir monolitik, ya. Setelah reformasi, baru kemudian aspirasi yang tergencet, salah satunya adalah sejarah aspirasi umat Islam, kemudian mulai muncul banyak pemikiran umat Islam. Dan di tahun 2010-an kemudian munculah semacam spiritualisme Islam atau apapun itu ya, kebangkitan jawanisme atau apapun juga itu. Yang kemudian sekarang ini marak sekali disambut bukan hanya berbagai kota, tapi juga di dunia akademik.
Nah salah satunya adalah Mas Irfan Afifi dengan langgar.co-nya ini. Kalau kita...kalau saya baca ya. Saya sederhanakan saja ya, bagaimana mencoba mengidentifikasi kemunculan pemikiran ini dari sisi sejarah? Kurang lebih begini, milestone-nya ya, Perang Diponegoro terjadi, kebangkrutan di Belanda kemudian terjadi, lalu Diponegoro kalah, ya. Setelah kalah kemudian ada kebijakan tanam paksa. Rakyat Indonesia hancur. Miskin. Tapi kerajaan Belanda kaya raya. Lalu kemudian ada orang-orang di Belanda yang mulai mengkritik. Seharusnya kerajaan Belanda nggak boleh begitu. Lalu mulailah ada politik etis. Salah satunya kemudian muncul adalah pendidikan. Dari pendidikan yang dibikin di Indonesia inilah yang dulunya dicita-citakan hanya cukup sebagai administratur bagi perkebunan-perkebunan atau perusahaan Belanda, munculah para intelektual-intelektual Indonesia. Lalu intelektual intelektual inilah yang kemudian di berbagai tempat ya, lalu menyatakan keinginan untuk bersatu dan membuat satu nation ya, bernama Indonesia. Singkat kata kemudian Indonesia merdeka, setelah Indonesia merdeka terjadi tragedi '65. Setelah terjadi tragedi 65 politik hampir monolitik, ya. Setelah reformasi, baru kemudian aspirasi yang tergencet, salah satunya adalah sejarah aspirasi umat Islam, kemudian mulai muncul banyak pemikiran umat Islam. Dan di tahun 2010-an kemudian munculah semacam spiritualisme Islam atau apapun itu ya, kebangkitan jawanisme atau apapun juga itu. Yang kemudian sekarang ini marak sekali disambut bukan hanya berbagai kota, tapi juga di dunia akademik.
{{timeline|tc=23:59:00|isi=
{{timeline|tc=00:23:59|sosok=HOST|isi=
Nanti akan kita perbincangkan, sekarang ini elemen yang terjadi hanya ada dua, yaitu nasionalis dan Islam. Kirinya ilang. Nggak ada...Coba partai-partai itu mana? nasionalis religius, nasionalis, atau religius, atau kalau yang mau main kedua kaki nasionalis religius. Gak ada kan, nasionalis relijius kiri? Gak ada.}}
Nanti akan kita perbincangkan, sekarang ini elemen yang terjadi hanya ada dua, yaitu nasionalis dan Islam. Kirinya ilang. Nggak ada...Coba partai-partai itu mana? nasionalis religius, nasionalis, atau religius, atau kalau yang mau main kedua kaki nasionalis religius. Gak ada kan, nasionalis relijius kiri? Gak ada.}}
{{timeline|tc=24:34:00|isi=
{{timeline|tc=00:24:34|sosok=HOST|isi=
Saya mau tanya ke mas Irfan, kesadaran macam apa sebetulnya yang memunculkan pemikiran-pemikiran tentang apa yang sering anda...apa ya...Anda nyatakan sebagai kedigdayaan atau kehebatan dari pemikiran Islam di nusantara.}}
Saya mau tanya ke mas Irfan, kesadaran macam apa sebetulnya yang memunculkan pemikiran-pemikiran tentang apa yang sering anda...apa ya...Anda nyatakan sebagai kedigdayaan atau kehebatan dari pemikiran Islam di nusantara.}}
{{timeline|tc=25:02:00|isi=
{{timeline|tc=00:25:02|sosok=IRFAN|isi=
IRFAN:
Saya akan berangkat dari tesis yang sangat sederhana. Dulu Sutan Takdir Alisjahbana itu saat polemik kebudayaan itu ngomong bahwa Indonesia itu produk baru. Indonesia bukan Majapahit, Indonesia bukan Mataram, Indonesia bukan Sriwijaya, dan sebagainya.
Saya akan berangkat dari tesis yang sangat sederhana, dulu Sutan Takdir Alisjahbana itu saat polemik kebudayaan itu ngomong bahwa Indonesia itu produk baru. Indonesia bukan Majapahit, Indonesia bukan Mataram, Indonesia bukan Sriwijaya, dan sebagainya.


HOST:
HOST:
Baris 111: Baris 110:
IRFAN:
IRFAN:
Saya ingin pertanyakan, ternyata ada...ada yang luput dari pembacaan SDA. Pertama, Indonesia hari ini dibangun dari nilai-nilai bahkan falsafah kita, Pancasila, dibangun dari nilai-nilai yang dulu diklaim oleh Soekarno, diambil dari hasanah dari kebudayaan zaman Hindu Budha, kemudian zaman Islam dan sampai terbentuknya falsafah Pancasila. Artinya apa? Yang membentuk manusia Indonesia hari ini dia juga ikut dibentuk oleh tradisi nilai di masa lalu yang jauh melampaui Indonesia.}}
Saya ingin pertanyakan, ternyata ada...ada yang luput dari pembacaan SDA. Pertama, Indonesia hari ini dibangun dari nilai-nilai bahkan falsafah kita, Pancasila, dibangun dari nilai-nilai yang dulu diklaim oleh Soekarno, diambil dari hasanah dari kebudayaan zaman Hindu Budha, kemudian zaman Islam dan sampai terbentuknya falsafah Pancasila. Artinya apa? Yang membentuk manusia Indonesia hari ini dia juga ikut dibentuk oleh tradisi nilai di masa lalu yang jauh melampaui Indonesia.}}
{{timeline|tc=26:12:00|isi=
{{timeline|tc=00:26:12|sosok=IRFAN|isi=
Makanya saya dalam banyak hal kenapa ingin kembali ke masa yang lebih jauh. Karena saya ingin melacak sebenarnya manusia Indonesia ini tersusun dari apa? Kok mau-maunya langsung diputus bahwa Indonesia itu produk baru. Makanya elemen ini yang...elemen nilai, elemen falsafah, elemen apa ya...elemen karakter, yang dulu diwarisi, kita tinggal ditinggalkan oleh para leluhur itu juga ikut membentuk Indonesia kita hari ini.}}
Makanya saya dalam banyak hal kenapa ingin kembali ke masa yang lebih jauh. Karena saya ingin melacak sebenarnya manusia Indonesia ini tersusun dari apa? Kok mau-maunya langsung diputus bahwa Indonesia itu produk baru. Makanya elemen ini yang...elemen nilai, elemen falsafah, elemen apa ya...elemen karakter, yang dulu diwarisi, kita tinggal ditinggalkan oleh para leluhur itu juga ikut membentuk Indonesia kita hari ini.}}
{{timeline|tc=26:48:00|isi=
{{timeline|tc=00:26:48|sosok=IRFAN|isi=
Nah masalahnya ini yang luput sering diperbincangan oleh para intelektual kita hari ini. Seluruh tradisi ilmu pengetahuan kita hari ini mbebek barat seluruhnya. Ini yang jadi catatan. Sehingga dari perspektif ini saja kita seolah-olah hanya ingin mengejar ketertinggalan terus menerus. Kita ingin meniru, meniru, dan meniru. Akhirnya dipaksa terus-menerus sampai hari ini.}}
Nah masalahnya ini yang luput sering diperbincangan oleh para intelektual kita hari ini. Seluruh tradisi ilmu pengetahuan kita hari ini mbebek barat seluruhnya. Ini yang jadi catatan. Sehingga dari perspektif ini saja kita seolah-olah hanya ingin mengejar ketertinggalan terus menerus. Kita ingin meniru, meniru, dan meniru. Akhirnya dipaksa terus-menerus sampai hari ini.}}
{{timeline|tc=27:16:00|isi=
{{timeline|tc=00:27:16|sosok=IRFAN|isi=
Nah, belum ada usaha serius untuk memikirkan arah perjalanan kebudayaan bangsa ini. Nah saya dalam misalnya di langgar memimpikan secara...ayo kita baca ulang yang membentuk kita sebagai sebuah bangsa. Jangan hanya cuma sampai Cokroaminoto. Jangan sampai hanya cuma Kartini. Jangan hanya sampai cuma Aidit. Tapi kembali ke jauh, lebih jauh lagi yang membentuk lapisan-lapisan mental maupun nilai falsafah kita sebagai sebuah bangsa, itu.}}
Nah, belum ada usaha serius untuk memikirkan arah perjalanan kebudayaan bangsa ini. Nah saya dalam misalnya di langgar memimpikan secara...ayo kita baca ulang yang membentuk kita sebagai sebuah bangsa. Jangan hanya cuma sampai [[Oemar_Said_Tjokroaminoto|Cokroaminoto]]. Jangan sampai hanya cuma [[Kartini]]. Jangan hanya sampai cuma [[D._N._Aidit‎|Aidit]]. Tapi kembali ke jauh, lebih jauh lagi yang membentuk lapisan-lapisan mental maupun nilai falsafah kita sebagai sebuah bangsa, itu.}}
{{timeline|tc=27:51:00|isi=
{{timeline|tc=00:27:51|sosok=IRFAN|isi=
makanya di jas merah, saya menyodorkan itu sejarah baca baru begitu. Misalnya apa yang dikatakan Muhiddin tadi terkait misalnya, programnya Lekra, bagus-bagus aja. Tapi perlu diketahui bahwa hasil dari politik kebudayaan ini itu membikin pecah masyarakat kita dan bunuh-bunuhan. Itu yang harus dicatat.}}
makanya di jas merah, saya menyodorkan itu sejarah baca baru begitu. Misalnya apa yang dikatakan Muhiddin tadi terkait misalnya, programnya Lekra, bagus-bagus aja. Tapi perlu diketahui bahwa hasil dari politik kebudayaan ini itu membikin pecah masyarakat kita dan bunuh-bunuhan. Itu yang harus dicatat.}}
{{timeline|tc=28:25:00|isi=
{{timeline|tc=00:28:25|sosok=IRFAN|isi=
'65 itu bener-bener, alias Marxisme...dulu ada sudah ada perjuangan dari teman-teman Indonesia untuk mengadopsi ide baru, dari barat. Dan perlu Anda ketahui bahwa Marxisme memang berawal dari sosiologi konflik. Dia dalam terminologi sosiologi muncul dari...apa ya...sesuatu yang ingin melawan, ada thesis, ada antithesisnya begitu. Apa yang terjadi dalam sejarah kita? kita bunuh-bunuhan sebagai bangsa. Apakah itu mau diulangi? Saya tidak tahu. Nah, apa yang luput kemudian saya ingin kembali kepada fase yang lebih jauh begitu, yang itu membentuk lapisan-lapisan kedirian kita sebagai sebuah bangsa hari ini, yang itu tercermin dari falsafah bangsa kita.}}
'65 itu bener-bener, alias Marxisme...dulu ada sudah ada perjuangan dari teman-teman Indonesia untuk mengadopsi ide baru, dari barat. Dan perlu Anda ketahui bahwa Marxisme memang berawal dari sosiologi konflik. Dia dalam terminologi sosiologi muncul dari...apa ya...sesuatu yang ingin melawan, ada thesis, ada antithesisnya begitu. Apa yang terjadi dalam sejarah kita? kita bunuh-bunuhan sebagai bangsa. Apakah itu mau diulangi? Saya tidak tahu. Nah, apa yang luput kemudian saya ingin kembali kepada fase yang lebih jauh begitu, yang itu membentuk lapisan-lapisan kedirian kita sebagai sebuah bangsa hari ini, yang itu tercermin dari falsafah bangsa kita.}}
{{timeline|tc=29:17:00|isi=
{{timeline|tc=00:29:17|sosok=IRFAN|isi=
Nah masalahnya sekarang misalnya intelektual-intelektual kita hari ini doktor maupun Phd dari luar negeri, selalu membaca Pancasila dalam kerangka term liberalisme. Itu yang membikin parah sekali, nanti ketika kita ngomong terkait persatuan Indonesia, kita ngomong tentang internasionale, kita ketika ngomong tentang konsep keadilan kita ngomong justicenya, liberty-nya liberalisme begitu. kemudian kemanusiaan dimaknai sebagai konsep humanisme yang lahir dari barat, misalnya begitu. Mereka tidak pernah berpikir ulang jangan-jangan kita punya konsep sendiri. Kemudian saya menawarkan sesuatu yang ingin kembali ayo kita baca secara jujur.}}
Nah masalahnya sekarang misalnya intelektual-intelektual kita hari ini doktor maupun Phd dari luar negeri, selalu membaca Pancasila dalam kerangka term liberalisme. Itu yang membikin parah sekali, nanti ketika kita ngomong terkait persatuan Indonesia, kita ngomong tentang internasionale, kita ketika ngomong tentang konsep keadilan kita ngomong justicenya, liberty-nya liberalisme begitu. kemudian kemanusiaan dimaknai sebagai konsep humanisme yang lahir dari barat, misalnya begitu. Mereka tidak pernah berpikir ulang jangan-jangan kita punya konsep sendiri. Kemudian saya menawarkan sesuatu yang ingin kembali ayo kita baca secara jujur.}}
{{timeline|tc=30:06:00|isi=
{{timeline|tc=00:30:06|sosok=IRFAN|isi=
Dulu Peter Keri saya ketemu Pak Peter Keri itu gini, mas dituliskan tentang Indonesia hari ini sampai dari rentang waktu berapa tahun sampai hari ini itu yang nulis Indonesia, kajian tentang Indonesia itu 80% nya bule, alias apa? Indonesia itu bangsa yang tidak bisa menulis sejarahnya sendiri, bangsa yang didefinisikan oleh orang lain, akhirnya kita arahnya nggak pernah tahu. Ketika ada pembacaan ke belakang, itu kita selalu membentur tembok-tembok kesarjanaan kolonial. Sarjananya udah numpuk-numpuk, deskripsi kita tentang kejawaan, deskripsi kita tentang kemelayuan, definisi kita tentang ke Indonesiaan itu didefinisikan oleh orang lain. akhirnya kita nggak pernah tahu sebenarnya siapa bangsa ini, siap dan apa kemampuannya? Apa kelebihannya? apa kekurangan? dan arahnya mau menuju ke mana? kita nggak pernah tahu. Akhirnya ngikut, kita nggak berjauhan sebagai sebuah bangsa kalau di sana sudah Society 5.0, kita mau mengikuti dia sudah jadi 5 6 7, kepontal-pontal. Kita terus menerus hanya mengikuti, nggak pernah kita berdaulat menentukan track atau trajectory arah kebudayaan kita sendiri. Itu yang pertama.}}
Dulu [[Peter Carey]]...saya ketemu pak Peter Carey itu gini, mas dituliskan tentang Indonesia hari ini sampai dari rentang waktu berapa tahun sampai hari ini itu yang nulis Indonesia, kajian tentang Indonesia itu 80% nya bule, alias apa? Indonesia itu bangsa yang tidak bisa menulis sejarahnya sendiri, bangsa yang didefinisikan oleh orang lain, akhirnya kita arahnya nggak pernah tahu. Ketika ada pembacaan ke belakang, itu kita selalu membentur tembok-tembok kesarjanaan kolonial. Sarjananya udah numpuk-numpuk, deskripsi kita tentang kejawaan, deskripsi kita tentang kemelayuan, definisi kita tentang ke Indonesiaan itu didefinisikan oleh orang lain. akhirnya kita nggak pernah tahu sebenarnya siapa bangsa ini, siap dan apa kemampuannya? Apa kelebihannya? apa kekurangan? dan arahnya mau menuju ke mana? kita nggak pernah tahu. Akhirnya ngikut, kita nggak berjauhan sebagai sebuah bangsa kalau di sana sudah Society 5.0, kita mau mengikuti dia sudah jadi 5 6 7, kepontal-pontal. Kita terus menerus hanya mengikuti, nggak pernah kita berdaulat menentukan track atau trajectory arah kebudayaan kita sendiri. Itu yang pertama.}}
{{timeline|tc=31:38:00|isi=
{{timeline|tc=00:31:38|sosok=IRFAN|isi=
Yang kedua, saya ingin juga mengutip Daud Yusuf, Daud Yusuf dulu gini, ngomong, mantan menteri pendidikan kita, bahwa kebudayaan itu merupakan faktor konstitutif pendidikan. Jadi kalau ada sistem pendidikan, lambaran nilainya harus kebudayaannya. Masalahnya, pendidikan kita sejak dari awal itu adalah barang cangkokan. Dari pertama misalnya pemerintah Belanda mencangkokkan pendidikan di sini dengan struktur pandangan dunia yang berbeda, akhirnya politik etis terbentuk. Pendidikan-pendidikan itu diajarkan dan memang dari sejak awal, dia didik untuk ingin mencetak antenar dan sampai hari ini tidak berubah. Kita pengen jadi PNS, kita pengen jadi pejabat, dan itu nggak pernah berubah. Sehingga pendidikan ini nggak pernah menghasilkan manusia tanda petik. Tidak pernah menghasilkan intelektual, tidak pernah menghasilkan apapun. Karena memang tradisi ini dari sejak awal barang cangkokan dan di level struktur pandang dunia paling atasnya kita terus-menerus bertempur. Makanya Daud Yusuf dulu menginisiasi awal-awal membentuk program namanya Javanologi. Ini kalau pendidikan dan nilai kulturalnya aja nggak nyambung, bagaimana kita mau berdaulat sebagai sebuah bangsa? Akhirnya mereka oke kita teliti sajalah. Kita mulai dari Jawa dulu. Nanti kalau Jawa berhasil kita mulai Sundanologi. Kita mulai Acehnologi dan lain sebagainya. Tapi belum...belum sampai jauh lembaga itu tumbang begitu. Lembaga itu tumbang dan akhirnya nggak berlanjut.}}
Yang kedua, saya ingin juga mengutip Daud Yusuf, Daud Yusuf dulu gini, ngomong, mantan menteri pendidikan kita, bahwa kebudayaan itu merupakan faktor konstitutif pendidikan. Jadi kalau ada sistem pendidikan, lambaran nilainya harus kebudayaannya. Masalahnya, pendidikan kita sejak dari awal itu adalah barang cangkokan. Dari pertama misalnya pemerintah Belanda mencangkokkan pendidikan di sini dengan struktur pandangan dunia yang berbeda, akhirnya politik etis terbentuk. Pendidikan-pendidikan itu diajarkan dan memang dari sejak awal, dia didik untuk ingin mencetak antenar dan sampai hari ini tidak berubah. Kita pengen jadi PNS, kita pengen jadi pejabat, dan itu nggak pernah berubah. Sehingga pendidikan ini nggak pernah menghasilkan manusia tanda petik. Tidak pernah menghasilkan intelektual, tidak pernah menghasilkan apapun. Karena memang tradisi ini dari sejak awal barang cangkokan dan di level struktur pandang dunia paling atasnya kita terus-menerus bertempur. Makanya Daud Yusuf dulu menginisiasi awal-awal membentuk program namanya Javanologi. Ini kalau pendidikan dan nilai kulturalnya aja nggak nyambung, bagaimana kita mau berdaulat sebagai sebuah bangsa? Akhirnya mereka oke kita teliti sajalah. Kita mulai dari Jawa dulu. Nanti kalau Jawa berhasil kita mulai Sundanologi. Kita mulai Acehnologi dan lain sebagainya. Tapi belum...belum sampai jauh lembaga itu tumbang begitu. Lembaga itu tumbang dan akhirnya nggak berlanjut.}}
{{timeline|tc=33:22:00|isi=
{{timeline|tc=00:33:22|sosok=IRFAN|isi=
Tapi ada siratan visi daun Yusuf yang saya sudah bisa tangkap, bahwa dia ingin membikin arah pendidikan ini sesuai dengan inang kebudayaan bangsa ini agar pendidikan kita tidak mengasingkan kita. Ini teman-teman mungkin bisa menjadi saksi, semakin Anda semakin terdidik secara pendidikan formal anda akan semakin terasing dengan masyarakat anda. Coba. Anda rasakan sendiri dan saya korbannya begitu.}}
Tapi ada siratan visi daun Yusuf yang saya sudah bisa tangkap, bahwa dia ingin membikin arah pendidikan ini sesuai dengan inang kebudayaan bangsa ini agar pendidikan kita tidak mengasingkan kita. Ini teman-teman mungkin bisa menjadi saksi, semakin Anda semakin terdidik secara pendidikan formal anda akan semakin terasing dengan masyarakat anda. Coba. Anda rasakan sendiri dan saya korbannya begitu.}}
{{timeline|tc=33:55:00|isi=
{{timeline|tc=00:33:55|sosok=IRFAN|isi=
Karena memang begitu, saya misalnya di filsafat kita, di fakultas filsafat kita, saya misalnya, saya lulusan sana di filsafat UGM, saya diajari dari sejak Heidegger, Albert Camus dan lain sebagainya. Saya nggak pernah tahu siapa masyarakat saya sendiri. Ini pendidikan model apa? diajarin kebudayaan bangsa orang lain.}}
Karena memang begitu, saya misalnya di filsafat kita, di fakultas filsafat kita, saya misalnya, saya lulusan sana di filsafat UGM, saya diajari dari sejak Heidegger, Albert Camus dan lain sebagainya. Saya nggak pernah tahu siapa masyarakat saya sendiri. Ini pendidikan model apa? diajarin kebudayaan bangsa orang lain.}}


Menu navigasi