Verbatim:4

Dari Wiki Javasatu
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Pembicara:
Muhibbin M Dahlan, Irfan Afifi, Puthut EA (host)

Judul Tautan:
MUHIDDIN M. DAHLAN X IRFAN AFIFI: ALAT PEMERSATU KITA POLITIK ATAU AGAMA? - PutCast

Juru Transkrip:
Julian S (https://saweria.co/juliansukrisna)

Tanggal Transkrip:
Senin, 23 Desember 2024


MUH: Betulkah komunisme yang membuat berantakan? ataukah militer?

HOST: Iya jawab coba yang tegas, jangan saya yang suruh jawab.

[Musik Perkenalan]

HOST: Teman-teman, terima kasih atas kehadiran anda semua. Dan saya tidak punya kemewahan waktu untuk berpanjang-panjang di sini, karena yang akan saya pandu nanti ada 4 sesi. Jadi saya harus menghemat waktu dan menghemat energi. Tapi kalau energi kayaknya nggak lah, Insya Allah.

Dan saya sebetulnya sudah lama ingin mempertemukan dua budayawan kita ini. Saya menyebut budayawan aja. Tapi sebetulnya sebutan yang paling tepat itu, intelektual organik. Itu Gramsci ya. Mas Muhidin M Dahlan dan Mas Irfan Afifi. Kenapa saya sebut intelektual organik? Karena mereka bukan hanya berkecimpung di dalam dunia intelektualisme atau dunia literasi, tetapi juga membuat organisasi, membuat media, membuat komunitas, sebagai bentuk dari aspirasi politik mungkin ya atau aspirasi gagasan mereka di dalam kehidupan sehari-hari. Jadi terima kasih buat Mas Muhiddin M Dahlan dan Mas Irfan Afifi yang telah datang.

Saya sengaja ingin mempertemukan mereka berdua, alasan yang kedua, karena sama-sama host bintang Jas Merah. Dua acara, eh satu acara di Mojok ya, mungkin teman-teman sudah tahu, yang satu kiri, mas Muhiddin, seperti tempat duduknya, yang satu kanan seperti tempat duduknya juga. Yang satu banyak membahas soal isu-isu kiri. Dia pilih memang sengaja kayaknya Mojok mau di kiri kan sama dia. Jadi kan kalau orang kiri kan pintar dia ini ya meng-influence gitu secara pelan-pelan. Dan yang kedua ada mas Irfan Afifi memang agak kanan, walaupun kanannya tidak dalam terminologi yang biasa kita sebut kanan lah ya, tapi dibanding mas Muhidin dia kanan, jelas kalau itu ya, harus ada garis batas yang jelas.

Dan yang ketiga alasannya, karena saya memang pengen mengeksplorasi satu tema yang saya anggap penting sekali dan sekarang mulai jarang diperbincangkan oleh orang. Yaitu tentang arah atau jalannya kebudayaan kita.

Saya merasa, nanti tolong kalau saya keliru dikoreksi ya, perdebatan kebudayaan. Mempersoalkan ideologi dan arah kebudayaan bangsa sudah tidak lagi mendapatkan tempat yang banyak di dalam kehidupan kita sehari-hari. Perdebatan yang mungkin mulai bisa dilacak dari tahun 30-an ya, polemik kebudayaan ya, antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane dengan kawan-kawan, dilanjutkan kemudian misalnya dengan Lekra dan Manikebu kemudian dilanjutkan lagi dengan berbagai polemik di antara mereka sampai akhirnya selesailah ketika tahun '65.

Hanya menyisakan sedikit perdebatan, misalnya kayak sastra kontekstual tahun '84 ya kalau nggak salah, setelah itu saya tidak mengalami lagi perdebatan kebudayaan. Sehingga dengan begitu saya melihat tidak ada arah mau kemana bangsa ini dari sisi kebudayaan. Perdebatannya itu hanya semata-mata perdebatan tentang politik, perdebatan tentang isu-isu yang tidak secara umum bicara tentang arah budaya kita.

Saya mau langsung saja mulai kepada mas Muhiddin M Dahlan dulu, kenapa perdebatan kebudayaan itu tidak ada lagi? Setidaknya setelah minimal tahun '65.

MUH: Kenapa tidak ada lagi perdebatan? ya tanya pada militer.

HOST: Baru pembukaan udah bahaya.

MUH: Kenapa tidak ada lagi perdebatan kebudayaan, ya karena militer masuk. Teman-teman tahu bahwa misalnya contoh ya, debat antara...debat tentang plagiarisme Hamka dulu itu? Tahu yang menghentikan siapa perdebatan itu? itu tentara yang menghentikan, karena mengganggu stabilitas umum kota Jakarta.

HOST: Tapi sekarang setelah era reformasi, tentara nggak masuk, kenapa tidak ada perdebatan...

MUH: Karena sudah terlalu lama begitu, sehingga lupa arahnya. Karena itu penting mempertanyakan kembali, tujuan kebudayaan itu apa? Itu satu. Kebudayaan yang mana? Nah itu yang gak pernah selesai itu. Kebudayaan yang mana? kan harus kita tentukan dulu kelasnya darimana dulu kan? supaya kita nggak ngawang-ngawang gitu lho memperjuangkannya. Tujuan kebudayaan sederhana sebetulnya, dan sudah dirumuskan oleh WR Supratman, Indonesia bahagia.

HOST: Woh kayak Anis Baswedan dong. Wah ini nyrempet-nyrempet lagi.

MUH: Ada dalam teks Indonesia Raya. Stansa kedua, baris ke delapan itu. Indonesia bahagia, itu tujuan kebudayaan itu, yang oleh Ki Suryo Mentaraman itu disebut dengan ketajaman kemajuan batiniah. Kemajuan batiniah, kemajuan itu memang ada Muhammadiyahnya gitu ya, kemajuan batiniah. Dan itu diucapkan oleh Suryo Mentaraman pada saat revolusi sedang di titik paling mendidih di Yogyakarta. Oke ya.

Pentingnya lagi adalah, coba kita bayangkan ya...pernah diadakan Kongres Kebudayaan itu di tengah revolusi lho. 21 Agustus '48. Coba temen-temen bayangkan. Di tengah revolusi, tiba-tiba kita itu berpikir tentang kebudayaan. ____tonik, Agustus sampai September itu, itu jelang perang saudara itu. Madiun. Di Jogja, para intelektual di sini itu bikin kongres kebudayaan. Kebayang gak itu? Oh berarti sangat penting. Bahkan di tengah revolusi orang memikirkan kebudayaan.

Sekarang gak ada revolusi apa-apa kita nggak mikir kebudayaan. Selain Danais. Jadi di tengah revolusi, kita itu melangsungkan kongres kebudayaan, kebayang nggak itu? di tengah itu, setahu saya itu aksi polisionil luar biasa oleh Belanda itu. Dan kita bukan dipilih di Jogja tapi di Magelang, soalnya Jogja sama Madiun lagi tegang.

Siapa aja yang datang? hampir seluruh pimpinan nasional itu datang. Soekarno datang. Hatta datang. Ki Hadjar Dewantara datang. bahkan Panglima Sudirman, itu datang. Dari situlah lahir salah satu kampus terbesar seniman itu, ISI Yogyakarta. Itu rekomendasinya dia itu. Akademik kesenian itu.

Jadi dari awal orang-orang Republik sudah sadar bahwa kebudayaan itu penting gitu. Tapi kebudayaan macam apa? Di situ Soekarno memperingatkan dalam kongres itu tolong pikirkan baik-baik. Dan gak ada...lanjutannya nggak ada. Pikirkan baik-baik, kata dia. Nah saya melihat bahwa ketika kita disuruh pikirkan baik-baik, maka ada sekelompok orang ketika Jogja, pindah ibu kota, pindah dari Jogja ke Jakarta, karena nggak mungkin di...apa rekomendasi-rekomendasi kongres itu dijalankan di Yogyakarta. Sekarang setelah itu agresi militer Belanda kedua, '49. Lahirlah Lekra di situ, '50. 17 Agustus '50.

Bulan Agustus sama. Lembaga Kebudayaan Indonesia juga lahir di situ. Majalah kebudayaan bernama Indonesia juga muncul di situ. Istitut politik kebudayaan, juga keluar di situ. Hampir seluruhnya keluar di situ. itu hasil dari kongres kebudayaan di Magelang tahun '48. Lekra di situ kemudian merumuskan apa yang disebut Soekarno itu yang hati-hati betul memikirkannya. Saya nyebutnya adalah bahwa kebudayaan itu untuk memperjuangkannya, tentukan dulu kelas mana dulu, kebudayaannya apa yang harus kita angkat.

Kemudian ada sekelompok orang memilih kebudayaan rakyat, itulah yang harus kita angkat. Pertanyaannya Apa itu rakyat? Siapa itu rakyat? intelektual Taman Siswa? tentara? atau siapa? Nah kita penting melihat edisi pertama Pikiran Rakyat Soekarno. Terbit 1 Juli 1932. Artikel pertama Soekarno di majalah Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung itu judulnya adalah Matahari Marhainisme. Harus jelas dulu ini, baru kita menjelaskan kebudayaan macam apa? Karena ini debatnya di sini nanti. Baru kita tahu kenapa Djoko Pekik, kalo turba harus ke petani, karena akarnya ini.

Isinya adalah begini, Soekarno mendefinisikan kemudian apa yang disebut dengan kelas proletarian, PRD denang dengar itu. Kata dia, proletar itu adalah orang yang menjual tenaganya tapi tidak punya alat produksi. Orang bilang itu buruh. Oke. Terus Alfin Rizal misalnya, apakah termasuk proletar? Proletar, tapi kan melarat.

Tapi yang kaya?

Nggak, kaya nggak masuk. Melaratnya ini. Orang yang menjual jasanya, tidak punya alat produksi dan tetap melarat, itu proletar, kata Sukarno itu. Maka dia nolak komunisme. Insinyur yang di BRIN Lipi itu, apakah masuk proletar? Masuk. Karena mereka menjual jasanya, nggak punya alat produksi, melarat.

BRIN melarat?

Lihat aja gaji mereka, kecuali..nah itu tadi. Kayak pajak itu. Kan bisa diukur mas. Gajinya berapa, kan bisa diukur. Tukang cetak? Apakah proletariat? Kata Sukarno. Tapi ada lagi kelas, kata dia, menjual jasa, punya tenaga, dan tenaganya itu dipakai di atas tanahnya sendiri, punya alat produksi, paculnya, ada kerbaunya, tapi tetap melarat. Masuk dimana dia? punya alat produksi. Itu yang disebut Marhaenisme.

Nah, kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat itu berada di titik ini. Maka kenapa kemudian, BTI dibesarkan sedemikian rupa. Ada memang, lembaga buruhnya, SOBSI, tapi BTI lebih besar. Di sini tempatnya. Karena kelas yang paling melarat dan paling banyak jumlahnya, kata Soekarno, Marhaen itu, kelompok petani itu, kelompok nelayan itu. Disitu kemudian, baru kita bisa melihat, oh kebudayaan macam apa yang harus kita angkat. Itu definisi kebudayaan rakyat, rakyat itu itu, kelas itu.

Jadi nggak bisa dipukul rata, rakyat yang mana, kan kita bingung rakyat yang mana? definisinya jelas, Marhaen, atau tani. PKI kemudian konsentrasi di situ. Maka mereka kemudian menyusun sejarah namanya sejarah perlawanan tani itu. Mulai dari Perang Jawa, itu kan perang tani itu. Itu pemberontakan tani itu. Pemberontakan Banten Selatan, 1888, terus pemberontakan '26, itu petani Banten juga, tapi santri nanti pak Ikhwan Tarekat di situ. Kebudayaan itu yang disiki oleh orang-orang kiri. Karena itu, semua pekerja kebudayaan mesti berkiblat. Kalau salat itu kiblatnya itu jelas. Patokannya harus mereka, nggak boleh nggak, contoh, pelukis, ya itu lho buku Tuan Tanah Kawin Muda. Djoko Pekik kalau mau melukis dia harus ke desa, sudah ada yang menunggu, siapa itu? BTI yang harus melayaninya, mau berkomunikasi, tidur di situ, ngasih apa...ngasih informasi-informasi itu, di rumah petani. Jadi mereka udah tunggu di situ.

Cerpenis juga seperti itu. Kalau lihat cerpennya Siswadi, siapa namanya? perempuan Lekra yang penulis cerpen itu, bagus sekali cerpen tentang Kulonprogo itu, sama. Mereka tinggal di petani, nulis cerpen tentang itu. Pram juga melakukan hal yang sama ketika di Banten Selatan. Dan tinggal di petani. Jadi ketika mereka bicara tentang kebudayaan rakyat, jelas ininya...apa SOP-nya itu jelas. Nggak kayak kita misalnya, Oh aku pengen melukis tentang di Merapi itu sendiri salah terus melihat pemandangan, nggak. Ada SOP-nya. Jadi, harus melibatkan petani. Itu satu.

Kedua, kalau Lekra berkongres, BTI harus ceramah. Mereka ceramah. Kalo BTI Kongres, budayawan itu dipanggil. Untuk memberikan ceramah. Relasinya seperti itu.

Karena itu maka tidak salah kemudian kalau kita masih melihat orang desa itu pintar-pintar ideologinya, wajar. Karena ada dialog yang...seperti kata pak Putu tadi itu, organik itu. Ada dialog seperti itu terjadi secara...apa ya...nggak ada...nggak ada pagar, pagar api itu gak ada. maka mereka pintar, inovatif, penemu gitu, dan tetap tinggal di desa. Jadi nggak boleh keluar dari sawahnya. Untuk menonton di bioskop XX1, misalnya, nggak, filmnya yang kesana.

Atau misalnya. JJ Kusni gitu, dia adalah ketua Lembaga Musik Indonesia, Lekra yang di Yogyakarta. Untuk membuat seni...apa...untuk membuat drama, ya dia tinggal di Klaten. Maka munculah Api di Pematang. Yang kemudian di apa...di bawa kemana-mana untuk dipertontonkan itu, drama itu, seperti itu cara bekerjanya kebudayaan rakyat itu. Tidak hanya...yaitu tadi dikomodifikasi menjadi pariwisata, enggak. Bukan desa wisata, kok desa wisata? aneh. Karena kebudaya...budaya itu kan akal budi, daya budi, intelektualitas, daya itu, daya budi, kebudayaan itu. Seperti itu, pengantar dari saya.

HOST: Itu pengantar? tepuk tangan dulu. Pengantarnya provokatif dan sangat bernas ya. tapi sebetulnya kalau ini kita teruskan saya bisa 3 Hari 3 Malam ini berdebat dengan mas...bukan berdebat ya, berdiskusi dengan mas Muhidin misalnya Kenapa Lekra berseberangan dengan Manikebu apa substansinya, Benarkah Lekra PKI, atau sebetulnya Ada tesis yang mengatakan bahwa lekra itu di-PKI-kan oleh Orde Baru dan lain sebagainya.

MUH: Sebentar, pak Putut sering menyebut Manikebu-Manikebu itu apa tuh? itu persoalan kecil. Kok dibesar-besarkan itu loh. Itu kerja...kata Pram itu kerja kecil gitu. Kenapa dibesar-besarkan.

HOST: Ya...ya...ya...tepuk tangan, tepuk tangan.

Karena mereka menang, besar karena mereka menang, itu yang bisa dibantah. Oke, saya akan pindah sejenak ke mas Irfan Afifi ya. Tahun-tahun sekitar mungkin tahun awal tahun 2000, ya, tapi saya secara pribadi melihat tahun 2010-an mulai muncul satu pemikiran-pemikiran yang tiba-tiba tumbuh dan berkembang biak di banyak sekali para pemikir atau intelektual khususnya adalah intelektual Jawa.

Nah salah satunya adalah Mas Irfan Afifi dengan langgar.co-nya ini. Kalau kita...kalau saya baca ya. Saya sederhanakan saja ya, bagaimana mencoba mengidentifikasi kemunculan pemikiran ini dari sisi sejarah? Kurang lebih begini, milestone-nya ya, Perang Diponegoro terjadi, kebangkrutan di Belanda kemudian terjadi, lalu Diponegoro kalah, ya. Setelah kalah kemudian ada kebijakan tanam paksa. Rakyat Indonesia hancur. Miskin. Tapi kerajaan Belanda kaya raya. Lalu kemudian ada orang-orang di Belanda yang mulai mengkritik. Seharusnya kerajaan Belanda nggak boleh begitu. Lalu mulailah ada politik etis. Salah satunya kemudian muncul adalah pendidikan. Dari pendidikan yang dibikin di Indonesia inilah yang dulunya dicita-citakan hanya cukup sebagai administratur bagi perkebunan-perkebunan atau perusahaan Belanda, munculah para intelektual-intelektual Indonesia. Lalu intelektual intelektual inilah yang kemudian di berbagai tempat ya, lalu menyatakan keinginan untuk bersatu dan membuat satu nation ya, bernama Indonesia. Singkat kata kemudian Indonesia merdeka, setelah Indonesia merdeka terjadi tragedi '65. Setelah terjadi tragedi 65 politik hampir monolitik, ya. Setelah reformasi, baru kemudian aspirasi yang tergencet, salah satunya adalah sejarah aspirasi umat Islam, kemudian mulai muncul banyak pemikiran umat Islam. Dan di tahun 2010-an kemudian munculah semacam spiritualisme Islam atau apapun itu ya, kebangkitan jawanisme atau apapun juga itu. Yang kemudian sekarang ini marak sekali disambut bukan hanya berbagai kota, tapi juga di dunia akademik. 00:23:59 - HOST

Nanti akan kita perbincangkan, sekarang ini elemen yang terjadi hanya ada dua, yaitu nasionalis dan Islam. Kirinya ilang. Nggak ada...Coba partai-partai itu mana? nasionalis religius, nasionalis, atau religius, atau kalau yang mau main kedua kaki nasionalis religius. Gak ada kan, nasionalis relijius kiri? Gak ada.


00:24:34 - HOST

Saya mau tanya ke mas Irfan, kesadaran macam apa sebetulnya yang memunculkan pemikiran-pemikiran tentang apa yang sering anda...apa ya...Anda nyatakan sebagai kedigdayaan atau kehebatan dari pemikiran Islam di nusantara.


00:25:02 - IRFAN

Saya akan berangkat dari tesis yang sangat sederhana. Dulu Sutan Takdir Alisjahbana itu saat polemik kebudayaan itu ngomong bahwa Indonesia itu produk baru. Indonesia bukan Majapahit, Indonesia bukan Mataram, Indonesia bukan Sriwijaya, dan sebagainya. HOST: Indonesia bukan pondok pesatren ya? IRFAN: Saya ingin pertanyakan, ternyata ada...ada yang luput dari pembacaan SDA. Pertama, Indonesia hari ini dibangun dari nilai-nilai bahkan falsafah kita, Pancasila, dibangun dari nilai-nilai yang dulu diklaim oleh Soekarno, diambil dari hasanah dari kebudayaan zaman Hindu Budha, kemudian zaman Islam dan sampai terbentuknya falsafah Pancasila. Artinya apa? Yang membentuk manusia Indonesia hari ini dia juga ikut dibentuk oleh tradisi nilai di masa lalu yang jauh melampaui Indonesia.


00:26:12 - IRFAN

Makanya saya dalam banyak hal kenapa ingin kembali ke masa yang lebih jauh. Karena saya ingin melacak sebenarnya manusia Indonesia ini tersusun dari apa? Kok mau-maunya langsung diputus bahwa Indonesia itu produk baru. Makanya elemen ini yang...elemen nilai, elemen falsafah, elemen apa ya...elemen karakter, yang dulu diwarisi, kita tinggal ditinggalkan oleh para leluhur itu juga ikut membentuk Indonesia kita hari ini.


00:26:48 - IRFAN

Nah masalahnya ini yang luput sering diperbincangan oleh para intelektual kita hari ini. Seluruh tradisi ilmu pengetahuan kita hari ini mbebek barat seluruhnya. Ini yang jadi catatan. Sehingga dari perspektif ini saja kita seolah-olah hanya ingin mengejar ketertinggalan terus menerus. Kita ingin meniru, meniru, dan meniru. Akhirnya dipaksa terus-menerus sampai hari ini.


00:27:16 - IRFAN

Nah, belum ada usaha serius untuk memikirkan arah perjalanan kebudayaan bangsa ini. Nah saya dalam misalnya di langgar memimpikan secara...ayo kita baca ulang yang membentuk kita sebagai sebuah bangsa. Jangan hanya cuma sampai Cokroaminoto. Jangan sampai hanya cuma Kartini. Jangan hanya sampai cuma Aidit. Tapi kembali ke jauh, lebih jauh lagi yang membentuk lapisan-lapisan mental maupun nilai falsafah kita sebagai sebuah bangsa, itu.


00:27:51 - IRFAN

makanya di jas merah, saya menyodorkan itu sejarah baca baru begitu. Misalnya apa yang dikatakan Muhiddin tadi terkait misalnya, programnya Lekra, bagus-bagus aja. Tapi perlu diketahui bahwa hasil dari politik kebudayaan ini itu membikin pecah masyarakat kita dan bunuh-bunuhan. Itu yang harus dicatat.


00:28:25 - IRFAN

'65 itu bener-bener, alias Marxisme...dulu ada sudah ada perjuangan dari teman-teman Indonesia untuk mengadopsi ide baru, dari barat. Dan perlu Anda ketahui bahwa Marxisme memang berawal dari sosiologi konflik. Dia dalam terminologi sosiologi muncul dari...apa ya...sesuatu yang ingin melawan, ada thesis, ada antithesisnya begitu. Apa yang terjadi dalam sejarah kita? kita bunuh-bunuhan sebagai bangsa. Apakah itu mau diulangi? Saya tidak tahu. Nah, apa yang luput kemudian saya ingin kembali kepada fase yang lebih jauh begitu, yang itu membentuk lapisan-lapisan kedirian kita sebagai sebuah bangsa hari ini, yang itu tercermin dari falsafah bangsa kita.


00:29:17 - IRFAN

Nah masalahnya sekarang misalnya intelektual-intelektual kita hari ini doktor maupun Phd dari luar negeri, selalu membaca Pancasila dalam kerangka term liberalisme. Itu yang membikin parah sekali, nanti ketika kita ngomong terkait persatuan Indonesia, kita ngomong tentang internasionale, kita ketika ngomong tentang konsep keadilan kita ngomong justicenya, liberty-nya liberalisme begitu. kemudian kemanusiaan dimaknai sebagai konsep humanisme yang lahir dari barat, misalnya begitu. Mereka tidak pernah berpikir ulang jangan-jangan kita punya konsep sendiri. Kemudian saya menawarkan sesuatu yang ingin kembali ayo kita baca secara jujur.


00:30:06 - IRFAN

Dulu Peter Carey...saya ketemu pak Peter Carey itu gini, mas dituliskan tentang Indonesia hari ini sampai dari rentang waktu berapa tahun sampai hari ini itu yang nulis Indonesia, kajian tentang Indonesia itu 80% nya bule, alias apa? Indonesia itu bangsa yang tidak bisa menulis sejarahnya sendiri, bangsa yang didefinisikan oleh orang lain, akhirnya kita arahnya nggak pernah tahu. Ketika ada pembacaan ke belakang, itu kita selalu membentur tembok-tembok kesarjanaan kolonial. Sarjananya udah numpuk-numpuk, deskripsi kita tentang kejawaan, deskripsi kita tentang kemelayuan, definisi kita tentang ke Indonesiaan itu didefinisikan oleh orang lain. akhirnya kita nggak pernah tahu sebenarnya siapa bangsa ini, siap dan apa kemampuannya? Apa kelebihannya? apa kekurangan? dan arahnya mau menuju ke mana? kita nggak pernah tahu. Akhirnya ngikut, kita nggak berjauhan sebagai sebuah bangsa kalau di sana sudah Society 5.0, kita mau mengikuti dia sudah jadi 5 6 7, kepontal-pontal. Kita terus menerus hanya mengikuti, nggak pernah kita berdaulat menentukan track atau trajectory arah kebudayaan kita sendiri. Itu yang pertama.


00:31:38 - IRFAN

Yang kedua, saya ingin juga mengutip Daud Yusuf, Daud Yusuf dulu gini, ngomong, mantan menteri pendidikan kita, bahwa kebudayaan itu merupakan faktor konstitutif pendidikan. Jadi kalau ada sistem pendidikan, lambaran nilainya harus kebudayaannya. Masalahnya, pendidikan kita sejak dari awal itu adalah barang cangkokan. Dari pertama misalnya pemerintah Belanda mencangkokkan pendidikan di sini dengan struktur pandangan dunia yang berbeda, akhirnya politik etis terbentuk. Pendidikan-pendidikan itu diajarkan dan memang dari sejak awal, dia didik untuk ingin mencetak antenar dan sampai hari ini tidak berubah. Kita pengen jadi PNS, kita pengen jadi pejabat, dan itu nggak pernah berubah. Sehingga pendidikan ini nggak pernah menghasilkan manusia tanda petik. Tidak pernah menghasilkan intelektual, tidak pernah menghasilkan apapun. Karena memang tradisi ini dari sejak awal barang cangkokan dan di level struktur pandang dunia paling atasnya kita terus-menerus bertempur. Makanya Daud Yusuf dulu menginisiasi awal-awal membentuk program namanya Javanologi. Ini kalau pendidikan dan nilai kulturalnya aja nggak nyambung, bagaimana kita mau berdaulat sebagai sebuah bangsa? Akhirnya mereka oke kita teliti sajalah. Kita mulai dari Jawa dulu. Nanti kalau Jawa berhasil kita mulai Sundanologi. Kita mulai Acehnologi dan lain sebagainya. Tapi belum...belum sampai jauh lembaga itu tumbang begitu. Lembaga itu tumbang dan akhirnya nggak berlanjut.


00:33:22 - IRFAN

Tapi ada siratan visi daun Yusuf yang saya sudah bisa tangkap, bahwa dia ingin membikin arah pendidikan ini sesuai dengan inang kebudayaan bangsa ini agar pendidikan kita tidak mengasingkan kita. Ini teman-teman mungkin bisa menjadi saksi, semakin Anda semakin terdidik secara pendidikan formal anda akan semakin terasing dengan masyarakat anda. Coba. Anda rasakan sendiri dan saya korbannya begitu.


00:33:55 - IRFAN

Karena memang begitu, saya misalnya di filsafat kita, di fakultas filsafat kita, saya misalnya, saya lulusan sana di filsafat UGM, saya diajari dari sejak Heidegger, Albert Camus dan lain sebagainya. Saya nggak pernah tahu siapa masyarakat saya sendiri. Ini pendidikan model apa? diajarin kebudayaan bangsa orang lain.


Bukan nggak boleh, boleh saja. Itu sebagai sebuah pertemuan. Kita boleh menyesap kebudayaan bangsa lain. Tapi kita harus menguatkan akar yang mengkokohkan kedirian bangsa kita. Kita harus kenali dulu diri kita sebagai sebuah bangsa dong? Nah dalam rangkaian itulah kemudian saya menggali sendiri. Kalau ini nggak dilakukan oleh kampus ya sudah, saya angkat kaki sendiri, saya jalani sendiri praktek itu semampu saya, dengan ini, dengan cara itu siapa tahu bisa menjadi pemantik bahwa bangsa ini besok akan mulai jujur meneliti dirinya sendiri, begitu.

Nah yang ketiga problemnya gini Mas Putut, terakhir ini kita memasuki fase apa yang disebut sebagai teknologi informasi fase lanjutan. Jadi nanti kita ngomong tentang strategi kebudayaan itu apakah masih relevan? Masalahnya karena...misalnya anak saya itu dari kecil langsung mengakses HP dan itu kontennya bisa dari Inggris bisa dari...macam-macam, alias pembentuk karakter kebudayaan anak saya hari ini beda dengan saya dulu zaman SMA.

Sehingga nanti apakah kita bisa, satu pertanyaannya, apakah kita sebagai sebuah bangsa masih bisa mengarahkan arah kebudayaan kita hari ini? karena kita sudah di-drive oleh seluruhnya dari arus kebudayaan besar dunia yang sekarang men-drive kita? Ataukah kita juga mau kembali dan mengokohkan ini? Nah kalau tadi pertanyaannya kenapa muncul intelektual baru dengan dari konteks Islam? Saya merasa begini, warisan yang terjauh yang ada di dalam masyarakat nusantara ini yang pernah nggak di ilmui kembali adalah warisan tentang keindonesiaan, warisan tentang suku-suku Indonesia itu yang dulu bersatu dengan salah satu agama tertentu. Makanya kesultanan-kesultanan itu merata. Bahkan saya bayangkan dulu merupakan Protonasionalisme awal yang menyatukan bangsa Nusantara ini. Makanya Kenapa Melayu dipersatukan dengan Jawa dengan Bugis dengan Aceh itu gara-gara sistem kebudayaan masyarakatnya hampir sama karena sastranya___