Verbatim:1
Pembicara:
Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag
Judul Tautan:
Filsafat 357 : Sutan Takdir Alisyahbana - Kebudayaan
Juru Transkrip:
Julian S (https://saweria.co/juliansukrisna)
Tanggal Transkrip:
Kamis, 19 Desember 2024
[00:00:00,000]
Bismillah, bismillahirrahmanirahim alhamdulillahirabbil 'alamiin wabihi nastainu 'ala umuriddunya waddiin, allahuma sholli wa salim wa barrik ala habibina wasyyafiina sayyidina wa Maulana Muhammadin wa 'ala alihi wa ashabihi waman tabiahum biihsanin Ila yaumiddin, amma ba'du.
[00:00:53,607]
Bismillah, teman-teman kita lanjut lagi ya, belajar melalui ngaji filsafat kita. Bulan ini kita banyak belajar nanti tentang kebudayaan. Khususnya kebudayaan Indonesia, mumpung ini bulan Agustus ya, kita belajar sebentar, bukan tentang apa sih budaya Indonesia itu? tapi bagaimana sih jadi makhluk yang berbudaya di Indonesia.
Makanya tokoh yang kita angkat bulan ini ada dua tokoh nasional dan dua tokoh dari barat. Satu tema di tengah-tengah nanti bonus ya itu, karena tanggal merah, jadi saya ngak tahu nanti isinya apa, pokoknya itu tema kita, santai-santai saja, nanti kalau yang pas tanggal 17 itu.
[00:02:03,767]
Baik, malam hari ini, kita akan membahas pandangan tentang kebudayaan kita yang seharusnya menurut Sutan Takdir Alisjahbana. Teman-teman mungkin pernah mendengar nama ini, mungkin dulu waktu sekolah pernah belajar tentang bahasa dan sastra Indonesia pasti pernah mendengar nama beliau. Beliau ini dikenal sebagai pelopor pujangga baru. Beliau tokoh cendekiawan intelektual, budayawan, sastrawan, ahli bahasa. Cuma malam hari ini kita ndak bahas macam-macam, kita bahas tentang kebudayaan.
[00:02:57,567]
Jadi, zaman dulu sekitar tahun 1935, itu terjadi namanya 'polemik kebudayaan'. Jadi sebelum Indonesia merdeka, itu orang-orang pintar zaman itu, itu merancang kiro-kiro idealnya Indonesia itu seperti apa?
Nah yang memicu debat beliau, ini, Sultan Takdir Ali Syahbana. Nanti banyak tokoh-tokoh lain menanggapi, karena memang gagasan beliau yang paling kontroversial. Makanya bulan ini kita ambil dua kubu dari tokoh polemik kebudayaan ini yang agak kontras. Yang pertama, dari pandangannya Sultan Takdir, orang mengenalnya beliau ini liberal westernis, ke barat-baratan. Minggu depan kita bahas yang kontras, yaitu Ki Hadjar Dewantara. Ki Hajar juga menanggapi, pandangan-pandangan yang dianggap westernis dari seorang Sutan Takdir Ali Syahbana.
[00:04:11,480]
Tapi teman-teman ngak usah khawatir ini debatnya orang-orang pintar yang semuanya ingin yang terbaik untuk Indonesia, meskipun pandangannya beda-beda. Nah ini, bagi saya penting, ini kita garis bawahi, asumsi yang jenisnya husnudzon, ini.
Hari ini banyak problem dalam kehidupan kita, itu kita menyikapi apapun secara su'udzon. Kalau ada orang berbuat baik, kita khawatir jangan-jangan Itu pencitraan, jangan-jangan nanti aku dikadali belakangnya. Jadi kita, kita terus ndak tenang. Apalagi orang yang jelas-jelas jahat. Kalau ada orang yang menampilkan kebaikan kita curiga, jangan-jangan dibalik itu ada pamrihnya, akhirnya kita juga ndak tenang.
[00:05:04,120]
Nah sekarang kita latihan untuk husnudzon, termasuk polemik-polemik ini. Jadi yo sesuai kapasitas, sesuai perspektif dari beliau-beliau yang ingin Indonesia ini dapat yang terbaik. Ya tentu saja perspektifnya beda-beda. Asalkan kita tetap berposisi kritis, tetap berposisi tidak nge-judge begitu saja sebelum kita paham apa sih hakikatnya gagasan itu. Ya saya sarankan ndak berhenti malam hari ini saja, minggu depan dilanjutkan di perspektif yang berbeda. Karena kalau berhenti malam hari ini saja yo jatuhnya westernis nanti, agak bau barat, tapi bukan berarti ndak rasional. Asiknya belajar filsafat itu, "belajar tokoh ini, oh rasanya kok asik ya tokoh ini", terus minggu depan ganti tokoh lagi, "Oh ini yo asik juga", terus sampean bingung terus "tokohnya banyak asik kabeh", akhirnya kita ndak ngapa-ngapain. Cuma bagian bagian menilai, ini asyik ini ndak asyik, ini asyik, ini ndak asik itu saja. Baik, yo seperti gayanya ngaji filsafat ya, kita gali, kita cari, mana yang cocok, mana yang sesuai untuk hidup kita. Entah di bagian mana, entah di titik yang mana.
[00:06:37,919]
Oke, beliau ini mungkin tadi sudah saya sebut ya, tokoh pujangga baru. beliau banyak jasanya khususnya untuk dunia bahasa Indonesia. Beliau orang pertama yang menyusun secara sistematis tata bahasa Indonesia yang kita pelajari sekarang di sekolah-sekolah. Beliau ini agak kecewa karena beliau punya misi bagaimana bahasa Melayu yang sekarang jadi bahasa Indonesia itu tidak sekedar jadi bahasa kita tapi juga bahasa pergaulan regional.
[00:07:10,840]
Jadi ya dengan Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan lain-lain itu beliau inginnya ada bahasa regional. Yo bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang. Tapi cita-cita beliau belum terpenuhi, beliau meninggal tahun 1994. Kelahiran tahun 1908, kelahiran daerah Natal di Mandailing Natal. Mandailing Natal kalau sekarang kabupaten ya, kemudian ya meninggalnya di Jakarta. Ya wes beliau intelektual sejati lah, karyanya banyak, 30-an buku dari berbagai genre, termasuk kalau ada yang tertarik beliau nulis juga tentang pengantar filsafat. Silakan dicari. Cuma saya ndak bahas itu malam hari ini kita bahas yang bagian budaya. Novel-novel juga banyak. Kalau teman-teman pernah baca Layar Terkembang atau Dian yang Tak Kunjung Padam. Nah itu itu karya beliau, kalau pernah ya, ini dari wajahnya kelihatannya belum. Saya ndak tahu selera bacaanmu hari ini apa, kalau generasimu mungkin yang katanya Dilan, terus apalagi? iya buku novel-novel semacam itu ya Ini era Pujangga baru banyak novel-novel itu.
[00:08:47,600]
Nah pandangannya yang agak barat tentang budaya nanti boleh dibaca, misalnya novelnya Layar Terkembang. Bagaimana beliau menerjemahkan gagasan-gagasan besar dalam bentuk novel.
[00:09:04,839]
Baik, penghargaan banyak, beliau dapat beberapa honoris kausa, kemudian penghargaan dari luar negeri juga banyak. Riwayat hidup detailnya silakan dibaca di...boleh cari online, boleh cari Wikipedia mungkin, kalau belum diblokir oleh kominfo, boleh cari di...ya kamu, kamu cari ya info online kan mudah sekarang. Semoga Google ndak diblokir ya karena andalanmu kuliah itu kan Google selama ini, kalau Google diblokir kamu ndak lulus nanti kuliahmu.
[00:09:43,000]
Baik, bismillah kita awali, nah untuk kebudayaan banyak orang menganggap beliau ini gaya berpikirnya itu gaya berpikir Renaisans ala humanisme modern. Jadi jatuhnya pada era awal modernisme, ya karena beliau ingin Indonesia ini modern. Jadi semangatnya semangat era renaisan, era humanisme modern. Ini dua tema yang dua-duanya pernah kita bahas. Makanya saya ndak menjelaskan detail.
[00:10:26,160]
Cirinya enam, yang pertama, individu, atau pakai istilah kalau di filsafat itu antroposentrisme. Jadi segalanya itu kuncinya di manusia. Dunia ini jadi seperti apa, itu kuncinya manusia. Dunia ini harmonis atau rusak itu manusia kuncinya. Dunia ini aman nyaman bertuhan atau ateis kuncinya manusia. Nah ini gaya humanisme modern. Namanya antroposentrisme.
[00:11:03,880]
Gaya kedua, positivistik, positivisme. Ini nanti yang membuat sains berkembang, yang dipercaya adalah yang masuk akal dan yang ada dan jelas faktanya. Ini gaya berpikir positivistik. Jadi positif itu berarti ya dasar empirisnya ada, kenyataannya konkret, ada. Makanya kalau dalam hukum itu kita diminta hukum positif atau bukti yang positif itu adalah bukti yang jelas, nyata, konkret, tidak andai-andai, tidak kira-kira, ah ini namanya positivisme, ini yang diinginkan oleh Sultan Takdir nanti. Jadi bangsa Indonesia yang ilmu pengetahuannya berkembang, cara berpikirnya yang rasional, yang empiris, yang masuk akal yang punya basis empiris. Tidak lagi yang klenik-klenik, dukun-dukun, metafisik-metafisik, Saatnya untuk bangkit ilmu pengetahuan. Tapi ini tahun 35 ya, harusnya tahun ini kita sudah jaya ilmu pengetahuannya. Ternyata ya belum, berarti kita belum belajar sejak tahun 1935an itu. Kita belum banyak belajar juga.
[00:12:37,399]
Nah yang ketiga, kritik. Jadi era renaisan itu kan kritik yang sangat kuat pada cara berpikir sebelumnya, khususnya cara berpikir agama-agama yang kaku. Jadi era abad tengahnya barat itu kan era yang sering orang menyebutnya zaman kegelapan, yang itu didobrak oleh era renaisan, era pencerahan, dengan cara mengkritik keras cara berpikir yang tidak bebas, yang kaku, sehingga terus ndak maju, akhirnya barat tercerahkan, gantian kita yang di timur sampai hari ini.
[00:13:25,880]
Yang keempat, yo gandengannya kritik itu kebebasan. Jadi manusia itu bisa mengembangkan dirinya dasarnya kebebasan. Kalau ndak bebas itu ndak ada nilainya perbuatan kita. "Saya orang baik kok pak tapi ndak bebas", baiknya karena dipaksa atau karena terpaksa? atau karena ikut orang lain saja? itu kan nilai kebaikannya tidak maksimal. Mungkin, ya nilainya hanya ya nilai ikut saja, apalagi nilai terpaksa, tapi kalau kebaikan itu pilihanku sendiri keputusanku sendiri, ini kan jauh lebih bernilai.
Kejahatan juga begitu, "Pak, saya ini maling Pak tapi terpaksa, Pak. Kalau saya nggak maling, anak istri saya, keluarga saya ndak makan", itu kan nilainya beda dengan maling yang pilihan, "Sebenarnya aku bisa maling...aku bisa ndak maling...tapi ternyata aku milih maling", ah ini bebas kalau ini kalau bebas gini yo ya kalau dosa, dosanya lebih besarlah. "Ya saya memperkosa sih Pak tapi terpaksa saya", "pak loh saya diancam ya kalau enggak diperkosa saya dibunuh", misalnya.
Jadi keterpaksaan itu mengurangi nilai moral, ketidakbebasan mengurangi nilai moral. Ini, teori ini dari Immanuel Kant, era modern juga. Ya sama kan kayak adik-adik kita yang kecil, "Wah, ini masih umur 3 tahun kok rajin ke masjid ya?" itu kan dia belum paham, belum ngerti, mungkin disuruh saja, mungkin diajak saja. Itu kan nilainya beda dengan kita yang sudah besar. "Wah ini sudah besar masih rajin ke masjid ya.", itu kan beda dengan yang masih kecil rajin ke masjid biasanya kan masih kecil aja ke masjid kalau sudah besar malas ke masjid. Nah, jadi yang nomor empat yang dikembangkan oleh Sultan Takdir itu kebebasan.
[00:15:36,120]
Yang nomor 5 tentu saja kemajuan. Ya tentu saja hidup ini harus progres, harus maju, jangan statis jangan, mandek apalagi mundur. Tadi saya bilang kita ternyata sejak tahun 1935 ndak berubah-berubah sampai hari ini, itu berarti kita mandek, tidak maju.
[00:16:02,880]
Yang keenam, idealisme. Ini beliau banyak terpengaruh oleh Hegel. Beliau sering pakai istilah geist, geist itu semacam ruhnya dunia, jiwanya hidup ini, itu namanya geist. Jadi hidup ini selalu berkembang, ada ruhnya. Yo kayak hari ini misalnya, dunia hari ini itu ruhnya itu digital, gaya berpikir digital, apa-apa sambungannya digital, dan lain sebagainya, dulu apa, sekarang apa, berubah terus, ini idealismenya Hegel, kan begitu. Dulu kita pernah belajar filsafat sejarahnya Hegel. Nah maunya Sutan Takdir begitu. Hidup ini yo jangan statis, jangan mandek, yo maju, progres, dulu apa, sekarang apa, terus berkembang. Baik, jadi ini akar pikirannya. Jadi saya ndak panjang-panjang karena sudah pernah panjang lebar saya jelaskan tentang renaisan dan humanisme modern.
[00:17:17,240]
Nah saya lanjutkan sekarang. Asumsinya Sutan Takdir, bagi beliau fitrahnya manusia itu antara lain, dia adalah pencipta kebudayaan. Jadi ini nanti ada hubungannya dengan pandangannya tentang budaya Indonesia, Budaya nasional.
[00:17:41,360]
Kita itu kan selama ini mengagung-agungkan budaya nasional kita, budaya lama. Ndak ada salahnya mungkin menghargai budaya lama, tapi kalau gara-gara itu terus kita mandek, kita tidak lagi jadi makhluk pencipta budaya, kita salah orientasi.
[00:18:01,840]
Wong kita itu mulia karena kreativitas kita, karya kita. Kalau kita hanya mengagumi masa lalu saja dan tidak ngapa-ngapain, yo kita sedang ada di jalur yang keliru, karena fitrah kita itu pencipta budaya.
[00:18:25,799]
Kita kan sering "Woh, Indonesia zaman dulu itu luar biasa, Islam itu luar biasa" dulu, lah sekarang kamu ngapain? ndak ngapa-ngapain ya wes pokoknya mengagumi saja masa lalu", nah ini, ini yang dirasakan oleh Sutan Takdir.
[00:00:00,000]
Jadi manusia itu pencipta budaya. Jangan biarkan dirimu ndak ngapa-ngapain, bukan berarti salah kamu menghargai, menghormati budayamu, masa lalumu. Tapi kalau hanya itu saja yang kamu lakukan dan situasinya ndak progres, ndak maju, mandek, nah itu salah kita.
[00:18:38,640]
Kata Sutan Takdir manusia itu punya dua kodrat, yang pertama makhluk alam, yang kedua makhluk budi. Ini saya ndak tahu, mungkin pandangan tentang budi ini zaman itu banyak dipakai orang, kalau menyebut akal itu biasanya gandeng dengan akal budi, untuk menyebut intelektualitas manusia. Karena akal budi inilah bedanya manusia dengan yang bukan manusia.
[00:19:38,360]
Jadi kita itu makhluk alam, yo makhluk budi. Itu mungkin karena ini dulu buku-buku SD zaman saya itu yo kalau ngambil tokoh selalu Budi. Ini Budi, Ini bapak Budi, itu mungkin pelan-pelan mengajarkan tentang Budi. Saya ndak tahu bahasa Indonesia hari ini masih ada budi atau ndak? atau Budinya sudah tua jadi ndak ada lagi di buku SD.
[00:20:09,799]
Jadi, kita makhluk alam, kalau ini statis, jadi ada polanya, ada sunatullahnya. Kalau ini paket pakem, sisi fisik kita. Tapi sisi batin kita, tidak. Jadi sesuatu yang harus dielaborasi, dikembangkan. Dengan inilah kita nanti milih ingin hidup seperti apa kita itu. Nah ini, karena apa karena kita makhluk Budi. Kalau hewan ndak. Kita bisa milih, binatang tidak. Binatang itu paket sudah, seperti kita yang aspek jasmani kita.
[00:20:51,360]
Jadi binatang zaman dulu sampai zaman sekarang ya tetap seperti itu. Unta zaman Nabi dengan unta hari ini ya begitu. Ayam zaman dulu ayam hari ini ya tetap seperti itu, ndak berubah, gak pernah kok Ayam itu punya ide "Wah ini saya kok bajunya ndak ganti-ganti ya Gimana caranya misalnya" atau "Makannya enaknya diversifikasi yang apa" ndak ndak mikir itu. Tapi kalau manusia Iya. Sapi itu ya seperti itu terus. Dia nak pernah mikir "wah ini sudah dekat-dekat Idul Adha ini, gimana caranya melarikan diri", ya dia gak mikir gitu. Jadi ngertine ya wis pokok seperti itu hidupnya. Beda dengan manusia. Nah kuncinya ada pada akal budi. Jadi dia milih nilai-nilai apa yang harus saya hidupkan, hidup seperti apa yang harus saya wujudkan. Itulah yang nanti disebut, dialah pencipta kebudayaan. jadi hasil olah budi dan daya.
[00:22:00,600]
Oke lanjut, yo contohnya kebudayaan, jendela misalnya, itu kan karya manusia, sampai ada jendela, kalau orang diam saja Yo Mungkin bentuk jendela ndak seperti itu, seperti orang-orang purba mungkin cuma batu dilubangi. Tapi sekarang gak, ada macam-macam jendela. Ada yang bisa bunyi, ada yang gak bunyi.
[00:22:24,440]
Oke saya lanjut, itu budaya ya, lanjut. Nah, maka nanti oleh Sultan Takdir, beliau mendefinisikan budaya itu "penjelmaan keaktifan budi manusia menanggapi persoalan-persoalan hidup dan nilai-nilai". Ini sebelum masuk ke polemik ya, kita pelajari dulu dasarnya. Jadi budaya itu penjelmaan budi dan daya kita. Jadi, berarti apa? eksistensi kita sebagai manusia itu ditentukan pada "Apakah kita berbudi dan berdaya?". Buktinya apa? Karya.
[00:23:24,600]
Jadi dasarnya budi Itu kan pikiran, kesadaran kita, kemampuan kita bernalar. Kalau daya, itu kemampuan kita menghasilkan sesuatu. Karyamu apa? Ah itu hubungannya nanti dengan budaya, yang bisa kita lahirkan itulah nanti jadi budaya. Hasil dari budi dan daya kita, hasil dari pikiran kita untuk menanggapi problem-problem hidup.
[00:00:00,000]
Budaya hari ini kita pakai smartphone misalnya, itu kan menanggapi problem komunikasi jarak jauh. Manusia merancang telepon kemudian HP biasa kemudian sekarang ada smartphone mungkin besok apaagi? Seperti artificial intelligence kemarin itu kan bagian dari budaya dan peradaban kita hari ini.
[00:00:00,000]
Jadi kuncinya, budaya itu ternyata di sini, jadi manusia itu eksis ketika dia berbudi dan berdaya, berpikir dan menghasilkan sesuatu. Ini nanti jadi pijakan beliau sehingga pandangan-pandangan beliau agak disebut orang liberal westernis.
[00:00:00,000]
Nah ini dikutip juga oleh Sutan Takdir, "Apa sih isinya budaya?", isinya budaya itu konfigurasi nilai-nilai. Isinya budaya itu nilai. Ada nilai-nilai teoritis. Ini yang berhubungan dengan "benar salah". Jadi mana yang dianggap benar dalam satu budaya, mana yang dianggap salah dalam satu budaya, itu namanya nilai teoritis.
[00:00:00,000]
Kemudian ada nilai ekonomis, ada untung rugi. "Wah ikut ngaji ini, untung ya dapat teh gratis dapat kenalan baru dapat...", Ah ini nilai ekonomis namanya, peritungan untung rugi dalam satu budaya. "Jangan mengadopsi teknologi itu nanti kita rugi. Ambil saja yang ini nanti kita untung," dan lain sebagainya. Itu nilai dalam satu budaya.
[00:00:00,000]
Ada nilai religius, kalau nilai religius itu di satu budaya biasanya ada persepsi tentang "Oh ini sakral, ini profan ini harus kita hormati kita hargai, kalau ini biasa saja". Nah ,kalau ke masjid nyopot sandal ya nyopot sepatu, ah tapi kalau ke kampus gak usah misalnya karena masjid lebih sakral misalnya. Ini namanya nilai religius. ada dalam satu budaya.
[00:00:00,000]
Kemudian ada Nilai estetik. Kalau nilai estetik itu indah atau tidak indah. Nah setiap klustter budaya pasti punya persepsi tentang indah dan tidak indah ini.
[00:00:00,000]
Kemudian ada nilai politis tentang kekuasaan dan ketundukan. Kita harus patuh pada siapa? atau kita harus menguasai apa, dan siapa. Nah itu namanya nilai-nilai politik yang ada dalam satu budaya.
[00:00:00,000]
Yang terakhir nilai sosial, nilai sosial ini nanti hubungannya dengan, dengan siapa kita harus kerja sama solider dengan siapa kita harus cuek saja, egois saja, kita urusi diri kita sendiri, kapan kita harus kerja sama, kapan kita ngurus diri kita, ini nilai-nilai sosial.
[00:00:00,000]
Nah jadi isinya budaya menurut Sutan Takdir ini mengutip Spranger, jadi nilai-nilai dalam budaya ada nilai-nilai, mana benar mana salah mana, untung mana rugi, mana sakral mana profan, mana indah mana tidak indah, mana kekuasaan mana ketundukan. "Oh aku ini penguasa, aku ini pemimpin, jadi harus ngatur", "Oh aku ini yang dipimpin jadi harus tunduk", ini nilai politis namanya. Dan nilai-nilai sosial. Kapan orang solider, kapan orang ngurusi dirinya sendiri dan lain sebagainya. Nah, jadi ini dasarnya untuk memahami budaya di setiap budaya pasti ada nilai itu.
[00:00:00,000]
Baik saya lanjutkan, dasar selanjutnya, ini masih belum polemik ya masih teori-teori tentang budaya. Ada istilah dari Sutan Takdir, yaitu, ini sebenarnya istilah dari tradisi ilmu sosial. Autopoiesis. Jadi autopoiesis itu artinya penciptaan diri sendiri, atau auto itu berarti diri dan poiesis itu artinya penciptaan atau produksi.
[00:00:00,000]
Jadi ini satu sistem hidup ketika satu entitas bisa membentuk dirinya sendiri. Jadi ketika syarat-syarat tertentu terpenuhi tentu saja. Jadi ini nanti hubungannya dengan kemandirian, self-creation, self-organization, self-referential, dan juga punya sistem yang tertutup dan terbuka.
[00:00:00,000]
Jadi, Sutan Takdir melihat bangsa Indonesia ini harus menuju ke sini. Jadi menuju kondisi self-creation, bisa membentuk dirinya sendiri. Kalau saya ingin maju, bisa. Saya ingin sampai sana, saya mampu. Saya ingin melakukan itu, aku ya bisa. Ini namanya self-creation.
[00:00:00,000]
Yang kedua self-organization, ngatur diri nya. Untuk mencapai ke sana aku harus begini, yang sebelah sini harus begitu, dan lain sebagainya namanya self-organization.
[00:00:00,000]
Terus self-referential, self-referential itu bahan-bahan yang aku butuhkan ada, aku punya, dalam diriku sendiri. Dan yang terakhir, tertutup dan terbuka, tertutup itu yo aku itu identitasku jati diriku ini, tapi aku terbuka, kalau ada yang lebih baik, yang bisa aku ambil, aku ambil. Kalau ada yang lebih produktif yang bisa aku lakukan, aku lakukan. Jadi, aku seperti ini tapi tidak harga mati. Itu namanya sistem tertutup dan terbuka. Ini namanya autoposis. Jadi, yo ini kalau bahasa lainnya, mandiri.
[00:00:00,000]
Kita jadi bangsa mbok yang mandiri, self-creation, self-organization, self-referential. Tidak mandiri berarti tidak self-creation, ndak self-creation itu berarti kita tergantung, mau ini tergantung itu, ingin itu tergantung sana lagi, serba tergantung.
[00:00:00,000]
Kalau serba tergantung kan kita ndak mandiri. Jadi gimana kalau, bayangkan kalau tiba-tiba diblokir...blokir-blokiran ini terus-terusan? sementara kita ndak bisa bikin situs game sendiri sedahsyat itu, kita nak bisa bikin channel sehebat itu sendiri, kita kan terus bingung. Kenapa begitu? karena selama ini kita tidak self-creation, kita ndak produktif, selama ini kita hanya konsumen saja.
[00:00:00,000]
Mau ndak mau konsumen tergantung dengan produsen. Atau self-organization, self-organization itu kemampuan ngatur diri. Kalau kita ndak bisa ini, efeknya apa? yo diatur orang lain butuh yang luar yang mengendalikan kita.
[00:32:11,240]
Nah, jadi kalau satu bangsa kok ndak self-organization, yo mesti ada yang luar ikut ngatur karena kita ndak bisa ngatur diri kita sendiri. Kalau kita ndak bisa disiplin itu kan butuh orang lain mendisiplinkan kita. Jadi itu yang disebut self-organization.
[00:32:11,240]
Demikian juga self-referential. Self-referential itu, reference itu yo rujukan, kebutuhan. Kalau kita ndak punya hal-hal untuk mencapai tujuan kita yo akhirnya kita butuh yang lain. Ndak punya uang yo utang ke yang lain, ndak punya modal pinjam ke yang lain, tidak self-referential.
[00:32:11,240]
Yang terakhir tertutup tapi sekaligus terbuka. Tertutup itu kita tahu ciri kita identitas kita, jadi kita punya prinsip, punya nilai-nilai, tapi jangan kaku. Wong kita itu manusia, tidak pasti benar. Mungkin saja salah, mungkin saja meleset, wong kita itu terbatas, wawasan kita juga terbatas, sepintar-pintarnya orang yo yang dia tahu kan pastinya hanya sejauh pengalamannya saja.
[00:32:11,240]
Kayak saya ini ndak pernah ke mana-mana, yo pengalamanku hanya itu-itu saja. Nah, maka ya tetap harus terbuka, kalau ada wawasan-wawasan baru, pandangan-pandangan baru. Di situlah kita bisa berkembang. Nah ini ideal, namanya autopiosis, orang yang mampu menciptakan dirinya sendiri mengendalikan mengatur dirinya memenuhi kebutuhannya dan tertutup sekaligus terbuka. Yo kita aminkan saja ya semoga kita bisa seperti ini. Iya. Ya kan ini ideal kan, ideal itu kan ya kita aminkan saja.
[00:32:11,240]
Baik, saatnya berpolemik sekarang. Kalau tadi yang lurus-lurus, sekarang kita mulai ya ini, jangan kaget ya. Ini mungkin pikiran-pikirannya agak berbeda dengan pikiran-pikiran teman-teman selama ini.
[00:32:11,240]
Yang pertama, Sutan Takdir memilah antara Indonesia dengan pra Indonesia. yang disebut Indonesia yo saat itu menjelang-menjelang kemerdekaan. Jadi satu generasi yang ingin membebaskan diri bersatu, bersama-sama, mendirikan satu negara yang namanya Indonesia.
[00:32:11,240]
Sebelum itu, belum Indonesia, namanya masih Pra Indonesia. Jadi kalau ada orang bilang nenek moyang kita Indonesia dulu, gak. Indonesia itu yo zaman '45 itu, era-era itu. Era lahirnya kebangsaan, kebersamaan bahwa kita di nusantara ini punya rasa yang sama, nasib yang sama. Sebelum itu, masih kerajaan-kerajaan sejarahnya, bukan sejarah Indonesia tapi sejarah Aceh, sejarah Mataram, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain.
[00:32:11,240]
Jadi, kata Sutan zaman pra Indonesia itu zaman yang hanya mengenal sejarahnya VOC, sejarahnya Mataram, sejarahnya Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain-lain. Oh ini nanti menarik di beberapa tulisan beliau bilang loh y, ya seperti perjuangan-perjuangan sebelumnya itu kan belum kenal Indonesia. Jadi mereka masing-masing mungkin yang ditegakkan yo kerajaan-kerajaan wilayah-wilayahnya sendiri-sendiri.
[00:32:11,240]
Seperti Pangeran Diponegoro, mungkin bayangannya bukan Indonesia seperti sekarang, mungkin ya Jawa paling tidak, kerajaan mataramnya. Jadi ini yang saya sebut tadi ya cara berpikirnya Sutan Takdir. Ya ini nanti di belakang banyak dikritik, selanjutnya banyak polemik, tapi ini perspektif yang khas, yang berbeda.
[00:32:11,240]
Jadi disebut rasa kebangsaan Indonesia itu ya ketika mulai muncul kesadaran bahwa kita harus bersama-sama, bareng-bareng, satu cita-cita satu keinginan, mendirikan bangsa, mendirikan negara yang nanti namanya Indonesia. Dan itu muncul ya tahun-tahun era revolusi tahun 30-an, 45-an.
[00:32:11,240]
Jadi ini pembagian yang dilakukan oleh Sultan takdir. Nah beliau inginnya saat itu Ini zaman baru ini kan tahun 35an, ayo bergerak secara baru mengikuti zaman saat itu. Jadi jangan terlalu takut untuk merancang sesuatu yang baru yang maju. Jadi, dasar pikirannya ini nanti beliau inginnya.
[00:32:11,240]
Nah cuma yang khas bagi beliau, orientasi atau visi kebudayaan ideal menurut beliau itu Barat. Barat dalam hal apa? cara berpikir yang dinamisnya. Jadi, sederhananya begini, kita kan mengakui kalau Barat itu maju. Berarti apa? loh kalau kita ingin maju yo Harusnya kita meniru yang dilakukan oleh peradaban yang kita sebut maju. Jadi logika sederhananya begitu.
[00:32:11,240]
Jadi beliau ingin benchmarknya kalau bahasa di kampus ya, tiruannya itu barat yang ditiru yang diikuti itu barat, kenapa? sudah terbukti. Jadi khususnya apa dalam hal yang Indonesia saat itu belum punya, kata Sutan Takdir. Apa yang belum belum kita miliki saat itu yang pertama ilmu pengetahuan, yang ketiga kemajuan ekonomi eh yang kedua, yang ketiga teknologi.
[00:32:11,240]
Jadi kita perlu menguasai ilmu pengetahuan, ekonomi yang maju, dan teknologi yang rasional secepat-cepatnya, kata Sutan Takdir. Meskipun sampai hari ini juga rasanya masih PR ya buat kita. Baik ilmu pengetahuannya, maupun ekonominya, maupun teknologinya. Kita masih masuk negara yang ber-flower, katanya anak-anak. Iya, di WA-WA itu kan gitu. Saya kemarin bingung maksudnya "negara dasar negara berflower itu" oh maksudnya negara berkembang.
[00:32:11,240]
Jadi, oke ya jadi ini menjadikan kebudayaan Barat sebagai benchmark. Ini visi yang khas, ya tentu saja terus nanti banyak yang mengkritik tapi kita ikuti ya argumen beliau. Yo ndak sesederhana itu beliau punya argumen yang dalam. Kata beliau begini, "Indonesia di satu pihak dengan berani ini idealnya harus menjadi negara yang semodern-modernnya. tetapi meskipun dalam hal itu mempertahankan jenisnya sebagai bangsa yang secara alami menghayati estetika menjadi satu budaya yang khas dan unik, yang dalam kekhasan itu menjadi sumbangan yang amat indah pada kebudayaan umat manusia universal".
[00:32:11,240]
Jadi menurut Sultan takdir "Ayo maju seperti Barat. Modern seperti barat" Loh apa budaya kita yang unik yang khas yang estetik ditinggal? tidak. tapi jadikan itu sumbangan untuk dunia global. Jadi jadikan itu berkontribusi untuk kehidupan manusia yang universal. Tapi syaratnya modern dulu. Jadi dengan kita modern, maka budaya kita bisa dikemas secara modern dan nanti bisa menyumbangkan sesuatu untuk peradaban manusia secara lebih luas tidak hanya kita nikmati sendiri keunikan kita.
[00:32:11,240]
Jadi cita-citanya itu, yo modern semodern-modernnya sambil tetap mempertahankan identitas. Seperti saya bilang tadi, kita masih punya banyak PR, ya tadi sudah saya sebut tiga itu. Di kalimat selanjutnya beliau menyebut empat. Yang pertama tadi teknologi, yang kedua ekonomi, yang ketiga ilmu pengetahuan.
[00:32:11,240]
Satu lagi keterampilan berorganisasi. Jadi keterampilan mengatur diri, menata diri, ada leader yang bagus dan ada yang dipimpin yang juga bagus, ini PR kita ke depan, entah sampai kapan depannya, pokoknya kita harus sampai di titik sana. Jadi teknologi ekonomi keterampilan berorganisasi dan ilmu pengetahuan.
[00:32:11,240]
Nah ini bukan hal mudah, kata Sutan Takdir, yo karena corak budaya kita berbeda. Sutan Takdir pakai istilah, timur itu kecenderungannya ekspresif, sementara barat progresif. Dan yang disebut maju itu perlu progresivitas. Jadi kemajuan itu datangnya dari modern. Sementara yang sudah modern itu barat. Logika sederhananya yo Berarti kita harus mengikuti barat. Nah itu yang ada di pikirannya Sutan Takdir. Kalau budaya kita seperti banyak budaya Timur yang lain, cenderung ekspresif. Penguasanya adalah agama dan seni. Sementara budaya progresif itu penguasanya ilmu pengetahuan dan ekonomi. Jadi ndak usah kaget kalau kita orang Indonesia itu dikit-dikit agama, dikit-dikit agama, loh kita memang orang timur ekspresif, jadi emosi...apa? kepercayaan, keyakinan, itu lebih menonjol dalam hidup kita.
[00:32:11,240]
Nah kalau budaya progresif, kata Sutan Takdir, ilmu pengetahuan dan ekonomi. Baik, itu beliau punya kalimat pusatnya budaya yang lama itu di masjid, di gereja, di wihara. Sementara budaya yang baru dan modern itu pusatnya di universitas, pabrik, laboratorium, harusnya begitu, idealnya. Maka kata Sutan Takdir Indonesia harus hijrah, ini mumpung baru Muharam ya, jadi yang hijrah jangan hanya orangnya. Yuk kita sebagai bangsa hijrah dong atau nama akademikya kita bertransformasi. Ayo geser dari budaya yang ekspresif menuju budaya yang progresif.
[00:32:11,240]
Dari budaya statis yang mengutamakan pandangan kecenderungan emosional ekspresif kepada budaya maju yang progresif saintifik. Nah ini yang diinginkan, yang dicita-citakan oleh Sutan Takdir.
[00:00:00,000]
Nah ini ini debat tetap, ini tema ini sampai hari ini jadi perdebatan, benar gak sih Barat itu progresif saja? dan dia ndak peduli agama? ndak peduli yang lain-lain? ataukah Timur itu memang sepenuhnya begitu. Sampai hari ini debatnya masih panjang, bahkan hari ini juga muncul pertanyaan Barat itu yang mana, Timur itu yang mana. Tapi untuk sementara kita pahami ini dulu ya konteksnya pikirannya Sutan Takdir dulu.
[00:00:00,000]
Yuk kita lanjut. Nah ini kritik beliau cirinya budaya Indonesia. Nah ini ndak boleh tersinggung ya, wong ini pendapat kan boleh saja. Jadi beliau melihat yang pertama apa? Masyarakat kita itu kuat sekali kepercayaannya terhadap mitos, roh-roh, benda-benda gaib, yang mistik-mistik, hobi wis pokoke kita. Kalau ndak percaya, kamu cek ya, film-film dengan penonton terbanyak di Indonesia kui mesti film horor. Jadi film hantu-hantuan. Mungkin kamu nyoba film-film apa, laga kah? atau film-film sains opo-opo mungkin gak ada yang percaya, gak ada yang nonton. Tapi begitu film-film hantu-hantuan Itu laris. Itu pintar sutradaranya, pintar produsernya, ngerti, masyarakat kita itu senang dengan tema-tema begitu. Tema-tema dukun, kesaktian ya kan, io yang kemarin rameai itu ya viral itu.
Kamu kan heran Oh kok bisa ya? Kok laris? ya Kok laku ya? kok anu lah Lah Yo masyarakat kita ini sudah dikritik oleh Sultan takdir sejak tahun 1935, sekarang 2022, ternyata ya gak jauh-jauh amat kita, masih begitu-begitu saja. jadi kepercayaan kita masih seputar itu. mitos, roh-roh gitu kan tadi jendelon nafrak duak, itu jangan-jangan ada yang mikir ini penunggunya jangan-jangan mungkin ada yang mikir begitu Wah ini yang menunggu ndak rela Ini mesti kita temanya kayak gini ini misalnya.
[00:00:00,000]
nah jadi kritik pertama, yang kedua, ini juga dikritik, berkuasanya nilai solidaritas. Loh Pak soliderkan bagus? Iya. tapi di Indonesia sering sampai pada titik Bener salah sing penting kelompokku, sing penting kancaku, yang penting grupku, ckelkuah, jadi Solider. kita kan ada di suporter sepak bola yang sama, maka melakukan Apun ayo. Itu Solider
[00:48:49,240]
Kita kuat sekali di situ. Kita di partai yang sama, kita di lembaga yang sama, kita harus dituntut untuk solider, benar salah kalau itu kelompokku grupku aliranku yo harus aku bela, ini sering. Bukan berarti solider itu jelek, tapi kalau sampai di titik itu, yo masalah. Tapi kita ndak sadar bahwa itu sering jadi masalah, menghalangi kita untuk maju.
Jadi budaya yang jenisnya fanatik, tidak peduli fakta, tidak peduli benar salahnya yang mana, yang penting kelompokku, yang penting grupku, yang penting aliranku, circle-ku, besti-ku. Loh, ya kan? kamu hari ini kan itu terus dibelo mati-matian. Nah oke itu ciri kedua.
[00:00:00,000]
Ciri ketiga, kuat sekali perhatiannya pada hubungan darah. Kalau ini ya lanjutannya. Saudaraku, temanku, yang penting kita jangan pisah ya, yang penting kita, sampai di masyarakat Jawa ada peribahasa "mangan ora mangan sing penting kumpul". Jadi sudah...kita ngumpul saja, rukun yang enak, Fokusnya ke sini bukan berarti ini salah, tapi dalam kondisi tertentu seperti di barat modern ya perlu titik-titik profesional. Misalnya, harusnya profesional kerja, tapi "Lah ini yang ngelamar saudaraku e, lah ini yang ngajukin lamaran masih famili e". Kalau daftar, terus kita titip "Ada kenalan gak? ada saudara gak di sana?" itu alamat kan? kita masih punya logika "punya kenal orang dalam gak?" jadi hubungan darah itu jaminan kesuksesan, banyak kalau hari ini, ya kan? Yo nasibmu, kamu ndak punya saudara yang orang-orang besar.
[00:00:00,000]
Nah, di kita begitu. Saya ndak... Yo kamu sekarang ketawa, saya ndak jamin besok kalau kamu jadi punya posisi pejabat apa, terus anakmu, atau saudaramu, atau ponakanmu ngelamar di perusahaanmu saingannya banyak. Berani ndak? kamu ndak nerimo yang ada hubungan darah tapi menerima yang lebih profesional? Oh...kamu bisa dimusuhi sak keluarga besarmu, iya kan? kamu kalau pulang dimarah-marahi, mesti kan? "sedulure dewe ora di..." khas itu, gaya Indonesia sudah. Jadi ini masih PR, kita di situ.
[00:00:00,000]
Kemudian, ini bukan saya ya, Sutan Takdir. Kuatnya kedudukan agama. Bukan berarti agama itu jelek, tapi sering kali...ini persis seperti yang dikritikkan oleh Karl Max, membuat kita terninabobokkan. Jadi ndak aktif, ndak kreatif. Apa-apa ditarik ke agama. Misalnya kita sedang sedang sulit, kita sedang dizalimi, dijajah, "Sudahlah Pak, hidup ini kan sudah digariskan oleh Allah. Jangan kemerungsung, jangan marah-marah, kalau takdirnya menang besok, kita tetap menang kok", ya kan?.
[00:00:00,000]
Apa-apa dibawa ke sana. Bukan berarti salah ya, memang kita punya Tuhan, kita percaya Tuhan, tapi kan kita juga punya peran amanat sebagai khalifahnya. Jadi melupakan sisi kekhalifahan ini, lebih fokus pada sisi penghambaannya. Jadi sisi abid, ibadahnya. Yo kita ini abid, tapi juga khalifahnya. Bukan berarti kembali ke agama itu salah, cuma, ada porsi dan proporsinya. Nanti harusnya digarap secara profesional.
[00:00:00,000]
"Sudahlah, gak usah kita serius-serius, capek-capek. Kita berdoa saja bareng-bareng. Semoga kerjaan kita ini selesai", misalnya, ndak nyambung. "Toh kita capek-capek kayak apa, kalau nak diridai Allah juga ndak sukses kok". Ah ini berat kalau cara berpikirnya begini. Kadang-kadang, terus, misalnya, berjuang pun ndak berhitungan. "Sudahlah, kita yang penting maju saja, kalah juga nanti masuk surga, nanti..." Ndak, yo perhitungan dong.
[00:00:00,000]
Jadi ini yang hal-hal yang membuat kita jadi gak rasional. Padahal Al-qur'an kan banyak juga nyindir kita, afala ta'qilun afala tatafakarun, opo kamu ndak mikir? opo kamu ndak merenung? kok kelakuanmu kayak gitu? nanti kalau gagal Allah jadi kambing hitam, "Wah ini Allah ini ndak sayang padaku. Apa salahku?", ini disalahkan Allah.
[00:00:00,000]
Baik, nah yang terakhir kritiknya Sultan Takdir pada budaya Indonesia adalah feodalistik. Jadi feodalistik itu pokoknya...apa...patuh pada "raja-raja". Itu saya kasih tanda petik karena maksudnya atau yang diposisikan seperti raja. Jadi kalau sudah diposisikan yang terhormat, ya cirinya mungkin kalau pas pidato sambutan, "Yang saya hormati bla bla bla bla..." itu biasanya terus kita ndak berani bantah sudah, ini mental feodal.
[00:00:00,000]
Mental feodal itu, yang pertama "kepatuhan mutlak pada otoritas yang dia percaya". Yang kedua jadinya "tidak kreatif", ikut saja pada dawuhnya yang "dirajakan" dalam tanda petik. Kemudian yang ketiga yo akhirnya ndak produktif. Jadi karena apa? yo nunggu, yo kalau kebetulan rajanya bagus, ngaturnya bagus, kita produktif. Tapi kalau rajanya pasti tidak bagus "raja" dalam tanda petik ya, yo kita nanti hanya diperalat saja oleh "raja-raja" ini, dalam tanda petik. Mental kita masih sering mental feodal, mental feodal itu daya kreatifnya rendah. Kalau disuruh apa-apa sulit, disuruh kreatif sulit. Saya sering itu ada teman-teman Pak Faiz saya undang ke sini ya terus temanya apa mas? saya ikut Pak Faiz saja. Jadi sulit, disuruh milih bebas menentukan itu nak mampu. Bisanya pasrah saja pada yang dianggap otoritas. Nah, jadi dia bahkan menentukan kebutuhanku apa, itu dia juga ngak mampu. Nunggu dipilihkan. Nah ini mental-mental feudalistik. Jadi karena selama ini memang bisanya yo manut saja, ikut saja.
[00:56:49,559]
Baik, jadi ini ciri-ciri budaya Indonesia yang dikritikkan oleh Sultan Takdir dulu tahun 1935. Semoga sekarang sudah mulai berkurang ya. Kita ndak lagi suka mistik-mistik klenik. Kita ndak lagi fanatisme buta. Kita ndak lagi tidak profesional. Kita ndak lagi malas, tidak tangguh, apalagi ndak kreatif, feodalistik. Kalau belum, yo latihan. Kita keluar dari jeratan itu biar kita gak mbulet di situ terus. teman-teman kan sering bilang, "Pak, orang dulu itu hebat-hebat ya, Pak? pikirannya cocok terus dengan kita". Sebenarnya, mungkin bukan pikirannya cocok terus, ya kita saja ndak berubah-berubah, sejak dulu begitu terus. Jadi yo akhirnya yo cocok terus, wong kita ndak berubah-berubah. Dulu kita malas, sekarang yo malas. jadi, nasihat tahun 1800 sekian, "jangan malas" itu masih cocok buat kita sekarang, wong kita masih malas memang sampai hari ini. Bukan mereka yang futuristik, "Wah orang dulu futuristik ya, ngerti masa depan" o kamu aja ndak berubah-berubah sejak dulu. Jadi ini ciri budaya kita, dulu.
[00:58:18,280]
Baik, kita lanjutkan, ini. Nah ini menarik, beliau menyebut "Kita sering terlena oleh kejayaan masa lalu, masa silam, seolah-olah itu saja cukup", kata beliau menarik, beliau punya kalimat begini, "Adalah salah yang dikatakan pameo bahwa bangsa yang pernah menghasilkan Borobudur akan dengan sendirinya sanggup menciptakan apa saja", itu adalah satu kebanggaan bahkan kesombongan yang sangat berlebihan. Pameo tersebut harusnya ditulis kembali dengan sedikit rendah hati dan berbunyi "Bangsa yang pernah menghasilkan Borobudur mungkin sekali dapat menghasilkan Borobudur-borobudur yang baru, selama bangsa itu bersedia membuka diri bagi ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru, dengan keyakinan bahwa setiap langkah harus lebih baik dari langkah sebelumnya".
[00:59:35,559]
Jadi kita yang selama ini kan sering membanggakan masa lalu "Wah kita itu bangsa besar loh, kita menciptakan Borobudur, Prambanan, kita banyak sekali peninggalan nenek moyang kita yang luar biasa" ya, nenek moyang kita hebat, lah terus kita gimana? karya kita apa? tinggalan kita apa? jangan-jangan sampai nanti keturunan anak kita kesekian, generasi kesekian, yang dibanggakan tetap masih Borobudur. Kita sudah sekian generasi kebanggaannya masih Borobudur juga. Lho, kapan kita bisa menciptakan karya semonumental setara Borobudur sehingga anak cucu kita mungkin generasi kesekian. Nanti yang dibanggakan gak hanya Borobudur. jadi dia bisa "Oh ini kalau generasi sekian Borobudur ini, generasi sekian perambanan, generasi sekian..." Nah maka tinggalan kita terus apa yang membanggakan dari generasi ke generasi? jadi ndak Salah Kita membanggakan masa silam, tapi harusnya kebesaran masa silam itu jadi jalan kita untuk membentuk kebesaran yang sama di era kita. Kalau versinya Sutan Takdir, "kebesaran zaman ini itu ya kita mengikuti pertumbuhan sains dan teknologi".
[01:01:17,480]
Jadi, harusnya kita hari ini penguasanya sains dan teknologi, harusnya begitu. Karena yang monumental zaman ini kan begitu. Jangan-jangan besok Yo kita ndak bisa bangga. Yang bangga mungkin orang Korea "Wah Kitalah yang menciptakan Samsung, dulu". Nanti yang Amerika "Kita yang menciptakan iPhone, dulu". Ini sekarang ada museum smartphone misalnya. Nah mereka bangga. saya nak tahu kalau zaman kita ini memasukkan itu di museum itu apa? karya kita hari ini di museum, itu. Kalau bangsa Indonesia kalau hari ini kan terkenal misalnya cerewetnya di medsos misalnya, aa itu mungkin kita bisa itu, contohnya obrolan bangsa Indonesia tahun 2002 kayak gini tahun mungkin itu.
[01:02:07,960]
Nah jadi...yuk, kejayaan masa silam oke, kita banggakan, tapi tentu saja tidak berhenti di kebanggaan saja. Kita harusnya menghidupkan lagi semangat berkaryanya. Jadi, sebenarnya mengikuti Barat itu bukan kok menjiplak barat, tapi etos dinamis progresif barat, itulah yang diambil. Jadi sambil...tetap identitas kebangsaan identitas religius, monggo saja. Tapi etos ini loh, untuk maju yang kita sangat kurang, kata Sutan Takdir.
[01:02:54,079]
Lanjut, nah sekarang kita lihat, kenapa sih kok barat? Ini kita baca ya, ndak boleh tersinggung. Ini memang, beliau penggemar barat. Kata Sutan Takdir begini, ini yang pertama, "Sejak Vasco da Gama, manusia baru renaisan Eropa mengelilingi Afrika dan mendarat di Kalikut, terbukalah bagi seluruh Asia, satu sejarah baru, dalam abad-abad berikutnya, berduyun-duyun pelayar dan sodagar. Penjajah dan misi Eropa mengunjungi dan menjajah Asia dan lambat laun menguasainya. Mulailah sejarah imperialisme yang dalam banyak hal sangat menyedihkan. Bertubi-tubi datang penyerbuan manusia modern Eropa pada kerajaan-kerajaan Asia. Banyak yang dapat ditaklukkannya dan dijadikan jajahannya. Tetapi yang tidak bisa ditaklukkannya pun tidak dapat mengelak dari pengaruh kebudayaan modern Eropa itu. Namun bagi Indonesia zaman ini adalah zaman kegelapan, zaman kalah terus-menerus.