Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Pembukaan[sunting sumber]
Nomor {{{nomor}}} Tahun {{{tahun}}}
TENTANG
{{{tentang}}}
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
{{{pejabat}}},
Konsideran[sunting sumber]
Menimbang: |
a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan;
c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
|
Dasar Hukum[sunting sumber]
Mengingat: | Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
BAB I KETENTUAN UMUM[sunting | sunting sumber]
Pasal 1[sunting | sunting sumber]
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang- undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang- undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
13. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 2[sunting | sunting sumber]
Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.
Pasal 3[sunting | sunting sumber]
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(3) Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.
Pasal 4[sunting | sunting sumber]
Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
BAB II ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN[sunting | sunting sumber]
Pasal 5[sunting | sunting sumber]
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Pasal 6[sunting | sunting sumber]
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
BAB III JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN[sunting | sunting sumber]
Pasal 7[sunting | sunting sumber]
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8[sunting | sunting sumber]
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Pasal 9[sunting | sunting sumber]
(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pasal 10[sunting | sunting sumber]
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Pasal 11[sunting | sunting sumber]
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Pasal 12[sunting | sunting sumber]
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Pasal 13[sunting | sunting sumber]
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pasal 14[sunting | sunting sumber]
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi.
Pasal 15[sunting | sunting sumber]
(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
BAB IV PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN[sunting | sunting sumber]
Bagian Kesatu
Perencanaan Undang-Undang
Pasal 16[sunting | sunting sumber]
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas.
Pasal 17[sunting | sunting sumber]
Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
Pasal 18[sunting | sunting sumber]
Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang- Undang didasarkan atas:
a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. perintah Undang-Undang lainnya;
d. sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f. rencana pembangunan jangka menengah;
g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;
h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Pasal 19[sunting | sunting sumber]
(1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
(2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. jangkauan dan arah pengaturan.
(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
Pasal 20[sunting | sunting sumber]
(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan
Pemerintah.
(2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.
(3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.
(5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 21[sunting | sunting sumber]
(1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.
(4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR.
Pasal 21[sunting sumber]
6
Pasal 22
(1) Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.
(2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan DPR.
Pasal 23[sunting | sunting sumber]
(1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan
e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar
Prolegnas mencakup:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Bagian Kedua
Perencanaan Peraturan Pemerintah
Pasal 24[sunting | sunting sumber]
Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25[sunting | sunting sumber]
(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang- Undang sebagaimana mestinya.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Pasal 26[sunting | sunting sumber]
(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 27[sunting | sunting sumber]
Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 28[sunting | sunting sumber]
(1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah.
(2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung.
Pasal 29[sunting | sunting sumber]
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Perencanaan Peraturan Presiden
Pasal 30[sunting | sunting sumber]
Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden.
Pasal 31[sunting | sunting sumber]
Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 32[sunting | sunting sumber]
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi.
Pasal 33[sunting | sunting sumber]
(1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
(2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi:
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.
Pasal 34[sunting | sunting sumber]
(1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh
DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi.
(3) Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
Pasal 35[sunting | sunting sumber]
Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas:
a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;
b. rencana pembangunan daerah;
c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d. aspirasi masyarakat daerah.
Pasal 36[sunting | sunting sumber]
(1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 37[sunting | sunting sumber]
(1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan
dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.
Pasal 38[sunting | sunting sumber]
(1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi.
(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.
Bagian Kelima
Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 39[sunting | sunting sumber]
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota.
Pasal 40[sunting | sunting sumber]
Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 41[sunting | sunting sumber]
Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.
Bagian Keenam
Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya
Pasal 42[sunting | sunting sumber]
(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Perundang- undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
BAB V PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN[sunting | sunting sumber]
Penyusunan Undang-Undang
Pasal 43[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR
atau Presiden.
(2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.
(3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau
c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disertai dengan keterangan yang
memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
Pasal 44[sunting | sunting sumber]
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 45[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang- Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.
(2) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan:
a. otonomi daerah;
b. hubungan pusat dan daerah;
c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pasal 46[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR.
Pasal 47[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
(2) Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
(3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 48
(1) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik.
(2) Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang.
(3) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang.
(4) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.
Pasal 49[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.
(2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 50[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.
(2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR.
(3) DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
(4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang- Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
Pasal 51[sunting | sunting sumber]
Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
Pasal 52[sunting | sunting sumber]
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 53[sunting | sunting sumber]
Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.
Penyusunan Peraturan Pemerintah
Pasal 54[sunting | sunting sumber]
(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Penyusunan Peraturan Presiden
Pasal 55[sunting | sunting sumber]
(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.
Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 56
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur.
(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
(3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi;
b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi,
disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
Pasal 57[sunting | sunting sumber]
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
Pasal 58[sunting | sunting sumber]
(1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 59[sunting | sunting sumber]
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 60[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.
Pasal 61[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur.
(2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi.
Pasal 62[sunting | sunting sumber]
Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 63[sunting | sunting sumber]
Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BAB VI TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN[sunting | sunting sumber]
Pasal 64[sunting | sunting sumber]
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang- undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pasal 65[sunting | sunting sumber]
(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan:
c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.
(4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang- Undang yang dibahas.
(5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pasal 66[sunting | sunting sumber]
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
Pasal 67[sunting | sunting sumber]
Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 terdiri atas:
a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan
b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
Pasal 68[sunting | sunting sumber]
(1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. pengantar musyawarah;
b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini.
(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR;
b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR;
c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari Presiden; atau
d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden.
(3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau
b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2).
(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh:
a. fraksi;
b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan
c. Presiden.
(5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.
(6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
Pasal 69[sunting | sunting sumber]
(1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap- tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Pasal 70[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden.
(2) Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR.
Pasal 71[sunting | sunting sumber]
(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.
(3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan
c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Pasal 72[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
(2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Pasal 73[sunting | sunting sumber]
(1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
(2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 74[sunting | sunting sumber]
(1) Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang- Undang tersebut.
(2) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang- Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VIII PEMBAHASAN DAN PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA[sunting | sunting sumber]
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 75[sunting | sunting sumber]
(1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.
(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Pasal 76
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur.
- 40 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 77
Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 78
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi.
(2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Pasal 79 . . .
- 41 -
Pasal 79
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
(2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah.
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
Pasal 80
Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BAB IX . . .
- 42 -
BAB IX PENGUNDANGAN
Pasal 81
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang- undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
c. Berita Negara Republik Indonesia;
d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
e. Lembaran Daerah;
f. Tambahan Lembaran Daerah; atau g. Berita Daerah.
Pasal 82
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi:
a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Presiden; dan
d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 83
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang-undangan yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 84 . . .
- 43 -
Pasal 84
(1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 85
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 86
(1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah.
(3) Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Pasal 87 . . .
- 44 -
Pasal 87
Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
BAB X PENYEBARLUASAN
Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang, dan Undang-Undang
Pasal 88
(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang- Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang.
(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.
Pasal 89
(1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyebarluasan . . .
- 45 -
(2) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.
Pasal 90
(1) Penyebarluasan Undang-Undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah.
(2) Penyebarluasan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pasal 91
(1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan terjemahan resmi.
- 46 -
Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 92
(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah.
(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.
Pasal 93
(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD.
(3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Pasal 94 . . .
- 47 -
Pasal 94
Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Naskah yang Disebarluaskan
Pasal 95
Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.
BAB XI PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 96
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar . . .
- 48 -
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 97
Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.
Pasal 98 . . .
- 49 -
Pasal 98
(1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang- undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 99
Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 100
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang ini.
Pasal 101 . . .
- 50 -
Pasal 101
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 102
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 103
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 104
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 51 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd. PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 82
PENJELASAN ATAS
I. UMUM
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang- undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja Undang- Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan
suatu kepastian hukum;
b. teknik . . .
b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan; dan
d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini, yaitu antara lain:
a. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;
d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang- undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.
Secara umum Undang-Undang ini memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang- undangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten . . .
Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan Perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.
Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan beserta contohnya yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan Peraturan Perundang- undangan, termasuk Peraturan Perundang-undangan di daerah.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas. Pasal 2
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan . . .
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hukum dasar adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c . . .
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar- benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang- undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan asas pengayoman adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
Yang dimaksud dengan asas kemanusiaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Yang dimaksud dengan asas kebangsaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan asas kekeluargaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Yang dimaksud dengan asas kenusantaraan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Huruf f . . .
Yang dimaksud dengan asas bhinneka tunggal ika adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Huruf i
Yang dimaksud dengan asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Huruf j
Yang dimaksud dengan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2) . . .
Yang dimaksud dengan asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di
Provinsi Aceh.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Yang dimaksud dengan Peraturan Menteri adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Yang dimaksud dengan berdasarkan kewenangan adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Huruf b . . .
Yang dimaksud dengan perjanjian internasional tertentu adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Yang dimaksud dengan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
Yang dimaksud dengan menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan.
Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
Yang dimaksud dengan sistem hukum nasional adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Yang dimaksud dengan Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus
2003.
Ayat (3) . . .
Yang dimaksud dengan pengkajian dan penyelarasan adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ayat (5)
Ayat (6)
Pasal 23 . . .
Cukup jelas. Pasal 27
Pasal 28 . . .
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Daerah Provinsi tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
Pasal 35 . . .
Yang dimaksud dengan instansi vertikal terkait antara lain instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 42 . . .
Penugasan menteri disertai penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah disusun dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut.
Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut, DPR telah menyelesaikan penyusunan DIM.
Yang dimaksud dengan persidangan yang berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.
Ayat (7)
Ayat (8)
Pasal 53 . . .
Pasal 64 . . .
Pasal 64
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme penarikan kembali Rancangan Undang-Undang.
Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di DPRD Provinsi, Gubernur dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan.
Pasal 78 . . .
Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya.
Berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang tidak sama dengan tanggal Pengundangan dimungkinkan untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang- undangan tersebut.
Yang dimaksud dengan penyebarluasan adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan Undang-Undang yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Undang- Undang tersebut atau memahami Undang-Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak.
Yang dimaksud dengan penyebarluasan adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang sedang
disusun . . .
disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Peraturan Daerah tersebut atau memahami Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak.
Termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.
Yang dimaksud dengan Perancang Peraturan Perundang- undangan adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5234
LAMPIRAN I
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG- UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
1. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
2. Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut: JUDUL
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
BAB VI PENUTUP
DAFTAR . . .
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Uraian singkat setiap bagian:
1. BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian.
A. Latar Belakang
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi.
2) Mengapa . . .
2) Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut.
3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.
2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah.
D.Metode . . .
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang- undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti.
2. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: A. Kajian teoretis.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma.
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil
penelitian.
C. Kajian . . .
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
3. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT
Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang- undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang- Undang atau Peraturan Daerah yang baru.
Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.
4. BAB IV . . .
4. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
5. BAB V . . .
5. BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup:
A. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa;
B. materi yang akan diatur; C. ketentuan sanksi; dan
D. ketentuan peralihan.
6. BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori,
dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundang- undangan di bawahnya.
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan
Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam
Program Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah.
3. Kegiatan . . .
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.
7. DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang- undangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.
8. LAMPIRAN
RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
LAMPIRAN II
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SISTEMATIKA
BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (jika diperlukan) F. LAMPIRAN (jika diperlukan)
BAB II . . .
BAB II HALHAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN B. PENYIDIKAN
C. PENCABUTAN
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG MENJADI UNDANGUNDANG
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN A. BAHASA PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH C. TEKNIK PENGACUAN
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA
B. BENTUK RANCANGAN UNDANGUNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANGUNDANG
C. BENTUK RANCANGAN UNDANGUNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
D. BENTUK RANCANGAN UNDANGUNDANG PERUBAHAN UNDANGUNDANG
E. BENTUK RANCANGAN UNDANGUNDANG PENCABUTAN UNDANGUNDANG
F. BENTUK RANCANGAN UNDANGUNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG
G. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
H. BENTUK . . .
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI
K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
BAB I . . .
BAB I
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Kerangka Peraturan Perundangundangan terdiri atas: A. Judul;
B. Pembukaan;
C. Batang Tubuh; D. Penutup;
E. Penjelasan (jika diperlukan); F. Lampiran (jika diperlukan).
A. JUDUL
2. Judul Peraturan Perundangundangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundangundangan.
3. Nama Peraturan Perundangundangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang undangan.
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan 1 (satu) kata:
- Paten;
- Yayasan;
- Ketenagalistrikan.
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan frasa:
- Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
- Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
- Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
4. Judul . . .
4. Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011
TENTANG KEIMIGRASIAN
b. PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 8 TAHUN 2007
TENTANG KETERTIBAN UMUM
c. QANUN KABUPATEN ACEH JAYA NOMOR 2 TAHUN 2010
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
d. PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 5 TAHUN 2010
KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA MAJELIS RAKYAT PAPUA
e. PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008
HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH
5. Judul . . .
5. Judul Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah dengan singkatan atau akronim.
Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan:
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
b. PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 9 TAHUN 2005
LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK) Contoh yang tidak tepat dengan menggunakan akronim:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ...
NOMOR ... TAHUN ...
PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA)
6. Pada nama Peraturan Perundangundangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN
2008 TENTANG PARTAI POLITIK
b. PERATURAN . . .
b. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 14 TAHUN 2009
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
7. Jika Peraturan Perundangundangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan,
tanpa merinci perubahan sebelumnya.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Contoh Peraturan Daerah:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA NOMOR 3 TAHUN 2011
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH
NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
8. Jika Peraturan Perundangundangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundangundangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundangundangan yang diubah.
9. Pada . . .
9. Pada nama Peraturan Perundangundangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan judul Peraturan Perundang
undangan yang dicabut.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2010
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2010
PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI IZIN
TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN DARATAN LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA
10. Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) yang ditetapkan menjadi UndangUndang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundangundangan yang
ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang.
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANGUNDANG
11. Pada . . .
11. Pada nama Peraturan Perundangundangan pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan.
UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR SECURITY COOPERATION)
12. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Indonesia, yang diikuti oleh bahasa asing dari teks resmi yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA,
2009
(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING DELIMITATION OF THE TERRITORIAL SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009)
13. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh: . . .
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSABANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)
14. Pembukaan Peraturan Perundangundangan terdiri atas:
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
b. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
c. Konsiderans;
d. Dasar Hukum; dan e. Diktum.
B.1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
15. Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundangundangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundangundangan dicantumkan Frasa Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
16. Jabatan pembentuk Peraturan Perundangundangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin
dan diakhiri dengan tanda baca koma.
Contoh jabatan pembentuk Undang-Undang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Contoh . . .
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Provinsi: GUBERNUR JAWA BARAT,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten: BUPATI GUNUNG KIDUL,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota: WALIKOTA DUMAI,
B.3. Konsiderans
17. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
18. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundangundangan.
19. Pokok pikiran pada konsiderans UndangUndang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
- Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
- Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif;
c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4
Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah
Menimbang: a. bahwa derajat kesehatan masyarakat yang semakin tinggi merupakan investasi strategis pada sumber daya manusia supaya semakin produktif dari waktu ke waktu;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan dengan batas-batas peran, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan yang jelas, akuntabel, berkeadilan, merata, bermutu, berhasil guna dan berdaya guna;
c. bahwa untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam pembangunan kesehatan, maka diperlukan pengaturan tentang tatanan penyelenggaraan pembangunan kesehatan;
20. Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang- undangan dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya Peraturan Perundangundangan tersebut. Lihat juga Nomor 24.
21. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, setiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
22. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Menimbang: a. bahwa ...; b. bahwa ...; c. bahwa ...; d. bahwa ...;
23. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut:
Contoh 1: Konsiderans Undang-Undang
Menimbang: a. bahwa...; b. bahwa ...; c. bahwa ...;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang ...;
Contoh 2: Konsiderans Peraturan Daerah Provinsi
Menimbang: a. bahwa ...; b. bahwa ...; c. bahwa ...;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang ...;
24. Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang- Undang yang memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang Undang yang memerintahkan pembentukannya. Lihat juga Nomor
19.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.
Menimbang: bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 93, Pasal 101, Pasal 102 ayat (3), Pasal 133 ayat (5) dan Pasal 136 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;
25. Konsiderans Peraturan Presiden cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari UndangUndang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari UndangUndang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya.
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah.
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah;
26. Konsiderans . . .
26. Konsiderans Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Presiden.
27. Konsiderans Peraturan Daerah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari UndangUndang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari UndangUndang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya.
Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 8 Tahun 2010 tentang Hutan Kota
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Hutan Kota;
B.4. Dasar Hukum
28. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat:
a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang- undangan; dan
b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
29. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR adalah Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
30. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari
Presiden adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
31. Dasar . . .
31. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR atas usul DPD adalah Pasal 20 dan Pasal 22D ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
32. Jika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memerintahkan langsung untuk membentuk Undang-Undang, pasal yang memerintahkan dicantumkan dalam dasar hukum.
Mengingat: Pasal 15, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
33. Jika materi yang diatur dalam Undang-Undang yang akan dibentuk merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal tersebut dicantumkan sebagai dasar hukum.
Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR):
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Contoh 2 (RUU yang berasal dari Presiden):
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal
28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian.
34. Dasar . . .
34. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
35. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang- Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
36. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
38. Dasar hukum pembentukan Peraturan Presiden adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
39. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang- Undang tentang Pemerintahan Daerah.
40. Jika terdapat Peraturan Perundangundangan di bawah Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan secara langsung pembentukan Peraturan Perundangundangan, Peraturan Perundangundangan tersebut dimuat di dalam dasar hukum.
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang . . .
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
Contoh ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
41. Peraturan Perundangundangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundangundangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
42. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, Peraturan Perundang undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan dalam dasar hukum.
43. Jika jumlah Peraturan Perundangundangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundangundangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
44. Dasar hukum yang diambil dari pasal atau beberapa pasal dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal. Frasa UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
45. Dasar . . .
45. Dasar hukum yang bukan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan jenis dan nama Peraturan Perundang undangan tanpa mencantumkan frasa Republik Indonesia.
46. Penulisan jenis Peraturan Perundangundangan dan rancangan
Peraturan Perundangundangan, diawali dengan huruf kapital.
Contoh : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
47. Penulisan UndangUndang dan Peraturan Pemerintah, dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh : Mengingat: 1. ...;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216);
48. Penulisan Peraturan Presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dan Peraturan Presiden tentang pernyataan keadaan bahaya dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
49. Penulisan . . .
49. Penulisan Peraturan Daerah dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Tambahan Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 3 Tahun 2010 tentang Susunan dan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Aceh Jaya (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2010 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2)
50. Dasar hukum yang berasal dari Peraturan Perundangundangan zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung.
2. Kitab UndangUndang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel, Staatsblad 1847: 23 );
51. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam nomor berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundangundangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
52. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
2. ...;
3. ...;
B.5. Diktum . . .
B.5. Diktum
53. Diktum terdiri atas:
a. kata Memutuskan;
b. kata Menetapkan; dan
c. jenis dan nama Peraturan Perundang-undangan.
54. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
55. Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin.
Contoh Undang-Undang:
56. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ... (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.
Peraturan Daerah
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT
GUBERNUR JAWA BARAT MEMUTUSKAN:
57. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
58. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang- undangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
dan diakhiri dengan tanda baca titik.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANGUNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
59. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi, Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN.
60. Pembukaan Peraturan Perundangundangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, antara lain Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Dewan Perwakilan Daerah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang-Undang.
61. Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal.
62. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
a. ketentuan umum;
b. materi pokok yang diatur;
c. ketentuan pidana (jika diperlukan);
d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan e. ketentuan penutup.
63. Pengelompokan materi muatan dirumuskan secara lengkap sesuai dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat materi muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan lain-lain.
64. Substansi . . .
64. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
65. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
66. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian.
67. Pengelompokkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
68. Jika Peraturan Perundangan-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.
69. Pengelompokkan materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.
70. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:
a. bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf;
b. bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf;
atau
c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa pasal.
71. Buku . . .
71. Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang
seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
BUKU KETIGA PERIKATAN
72. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang
BAB I KETENTUAN UMUM
73. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.
74. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang
tidak terletak pada awal frasa.
Susunan dan Kedudukan
75. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.
76. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak
terletak pada awal frasa.
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
77. Pasal . . .
77. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang- undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas.
78. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi muatan yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
79. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis dengan huruf kapital.
80. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan
huruf kapital.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
81. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
82. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik.
83. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
84. Huruf . . .
84. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
(1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk
1 (satu) kelas barang.
(2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
85. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, selain dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, juga dapat dirumuskan dalam bentuk tabulasi.
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut:
Contoh rumusan tabulasi:
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi:
a. Presiden;
b. Wakil Presiden; dan
c. pejabat negara yang lain,
yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
86. Penulisan . . .
86. Penulisan bilangan dalam pasal atau ayat selain menggunakan angka Arab diikuti dengan kata atau frasa yang ditulis diantara tanda baca kurung.
87. Jika merumuskan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi, memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frasa pembuka;
b. setiap rincian menggunakan huruf abjad kecil dan diberi tanda baca titik;
c. setiap frasa dalam rincian diawali dengan huruf kecil;
d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;
e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam;
f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua;
g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan huruf abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; dan
h. pembagian rincian tidak melebihi 4 (empat) tingkat. Jika rincian melebihi 4 (empat) tingkat, pasal yang bersangkutan dibagi ke dalam pasal atau ayat lain.
88. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
89. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
90. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
91. Kata . . .
91. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
92. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya.
(1) ... . (2) ...:
a. ...;
b. ...; (dan, atau, dan/atau)
c. ... .
93. Jika suatu rincian memerlukan rincian lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
c. ...:
1. ...;
2. ...; (dan, atau, dan/atau)
3. ... .
94. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya.
(1) ... . (2) ... .
c. ...: . . .
3. ...:
a) ...;
b) ...; (dan, atau, dan/atau)
c) ... .
95. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya.
... .
1) ...;
2) ...; (dan, atau, dan/atau)
3) ... .
C.1. Ketentuan Umum
96. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal.
97. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
98. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Contoh batasan pengertian:
1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika.
Contoh definisi:
1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
2. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh singkatan:
1. Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di lingkungan Pemerintah Kota Dumai.
Contoh akronim:
1. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disebut Askes adalah...
2. Orang dengan HIV/AIDS yang selanjutnya disebut ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belum ada gejala maupun yang sudah ada gejala.
99. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi: Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
100. Frasa pembuka dalam ketentuan umum peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
101. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
102. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya.
103. Apabila . . .
103. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.
104. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang- undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundang- undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.
Contoh 1:
a. Hari adalah hari kalender (rumusan ini terdapat dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
b. Hari adalah hari kerja (rumusan ini terdapat dalam Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Contoh 2:
a. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
b. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman).
105. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.
106. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
107. Karena . . .
107. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
108. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran.
109. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
C.2. Materi Pokok yang Diatur
110. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum.
111. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
1. kejahatan terhadap keamanan negara;
2. kejahatan terhadap martabat Presiden;
3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
4. kejahatan . . .
4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
5. kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa
Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda. C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
112. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.
113. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang- Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
114. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
115. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.
116. Jika . . .
116. Jika di dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan penutup.
117. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang, Peraturan
Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
118. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari:
a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perundang- undangan lain. Lihat juga Nomor 98;
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan
Tindak pidana di bidang Adminstrasi Kependudukan yang dilakukan oleh penduduk, petugas, dan Badan Hukum diancam dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
b. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau
c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam norma-norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal sebelumnya, kecuali untuk undang-undang mengenai tindak pidana khusus.
119. Jika . . .
119. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan
pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang.
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
120. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Pajak Hiburan
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang.
121. Sehubungan . . .
121. Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai
pelanggaran atau kejahatan.
BAB V KETENTUAN PIDANA
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ..., dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... atau pidana denda paling banyak Rp...,00
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
122. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif.
a. Sifat kumulatif: Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
b. Sifat alternatif: Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
c. Sifat . . .
c. Sifat kumulatif alternatif: Contoh:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
123. Perumusan dalam ketentuan pidana harus menunjukkan dengan jelas unsur-unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif.
124. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya.
125. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
126. Tindak . . .
126. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
a. badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi; dan/atau
b. pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
127. Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Perjanjian Internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar
Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin.
Contoh 3:
Peraturan Daerah Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Kesehatan Hewan
Orang atau Badan yang telah memiliki izin usaha pemeliharaan kesehatan hewan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini.
128. Ketentuan Peralihan dimuat dalam Bab Ketentuan Peralihan dan ditempatkan di antara Bab Ketentuan Pidana dan Bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab, pasal atau beberapa pasal yang memuat Ketentuan Peralihan ditempatkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang memuat ketentuan penutup.
129. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru, dapat dimuat ketentuan mengenai penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah
Pasal 44 . . .
(1) ... .
(2) Sebelum RPJMD ditetapkan, penyusunan RKPD berpedoman kepada RPJMD periode sebelumnya.
130. Penyimpangan sementara terhadap ketentuan Peraturan Perundang- undangan berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan.
131. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundang-undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya.
Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
132. Mengingat berlakunya asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut tidak diberlakukan bagi Ketentuan Pidana.
133. Penentuan daya laku surut tidak dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau retribusi.
134. Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan Perundang-undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum atau hubungan hukum yang dimaksud, serta jangka waktu atau persyaratan berakhirnya penundaan sementara tersebut.
Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor ... Tahun ... tentang... masih tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
135. Rumusan dalam Ketentuan Peralihan tidak memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan Perundang- undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang- undangan perubahan.
Contoh rumusan yang memuat perubahan terselubung: Pasal 35
(1) Desa atau yang disebut nama lainnya yang setingkat dengan desa
yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan sebagai desa menurut Pasal 1 huruf a.
C.5. Ketentuan Penutup
136. Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal atau beberapa pasal terakhir.
137. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan
b. nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
138. Penunjukan . . .
138. Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan bersifat menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, dan mengangkat pegawai.
139. Bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;
b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
140. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan.
Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan) Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan
141. Nama Peraturan Perundang-undangan yang sudah singkat tidak perlu diberikan nama singkat.
Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang-Undang tentang Bank Sentral)
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Bank
Indonesia.
142. Sinonim tidak dapat digunakan untuk nama singkat.
(Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
Undang-Undang ini dapat disebut dengan Undang-Undang tentang
Peradilan Administrasi Negara.
143. Jika . . .
143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang lama.
144. Rumusan pencabutan Peraturan Perundang-undangan diawali dengan frasa Pada saat ...(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
145. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
146. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
147. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari
1 (satu), cara penulisan dilakukan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Ordonansi Perburuan (Jachtsordonantie 1931, Staatsblad 1931:
133);
b. Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar
(Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 134);
c. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtsordonantie Java en Madoera 1940, Staatsblad 1939: 733); dan
d. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonantie
1941, Staatsblad 1941: 167), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
148. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan disertai dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
149. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
... Tahun... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
... Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
...) ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
150. Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada saat Peraturan Perundang-undangan tersebut diundangkan.
a. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
b. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. c. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
151. Jika . . .
151. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tersebut pada saat diundangkan, hal ini dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut dengan:
a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku; Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 2011.
b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau kepada Peraturan Perundang- undangan lain yang lebih rendah jika yang diberlakukan itu bukan kodifikasi;
Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frasa setelah ... (tenggang waktu) terhitung sejak tanggal diundangkan.
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
152. Tidak menggunakan frasa ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan ketidakpastian mengenai saat berlakunya suatu Peraturan Perundang-undangan yaitu saat diundangkan atau saat berlaku efektif.
153. Pada . . .
153. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau seluruh wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
154. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang- undangan dinyatakan secara tegas dengan:
a. menetapkan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan itu
yang berbeda saat mulai berlakunya;
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal... .
b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara tertentu.
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal....
155. Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya.
156. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut:
a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu
yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan;
c. awal . . .
c. awal dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
157. Saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya.
158. Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
159. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.
160. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan yang memuat:
a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota;
b. penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan
Perundang-undangan;
c. pengundangan atau Penetapan Peraturan Perundang-undangan;
d. akhir . . .
d. akhir bagian penutup.
161. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan ... (jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
162. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan ... (jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
163. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh Peraturan Daerah Provinsi:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat.
164. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang- undangan memuat:
a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b. nama jabatan;
c. tanda tangan pejabat; dan
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai.
165. Rumusan . . .
- 52 -
165. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan.
166. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
a. untuk pengesahan: Contoh:
b. untuk penetapan: Contoh:
pada tanggal 22 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011
167. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan memuat:
a. tempat dan tanggal Pengundangan;
b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan;
c. tanda tangan; dan
168. Tempat tanggal pengundangan Peraturan Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan
atau penetapan).
169. Nama . . .
- 53 -
169. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011
tanda tangan
PATRIALIS AKBAR
170. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
171. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama antara DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
172. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah
Kabupaten/Kota.
173. Penulisan . . .
- 54 -
173. Penulisan frasa Lembaran Negara Republik Indonesia atau Lembaran
Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR...
LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ... NOMOR ...
E. PENJELASAN
174. Setiap Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan.
175. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang (selain Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat diberi penjelasan jika diperlukan.
176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
179. Naskah . . .
- 55 -
179. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan Peraturan Perundang-undangan.
180. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan yang diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf
kapital.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011
TRANSFER DANA
181. Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
182. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital.
II. PASAL DEMI PASAL
183. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan.
184. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan.
- 56 -
1. Dasar Pemikiran
...
2. Pembagian Wilayah
3. Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan
4. Daerah Otonom
5. Wilayah Administratif
6. Pengawasan
185. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.
186. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh;
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e. tidak memuat rumusan pendelegasian
187. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan.
188. Pada . . .
- 57 -
188. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frasa cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan.
Contoh yang tidak tepat:
Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) Cukup jelas.
Seharusnya: Pasal 7
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas. Pasal 9
189. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.
190. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai.
Contoh: Pasal 7
Cukup jelas. Ayat (2)
Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna hukum.
Ayat (4) . . .
- 58 -
191. Jika suatu istilah/kata/frasa dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (...) pada istilah/kata/frasa tersebut.
Contoh: Pasal 25
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. F. LAMPIRAN
192. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan.
193. Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa.
194. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dengan
menggunakan angka romawi.
Contoh: LAMPIRAN I LAMPIRAN II
195. Judul . . .
- 59 -
195. Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata
kiri.
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
196. Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca.
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
197. Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan bawah dan diakhiri dengan tanda baca koma setelah nama pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan
- 60 -
HAL-HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
198. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah.
199. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang- Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Undang-Undang.
200. Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas:
a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang-undangan.
201. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok- pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan ... .
- 61 -
Pasal ...
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan Peraturan
Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Utara Nomor 87 Tahun 2010 tentang Pajak Reklame
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah
Regional Jawa Timur
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
202. Jika pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut
mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan ... .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
203. Jika . . .
- 62 -
203. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai ...
diatur dengan ... .
(2) Ketentuan mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah.
204. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan ... .
(2) Ketentuan mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
205. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan, gunakan kalimat Ketentuan mengenai ... diatur dalam ....
(1) ... . (2) ... . (3) ... .
(4) ... . . .
- 63 -
(4) ... . (5) ... . (6) ... .
(7) Ketentuan mengenai pedoman persyaratan dan tata cara untuk mendapatkan KIPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
206. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, gunakan kalimat (jenis Peraturan Perundang- undangan) ... tentang Peraturan Pelaksanaan ...
Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung.
207. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut.
Diambil dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan
(4) ... .
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
208. Jika . . .
- 64 -
208. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan.
209. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
210. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi blangko.
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang pengaturan pelaksanaannya, diatur dengan Peraturan Bupati.
211. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
212. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.
213. Pendelegasian . . .
- 65 -
213. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan Perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat.
214. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang.
215. Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.
216. Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perundang- undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atau beberapa pasal atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya.
B. PENYIDIKAN
217. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
218. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
219. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik pegawai negeri sipil diusahakan agar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan
penyidikan.
- 66 -
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama kementerian atau instansi) dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan- ketentuan dalam Undang-Undang (Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) ini.
220. Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal atau beberapa pasal sebelum ketentuan pidana.
221. Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang-undangan baru, Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.
222. Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh Peraturan Perundang-undangan yang lama.
223. Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui
Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi.
224. Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.
225. Jika . . .
- 67 -
225. Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
226. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
227. Jika pencabutan Peraturan Perundangan-undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan tersebut pada dasarnya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya
Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan.
b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya
Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.
Pasal 1
Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
228. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas.
229. Peraturan . . .
- 68 -
229. Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
230. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan:
a. menyisip atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang- undangan; atau
b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang- undangan.
231. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap:
a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau
b. kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
232. Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
233. Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut:
a. Pasal I memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
- 69 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor ... Tahun ...
tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor
..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...)
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
2. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: ...
3. dan seterusnya ...
Ketentuan Pasal ... dalam Undang-Undang Nomor ... Tahun ...
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: ...
b. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, Pasal I memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang- undangan perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci dengan
huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya).
Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor ... Tahun ... (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor ...);
b. Nomor . . .
- 70 -
b. Nomor ... Tahun ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...);
c. Nomor ... Tahun ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...);
1. Bab V dihapus.
2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang- undangan yang diubah.
234. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.
a. Penyisipan Bab
Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu ) bab, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA
INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL
b. Penyisipan . . .
- 71 -
b. Penyisipan Pasal:
Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128A
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan.
235. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung( ).
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
(1) ... . (1a)... . (1b)... .
(2) ... .
236. Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.
1. Pasal 16 dihapus.
2. Pasal 18 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
(2) Dihapus . . .
- 72 -
(2) Dihapus. (3) ... .
Peraturan Daerah tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor
16 Tahun 2005 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi
5. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
(1) Dihapus. (2) Dihapus.
(3) Lokasi Pengujian dan Penguji ditetapkan dengan Keputusan
Kepala Dinas Perhubungan.
237. Jika suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan:
a. sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah;
b. materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c. esensinya berubah,
Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
238. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundang- undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada:
a. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir;
b. penyebutan-penyebutan; dan
c. ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama.
E. PENETAPAN . . .
- 73 -
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG
239. Batang tubuh Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi Undang- Undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 1 memuat Penetapan Perpu menjadi Undang-Undang yang diikuti dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Undang-Undang penetapan tersebut.
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
240. Batang tubuh Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah asli dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
b. Pasal . . .
- 74 -
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku. Contoh untuk perjanjian multilateral:
Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Contoh untuk perjanjian bilateral yang hanya menggunakan dua bahasa:
Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal
27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UndangUndang ini.
- 75 -
Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa:
Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of the Republik of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei
1977 di Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
241. Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Undang-Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden.
BAB III . . .
- 76 -
RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN BAHASA PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
242. Bahasa Peraturan Perundangundangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.
243. Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan antara lain:
a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
c. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud);
d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten;
e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan
buku-buku ditulis buku murid-murid ditulis murid
g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.
- 77 -
- Pemerintah
- Wajib Pajak
- Rancangan Peraturan Pemerintah
244. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundangundangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik:
(1) Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
245. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas.
Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol.
246. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh kalimat yang tidak baku:
Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut.
Contoh kalimat yang baku:
Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya.
247. Untuk . . .
- 78 -
247. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. nama dan alamat percetakan perusahaan yang melakukan pencetakan blanko;
b. jumlah blanko yang dicetak; dan
c. jumlah dokumen yang diterbitkan.
248. Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.
Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.
249. Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Rumusan yang baik:
Pertanian meliputi perkebunan.
250. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama, tidak menggunakan:
a. beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian yang sama.
- 79 -
Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan.
b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda.
Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan.
251. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh menggunakan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari.
252. Untuk menghindari perubahan nama kementerian, penyebutan menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada urusan pemerintahan dimaksud.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
253. Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan jika:
a. mempunyai konotasi yang cocok;
b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa
Indonesia;
c. mempunyai corak internasional;
d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau
e. lebih . . .
- 80 -
e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa
1. devaluasi (penurunan nilai uang)
2. devisa (alat pembayaran luar negeri)
254. Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan di dalam penjelasan Peraturan Perundangundangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca kurung ( ).
1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)
2. penggabungan (merger) PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
255. Gunakan kata paling, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu.
... dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Contoh untuk Perda:
... dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
256. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk menyatakan jangka waktu;
- 81 -
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang-undang bersama DPR dalam waktu paling lama
60 (enam puluh) hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.
b.waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk menyatakan batas waktu.
Surat permohonan izin usaha disampaikan kepada dinas perindustrian paling lambat tanggal 22 Juli 2011.
c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak;
d.jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi.
257. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali.
Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini.
258. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan.
- 82 -
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
....
38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut.
259. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
260. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frasa dalam hal.
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal
(pola karena-maka).
Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil
Presiden menjadi Presiden.
b. Kata . . .
- 83 -
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang mengandung waktu.
Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.
c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka).
Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil
Ketua.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
(2) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau tidak tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri.
261. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan atau ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun.
262. Untuk . . .
- 84 -
262. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos
Penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman.
263. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau.
(1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan
(2) Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang dan/atau sangkakala pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan oleh seluruh peserta upacara.
264. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan
Pasal 69 . . .
- 85 -
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat jasa kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penghormatan dengan bendera negara;
b. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau
c. bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
265. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
266. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Pasal 313 . . .
- 86 -
Pasal 313
(1) Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.
267. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.
(2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain.
268. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi.
Pasal 8 . . .
- 87 -
(1) Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
Pasal 17 (1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK.
269. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik
(1) Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah;
b. berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin Akuntan Publik;
f. tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g. menjadi . . .
- 88 -
g. menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri; dan
h. tidak berada dalam pengampuan.
270. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman
Pasal 135
Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain.
Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 2 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Perikanan dan Tanda Pencatatan Kegiatan Perikanan
(1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang:
a. melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat terlarang seperti bahan kimia, bahan peledak, obat bius, arus listrik, dan menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring kurang 2,5 cm atau alat tangkap dengan ukuran mata bilah kurang dari 1 cm.
TEKNIK PENGACUAN
271. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari pengulangan rumusan digunakan teknik pengacuan.
272. Teknik . . .
- 89 -
272. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundangundangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... atau sebagaimana dimaksud pada ayat ... .
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
(1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, penyelenggara mengadakan koordinasi dengan instansi vertikal dan lembaga pemerintah nonkementerian.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan administrasi kependudukan.
273. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, atau huruf demi huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan.
- 90 -
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) ...
f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
274. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a.
275. Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.
- 91 -
Rumusan yang tidak tepat:
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk
60 (enam puluh) hari.
276. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti
dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.
277. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok yang diacu.
Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan oleh ... .
278. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundangundangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
279. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang
Pasal 15 . . .
- 92 -
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
280. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas.
281. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan Peraturan Perundangundangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan.
282. Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundangundangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan, gunakan frasa dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam ... (jenis Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan) ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
283. Jika Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari ketentuan Peraturan Perundang undangan tersebut, gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali
- 93 -
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ... , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) dinyatakan tetap berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
284. Naskah Peraturan Perundang-undangan diketik dengan jenis huruf
Bookman Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4.
BAB IV . . .
- 94 -
BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN A. BENTUK RANCANGAN UNDANGUNDANG
(Nama UndangUndang)
Menimbang: a. bahwa ...;
b. bahwa ...;
c. dan seterusnya ...;
Mengingat: 1. ...;
3. dan seterusnya ...;
Menetapkan: UNDANGUNDANG TENTANG ... (nama UndangUndang).
Pasal 1 . . .
- 95 -
... Pasal ...
BAB ... (dan seterusnya) Pasal ...
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ...
NAMA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal ...
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
B. RANCANGAN . . .
- 96 -
B. RANCANGAN UNDANGUNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG MENJADI UNDANG UNDANG
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...TAHUN ...
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... MENJADI UNDANGUNDANG
Menetapkan: UNDANGUNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... MENJADI UNDANGUNDANG.
- 97 -
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ... , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) ditetapkan menjadi UndangUndang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
UndangUndang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
C. RANCANGAN . . .
- 98 -
C. RANCANGAN UNDANGUNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ...
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya)
Menetapkan: UNDANGUNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ... (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya).
(1) Mengesahkan Konvensi ... (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) ... dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang... .
(2) Salinan . . .
- 99 -
(2) Salinan naskah asli Konvensi ... (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) ... dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang ... dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum),
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ..
D. BENTUK . . .
- 100 -
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-
UNDANG
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... (untuk perubahan pertama )
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ...
( untuk perubahan kedua, dan seterusnya ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menetapkan: UNDANGUNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... .
Pasal I . . .
- 101 -
Beberapa ketentuan dalam UndangUndang Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal ... ( bunyi rumusan tergantung keperluan ), dan seterusnya.
Pasal II
E. BENTUK . . .
- 102 -
E. BENTUK RANCANGAN UNDANGUNDANG PENCABUTAN UNDANG
PENCABUTAN UNDANGUNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... (Nama UndangUndang)
Menetapkan: UNDANGUNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG- UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... .
UndangUndang Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi UndangUndang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi UndangUndang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2 . . .
- 103 -
F. BENTUK . . .
- 104 -
F. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Menetapkan: UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ...
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
... Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun .... Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi
Peraturan . . .
- 105 -
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
G. RANCANGAN . . .
- 106 -
G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR .... TAHUN .....
(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
3. dan seterusnya ...; MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG ... (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang).
... Pasal 1
BAB
(dan seterusnya)
- 107 -
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ...
- 108 -
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
(Nama Peraturan Pemerintah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG .... (nama
Peraturan Pemerintah).
BAB II Pasal ...
BAB ...
Pasal ... . . .
- 109 -
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
I. RANCANGAN . . .
- 110 -
I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
(Nama Peraturan Presiden)
Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG .... (nama Peraturan
Presiden).
- 111 -
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
J. BENTUK . . .
- 112 -
PERATURAN MENTERI ... REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
(Nama Peraturan Menteri)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ...REPUBLIK INDONESIA,
Menetapkan: PERATURAN MENTERI ... TENTANG .... (nama
Peraturan Menteri).
Pasal . . .
- 113 -
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
MENTERI ... REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR...
K. BENTUK . . .
- 114 -
PERATURAN DAERAH PROVINSI ... (Nama Provinsi) NOMOR ... TAHUN ...
(nama Peraturan Daerah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR (Nama Provinsi),
Menimbang : a. bahwa ...;
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI ... (Nama Provinsi)
GUBERNUR ... (Nama Provinsi) MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah)
- 115 -
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi ... (Nama Provinsi).
Ditetapkan di ...
pada tanggal ...
GUBERNUR ... (Nama Provinsi)
Diundangkan di ...
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI... (Nama Provinsi), tanda tangan
LEMBARAN DAERAH PROVINSI ... (Nama Provinsi) TAHUN ... NOMOR ... L. BENTUK . . .
- 116 -
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA... (nama kabupaten/kota) NOMOR ... TAHUN ...
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota),
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (nama kabupaten/kota)
BUPATI/WALIKOTA ... (nama kabupaten/kota)
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan
Daerah).
- 117 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota ... (nama kabupaten/kota).
BUPATI/WALIKOTA ... (nama kabupaten/kota),
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (nama kabupaten/kota), tanda tangan
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (nama kabupaten/kota) TAHUN ... NOMOR ...