Keputusan Walikota Nomor 63 Tahun 2023
Pembukaan[sunting sumber]
Nomor {{{nomor}}} Tahun {{{tahun}}}
TENTANG
{{{tentang}}}
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
{{{pejabat}}},
Konsideran[sunting sumber]
Menimbang: | bahwa sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 64 ayat (2) Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya serta berdasarkan Berita Acara Kajian dan Rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang Nomor : 113/017/X/BA/401/TACB/2022 Perihal Kajian dan Rekomendasi Obyek Cagar Budaya Kota Malang, perlu menetapkan Keputusan Walikota tentang Penetapan Piala Lambang Kota Malang 1951-1970 (1) Sebagai Benda Cagar Budaya; |
Dasar Hukum[sunting sumber]
Mengingat: | 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5168);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Peraturan Daerah Pemerintah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 35);
|
Keputusan[sunting | sunting sumber]
KEPUTUSAN WALIKOTA MALANG TENTANG PENETAPAN PIALA LAMBANG KOTA MALANG 1951-1970 (1) SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA.
KESATU | Menetapkan Piala Lambang Kota Malang 1951-1970 (1) sebagai Benda Cagar Budaya dengan Identitas, Deskripsi, Nilai Penting dan Dokumentasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Walikota ini. |
KEDUA | Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan terhadap Benda Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan. |
KETIGA | Keputusan Walikota ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. |
Ditetapkan di Malang
Pada tanggal 30 Januari 2023
WALIKOTA MALANG,
SUTIAJI
LAMPIRAN[sunting | sunting sumber]
LAMPIRAN
KEPUTUSAN WALIKOTA MALANG
NOMOR: 188.45/63/35.73.112/2023
TENTANG
PENETAPAN PIALA LAMBANG
KOTA MALANG 1951-1970 (1)
SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA
1. IDENTITAS[sunting | sunting sumber]
a. Objek Cagar Budaya | : Benda | |
b. Letak | -Alamat | : Jl. Tugu No. l |
-Kelurahan | : Kiduldalem | |
-Kecamatan | : Klojen | |
-Kota | : Malang | |
-Propinsi | : Jawa Timur | |
c. Pemilik | : Balaikota Malang | |
d. Pengelola | : Balaikota Malang | |
e. Umur | : 61 tahun | |
f. Kondisi | : 100% baik | |
g. Nama Pendaftar | : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang |
2. DESKRIPSI[sunting | sunting sumber]
Benda ini berukuran Diameter atas 12 cm, diameter bawah 8,3 cm, dan tinggi 40 cm. Bagian dari piala tersebut dapat dikategorikan dalam tiga bagian yakni selasar, tengah, dan atas. Piala ini berbentuk silinder seperti cawan yang memiliki tutup pada bagian atasnya, dilengkapi dengan hiasan pegangan yang menyerupai sayap pada sisi kanan dan kiri bagian tengah, serta kaki yang meramping setalah bagian tengah lalu lebar melingkar pada bagian bawah. Bahan dari piala ini adalah aluminium, bahan yang mudah lentur dan rentan sekali melesak jika terbentur benda yang lebih keras atau jatuh, namun sangat mudah sekali untuk dibetulkan kembali sesuai bentuk awal.
3. NILAI PENTING[sunting | sunting sumber]
a. Kesejarahan[sunting | sunting sumber]
Piala ini berada di balaikota, lebih tepatnya saat kajian ini dikerjakan piala terse but diletakkan pada etalase koleksi piala di sebelah utara pintu masuk ruang Walikota Malang. Piala yang dikaji ini memiliki keunikan dengan adanya pahatan lambang kota Malang yang pertama setelah Kota Malang berada di bawah Republik Indonesia. Kajian ini menjadikan sebuah kajian kebendaan yang sangat unik lantaran berhubungan erat dengan sejarah lambang Kota Malang. Untuk mengetahui seperti apa lambang pada piala yang dikaji ini selayaknya mencermati secara umum garis besar pembentukan Kota Malang dari masa Hindia Belanda yang juga memiliki lambang tersendiri.
Kota Malang awalnya adalah bagian dari Karesidenan Pasuruan, namun pada 1 April 1914 Kota Malang secara resmi menjadi Gemeente atau Kotamadya sendiri. Kota ini dapat dikatakan memiliki perkembangan yang sangat cepat terutama pada tahun 1920-an (Hudiyanto, 2011, 2015; Widodo, 2015). Perkembangan tersebut menjadikan Kota Malang harus membentuk struktur pemerintahan dengan segala pernak perniknya termasuk membuat lambang kota. Dengan adanya hal tersebut mulai dibuatlah lambang kota dengan beberapa design dan simbol. Hingga kini tercatat kurang lebih ada tiga lambang Kota Malang yang resmi dipakai oleh pemerintahan dari masa Hindia Belanda sampai sekarang. Lambang Gemeente Malang mulai dikenalkan pada tanggal 1 7 Juni 1921 yang berwujud dua ekor singa Belanda (De N ederlandsche Leeuw). Oleh seorang ahli sejarah Belanda dari Batavia, Dr. Frederik de Haan, ditambahkan sebuah semboyan dalam Bahasa Latin yang berbunyi Malang Nominor Sursum Moveor yang berarti Malang Kotaku Maju Tujuanku.
Lambang Gemeente Malang terinspirasi dari Kerajaan Singhasari yang merupakan salah satu kerajaan kuno yang pernah berdiri di wilayah Malang pada abad XIII. Lambang Kota Malang tersebut berupa dua ekor singa Belanda yang mengapit sebuah perisai berwana dasar biru. Di tengah perisai terlukis setangkai bunga teratai (sari) berwarna putih dan seekor singa (Singha) sehingga bila kedua kata itu digabungkan akan menjadi Singhasari. Bunga teratai dan singa itu mengambang di atas air yang tampak bergelombang. Tangkai bunga teratai tersebut tepat berada di tengah-tengah singa yang berjalan gagah dengan menjulurkan lidahnya yang berwarna merah. Hal itu melambangkan arti nama Malang yang konon berarti melintang, menghalangi atau menghalang jalan (NgalammediaLABS, 2014).
Pada lambang Gemeente Malang itu terdapat dua ekor singa dan gambar mural berbentuk mahkota dengan gaya Hindu serta semboyan Malang Nominor Sursum Moveor. Tetapi Hoage Raad van Adel (Dewan Tinggi Bangsawan) menolak mahkota mural yang tidak sesuai dengan kebiasaan umumnya dan beberapa komposisi lambang tersebut. Menurut mereka jenis mahkota mural itu tidak dapat diterima karena mahkota pada lambang harus berbentuk sama dengan semua kota lainnya. Pemerintah kota bereaksi bahwa secara historis Malang telah menjadi kota berdinding.
Tetapi Hoage Raad van Adel tetap pada keputusannya, bahkan mereka juga menolak semboyan Malang Nominor Sursum Moveor dicantumkan. Akhirnya lambang Gemeente Malang tersebut harus menyertakan mahkota sebagaimana lambang-lambang kota yang digunakan di Belanda dengan disertai dua ekor singa yang mengapit perisai tetapi tanpa adanya semboyan. Dewan kota (Gemeenteraad) akhirnya mengadopsi desain baru, tapi masih menggunakan mahkota lama untuk waktu yang lama.
Pada versi lainnya terdapat perbedaan gambar di bagian perisai. Sebuah perisai yang berwarna dasar biru diapit dua ekor singa Belanda dan bermahkota mural. Juga terdapat sebuah pita dengan semboyan Malang Nominor Sursum Moveor. Perbedaannya terdapat pada perisai yang menggambarkan seekor singa yang sedang berjalan dengan lidah berwarna merah menjulur. Di bagian pojok kiri atas terdapat setangkai bunga teratai yang berwarna hijau dengan latar warna putih. Lambang Gemeente Malang juga tercantum dalam daftar perangko yang diterbitkan oleh Koffie Hag, Amsterdam, sekitar tahun 1925-1935. Di bawah ini merupakan sebuah perangko berwarna dengan lambang Gemeente Malang yang diterbitkan oleh Koffie Hag.
Tetapi rupanya Hoage Raad van Adel akhirnya menyetujui semboyan Malang Nominor Sursum Moveor dicantumkan di lambang Kota Malang tersebut. Hal ini diketahui dengan ditetapkannya lambang Stadsgemeente Malang dengan surat keputusan Stadsgemeenteraad tanggal 7 Juni 1937 No. AZ 407/43 dan disahkan Gouvernement Besluit dd. 25 April 1938 N. 027 dengan semboyan Malang Nominor Sursum Moveor. Pada lambang resmi pertama Kota Malang itu berupa perisai berwarna biru dengan mahkota kuning emas berdasar merah di bawahnya sedang dibawa oleh dua ekor singa. Ada pita yang menjuntai yang berbunyi Malang Nominor Sursum Moveor, artinya Malang Namaku Maju Tujuanku. Setangkai bunga teratai tumbuh mengambang di atas potongan gelombang berwarna perak dengan seekor singa berlidah merah di depannya. Di atas perisai terdapat mahkota emas terdiri atas tiga daun dan dua mutiara. Makna lambang ini merupakan bagian dari kerajaan Belanda, singa di dalam perisai adalah simbol kepahlawanan dan bunga teratai putih berarti kesucian (Stadsgemeente Malang 1914-1939, 1939).
Tetapi lambang Gemeente Malang yang telah ditetapkan itu tidak luput dari berbagai kritik. Indische Courant terbitan tanggal 13 Agustus 1937 menyatakan bahwa desain lambang singa tersebut buruk dan ekor singa dikatakan lebih mirip ekor monyet daripada sebagai ekor smga. Surat kabar tersebut menyarankan untuk mendesain ulang lambang Kota Malang agar terlihat lebih baik.
Setelah berakhirnya perang kemerdekaan, semangat menyingkirkan apa saja yang berbau kolonial menyebabkan Dewan Kota Malang mengubah lambang ini lagi. Tanggal 30 Oktober 1951 DPRD Kotapraja Malang mencabut dan mengganti dengan yang baru berdasar SK DPRD No. 51 dan disahkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 237 tanggal 29 November 1954. Bentuk lambangnya, berupa burung Garuda berwarna kuning emas yang membentangkan sayapnya. Di dadanya tergantung sebuah perisai berwarna hijau yang berlukiskan Tugu dengan untaian padi dan kapas, harimau, dan bungai teratai putih yang berkembang. Di bawah telapak kaki harimau terdapat pita yang berjuntai dengan semboyan Malang Namaku Maju Tujuanku.
Lagi-lagi sejak hari peringatan 50 tahun berdirinya Kotapraja Malang pada 1964, terjadi pergantian dengan lambang secara keseluruhan tetap garuda namun tulisan di bawah harimau berubah menjadi Malangkuce~wara. Keputusan itu dituangkan dalam keputusan DPRD No. 7 /DPRDGR tertanggal 10 April 1964. Semboyan itu diusulkan oleh Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, seorang sejarawan terkenal. Malangkucewara berasal dari kata mala, angkusa dan iswara. Mala berarti segala sesuatu yang buruk atau kotor, kecurangan, kepalsuan, atau bathil; angkusa berarti menghancurkan atau memusnahkan; dan iswara berarti nama lain dari Siwa atau Tuhan. Jadi, semboyan itu terjemahan bebasnya adalah Tuhan menghancurkan yang batil, atau menegakkan kebenaran (Suwardono, 1997).
Akhirnya DPRDGR mengkukuhkan lambang Kotamadya Malang dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 4 / 1970 tertanggal 14 Juli 1970. Lambang ini berupa perisai bersudut lima dengan warna merah putih. Dasar perisai berwarna hijau, bintang bersudut lima berwarna kuning, dan monumen Tugu di tengah berwarna biru serta pita putih dengan semboyan Malangkucecwara.
Sedangkan arti warna pada lambang Kota Malang yaitu Merah Putih melambangkan bendera nasional Indonesia, Kuning melambangkan keluhuran dan kebesaran, Hijau melambangkan kesuburan, dan Biru Muda melambangkan kesetiaan pada Tuhan, negara dan bangsa. Segi lima berbentuk perisai bermakna semangat perjuangan kepahlawanan, kondisi geografis, pegunungan, serta semangat membangun untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bintang adalah salah satu lambang dalam Garuda Pancasila yang berarti Ketuhanan Yang Maha Esa. Terdapat Tugu Kemerdekaan di tengah-tengah lambang. Lima lingga dan bambu runcing mengandung pengertian kebesaran Pancasila kesatuan dan persatuan yang kokoh (Suwardono, 1997).
b. Pengetahuan[sunting | sunting sumber]
Dari segi pengetahuan dapat kita petik beberapa poin, yang pertama adalah dari kajian sejarah lambang kota malang yang terdapat pada foto 1.2 di atas. Diketahui bahwa lambang Kota Malang setelah masa kemerdekaan Indonesia adalah burung garuda dengan perisai tengah terdapat harimau serta tulisan "Malang Namaku Maju Tujuanku". Lambang ini disahkan tepatnya pada tahun 1951 oleh SK DPRD dan dirubah pada tahun 1970. Dari adanya jejak catatan tahun tersebut dapat dianalisis bahwa lambang yang terdapat pada piala yang saat ini dikaji dapat diperkirakan dari segi usia sudah lebih dari 50 tahun. Hal ini dapat ditinjau dari akir diubahnya lambang tersebut adalah tahun 1970. Jika piala yang dikaji ini misalnya dibuat pada tahun 1970 dengan menyertakan lambang, maka dapat dihitung dari tahun 2022 dikurangi 1970 adalah 52 tahun. Sedangkan tidak diketahui piala tersebut dibuat pada tahun berapa secara tepat, namun ditinjau dari segi lambang yang terdapat pada piala tersebut wajarlah jika dugaan usia lebih dari 50 tahun atau bahkan lebih tua lagi, mengingat lambang tersebut hadir mewarnai Kota Malang dari tahun 1951-1970.
Berikutnya adalah mengenai bahan pembuatan piala tersebut yang merupakan unsur logam aluminium. Mengapa piala pada tahun 60an rata-rata menggunakan bahan aluminium?. Hal tersebut lantaran aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai sifat ketahanan korosi dan mudah dibentuk sehingga banyak digunakan dalam aplikasi alat-alat rumah tangga, otomotif, maupun industri (Wisnujati & Sepriansyah, 2018). Dengan adanya tahan korosi atau karat alumunium memiliki daya tahan lama daripada besi, digunakan sebagai piala atau penghargaan secara umum dalam tingkat bawah lantaran diduga piala dari bahan aluminium memiliki nilai ekonomis dibanding logam lain seperti emas dan perak. Selain itu disebutkan tadi bahwa bahan aluminium tahan karat dan korosi lebih lama dibanding besi, sehingga untuk mengabadikan sebuah penghargaan pada tingkatan bawah yang bersifat masal akan lebih evisien dan ekonomis jika membuat piala sebagai penghargaan dari bahan aluminium.
Berikutnya pengetahuan mengenai bentuk piala atau tropi yang menyerupai cawan atau gelas. Bukan sebuah kebetulan bahwa piala atau tropi memiliki bentuk menyerupai gelas atau cawan. Hal ini dapat ditinjau dari asal muasalnya yakni pada masa awal berdirinya kerajaan-kerajaan di Eropa sering dilakukan pertandingan adu kekuatan dan adu ketangkasan. Tradisi adu ketangkasan seperti itu hingga kini masih sering kita saksikan pada musim pesta rakyat di beberapa negara Eropa.
Umumnya peserta lomba dan acara perlombaan dilakukan secara spontan. Olahraga tradisional yang paling umum dilombakan adalah Gulat Romawi dan Cross Country. Selain itu ada juga cabor lain seperti: lempar batu, lempar tombak, memanah, angkat berat dll.
Perlombaan umumnya dilakukan pada saat perayaan pesta rakyat. Suasana sangat meriah dan ramai sekali. Pengunjung dari desa-desa terdekat datang memenuhi lapangan. Tidak hanya bazar dan pertunjukan seni yang diadakan. Lomba adu kekuatan dan ketangkasan adalah acara yang paling ditunggu tunggu.
Event pertandingan gulat romawi adalah acara favorit penonton. Setelah melewati babak-babak penyisihan maka tampillah seorang kampiun juara. Lalu apa hadiah yang pantas diberikan kepada pemenang. Panitia secara spontan mengambil Cawan Besar (Cup) lalu berkeliling mengitari penonton yang hadir mengumpulkan hadiah-hadiah dari penonton.
Penonton dengan antusias ramai-ramai mengisi cawan itu dengan berbagai hadiah, umumnya uang. Uang yang terkumpul dalam cawan itu langsung diberikan kepada sang juara berikut dengan wadahnya sekalian. Hadiah uang dibelanjakan oleh pemenang sementara wadahnya dijadikan kenang-kenangan. Pada masa-masa berikutnya nilai sakral dari cawan itu dirasa lebih tinggi dari hadiah uang dalam cawan itu sendiri. Maka kemudian dari wadah itulah yang menjadi simbol yang diperebutkan dalam sebuah kejuaraan.
Sejak saat itu berbagai kejuaraan atau perlombaan yang bertujuan merebut simbol yang berupa sebuah Piala. Pada masa berikutnya hadiah dari sebuah kejuaraan disumbang oleh seorang Penggagas, Pionir atau seorang bangswan. Maka Piala tersebut diberi nama sesuai penyumbangnya atau penggagasnya seperti: Jules Rimet Cup (Piala Dunia, Sepakbola), Thomas Cup (Bulutangkis), Davis Cup (Tennis) (Azahari, 2020). Dari hal ini tidaklah asing jika bentuk piala yang terdapat dalam kajian ini menyerupai gelas atau cawan jika meninjau dari asal muasal piala khususnya dari segi kejuaraan olahraga.
c. Pendidikan[sunting | sunting sumber]
Nilai pendidikan yang dapat dipetik dari adanya tropi atau piala yang terdapat pada gedung Balaikota Malang tersebut pertama mengikuti dari makna lambang yang tertera di dalamnya, yang kedua dari fungsinya. Kepmendiknas (2010: i-ii) mengemukakan hasil diskusi dan sarasehan tentang "Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa" menghasilkan "Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa" untuk berbagai wilayah Indonesia yang terdiri dari 18 nilai. Seluruh pendidikan di Indonesia harus menyisipkan 18 nilai pendidikan berkarakter tersebut kepada para siswa dalam proses pendidikannya. Paparan dari Kepmendiknas tentang 18 nilai-nilai pendidikan karakter sebagai berikut:
1. Religius[sunting | sunting sumber]
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur[sunting | sunting sumber]
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi[sunting | sunting sumber]
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin[sunting | sunting sumber]
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerj a Keras[sunting | sunting sumber]
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
6. Kreatif[sunting | sunting sumber]
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri[sunting | sunting sumber]
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis[sunting | sunting sumber]
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu[sunting | sunting sumber]
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan[sunting | sunting sumber]
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air[sunting | sunting sumber]
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12. Menghargai Prestasi[sunting | sunting sumber]
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/ Komunikatif[sunting | sunting sumber]
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang mengakui, serta menghormati ke berhasilan orang lain.
14. Cinta Damai[sunting | sunting sumber]
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat.
15. Gemar Membaca[sunting | sunting sumber]
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan[sunting | sunting sumber]
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial[sunting | sunting sumber]
memperbaiki
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab[sunting | sunting sumber]
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa (Harahap, 2018, pp. 25-26)
Dari delapan belas nilai karakter yang dikemukakan oleh kementerian pendidikan tersebut pada piala yang terdapat di Balaikota Malang merujuk dari makna simbolik dalam lambang yang pertama adalah lambang harimau (singa) dan teratai (sari) merupakan lambang dari kota yang berpintu gerbang Singasari atau berkaitan erat dengan Kerajaan Singhasari pada masa lampau. Kedua adalah tugu yang berarti simbol dari perjuangan Nasional. Ketiga adalah Padi dan Kapas yakni simbol dari kemakmuran serta kesejarhteraan. Terakhir adalah burung Garuda yakni simbol dari Negara Indonesia (Suwardono, 1997). Dari nilai simbolik yang tertera tersebut ditambah dengan makna dari piala atau tropi yang tentunya berhubungan dengan sebuah penghargaan prestasi, maka nilai pendidikan yang terkandung didalamnya adalah cinta tanah air, semangat kebangsaan, toleransi, komunikatif, disiplin, kerja keras, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, peduli lingkungan, dan tanggungjawab.
d. Agama/Religi[sunting | sunting sumber]
e. Kebudayaan[sunting | sunting sumber]
Nilai budaya yang terkandung dalam sebuah piala tersebut terdiri dari bebeapa hal. Jika ditinjau secara khusus pada benda ini terdapat kebudayaan yang berhubungan dengan simbol. Oleh sebab itu dibutuhkan kajian dari sudut pandang Antropologi simbolisme, atau yang disebut juga dengan Antropologi interpretatif atau Antropologi Humanistik. Kajian simbol tersebut tentunya terdapat pada lambang Kota Malang yang tertera pada objek kajian maupun bentuk dari piala tersebut. Untuk kajian bentuk maupun nilai pendidikan dari makna lambang secara filosofis telah dibahas di sub-bab atas. Saat ini butuh dikaji dari sudut pandang kebudayaan.
Manusia adalah "homo simbolism, yang artinya jenis makhluk biologis yang sensantiasa menggunakan simbol-simbol dalam kehidupannya, baik untuk beradaptasi maupun berkomunikasi terhadap lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosialnya. Begitu pentingnya simbol bagi manusia, maka banyak para ahli yang membahas maupun memandang dari berbagai paradigma. Dalam hal ini ada yang menganggap bahwa simbol merupakan bagian dari tanda-tanda dan dikaitkan dengan model pendekatan semiotika dalam pembahasannya, biasanya dilakukan oleh para ahli yang berkaitan dengan bidang ilmu Sastra, Seni, Komunikasi dan Arsitektur. Namun ada pula para pakar yang membedakan antara simbol dan tanda, sebab simbol memang sangat besar peranannya bagi manusia dibanding tanda-tanda yang lain. Interpretivisme simbolik merupakan sebuah model pendekatan untuk memahami perilaku manusia, menginterpretasikan makna-makna dibalik simbol-simbol yang diciptakan dan digunakan manusia dalam kehidupannya (Hendro, 2020).
Dalam kaitannya dengan pendekatan semiotika, simbol sering dikategorikan sebagai salah satu bentuk tanda. Dalam pandangan ini semiotika termasuk dalam ranah pendekatan strukturalisme, sebab pendekatan ini pada awalnya muncul dari bidang ilmu linguistik, ilmu tentang kebahasaan dan strukturnya. Kajian tentang simbol ini kemudian semakin muncul dalam kajian tentang kebudayaan, di sini simbol menjadi semakin berperan untuk menjelaskan fenomena sosial kebudayaan dan tidak lagi menjadi bagian dari tanda, tetapi bersama-sama digunakan dalam kehidupan sosial. Akhirnya muncul pendekatan interpretivisme simbolik, yang memang menginterpretasikan makna dalam simbol dan telah melampaui pemikiran ilmiah.
Di dalam karyanya "Cultural and Cognition, James Spradley menunjukkan bahwa simbol merupakan bagian dari tanda, yang masing-masing disebutkan bahwa tanda atau signs terdiri dari: Icon (Formal Association); Index (Natural Association); dan Symbol (Arbitrary Association). Dari sifat-sifat tersebut maka simbol sosial hanya memungkinkan dimengerti oleh anggota masyarakat yang memilikinya. Sebagai suatu media komunikasi yang kongkret atau komunikasi secara verbal maka simbol-simbol tersebut dapat dilihat pada penggunaan gerak isyarat dan kata-kata di dalam bahasa. Tetapi dalam pemanfaatan yang lebih bermakna dan konseptual maka sistem simbol berfungsi sebagai identitas untuk mengikat anggota anggota dalam suatu komunitas, atau sebagai media integrasi sosial, yang terwujud sebagai sistem nilai ataupun pranata sosial. Adapun pemanfaatan simbol sebagai media komunikasi atau interaksi sosial ini dimungkinkan melalui proses interpretasi. Karena itu manusia tidak hanya akan beradaptasi pada lingkungannya, tetapi juga pada lingkungan simboliknya (Spradley, 1972).
Dari kajian Spradley tersebut menunjukkan pada kita bahwa lambang dari sebuah organisasi atau perkumpulan memiliki makna tertentu yang berhubungan dengan tujuan perkumpulan tersebut. Begitu pula dengan dibuatnya lambang Kota Malang secara simbolik diharapkan mewakili visi misi tujuan Kota Malang kedepan yang sesuai dengan harapan secara positif. Dari hal ini budaya di Kota Malang pada saat itu juga semakin bertambah meninjau dengan adanya budaya pembuatan simbolik yang mewakili tujuan warga kota.
Selain dari simbol semiotika yang ditinjau dari budaya ditemukan pula adanya budaya menghargai karya orang lain yag tercermin dengan memajang hasil prestasi di tempat yang dapat dilihat oleh setiap orang. Nilai budaya serapan dari bangsa eropa juga telah dipaparkan pada bab kajian kesejarahan, yakni budaya memberikan penghargaan berbentuk cawan yang saat ini dikenal dengan piala atau tropi. Budaya eropa tersebut diketahui pada masa Kerajaan Romawi dan Yunani yang berangsur diserap oleh masyarakat nusantara. Tradisi yang menjadi budaya tersebut merupakan nilai-nilai luhur yang dapat dilestarikan walaupun merupakan budaya serapan. Apapun bentuknya dalam personifikasi sebuah benda, dalam hal ini budaya yang paling penting adalah nilai luhur untuk menghargai prestasi seseorang yang dirupakan dengan macam-macam bentuk penghargaan, salah satunya berupa piala atau trophy berbentuk cawan.
f. DAFTAR PUSTAKA[sunting | sunting sumber]
1) Azahari, I. (2020). Mengenal Macam-macam Piala dan Asal Mulanya. 24 Maret. https: / /www.kompasiana.com/ 3mntgardening0798 / 5e78fbe5097 f364d855fl aa2 / mengenal-macam-macam-piala-dan-asal mulanya?page=3&page_images= 1
2) Harahap, A. (2018). Implementasi Nilai-Nilai Karakter Dalam Pembelajaran Tematik Kelas Iii Sdit Darul Hasan Padangsidimpuan. Abdau: Jurnal Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, 1(1), 18-36. https:/ /doi.org/ 10.36768/abdau.vlil.3
3) Hendro, 9. Eko Punto. (2020). Simbol: Arti, Fungsi, dan Implikasi Metodologisnya. Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 3(2), 160.
4) Hudiyanto, R. (2011). Menciptakan masyarakat kota: Malang di bawah tiga penguasa 1914-1950. Penerbit Lilin.
5) Hudiyanto, R. (2015). Kopi Dan Gula: Perkebunan Di Kawasan Regentschap Malang, 1832-1942. Jurnal Sejarah Dan Budaya, 9(1), 96-115.
6) NgalammediaLABS. (2014). Sejarah Lambang Kota Malang dari Masa ke Masa. September 10. http://ngalam.id/ read/ 4312/ sejarah-lambang-kota-malang-dari masa-kolonial /
7) Spradley, J.P. (1972). Culture and cognition: rules, maps, and plans. Chandler Pub. Co.Stadsgemeente Malang 1914-1939. (1939). G. Kolff.
8) Suwardono. (1997). Monografi Sejarah Kota Malang (Roesmiyah (Ed.)). Sigma Media.
9) Widodo, D. I. (2015). Malang Tempo Doeloe. Dukut Publishing.
10)Wisnujati, A., & Sepriansyah, C. (2018). Analisis Sifat Fisik Dan Mekanik Paduan Aluminium Dengan Variabel Suhu Cetakan Logam (Dies) 450 Dan 500 Derajat Celcius Untuk Manufaktur Poros Berulir (Screw). Turbo: Jurnal Program Studi Teknik Mesin, 7(2), 159-165. https:/ /doi.org/ 10.24127 /trb.v7i2.792
4. Dokumentasi[sunting | sunting sumber]
WALIKOTA MALANG
SUTIAJI