Indonesia
Lua error in Modul:Effective_protection_level at line 63: attempt to index field 'TitleBlacklist' (a nil value). Templat:Indonesia infobox Indonesia (pelafalan dalam bahasa Indonesia: [in.ˈdo.nɛ.sja]), dikenal dengan nama resmi Republik Indonesia atau lebih lengkapnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan Oseania sehingga dikenal sebagai negara lintas benua, serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Indonesia merupakan negara terluas ke-14 sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah sebesar 1.904.569 km²,[1] serta negara dengan pulau terbanyak ke-6 di dunia, dengan jumlah 17.504 pulau.[2] Nama alternatif yang dipakai untuk kepulauan Indonesia disebut Nusantara.[3] Selain itu, Indonesia juga menjadi negara berpenduduk terbanyak ke-4 di dunia dengan penduduk mencapai 277.749.853 jiwa pada tahun 2022,[4] serta negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia, dengan penganut lebih dari 238.875.159 jiwa atau sekitar 86,9%.[5][6] Indonesia adalah negara multiras, multietnis, dan multikultural di dunia, seperti halnya Amerika Serikat.[7]
Indonesia berbatasan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara dan Oseania. Indonesia berbatasan di wilayah darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan dan Sebatik, dengan Papua Nugini di Pulau Papua, dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara yang hanya berbatasan laut dengan Indonesia adalah Singapura, Filipina, Australia, Thailand, Vietnam, Palau, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar, India.
Indonesia adalah negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik berdasarkan konstitusi yang sah, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).[8] Berdasarkan UUD 1945 pula, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Presiden dicalonkan lalu dipilih dalam pemilihan umum.
Ibu kota Indonesia saat ini adalah Jakarta. Pada tanggal 18 Januari 2022, pemerintah Indonesia menetapkan Ibu Kota Nusantara yang berada di Pulau Kalimantan, yang menempati wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, untuk menggantikan Jakarta sebagai ibu kota yang baru.[9] Hingga tahun 2022, proses peralihan ibu kota masih berlangsung.
Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa-bangsa pendatang dan penjajah. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting sejak abad ke-7, yaitu sejak berdirinya Sriwijaya, kerajaan bercorak Hinduisme-Buddhisme yang berpusat di Palembang. Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan bangsa Tionghoa, India, dan juga Arab. Agama dan kebudayaan Hinduisme-Buddhisme tumbuh, berkembang, dan berasimilasi di kepulauan Indonesia pada awal abad ke-4 hingga abad ke-13 Masehi. Setelah itu, para pedagang dan ulama dari Jazirah Arab yang membawa agama dan kebudayaan Islam sekitar abad ke-8 hingga abad ke-16. Pada akhir abad ke-15, bangsa-bangsa Eropa datang ke kepulauan Indonesia dan berperang untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku semasa Zaman Penjelajahan. Setelah berada di bawah kolonial Belanda, Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda, memproklamasikan kemerdekaan di akhir Perang Dunia II, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Indonesia mendapat berbagai tantangan dan persoalan berat, mulai dari bencana alam, praktik korupsi yang masif, konflik sosial, gerakan separatisme, proses demokratisasi, dan periode pembangunan, perubahan dan perkembangan sosial–ekonomi–politik, serta modernisasi yang pesat.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Berdasarkan rumpun bangsa, Indonesia terdiri atas bangsa asli pribumi yakni Austronesia dan Melanesia di mana bangsa Austronesia yang terbesar jumlahnya dan lebih banyak mendiami Indonesia bagian barat. Dengan suku Jawa dan Sunda membentuk kelompok suku bangsa terbesar dengan persentase mencapai 57% dari seluruh penduduk Indonesia.[10] Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi tetap satu), bermakna keberagaman sosial-budaya yang membentuk satu kesatuan negara. Selain memiliki penduduk yang padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar ke-2 di dunia.
Indonesia merupakan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi Asia–Afrika (KAA), Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan G20.
Etimologi[sunting | sunting sumber]
Templat:Lihatpula Kata "Indonesia" berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Indus yang merujuk kepada Sungai Indus di India dan nesos yang berarti "pulau".[11] Jadi, kata Indonesia berarti wilayah "kepulauan India", atau kepulauan yang berada di wilayah Hindia; ini merujuk kepada persamaan antara dua bangsa tersebut (India dan Indonesia).[12] Pada tahun 1850, George Windsor Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu".[13] Murid Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India.[14][15] Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 dalam novel Max Havelaar (1859) yang ditulis oleh Multatuli mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).[3]
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkungan akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.[3] Adolf Bastian dari Universitas Berlin memasyarakatkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang menggunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers Bureau pada tahun 1913.[12]
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Secara garis besar, sejarah Indonesia terdiri dari periode prasejarah, periode monarki, periode kolonial, dan periode republik.
Periode prasejarah[sunting | sunting sumber]
Fosil-fosil manusia purba seperti Homo erectus, yang oleh antropolog juga dijuluki "Manusia Jawa", menimbulkan dugaan bahwa kepulauan Indonesia telah mulai berpenghuni pada antara dua juta sampai 500.000 tahun yang lalu. Namun kebenaran tentang hal ini banyak diperdebatkan.[16]
Dari 110.000 hingga 12.000 tahun yang lalu, daratan Nusantara bagian barat (kira-kira kepulauan sebelah barat termasuk Sumatra, Jawa, dan Kalimantan sekarang) masih menyatu dengan daratan utama Asia, membentuk Sundaland.[17][18] Dalam periode tersebut, sekitar 74.000 tahun yang lalu, terjadi erupsi Gunung Toba yang disebut-sebut sebagai salah satu letusan gunung api terbesar sepanjang sejarah yang menyebabkan perubahan iklim, yang dikatakan hampir memusnahkan populasi manusia modern saat itu. Umat manusia sendiri sebenarnya belum sampai ke Sumatra, gelombang migrasi dari Afrika ikut terhenti untuk sementara akibat erupsi ini. Gunung Toba kemudian tenggelam dan kalderanya membentuk sebuah danau besar dengan nama yang sama.[19]
Sekitar 60.000 tahun yang lalu, gelombang migrasi pertama manusia yang menjadi nenek moyang ras Melanesia sampai di dataran Nusantara. Berakhirnya zaman es pada awal zaman Holosen (12.000 tahun Sebelum Masehi) menyebabkan naiknya permukaan laut dan terpisahnya daratan-daratan Sundaland dari daratan utama Asia, lalu terpecah hingga membentuk kepulauan Nusantara seperti sekarang ini. Kejadian-kejadian tersebut menjadi pemicu terjadinya diaspora manusia.[20]
Kedatangan bangsa Austronesia dari daratan Taiwan yang mulai tiba di Nusantara sekitar 3500 hingga 2000 SM menyebabkan bangsa Melanesia yang telah ada lebih dahulu di sana terdesak ke wilayah-wilayah yang jauh di timur kepulauan, meskipun ada sebagian yang berasimilasi/akulturasi dengan pendatang tersebut.[20][21][22] Dengan kondisi tanah vulkanis yang subur, melimpahnya keanekaragaman hayati, ditambah dengan kemampuan bercocok tanam yang dimiliki manusia saat itu menyebabkan kegiatan pertanian dan pemukiman mulai terbentuk dan berkembang pesat.[23]
Periode monarki[sunting | sunting sumber]
Kerajaan Hindu-Buddha[sunting | sunting sumber]
Memasuki abad-abad awal Masehi, kerajaan-kerajaan kecil Hindu-Buddha mulai terbentuk dan berkembang di daerah Nusantara.
Kandis diduga merupakan kerajaan tertua di Nusantara, yang berdiri pada abad ke-1 SM dan terletak di daerah yang saat ini menjadi wilayah Provinsi Riau dan sekitarnya. Namun, keberadaan Kandis tidak meninggalkan bukti artefak dan bukti-buktinya sangat sulit dikonfirmasi oleh para arkeolog, sehingga keberadaan kerajaan ini masih sering diperdebatkan oleh para ahli sejarah.[24]
Di Pulau Jawa sendiri, predikat kerajaan tertua di Pulau Jawa diduga dipegang oleh Salakanagara yang berdiri pada abad ke-1 M di daerah sekitar Cianjur, Jawa Barat. Kerajaan ini sendiri diperkirakan menjadi cikal bakal Tarumanagara yang berdiri pada tahun 358 Masehi. Keberadaan Salakanagara juga masih menjadi perdebatan di kalangan ahli karena kurangnya bukti-bukti sejarah.[24]
Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada, dua kerajaan tertua yang telah diakui para ahli adalah Kutai Martapura dan Tarumanagara pada abad ke-4 Masehi. Kutai Martapura berdiri di wilayah yang saat ini masuk dalam Provinsi Kalimantan Selatan.[25] Sementara itu, Tarumanagara berdiri di wilayah barat Pulau Jawa.[26] Dari bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kedua kerajaan tersebut telah bercorak Hindu-Buddha, dapat dipastikan bahwa agama Hindu dan Buddha telah berkembang di wilayah Nusantara sekurang-kurangnya sejak abad ke-4.
Beberapa kerajaan bercorak Hindu-Buddha juga terbentuk setelahnya. Di Kalimantan, pernah berdiri banyak kerajaan kecil bercorak Hindu-Buddha, yaitu Tanjungpura, Kuripan, Nan Sarunai, Selimbau, Negara Dipa, dan Negara Daha. Kemudian di Jawa, beberapa kerajaan Hindu-Buddha yang terbentuk adalah Kalingga, Sunda Galuh (Pajajaran), dan Kanjuruhan. Di Sumatra sendiri, kerajaan-kerajaan lain yang terbentuk adalah Kesultanan Samudra Pasai berdiri dari tahun 710 Masehi, Kerajaan Siguntur dari tahun 1250 Masehi, Kepaksian Sekala Brak tahun 1289 Masehi, Kerajaan Pagaruyung 1347 Masehi, Kesultanan Aceh 1496 M, Kerajaan Melayu 645 Masehi, Kerajaan Tulang Bawang Abad ke-16 Masehi, Keritang, dan Kerajaan Jambu Lipo Abad ke-10 M.
Pada abad ke-7 Masehi, Sriwijaya yang berbentuk kedatuan dan bercorak Buddha berdiri di Nusantara, yang kemudian berkembang menjadi salah satu kemaharajaan (kekaisaran) terbesar di Nusantara yang pernah berdiri, serta menjadikannya negara monarki dengan masa berdiri terlama di Asia Tenggara.[27] Sriwijaya pada masa kejayaannya melingkupi sebagian besar Pulau Sumatra, Semenanjung Malaka dan Semenanjung Kra, sebagian Jawa, Kalimantan bagian barat, hingga ke Kamboja dan Vietnam bagian selatan.[28] Sriwijaya pada masa itu mengendalikan aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan maritim utama antara India dengan Tiongkok dan merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia. Dari perdagangan tersebut, banyak budaya asing yang mempengaruhi dan bahkan berasimilasi dengan budaya-budaya lokal.[29] Nama Sriwijaya mulai meredup dan diperkirakan runtuh pada awal abad ke-11. Dharmasraya kemudian naik menggantikan Sriwijaya, sebelum kembali digantikan oleh Pagaruyung pada abad ke-14.[30]
Pada abad ke-8, Medang yang dipimpin oleh Wangsa Sailendra, yang sebagian besar bercorak Buddha Mahayana, berdiri di daerah Jawa Tengah dan mendapat pengaruh luas. Pada abad ke-9, wangsa tersebut terpecah dan sebagian menyingkir ke Sumatra, lalu menguasai Sriwijaya, hingga kejatuhan kemaharajaan tersebut pada abad ke-11.[31][32] Beberapa ahli menganggap bahwa beberapa raja Medang yang beragama Hindu Syiwa sebagai suatu dinasti tersendiri bernama Wangsa Sanjaya, sementara ahli-ahli lainnya menganggap wangsa tersebut sebenarnya tidak pernah ada dan masih merupakan bagian dari Wangsa Sailendra.[33] Beberapa ahli pun memisahkan raja-raja Medang setelah pindahnya pusat pemerintahan ke Jawa Timur sebagai wangsa tersendiri bernama Wangsa Isyana.[34]
Setelah pemerintahan Airlangga dari Medang berakhir pada tahun 1042, Medang terbagi menjadi Panjalu (Kadiri) dan Janggala. Janggala ditaklukkan oleh Panjalu pada tahun 1135. Ken Arok dari Wangsa Rajasa kemudian menaklukkan Panjalu dan mendirikan Kerajaan Singasari (Tumapel) pada tahun 1222, yang mengakhiri kekuasaan Wangsa Isyana/Sailendra di Jawa. Kerajaan ini runtuh pada tahun 1292 oleh pemberontakan yang dipimpin oleh Jayakatwang, sisa dari Wangsa Isyana. Namun, pemberontakan tersebut ditumpas setahun setelahnya oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang merupakan raja terakhir Singasari.[32][34]
Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang bercorak Syiwa-Buddha. Kerajaan tersebut pada perkembangannya menjadi suatu kemaharajaan atau kekaisaran terbesar di Nusantara, dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas pada masa kejayaannya, yaitu meliputi Sumatra, Semenanjung Malaka, daerah pesisir dan dataran rendah Kalimantan, Sulawesi bagian selatan dan timur, Nusa Tenggara, Maluku, hingga ujung barat Papua.[34] Majapahit terutama mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dengan Patih Amangkubhumi Gajah Mada, yang sangat terkenal dengan Sumpah Palapa yang berisi ikrar untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara.[35] Majapahit pada masanya terkenal sebagai negara agraris dan juga sebagai negara perdagangan yang mengatur aktivitas pelayaran dunia.[35] Majapahit mengalami kemunduran semenjak pengaruh Islam semakin besar di Nusantara, dan akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Demak pada tahun 1527.
Sampai sebelum masuknya kolonialisme di Nusantara, kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang masih bertahan adalah Blambangan di Pulau Jawa bagian timur jauh,[36] serta kerajaan-kerajaan Bali bekas Gelgel, yakni Klungkung, Buleleng, Karangasem, Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli, Mengwi (dalam perkembangan bergabung dengan Badung), dan Jembrana.[37]
Kesultanan Islam[sunting | sunting sumber]
Islam sebenarnya telah memasuki Nusantara mulai pada abad ke-7 Masehi. Islam dibawa oleh para pedagang dan para ulama berkebangsaan Arab, Persia, dan Gujarat.[38] Para pedagang dan pelaut Tionghoa beragama muslim, terutama kelompok pelaut di bawah pimpinan Cheng Ho, juga ikut serta dalam menyebarkan Islam di Nusantara.[39]
Aceh adalah daerah pertama yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Nusantara.[40] Kesultanan Islam pertama yang diketahui berdiri di Nusantara, khususnya di Aceh adalah Jeumpa yang didirikan pada abad ke-7, yang wilayahnya kira-kira mencakup wilayah Kabupaten Bieruen saat ini.[41] Setelah itu, beberapa kesultanan juga berdiri di wilayah Aceh pada masa-masa awal penyebaran Islam di Nusantara, yang di antaranya adalah Peureulak, Lamuri, dan Linge.[42] Pada awal-awal milenium ke-2, Islam mulai menyebar ke banyak daerah di Pulau Sumatra, terutama setelah Sriwijaya runtuh pada abad ke-11. Beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Sumatra bahkan kemudian beralih menjadi kesultanan-kesultanan Islam. Kesultanan-kesultanan yang pernah muncul dan berdiri di wilayah Sumatra setelah itu adalah Samudera Pasai, Siguntur, Aceh, Melaka, Pagaruyung, Jambi, Inderapura, Siak Sri Inderapura, Pedir, Daya, Sungai Pagu, Bungo Satangkai, Asahan, Serdang, Deli, Langkat, Palembang, Lingga, Kota Pinang, Pelalawan, Aru, Barus, Padang, Tamiang, dan Sekala Brak.
Islam belum menyebar secara signifikan ke wilayah Nusantara lainnya hingga abad ke-15, ketika Islam mulai diperkenalkan dan menyebar secara luas.[43] Sejak masa itu, Islam mulai memengaruhi seluruh wilayah Nusantara pada masa-masa selanjutnya.
Setelah Majapahit mengalami kejatuhan, kesultanan-kesultanan bercorak Islam berdiri dan berkembang pesat di Nusantara, terutama di Jawa. Kesultanan pertama di Pulau Jawa yang telah diakui secara luas adalah Demak dan Cirebon yang berdiri pada abad ke-15.[44][45] Namun beberapa waktu ini, beberapa pakar menemukan sejumlah bukti tentang kesultanan Islam yang lebih tua, yaitu Lumajang, yang diperkirakan berdiri pada akhir abad ke-13.[46] Setelah itu, terdapat beberapa kesultanan yang juga berdiri di Jawa, yaitu Giri, Banten, Kalinyamat, Pajang, Sumedang Larang, Mataram, Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Surakarta Hadiningrat.[47]
Di Kalimantan sendiri, beberapa kerajaan Hindu-Buddha beralih menjadi kesultanan Islam, misalnya Selimbau, Landak Tanjungpura. Kemudian beberapa kesultanan baru juga berdiri seiring dengan meningkatnya pengaruh Islam di Pulau Kalimantan sejak abad ke-14. Brunei yang lepas dari Melaka pada abad ke-14 kemudian mencapai masa kejayaannya pada abad ke-15 dengan berhasil menguasai seluruh pesisir Pulau Kalimantan.[48] Pada abad ke-16, Banjar berdiri, berkembang, dan kemudian menguasai sebagian besar pesisir selatan Kalimantan, serta memiliki hubungan baik dengan Demak.[49] Kejayaan Banjar mulai menurun pada abad ke-18 dan keberadaannya dihapuskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1905.[50] Selain itu, beberapa kesultanan yang juga berdiri di Pulau Kalimantan adalah Sintang, Mempawah, Kubu, Bangkalaan, Sanggau, Tayan, Kusan, Paser, Kotawaringin, Pagatan, Sambas, Kutai Kertanegara ing Martapura, Berau, Sambaliung, Gunung Tabur, Pontianak, Tidung, dan Bulungan.[47]
Agama Islam diperkirakan mulai berkembang di Pulau Sulawesi pada abad ke-16. Pada masa itu, beberapa kerajaan bercorak Hindu-Buddha atau Animisme beralih menjadi kesultanan-kesultanan Islam dan beberapa kesultanan Islam yang baru berdiri dan berkembang.[51] Kesultanan besar yang terkenal di Sulawesi adalah Makassar, yang merupakan gabungan dari Gowa dan Tallo). Kerajaan ini pada masa kejayaannya mencakup Sulawesi bagian selatan dan tengah, serta Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa di saat ini menjadi wilayah Nusa Tenggara Barat. Selain itu, beberapa kesultanan lainnya di Sulawesi adalah Bantaeng, Banggai, Buton, Bone, Gorontalo, Bolango, Konawe, Luwu, Tolitoli, Buol, Wajo, Muna, Palu, Parigi, Soppeng, Bungku, Siang, Bolaang Mongondow, Tawaeli, Balanipa, Alitta, Banawa, dan Bolangitang.
Di Kepulauan Maluku, terdapat dua kesultanan besar yang terkenal, yaitu Ternate dan Tidore yang berpusat di wilayah yang saat ini termasuk dalam wilayah Maluku Utara.[52] Wilayah Ternate pada masa kejayaannya, yaitu pada abad ke-16, mencakup Pulau Ternate, sebagian kecil Pulau Halmahera, Kepulauan Maluku bagian tengah, Pulau Sulawesi bagian utara dan timur, hingga ke Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, Tidore pada masa kejayaannya yang juga pada abad ke-16 meliputi Pulau Tidore, sebagian besar Pulau Halmahera, hingga ke Papua Barat.[53] Beberapa kesultanan yang juga pernah berdiri di Kepulauan Maluku, yaitu Jailolo, Bacan, Tanah Hitu, Iha, dan Huamual.
Kesultanan-kesultanan yang pernah berdiri di Kepulauan Nusa Tenggara, yaitu Bima, Sumbawa, Adonara, Dompu, Selaparang, Sanggar, dan Lamakera. Sementara kesultanan-kesultanan yang pernah berdiri di Papua adalah Sekar, Patipi, Fatagar, dan Kaimana.
Kejayaan kesultanan-kesultanan Islam mulai memudar setelah bangsa-bangsa asing masuk dan menerapkan kolonialisme di Nusantara. Sebagian di antaranya dibubarkan oleh pemerintah kolonial setelah mengalami kekalahan perang, dan sebagian lainnya menjadi daerah swapraja (zelfbestuur) di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial.[54]
Kerajaan Kristen[sunting | sunting sumber]
Kekristenan dibawa oleh para misionaris dari Dunia Barat. Kristen Katolik umumnya dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis, sementara Kristen Protestan umumnya dibawa oleh bangsa Belanda. Selama kolonialisme Barat, beberapa kerajaan bercorak Kristen muncul sebagai akibat penyebaran dan pembaptisan oleh para misionaris pada rakyat dan keluarga bangsawan di kerajaan-kerajaan tersebut.[55]
Masuknya Agama Kristen di Sulawesi dan Maluku, khususnya wilayah yang saat ini dalam Provinsi Sulawesi Utara, diawali dengan kedatangan bangsa Portugis yang membawa Katolik pada abad ke-16, tetapi kemudian digantikan oleh Protestan yang dibawa oleh misionaris Belanda, setelah orang-orang Portugis diusir oleh pasukan Belanda pada abad ke-17. Kerajaan-kerajaan Kristen yang terbentuk di Pulau Sulawesi adalah Bolaang Mongondow, Manganitu, Manado, Moro, Siau, Soya, dan Tagulandang.[56]
Di wilayah Nusa Tenggara, khususnya di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kristen Katolik dibawa oleh bangsa Portugis yang terusir ke wilayah Pulau Flores dan Pulau Timor setelah wilayah Kepulauan Maluku dikuasai oleh bangsa Belanda pada awal abad ke-17. Para misionaris Portugis yang juga ikut terusir kemudian melakukan misi di negara-negara di wilayah tersebut. Beberapa negara yang menjadi kerajaan Katolik adalah Amanatun, Larantuka, dan Sikka.[57]
Periode kolonial[sunting | sunting sumber]
Upaya kolonisasi oleh Portugal[sunting | sunting sumber]
Sejak terputusnya jalur perdagangan Laut Tengah karena jatuhnya Konstantinopel ke tangan bangsa Turki Utsmani pada tahun 1453, bangsa-bangsa Eropa sejak saat itu berusaha mencari jalur alternatif lain untuk memperoleh komoditas rempah-rempah yang dibutuhkan. Berkembangnya teknologi pelayaran pada abad ke-16 membuat bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspedisi jalur laut besar-besaran untuk mencari dan menguasai wilayah-wilayah yang kaya akan rempah-rempah.[58]
Sebagai salah satu bangsa yang merintis gelombang ekspedisi dan kolonialisme di Dunia Timur, armada Portugis di bawah kepemimpinan Afonso de Albuquerque, yang telah menguasai Goa pada saat itu, melanjutkan ekspedisinya ke timur hingga sampai di Kepulauan Nusantara.[59] Pada tahun 1511, armada Portugis yang sampai di Melaka kemudian menyerang dan menduduki negara tersebut. Penyerangan ini menjadi titik awal dimulainya kolonialisme di Nusantara.[60] Negara-negara sekitar yang merasa terancam kemudian mengecam penyerangan tersebut. Setahun setelah peristiwa tersebut, Demak mengirimkan armada laut ke Melaka untuk menyerang balik armada Portugis, tetapi usaha tersebut gagal.[59]
Pada tahun 1512, Albuquerque mengirimkan armada yang dipimpin oleh António de Abreu dan Francisco Serrão menuju Kepulauan Maluku demi memonopoli perdagangan cengkih dan pala.[61] Pasukan tersebut disambut baik oleh Sultan Ternate saat itu, yakni Bayanullah. Ia mengizinkan armada Portugis untuk membangun benteng dan mendapat hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate, dengan imbalan bantuan kekuatan militer untuk Ternate, karena pada saat itu Ternate sedang bermusuhan dengan Tidore.[59] Benteng tersebut kini menjadi situs reruntuhan bernama Benteng Kastela.
Pada tahun 1521, armada Spanyol yang melakukan ekspedisi ke barat, alih-alih ke timur seperti yang dilakukan oleh armada Portugis, sampai di Kepulauan Filipina. Namun, konflik yang pecah antara pasukan Spanyol dan penduduk setempat yang hingga menyebabkan tewasnya pemimpin ekspedisi, Fernando de Magelhaens, tersebut membuat armada yang tersisa di bawah kepemimpinan Juan Sebastián Elcano melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kepulauan Maluku pada tanggal 8 November 1521. Kedatangan mereka ditentang oleh orang-orang Portugis yang terlebih dahulu singgah di Maluku dan bekerja sama dengan pemerintahan Ternate, serta menuding bahwa mereka melanggar Perjanjian Tordesillas. Demi mendapat kesempatan dalam menguasai rempah di Maluku, bangsa Spanyol kemudian mendekati musuh Ternate, yaitu Tidore, dan membantu mereka melawan Ternate dan Portugal.[62]
Armada Portugis yang ada di Nusantara meneruskan ambisi memperbesar wilayah koloni dengan rencana menguasai Selat Sunda. Pada tahun 1522, mereka membuat perjanjian kerja sama dengan raja Sunda saat itu, Prabu Surawisesa, yang berisi izin untuk mendirikan bentang bagi armada Portugis di Banten dan Sunda Kelapa dengan imbalan bantuan militer Portugis kepada Sunda dalam menghadapi Demak dan Cirebon. Namun, kerja sama tersebut tidak pernah dapat dilaksanakan. Armada yang dipimpin oleh Francisco de Sá, yang ditunjuk untuk melaksanakan perjanjian tersebut, mengalami bencana topan di Teluk Benggala. Beberapa dari mereka yang mendarat dengan selamat di Sunda Kelapa kemudian diserang oleh pasukan Fatahillah yang sedang merebut daerah Banten dan Sunda Kelapa. Karena melihat hal tersebut, armada Portugis akhirnya angkat kaki dari Selat Sunda.[61]
Persaingan antara kubu Ternate–Portugal melawan kubu Tidore–Spanyol di Kepulauan Maluku yang semakin memanas akhirnya membuat perang meletus. Selama peperangan yang terjadi cukup lama di antara kedua kubu tersebut, kekuatan kubu Ternate–Portugal menjadi semakin unggul. Peperangan tersebut berakhir dengan kekalahan kubu Tidore–Spanyol dan penandatanganan Perjanjian Zaragoza pada tanggal 22 April 1529, yang menyebabkan armada Spanyol harus angkat kaki dari Maluku dan kembali ke Kepulauan Filipina.[63]
Setelah kepergian Spanyol, hubungan antara Portugal dan Ternate mulai meregang. Bangsa Portugis mulai mencoba untuk memperbesar pengaruh mereka, sementara pemerintah Ternate mulai menyadari bahwa orang-orang Portugis sudah terlalu banyak ikut campur dengan urusan internal negara, terutama mengenai suksesi takhta. Perseteruan yang memuncak pada terbunuhnya Sultan Khairun Jamil dari Ternate di tangan pasukan Portugis akhirnya memantik kemarahan rakyat Ternate, sehingga pasukan Ternate dan sekutunya yang dipimpin oleh Sultan Baabullah dari Ternate menyerang pasukan-pasukan Portugis dan memicu Perang Ternate–Portugal. Diperparah dengan pasukan tambahan dari pihak bangsa Portugis yang tidak dapat dikirim karena penyerangan Aceh untuk merebut Melaka Portugis yang terjadi di saat yang bersamaan, Ternate dan sekutunya akhirnya berhasil mengusir sebagian besar pasukan Portugis yang tercerai-berai. Pengaruh bangsa Portugis di Kepulauan Maluku benar-benar tamat setelah bangsa Belanda masuk dan menduduki Maluku.[63]
Awal kolonisasi Belanda dan monopoli VOC[sunting | sunting sumber]
Didorong oleh fakta bahwa Portugal mendominasi perdagangan rempah-rempah di Benua Eropa, dan ditambah dengan kesepakatan antara Portugal dan Spanyol, yang saat itu sedang melawan Belanda dalam Perang Delapan Puluh Tahun, untuk bersatu dan dan membentuk Uni Iberia, bangsa Belanda mulai berusaha untuk mencari dan memperoleh sendiri rempah-rempah untuk diperdagangkan.[64] Berbekal rute pelayaran armada Portugis sebelumnya, armada kapal dari Republik Belanda di bawah kepemimpinan Cornelis de Houtman memulai ekspedisi pertama Belanda ke Dunia Timur pada tahun 1595, hingga akhirnya sampai di perairan Banten pada tanggal 27 Juni 1596. Armada tersebut kemudian menyusuri sepanjang pantai utara Pulau Jawa hingga Bali, tetapi persinggahan-persinggahan mereka di sepanjang penyusuran sering kali menimbulkan penolakan dan bahkan perseteruan dari penduduk setempat karena tabiat Houtman dan anak buahnya yang buruk. Setelah setahun kemudian, pertempuran dengan penduduk-penduduk lokal telah membuat mereka kehilangan separuh dari awak armada mereka, sehingga Houtman memutuskan untuk kembali ke Belanda. Namun dari ekspedisi tersebut, mereka berhasil membawa serta peti-peti berisi rempah-rempah dalam jumlah yang banyak, sehingga ekspedisi tersebut dianggap sukses.[65]
Melihat keberhasilan rombongan Houtman, mulai tahun 1598 hingga beberapa tahun setelahnya, berbagai kapal yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan berbeda berbondong-bondong menuju Nusantara demi mencari rempah-rempah. Salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah rombongan ekspedisi yang dipimpin Jacob Corneliszoon van Neck. Belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh armada-armada Portugis dan rombongan Houtman, mereka umumnya berhati-hati dalam bersikap kepada penduduk lokal dan bahkan mencoba untuk merangkul penguasa-penguasa lokal. Oleh karena itu, pedagang-pedagang Belanda berhasil dalam memonopoli perdagangan rempah saat itu.[65]
Karena besarnya persaingan perdagangan rempah-rempah di antara pedagang-pedagang Belanda dan di seluruh Eropa, perusahaan dagang tunggal yang mengayomi pedagang-pedagang Belanda tersebut dibentuk oleh Dewan Negara Belanda pada tanggal 20 Maret 1602, dan diberi nama Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Dengan pendirian badan usaha tersebut, diharapkan bahwa persaingan antara sesama pedagang Belanda menjadi berkurang, dan pada saat yang sama dapat menyaingi perusahaan-perusahaan dan serikat-serikat dagang di luar Belanda. Oleh Dewan Negara Belanda, VOC diberikan hak khusus dalam piagam yang disebut "oktroi" (octrooi), yang pada dasarnya memperbolehkan VOC untuk memiliki angkatan perang sendiri, mencetak mata uang sendiri, serta memonopoli perdagangan dan menekan penguasa-penguasa lokal di kawasan Nusantara.[66]
Mulai pada tahun 1603, VOC membangun pos-pos perdagangan di Banten, Ambon, Jayakarta, dan lain-lain. Namun pada tahun 1604, VOC bersikukuh dengan armada Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC) yang sampai di Maluku demi tujuan yang sama dengan VOC. Hal ini memicu persaingan ketat antara VOC dan EIC untuk memperoleh rempah-rempah sebanyak-banyaknya di Nusantara.[67]
Pada tahun 1610, posisi gubernur jenderal dipersiapkan untuk mempermudah administrasi dan kendali atas pos-pos perdagangan di Nusantara. Pieter Both ditunjuk sebagai gubernur jenderal pertama pada tanggal 19 Desember 1610. Dalam salah satu kebijakannya, Both menetapkan Ambon sebagai pusat pemerintahan.[66] Pada tanggal 30 Mei 1619, gubernur jenderal yang baru menjabat saat itu, Jan Pieterszoon Coen, memerintahkan armada kapal VOC untuk menyerang Jayapura, mengusir pasukan kerajaan dari Banten, dan mendirikan Batavia.
Sementara itu, EIC berhasil membuka banyak pos perdagangan selama tahun 1611–1617, yang di antaranya ialah di Sukadana, Makassar, Jayakarta, Jepara, Aceh, Pariaman, dan Jambi. Hal ini sangat mengancam keberadaan VOC dan akhirnya memperburuk perseteruan antara EIC dan VOC. Pada tahun 1620, Belanda dan Inggris membuat perjanjian diplomatik untuk melakukan kerja sama dalam perdagangan rempah-rempah, tetapi berakhir tiga tahun kemudian dengan terjadinya Pembantaian Amboina terhadap beberapa orang Inggris yang membuat hubungan diplomatik Belanda–Inggris terputus dan armada Inggris berangsur-angsur meninggalkan wilayah Nusantara.[68] Setelah kepastian itu, nama Hindia Belanda (bahasa Belanda: Nederlandsch-Indië (ejaan lama), Nederlands-Indië (ejaan baru)) mulai digunakan secara resmi di dalam dokumen-dokumen VOC sejak awal tahun 1620-an.[69]
Selama satu abad setelahnya, VOC berkembang sangat pesat dan menjadi badan usaha yang sangat sukses pada masanya, serta berhasil menguasai sebagian besar Pulau Jawa, Painan di Sumatra, Makassar, Manado, serta Pulau Seram, Pulau Buru, dan pulau-pulau sekitarnya. VOC yang lihai dalam memainkan politik di beberapa negara kecil di Nusantara memaksa penguasa-penguasa lokal dari wilayah tersebut menandatangani beberapa perjanjian damai yang terkenal. Beberapa di antaranya adalah Perjanjian Bungaya dan Perjanjian Painan.[70] Pada tahun 1669, VOC menjadi perusahaan swasta terkaya yang ada di dunia pada saat itu, dengan aset-aset yang terdiri atas sekitar 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 karyawan, 10.000 tentara swasta, dan pembayaran dividen sebesar 40% dari investasi awal.
Meskipun demikian, perebutan wilayah oleh VOC tetap mendapat perlawanan dari penduduk setempat. Setelah hubungan diplomatik dengan VOC putus, pasukan Mataram merencanakan penyerbuan ke Batavia sebanyak dua kali, yakni pada tahun 1628 dan 1629, meskipun kedua penyerbuan tersebut akhirnya gagal karena kekurangan perbekalan.[71] Beberapa dekade setelahnya di Pulau Sulawesi, VOC melancarkan penyerangan terhadap Gowa pada tahun 1666–1669. Dalam peperangan inilah, Hasanuddin, Sultan Gowa pada saat itu, dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya.[72]
Pada tahun 1704–1708, VOC mencampuri urusan rumah tangga kerajaan di Mataram dengan memerangi pasukan Amangkurat III, yang berakhir dengan kemenangan VOC dan diangkatnya Pakubuwana I sebagai raja Mataram. Kemudian pada tahun 1719–1723, VOC diminta oleh Amangkurat IV untuk membantu dalam perang melawan keluarga kerajaan yang memberontak.[73] Pada tahun 1940, terjadi peristiwa Geger Pacinan, yaitu pembantaian orang-orang Tionghoa yang tinggal di Batavia pada saat itu. Pembantaian tersebut memicu pecahnya Perang Jawa (1741–1743) dan Perang Kuning (1750) antara pasukan gabungan orang Jawa dan orang Tionghoa melawan pasukan Belanda.[74] Pada saat yang relatif bersamaan, rangkaian konflik antaranggota keluarga kerajaan Mataram yang berlangsung dari tahun 1749–1757 juga beberapa kali diintervensi oleh VOC. Pada konflik inilah negara Mataram bubar dan terpecah menjadi beberapa negara baru, yaitu Mangkunagaran, Yogyakarta, dan Surakarta, berdasarkan Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757).[75] Pada tahun 1771–1772, Perang Puputan Bayu, yang pecah akibat masyarakat Blambangan yang tidak terima wilayahnya diserahkan ke dalam kekuasaan Belanda, berhasil diredam oleh pasukan Belanda, tetapi dengan bayaran korban jiwa yang sangat besar dari kedua kubu.[76]
Setelah tahun 1730, kejayaan VOC mulai merosot. Hal ini diakibatkan oleh kektidaksiapan VOC dalam menghadapi persaingan perdagangan komoditas yang berubah-ubah dan semakin ketat, serta ditambah dengan korupsi di kalangan internal dan kurangnya jaminan keselamatan atas pegawai-pegawai VOC.[77] Setelah Perang Inggris-Belanda Keempat, VOC mengalami krisis finansial yang sangat buruk yang membuatnya hampir tidak dapat beroperasi. VOC sempat diambil alih oleh Republik Batavia, negara penerus Republik Belanda, mulai pada tanggal 1 Maret 1796 dan hendak untuk diselamatkan dari krisis, tetapi akhirnya tidak berhasil. Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC resmi berhenti beroperasi, sementara aset-asetnya dinasionalisasi menjadi milik Pemerintah Republik Batavia dan wilayah yang diduduki sebelumnya secara praktis menjadi koloni Belanda.[78] Bangsa Belanda masih menguasai secara penuh pos-pos perdagangan tersebut secara penuh selama kira-kira enam tahun, hingga Prancis membubarkan negara Batavia dan mendirikan negara boneka bernama Kerajaan Hollandia.
Kolonisasi Belanda di bawah kendali Prancis[sunting | sunting sumber]
Wilayah bangsa Belanda yang telah berada di bawah kendali bangsa Prancis secara praktis sejak kejatuhan negara Republik Belanda menjadi semakin kehilangan kedaulatannya semenjak Napoleon Bonaparte naik sebagai pemimpin Republik Prancis sejak tanggal 12 Desember 1799. Pada bulan Maret 1806, Napoleon yang telah mengubah bentuk negara Prancis menjadi kekaisaran sebelumnya membubarkan Persemakmuran Batavia dari bangsa Belanda dan membentuk negara boneka bernama Kerajaan Hollandia, lalu menunjuk Louis Bonaparte, adik Napoleon, sebagai raja atasnya. Hal ini secara tidak langsung membuat koloni di bawah Belanda menjadi milik Prancis.[79]
Pada tahun yang sama setelah penunjukannya, Louis mengirimkan salah satu jenderalnya yang berkebangsaan Belanda, yaitu Herman Willem Daendels, untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels tiba pada tanggal 5 Januari 1808 di Batavia dan langsung melakukan tugas-tugasnya seperti membentuk pasukan baru, membangun jalan-jalan baru di Jawa, dan memperbaiki administrasi internal di Jawa.[80][81]
Daendels dikenal dengan aturannya yang sangat keras dan kebijakannya yang bertangan besi, meskipin hal tersebut dimaksudkan sebagai persiapan dalam menghadapi ancaman Britania Raya. Daendels membangun banyak fasilitas dan benteng pertahanan, salah satu contoh yang terkenal adalah Jalan Raya Pos Anyar–Panarukan yang memakan banyak korban pekerja paksa Heerendiensten,[82] Benteng Lodewijk di Surabaya, dan Paleis van Daendels (sekarang Gedung AA Maramis) di Batavia. Daendels juga terkenal keras terhadap penguasa-penguasa lokal dan keluarganya, serta menjadi penyebab jatuhnya negara Banten.[83]
Gaya kepemimpinan Daendels yang bertangan besi tersebut tentu saja menimbulkan rasa tidak suka dari penduduk setempat. Pemberontakan di Pulau Jawa yang dipimpin oleh Ronggo Prawirodirjo III pecah dari tanggal 20 November hingga 17 Desember 1810. Pemberontakan ini cepat diredam oleh pasukan dari pemerintah Hindia Belanda dan keraton Yogyakarta, sementara pemimpinnya gugur dalam peperangan.[84]
Pada tahun 1810, Jan Willem Janssens ditunjuk untuk menggantikan Daendels. Janssens tiba di Jawa pada tanggal 15 Mei 1811 dan langsung melaksanakan tugasnya, tetapi akhirnya terhenti ketika Britania Raya menyerbu dan mengambil alih Jawa pada bulan Agustus 1811.[85]
Kolonisasi singkat Britania Raya[sunting | sunting sumber]
Sebagai akibat dari peperangan era Napoleon, bangsa Inggris yang membentuk Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia berusaha untuk merebut koloni-koloni milik bangsa Prancis di seluruh dunia, termasuk koloni Hindia Belanda yang dikuasai oleh Kekaisaran Prancis setelah kedaulatan Belanda jatuh ke tangan bangsa Prancis. Pada tahun 1809, armada Britania di anak benua India, yang berafiliasi dengan Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC), berangkat menuju Hindia Belanda dengan maksud untuk merebut wilayah tersebut dari tangan Prancis dan Belanda. Setahun setelahnya, armada Britania telah menguasai wilayah Kepulauan Maluku dengan kerugian yang minimal.[86] Kemudian pada bulan Agustus 1811, armada Britania mulai menyerbu Pulau Jawa dan menduduki satu per satu pos milik pasukan Prancis dan Belanda di Jawa. Setelah perlawanan dari pasukan Belanda dan Prancis tidak membuahkan hasil, akhirnya pada tanggal 16 September, Jan Willem Janssens, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang lari dari Batavia karena penyerbuan tersebut, akhirnya menyerahkan diri di Salatiga. Lalu pada tanggal 18 September, pasukan Belanda melakukan penyerahan kekuasaan secara resmi atas Pulau Jawa kepada armada Britania di Tuntang.[87][88] Setelah itu, Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound dari Minto, yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal India pada saat itu, menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa.[89]
Selama menjabat, Raffles merombak beberapa aturan Belanda yang memberatkan rakyat setempat, seperti Heerendiensten, kebijakan penyerahan hasil bumi paksa dan tanam paksa, sistem perbudakan, serta kebijakan penanaman paksa atas komoditas tertentu. Namun sebagai gantinya, Raffles menerapkan sistem land tenure (sewa tanah), yaitu penduduk membayar pajak sewa tanah kepada Pemerintah yang dipandang sebagai "pemilik sah" atas seluruh tanah jajahan, menaikkan pajak perorangan, dan memperluas kegiatan perdagangan. Di bidang pemerintahan, Raffles membentuk pemerintahan yang lebih terpusat, dengan mengurangi hak-hak penguasa setempat, tetapi juga membentuk keresidenan-keresidenan yang menjadi perpanjangan tangan Pemerintah Pusat. Dia tinggal dan menjalankan tugas pemerintahan di Buitenzorg (sekarang Istana Bogor), dengan menunjuk beberapa orang Britania sebagai petinggi, sembari tetap mempertahankan pegawai-pegawai negeri asal Belanda di tubuh pemerintahan. Sementara di bidang politik, Raffles berusaha untuk bernegosiasi dengan penguasa lokal demi mencapai perdamaian, tetapi tetap melancarkan operasi militer kepada penguasa-penguasa lokal yang membangkang, seperti pada peristiwa Geger Sepehi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.[90][91] Selain karena kebijakannya tersebut, Raffles juga dikenal sebagai seorang peminat sejarah, budaya, dan masyarakat Jawa. Di bawah pengawasannya, banyak situs monumen kuno yang ditemukan dan digali setelah sekian lama terkubur dan dilupakan penduduk setempat saat itu. Contohnya ialah Candi Prambanan di Sleman dan Klaten, Candi Borobudur di Magelang, dan struktur-struktur kota kuno di Trowulan.[92][93] Ia juga menuliskan buku tentang sejarah dan keadaan sosiokultural di Pulau Jawa, yang berjudul The History of Java dan diterbitkan pada tahun 1817.
Setelah Belanda terbebas dari kekuasaan Prancis pada tahun 1813, pihak Belanda dan pihak Inggris merundingkan dan menandatangani perjanjian pada tahun 1814, yang secara garis besar menyebutkan bahwa Britania Raya mengembalikan koloni Belanda seperti pada tanggal 1 Januari 1803. Setelah peperangan era Napoleon berakhir pada tahun 1815, Britania Raya menyerahkan kembali Pulau Jawa ke Belanda, yang berhasil memegang kendali penuh atas Pulau Jawa dan bagian-bagian koloni lain di Hindia Belanda setahun setelahnya. Pada tahun-tahun berikutnya, Belanda mengirimkan armada militernya untuk menaklukkan negara-negara lainnya di Nusantara.[94]
Sementara proses serah terima Hindia Belanda antara pihak Britania dan pihak Belanda sedang terjadi, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus dengan dahsyat. Gunung ini sebenarnya telah mengeluarkan gemuruh dan asap hitam sejak tahun 1812,[95] tetapi pada tanggal 5 April 1815, gunung ini mulai mengeluarkan letusan dan gemuruh yang hebat, yang suaranya terdengar hingga ke Pulau Sumatra dan Kepulauan Maluku. Lalu pada tanggal 10–11 April, Gunung Tambora akhirnya mengeluarkan letusan terdahsyatnya kala itu,[95] bahkan letusannya diperkirakan memiliki skala VEI sebesar 7, sehingga abu vulkanik yang dikeluarkan mencapai volume sekitar 100 km3, yaitu empat kali lebih besar dari letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.[96] Abu tersebut bahkan mencapai Pulau Kalimantan dan Sulawesi dengan ketebalan 1 cm3. Setelah letusan dahsyat tersebut, aktivitas vulkanik gunung ini berangsur-angsur mereda hingga pada tanggal 17 April.[95] Akibat letusan ini, sebanyak 71 ribu jiwa menjadi korban jiwa dari erupsi gunung ini, dengan 11–12 ribu jiwa diperkirakan menjadi korban langsung saat letusan.[95] Sementara itu, letusan ini juga kemungkinan besar menjadi penyebab terjadinya tahun tanpa musim panas setahun setelah letusan (1816), yang memakan korban belasan ribu jiwa.[97] Kaldera yang besar juga terbentuk akibat runtuhnya puncak Gunung Tambora setelah dapur magma menjadi kosong karena letusan, padahal gunung ini diperkirakan merupakan salah satu gunung tertinggi di Nusantara pada saat itu.[95]
Oleh karena wilayah yang dikembalikan merupakan koloni Belanda sebelum tahun 1803, wilayah kolonial di Nusantara yang diklaim oleh Britania Raya dan bukan milik Belanda pada tahun itu secara otomatis masih menjadi milik Britania Raya, termasuk wilayah Bencoolen (sekarang Bengkulu). Raffles dikirim kembali ke Nusantara, tetapi kali ini sebagai Letnan Gubernur Bengkulu, kemudian melakukan ekspedisi ke berbagai tempat, seperti Padang, Achin (Aceh), Rhio (Riau), Melaka, dan Singapura, meskipun ia dan pasukannya beberapa kali berseteru dengan pasukan Belanda yang juga menginginkan wilayah yang sama.[98]
Perluasan wilayah kolonial Hindia Belanda[sunting | sunting sumber]
Setelah Perjanjian Inggris-Belanda pada tanggal 13 Agustus 1814 di London dan berakhirnya peperangan Napoleon, Belanda secara perlahan-lahan mengambil kembali koloninya satu per satu. Pada tanggal 28 Agustus, Belanda membentuk angkatan militer untuk Hindia Belanda yang bernama Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).[99] Pada tahun 1816, Belanda berhasil mengambil alih seluruh koloni milik Belanda seperti sebelum peperangan Napoleon pecah. Setelah itu, Komisaris Jenderal Hindia Belanda, yaitu badan yang mengatur pengambilalihan wilayah Hindia Belanda, merestrukturisasi pemerintahan di Hindia Belanda dan membentuk Regeringsreglement (Peraturan Pemerintah) yang kemudian mengatur struktur pemerintahan Hindia Belanda selama beberapa dekade ke depan.[100] Peraturan ini menyiratkan pandangan politik yang disebut Pax Nederlandica, yaitu upaya Belanda untuk menguasai dan menduduki wilayah Nusantara dengan praktik kolonisasi yang lebih keras dan pembagian masyarakat ke dalam sistem kasta.[101] Sesuai pandangan tersebut, Belanda mulai mengerahkan KNIL ke wilayah-wilayah lain di Nusantara untuk memperluas wilayah Hindia Belanda.
Ekspansi koloni ke luar Pulau Jawa yang dilakukan oleh Belanda tentu saja mendapat perlawanan penduduk setempat yang diserang oleh armada Belanda.[102] Misalnya, pemberontakan yang dilancarkan oleh rakyat Maluku di bawah kepemimpinan Pattimura mulai pada bulan Mei 1817 terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat kecil. Pemberontakan tersebut berakhir dengan ditangkapnya Pattimura dan beberapa tokoh pejuang lainnya, yang kemudian dihukum gantung di depan Benteng Victoria di Ambon.[103] Lalu pada tahun 1819, Belanda melakukan ekspedisi untuk menguasai negara Palembang, yang disebut Perang Menteng, tetapi dikalahkan oleh pasukan Palembang yang dipimpin oleh Mahmud Badaruddin II, Sultan Palembang saat itu. Kemudian dua tahun setelahnya, Belanda kembali melakukan penyerangan ke Palembang, tetapi kali ini dengan taktik serangan tiba-tiba. Taktik tersebut berhasil mengecoh pasukan Palembang, sehingga Palembang akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh pasukan KNIL. Badaruddin dan keluarganya ditangkap lalu diasingkan ke Ternate, sementara negara Palembang resmi dihapuskan.[104]
Konflik di negeri suku Minangkabau, khususnya di negara Pagaruyung, antara kaum Padri (pendukung penegakan syariat Islam dalam tatanan adat Minangkabau) dan kaum Adat (pendukung adat dan tradisi murni Minangkabau) akhirnya memicu pecahnya Perang Padri yang pecah pada tahun 1803. Setelah Pagaruyung direbut oleh kaum Padri pada tahun 1815, kaum Adat yang terdesak kemudian meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang saat itu baru selesai menstabilkan pemerintahan kolonial di Hindia Belanda, dan akhirnya membuat suatu kesepakatan dengan pihak Belanda. Belanda mulai ikut ambil bagian dalam pertempuran sejak tahun 1821. Perlawanan kaum Adat bersama pasukan KNIL itu sempat mengalami kekalahan akhirnya melakukan gencatan senjata dengan pihak kaum Padri pada tahun 1825, setelah Belanda yang terpecah karena meletusnya Perang Diponegoro.[102][105]
Sementara itu, ekspansi yang dilakukan oleh Belanda juga mendapat perlawanan dari sesama bangsa Eropa, yaitu armada pasukan dari bangsa Inggris yang juga telah mengklaim beberapa wilayah di Nusantara. Perselisihan tersebut diawali dengan pembentukan Singapura sebagai tempat bermarkasnya pasukan Britania, yang ditentang oleh Belanda pada tahun 1819. Oleh karena didesak oleh para pedagang yang menginginkan kejelasan batas wilayah kolonial di Timur Jauh, pihak Belanda dan pihak Britania akhirnya mulai melakukan perundingan pada tanggal 20 Juli 1820. Meskipun begitu, perundingan kemudian ditunda pada tanggal 5 Agustus 1820. Perundingan dilanjutkan pada tanggal 15 Desember 1823, hingga akhirnya perundingan tersebut menghasilkan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824, juga di London. Secara garis besar, perjanjian ini menyebutkan bahwa Belanda akan melepaskan seluruh wilayah jajahannya di Semenanjung Malaka, Singapura, dan Anak Benua India kepada Britania Raya, tetapi sebaliknya, Britania Raya akan melepaskan seluruh wilayah jajahannya di Pulau Sumatra, Riau-Lingga (sekarang Kepulauan Riau), dan Banka-Biliton (sekarang Kepulauan Bangka Belitung) kepada Belanda.[100] Perjanjian tersebut secara tegas membagi wilayah kolonial di Nusantara menjadi Malaya Britania (diteruskan oleh Malaysia dan Singapura) dan Hindia Belanda (diteruskan oleh Indonesia). Perjanjian tersebut diratifikasi oleh Britania Raya pada tanggal 30 April 1824 dan oleh Belanda pada 2 Juni 1824. Kedua belah pihak kemudian bertemu kembali di London pada tanggal 8 Juni 1824 untuk saling menukarkan dokumen hasil ratifikasi.[100]
Selama perundingan tersebut, Belanda tetap melakukan misi kolonialisme dan imperialisme di Nusantara. Pada tahun 1823, pemberontakan di Pulau Kalimantan bagian barat oleh orang-orang Tionghoa, karena berselisih paham dengan pemerintah kolonial, berhasil diredam oleh KNIL.[106] Pada tahun 1824, pasukan KNIL yang dipimpin oleh Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen melawat ke negara Bone, yang sebelumnya melakukan hubungan kerja saja dengan Belanda setelah Perjanjian Bungaya, untuk merundingkan pembaruan pengakuan perjajian tersebut dengan pihak Bone. Namun, Bone ternyata ingin tidak ingin lagi melakukan kerja sama dengan pihak Belanda. Belanda yang tidak terima kemudian mengerahkan pasukan KNIL untuk menduduki Sulawesi, tetapi mereka mengalami kekalahan karena kekurangan pasukan, dan bahkan beberapa pos Belanda direbut oleh pasukan Bone. Pada tahun 1925, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan sejumlah besar pasukan beserta beberapa artileri untuk menangkap keluarga kerajaan Bone. Namun, sultan Bone dan pembesar-pembesarnya ternyata telah meninggalkan istana dan mengungsi ke pedalaman. Akibat peperangan yang pecah di Jawa dan Sumatra, pasukan pengejar dari KNIL terpaksa ditarik untuk menyelesaikan pertempuran.[107] Pasukan KNIL kembali dikerahkan setelah Perang Padri selesai pada tahun 1838, dan pada tahun yang sama, pihak Bone akhirnya menyerah dan bersedia mengakui kembali Perjanjian Bungaya.[108]
Di Jawa, pemerintah kolonial Belanda merencanakan pembangunan jalan di sekitar Yogyakarta pada bulan Mei 1825, dengan memasang patok-patok di setiap tanah yang akan dibangun jalan tersebut. Namun, jalan tersebut ternyata melewati lahan makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Diponegoro yang marah karena keputusan sepihak Belanda, ditambah faktor-foktor lain seperti penindasan sewenang-wenang Belanda terhadap rakyat Jawa dan ikut campur Belanda dalam keluarga keraton, membuatnya mengerahkan pasukan dari rakyat jelata dan beberapa bangsawan yang simpatik untuk memberontak melawan Belanda dan Yogyakarta.[109] Awalnya, mereka menggunakan strategi gerilya yang berhasil mengecoh tentara KNIL. Sayangnya, pemerintah Belanda yang mulai menganggap serius perlawanan pasukan Diponegoro kemudian mengerahkan pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang berhasil melumpuhkan dan memukul mundur pasukan Diponegoro.[110] Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, pasukan KNIL di bawah komando Hendrik Merkus de Kock berhasil menjepit Diponegoro dan membuatnya menyerah. Hampir seluruh penguasa lokal di Jawa tunduk menyerah pada Belanda, sementara Diponegoro yang ditangkap kemudian diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar.[109]
Setelah Belanda menyelesaikan perang di Jawa tersebut, Belanda kembali melanjutkan Perang Padri di tanah Minangkabau pada tahun 1931, dengan memulai operasi militer melawan kaum Padri. Semua berjalan sesuai rencana, hingga kaum Adat, yang tanpa disadari oleh pihak Belanda, mulai bersekongkol dengan pihak kaum Padri dan berkhianat kepada Belanda pada tahun 1933, dengan menyerang beberapa kubu pertahanan dan garnisun Belanda.[111] Melihat hal ini, Belanda mulai menyadari bahwa mereka bukan hanya harus menghadapi kaum Padri, tetapi menghadapi orang Minangkabau secara keseluruhan. Sejak saat itu, Belanda mulai berusaha untuk menarik hati penduduk-penduduk sekitar sembari tetap menyerang pos-pos milik kaum Padri.[102][105] Setelah pertempuran demi pertempuran yang berkepanjangan, Perang Padri akhirnya berakhir pada tanggal 28 Desember 1838,[112] setelah seluruh benteng milik kaum Padri jatuh ke tangan Belanda dan negara Pagaruyung runtuh. Wilayah bekas kerajaan tersebut diserap ke dalam wilayah kolonial Hindia Belanda.[100]
Setelah peperangan dan ekspedisi yang dilakukan oleh KNIL, Hindia Belanda telah mencakup sebagian besar Pulau Jawa, pantai barat Sumatra, Pulau Sumatra bagian selatan, Pulau Bangka dan Pulau Belitung, Makassar dan sekitarnya, bagian ujung utara Pulau Sulawesi, Maluku bagian tengah, dan Kupang. Namun akibatnya, keuangan Belanda semakin menjadi carut-marut dan nyaris di ambang kebangkrutan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat pada saat itu, yaitu Johannes van den Bosch, mengeluarkan kebijakan yang disebut Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) pada tahun 1830, yang pada intinya mengharuskan pribumi (inlander) memberikan 20% tanah pertanian untuk ditanami tanaman komoditas ekspor Belanda, atau memaksa petani untuk bekerja di tanah pertanian milik pemerintah selama 60 hari per tahun.[113] Kebijakan tersebut terbukti berhasil menstabilkan kas pemerintah kolonial Belanda dan memajukan jumlah ekspor Hindia Belanda ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan ekspor masa VOC, sehingga Belanda terlepas dari jeratan kebangkrutan dan bahkan mampu membayar lunas utang-utang yang tersisa setelah VOC bangkrut. Walaupun demikian, kebijakan tersebut justru membuat keadaan penduduk lokal di Hindia Belanda semakin lama semakin terpuruk, hingga bencana kelaparan hebat dan wabah penyakit bermunculan pada tahun 1840-an.[114] Perlawanan dari rakyat kecil dan bahkan dari para pedagang yang menginginkan sistem pasar bebas akhirnya menghilangkan kebijakan ini pada tahun 1870-an.
Sementara kebijakan Cultuurstelsel diberlakukan, Belanda juga masih tetap melakukan ekspedisi dan penyerangan ke wilayah-wilayah luar Jawa untuk memperluas cakupan wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1831, Belanda mulai mengirimkan pasukan KNIL untuk menyerang wilayah pesisir bagian barat di Sumatra, sebagai respons dari kenekatan orang-orang Aceh yang menduduki pos-pos milik Belanda di wilayah tersebut.[115] Setahun kemudian, Amerika Serikat (AS) juga mengirimkan pasukan ke Aceh, terutama daerah Kuala Batee, untuk membantu pasukan KNIL, karena merasa dirugikan setelah penduduk Kuala Batee merompak kapal Friendship milik AS dan membantai anak buah kapal tersebut.[116] Pertempuran berhenti setelah orang-orang Aceh menyerah.
Akibat kebijakan Cultuurstelsel, rakyat Batipuh yang dihasut oleh oleh Datuk Pamuncak kemudian melakukan pemberontakan terhadap Belanda, yang dimulai pada tanggal 22 Februari 1841. Pemberontakan tersebut menyulut pemberontakan lain di seputar daerah suku Minangkabau, hingga ke kawasan Fort de Kock (sekarang di Bukittinggi) dan Fort Van der Capellen (sekarang di Batusangkar). Dalam pemberontakan tersebut, beberapa tentara KNIL dari kalangan Belanda dan pribumi tewas.[117] Pemberontakan berhasil diredam seminggu setelahnya oleh Andreas Victor Michiels. Setelah pemberontakan tersebut, penduduk Batipuh dihukum kerja paksa.[118]
Pada tahun 1846, Hindia Belanda mengerahkan pasukan KNIL ke negara Buleleng di Bali utara untuk menguasai daerah tersebut, dengan dalih bahwa pihak Buleleng tidak mengindahkan kerja sama dengan pihak Belanda dan bahwa pihak Belanda menentang hak tawan karang milik raja-raja Bali, yaitu hak merampas kapal yang karam di wilayah Bali beserta muatannya, yang dianggap melanggar hukum internasional. Belanda mulai menguasai wilayah Buleleng dan Karangasem dengan kekuatan militer, hingga akhirnya tentara KNIL menduduki Singaraja, ibu kota Buleleng pada awal tahun 1848. Orang Bali utara bersedia untuk menandatangani perjanjian dan membiarkan Belanda mendirikan markas di Buleleng.[119] Namun, setelah KNIL kembali ke Jawa, orang Bali melanggar perjanjian tersebut dan bahkan melakukan penyerangan di bawah komando I Gusti Ketut Jelantik, seorang patih Buleleng. Pasukan KNIL kembali dikerahkan untuk menumpas pemberontakan pada pertengahan tahun 1848, tetapi pasukan Buleleng, yang berpindah markas ke Jagaraga setelah pasukan KNIL berlabuh di Bali, kali ini berhasil mengalahkan dan mengusir tentara KNIL.[119] Belanda yang tidak terima kemudian mengirimkan armada dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar di bawah komando Andreas Victor Michiels. Kali ini, mereka memilih menyerang melalui gabungan jalur laut dan darat. Buleleng yang dengan cepat dikuasai oleh tentara KNIL membuat sejumlah orang Buleleng melakukan ritual bunuh diri massal (puputan), yang saat ini dikenal dengan peristiwa Puputan Jagaraga.[119] Sisa pasukan Buleleng kemudian melarikan diri ke negara-negara lain, salah satunya Karangasem. Namun, wilayah Karangasem akhirnya juga dikuasai dengan mudah berkat bantuan dari pasukan dari orang-orang dari Pulau Lombok, yang bermusuhan dengan Karangasem. Dalam penyerangan ke Karangasem, Jelantik beserta I Gusti Ngurah Made Karangasem, raja Buleleng saat itu, gugur dalam pertempuran, sementara I Gusti Ngurah Gede Karangasem, raja Karangasem saat itu dan saudara sepupu dari Made Karangasem, melakukan puputan.[120] Pasukan KNIL kembali mengejar pasukan Bali yang melarikan diri ke Jembrana dan Klungkung. Namun, pengejaran ini terbukti tidaklah mudah bagi KNIL yang dihadang oleh pasukan Bali dari negara-negara selatan, yang kemudian diperparah dengan terbunuhnya Michiels dalam serangan mendadak di Kusamba, Klungkung.[121] Pihak Belanda dan pihak negara-negara Bali yang tidak menginginkan adanya pertumpahan darah lebih lanjut akhirnya menyetujui Perjanjian Kuta pada tahun 1850, yang membuat Hindia Belanda berhak memonopoli perdagangan di kerajaan-kerajaan Bali, sementara Buleleng dan Jembrana jatuh ke tangan Belanda, serta Karangasem menjadi negara vasal Belanda yang dikuasai oleh orang-orang Lombok, terutama oleh orang Bali-Mataram.[120]
Dalam beberapa tahun ke depannya, Belanda lebih gencar lagi melakukan penaklukan di beberapa wilayah Nusantara. Pada tahun 1850–1854, Belanda melakukan penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa di Pulau Kalimantan bagian barat yang menolak membayar pajak dan melawan pemerintah kolonial.[122] Pada tahun 1851–1859, Hindia Belanda mengirimkan tentara KNIL untuk menaklukkan sisa-sisa pengikut negara Palembang yang telah runtuh.[122] Antara tahun 1855–1864, Belanda melancarkan beberapa penyerbuan ke Pulau Nias untuk menaklukkan daerah tersebut.[122] Pada tahun 1858, Belanda memadamkan pemberontakan di Bali yang dikepalai oleh I Gusti Nyoman Ide Gempol. Pasukan pemberontak tersebut ditangkap dan Gempol diasingkan.[123] Kemudian pada tahun 1859, Bone kembali memberontak dan berperang melawan pemerintah kolonial. Pasukan KNIL yang dikerahkan untuk melakukan agresi militer awalnya gagal menaklukkan Bone karena banyaknya prajurit KNIL yang tewas dan pasukan ditarik untuk sementara waktu, tetapi setahun setelahnya, pasukan KNIL yang lebih besar dikerahkan dan Bone berhasil ditundukkan. Sebagian wilayah Bone direbut oleh Belanda dan menjadi wilayah Hindia Belanda.[122]
Perebutan takhta Banjar di antara Tamjidillah II (ditunjuk menjadi sultan Banjar oleh Belanda) dan Hidayatullah II (diangkat sebagai mangkubumi pada saat itu) membuat rakyat Banjar terpecah. Pada awal 1859, Perang Banjar di antara kedua kubu pendukung masing-masing tokoh tersebut meletus, dengan KNIL memposisikan diri di pihak Tamjidillah. Tetapi tidak lama kemudian, Tamjidillah turun takhta pada bulan Juni 1859, dan karena Belanda melihat bahwa tidak ada penerus yang dapat menggantikan posisinya, maka Belanda secara sepihak membubarkan negara Banjar. Namun, rakyat Banjar mengangkat Hidayatullah sebagai sultan Baru, lalu ia memimpin rakyat dari suku Banjar dan Dayak untuk memberontak terhadap pemerintahan kolonial. Setelah beberapa tahun bertempur melawan Belanda, pada bulan Maret 1862, Hidayatullah menyerah kepada pasukan KNIL dan kemudian diasingkan ke Cianjur. Antasari diangkat pemimpin pemerintahan tertinggi Banjar dan melanjutkan kepemimpinan pasukan pemberontakan. Namun setelah beberapa bulan, ia meninggal karena penyakit cacar pada tanggal 11 Oktober 1862. Pada tahun 1863, Belanda menetapkan bahwa perang telah berakhir, tetapi beberapa pemberontakan sporadis yang dipimpin oleh Muhammad Seman masih terjadi hingga kematiannya pada tahun 1905.[124]
Pada tahun 1864–1868, pemerintah Hindia Belanda mengirimkan pasukan KNIL untuk menaklukkan suku Basemah yang meneror Palembang dan Benkoelen (Bengkulu).[125] Kemudian pada tahun 1868, pihak Belanda dan pihak Britania Raya kembali berembuk untuk menentukan wilayah-wilayah kolonial tambahan yang belum disepakati dalam perjanjian tahun 1824. Pada tanggal 8 September 1870, dua perjanjian Inggris-Belanda ditandatangani,[126] salah satunya merupakan Perjanjian Siak yang berisi persetujuan pengintegrasian wilayah Siak Sri Inderapura ke dalam wilayah Hindia Belanda.[127] Sebenarnya pihak Belanda juga ingin memasukkan wilayah Aceh ke dalam klausa perjanjian, tetapi niat tersebut dihalangi oleh pihak Britania yang menginginkan wilayah Pantai Emas Belanda di Benua Afrika, yang saat itu dikuasai oleh Belanda, sebagai gantinya.[126] Dewan Perwakilan Belanda menolak meratifikasi Perjanjian Siak, sehingga pihak Belanda dan pihak Britania kemudian melakukan perembukan ulang. Pada tanggal 2 November 1871, kedua pihak menandatangani Perjanjian Sumatra, yang juga menambahkan klausa penggabungan Aceh dan seluruh Pulau Sumatra ke dalam wilayah Hindia Belanda, selain klausa-klausa yang telah disepakati dalam Perjanjian Siak.[126][128]
Setelah perundingan tersebut, Belanda mengerahkan pasukan untuk menyerang dan menguasai Aceh pada tahun 1873. Di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler dan Eeldert Christiaan van Daalen, pasukan KNIL berlabuh di Aceh dan mulai menyerang wilayah tersebut pada bulan Maret, tetapi sebulan kemudian, Belanda terpaksa menarik pasukan tersebut karena kurangnya persiapan.[129] Pada akhir tahun yang sama, Belanda kembali menyerang, kali ini, dengan jumlah pasukan yang sangat besar. Pada bulan Januari 1874, pengikut setia, keluarga kerajaan Aceh, dan Sultan Aceh saat itu, Mahmud Syah, yang tidak sanggup membendung pasukan KNIL akhirnya melarikan diri dari Kutaraja (sekarang Banda Aceh), ibu kota negara Aceh, dan bersembunyi di pedalaman. KNIL yang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini langsung menduduki Banda Aceh dan mengumumkan secara sepihak pembubaran negara Aceh dan pengintegrasian wilayah Aceh ke dalam Hindia Belanda. Setelah Mahmud Syah meninggal karena penyakit kolera tidak lama setelah ia melarikan diri, Muhammad Daud Syah diangkat sebagai sultan dan pemimpin pejuang Aceh. Pasukan Aceh yang bersembunyi masih melancarkan beberapa perlawanan kecil terhadap pasukan Belanda yang menguasai Kutaraja.[102] Pada dekade 1880-an, para ulama yang juga ikut dalam pasukan Aceh melawan Belanda, khususnya tokoh Teungku Chik di Tiro, mulai mempropagandakan Perang Aceh sebagai perang jihad melawan pasukan Belanda yang dipandang sebagai "para penjajah kafir", sehingga peperangan ini mulai dipandang sebagai simbol perlawanan umat Muslim terhadap imperialisme Barat.[130]
Kedatangan Belanda ke negeri suku Batak dengan maksud untuk menguasai wilayah tersebut sekaligus melakukan misi Kristen di tanah Batak membuat rakyat setempat, khususnya Sisingamangaraja XII, merasa terancam dengan kehadiran mereka. Pada tanggal 16 Februari 1878, Perang Batak antara pasukan Batak di bawah komando Sisingamangaraja dengan pasukan KNIL meletus. Pasukan Sisingamangaraja menyerang pasukan KNIL di pos-pos pertahanan milik Belanda. Pada bulan Desember, pasukan Sisingamangaraja membentuk aliansi dengan para pejuang dari Aceh yang juga sedang berperang dengan Belanda kala itu dan mereka bersama-sama melakukan taktik gerilya untuk menyulitkan Belanda. Selama satu dekade setelahnya, pertemputan antara pasukan Sisingamangaraja dan pasukan KNIL berjalan seimbang. Pasukan Sisingamangaraja berhasil merebut beberapa pos pertahanan milik Belanda, sementara Belanda menangkap dan menyiksa prajurit dari pasukan Sisingamangaraja. Pada tahun 1889, Belanda yang mulai melihat jalan buntu dalam peperangan tersebut akhirnya mengirimkan pasukan dengan jumlah yang lebih banyak lagi. Sejak saat itu, pasukan Sisingamangaraja mulai mengalami kekalahan dan jumlah prajurit semakin berkurang, hingga pada tanggal 17 Juni 1907, Korps Marechaussee te Voet (Marsose) dari KNIL berhasil mengepungnya dan sisa pasukannya di suatu desa bernama Sionom Hudon. Sisingamangaraja bersama kedua putranya gugur dalam pertempuran tersebut.[131][132]
Selagi Belanda memperluas wilayah kolonial Hindia Belanda, bencana berupa letusan dahsyat Gunung Krakatau terjadi pada tahun 1883. Sebenarnya, aktivitas seismik yang intens telah tercatat mulai dari beberapa tahun sebelumnya. Mulai pada tanggal 20 Mei 1883, Perbuwatan, yang merupakan puncak utara Gunung Krakatau, mengeluarkan asap dan uap yang kuat, yang terbawa hingga ke Batavia (sekarang Jakarta). Mulai pada tanggal 16 Juni, erupsi yang lebih kuat dengan awan dan kabut asap berwarna hitam tebal keluar dari Krakatau, dan pada tanggal 24 Juni, kawah baru, yang terbentuk di antara Perbuwatan dan Danan karena erupsi kuat tersebut, juga mulai mengeluarkan erupsi, sehingga kedua erupsi membentuk seperti dua pilar awan hitam yang besar. Pada awal bulan Agustus, pilar ketiga terbentuk dari erupsi Danan, sementara beberapa kawah kecil di sekitanya, yang mengeluarkan asap dan uap dalam jumlah banyak, terbentuk beberapa hari setelahnya, sehingga vegetasi di sekitar Gunung Krakatau mulai rusak dan hancur.[133] Pada tanggal 25–26 Agustus, erupsi semakin intens dan dahsyat, hingga menimbulkan tsunami kecil. Akhirnya, empat letusan sangat dahsyat yang menandakan puncak erupsi gunung berapi ini terjadi pada tanggal 27 Agustus. Letusan ketiga, yang menjadi letusan terkuat di antara keempatnya, menghasilkan suara dengan intensitas hingga 180 dB[134] Sedemikian lantangnya suara tersebut sehingga gendang telinga sebagian besar awak kapal RMS Norham Castle milik Britania Raya, yang kebetulan sedang berlayar di perairan Sumatra dekat Kepulauan Krakatau, pecah karena gelombang suara yang hebat, dan bahkan suara mirip tembakan meriam masih dapat terdengar dari Perth di Australia dan Pulau Rodrigues dekat Mauritius.[135] Tiap letusan menghasilkan tsunami yang mencapai tinggi hingga 30 m, yang menyebar hingga sampai ke Benua Afrika dalam bentuk gelombang yang relatif besar dan Selat Inggris dalam bentuk gelombang kecil.[133][136] Seluruh vegetasi di sekitar Selat Sunda rata dengan tanah akibat awan panas dan gelombang tsunami,[137] sementara korban manusia yang berjatuhan akibat letusan gunung dan tsunami berjumlah sekitar 36 ribu jiwa.[138] Setelah letusan dahsyat keempat tersebut, dua pertiga bagian utara Pulau Rakata runtuh ke dasar laut, serta menyisakan sepertiga bagian selatan pulau dan tebing curam yang merupakan sisa kaki Puncak Rakata yang tidak runtuh.[133] Setelah letusan dahsyat tersebut, erupsi berkurang secara drastis hingga dinyatakan selesai pada bulan Oktober 1883, meskipun aktivitas seismik masih terasa di sekitar daerah tersebut hingga bulan Februari 1884. Letusan ini diperkirakan berkontribusi pada musim dingin vulkanis yang terjadi selama empat tahun setelah letusan terjadi dan pemandangan-pemandangan langit spektakuler yang diakibatkan oleh abu vulkanik.[139]
Belanda tetap memperluas wilayah tundukan mereka di wilayah Aceh sedikit demi sedikit, termasuk di antaranya adalah daerah Meulaboh pada tahun 1883. Teuku Umar, sebagai penguasa lokal di Meulaboh, tunduk dan berdamai dengan pihak Belanda, sehingga ia dipercaya sebagai pemimpin pasukan yang membantu KNIL dalam perang melawan pasukan Aceh. Namun, penyerahan diri tersebut ternyata merupakan siasat Umar untuk mengelabui Belanda. Ketika Belanda kembali menyatakan perang terbuka dengan para pejuang gerilya Aceh pada tahun 1884, Umar dan pengikutnya merampok kapal dan senjata yang dipercayakan Belanda kepadanya dan membagikannya kepada para pejuang Aceh, sementara seluruh tentara dan awak kapal Belanda mereka habisi. Sejak saat itu, Teuku Umar ikut berperang bersama pejuang kesultanan melawan pasukan KNIL. Belanda menjadikan Umar sebagai buron dengan uang imbalan yang besar.[140] Setelah berperang melawan Belanda selama kurang lebih satu dekade, pada bulan September 1893, Umar yang melihat bahwa perang yang berkepanjangan tersebut membuat rakyat kesulitan akhirnya berusaha sekali lagi mengelabui Belanda dengan menyerahkan dirinya dan beberapa anak buahnya kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan bahkan bersandiwara seakan-akan ia sangat setia kepada Belanda. Hal ini bahkan mengelabui istri sekaligus teman seperjuangannya, Cut Nyak Dhien. Umar bergabung ke dalam dinas militer Belanda, dan dalam kurun waktu tiga tahun Umar mempelajari taktik dan siasat perang Belanda, mengumpulkan pasukan dan persenjataan, berhubungan dengan pejuang-pejuang Aceh lainnya secara diam-diam, serta mengirimkan uang dan gaji yang diterimanya kepada pasukan Aceh. Pada tanggal 30 Maret 1896, Umar menyatakan diri keluar dari dinas militer dan berbalik mendukung pejuang Aceh, setelah ia membawa lari 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang dalam jumlah besar.[141] Hal ini membuat pemerintah kolonial pusat sangat marah, sehingga Belanda melancarkan operasi militer besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar, tetapi para pejuang Aceh yang kini telah dilengkapi persenjataan yang didapat dari Belanda sendiri membuat pasukan KNIL kewalahan menangani mereka. Teuku Umar muncul sebagai kepala armada yang menyatukan pasukan-pasukan Aceh yang terpecah-pecah dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Joannes Benedictus van Heutsz, komandan pasukan KNIL yang melawan Aceh saat itu, akhirnya menggunakan mata-mata untuk melacak lokasi dan stategi perang Umar. Setelah mendapat kabar bahwa Umar akan menuju ke Meulaboh, Heutsz menyusun strategi serangan tiba-tiba untuk menangkap pasukan Umar. Akhirnya pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda berhasil menangkap pasukan Umar, sementara Teuku Umar sendiri gugur dalam penyerangan tersebut. Cut Nyak Dhien kemudian melanjutkan kepemimpinan Umar dalam melawan pasukan Belanda.[140]
Sementara berperang melawan pasukan Aceh dan Batak, Belanda tetap melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah Nusantara lainnya demi perluasan wilayah kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1970-an, Belanda berhasil menguasai Jawa, hampir seluruh Pulau Sumatra, Kupang, pesisir selatan Pulau Kalimantan, Makassar dan sekitarnya, Manado dan sekitarnya, serta sebagian besar Kepulauan Maluku. Penaklukan tersebut tentu saja menimbulkan gejolak perlawanan dan pemberontakan. Pada tahun 1885, penduduk Jambi melakukan pemberontakan terhadap Belanda dengan membunuh beberapa pejabat dan tentara Belanda, serta menyerang kapal-kapal Belanda yang berlabuh di pesisir Jambi. Pemberontakan dapat diredam setelah pemerintah kolonial mengirimkan beberapa armada kapal untuk menundukkan para pemberontak.[142] Kemudian pada tahun 1888, para petani Banten, khususnya petani yang mendiami Cilegon dan sekitarnya yang mengalami kesengsaraan akibat bencana dan wabah penyakit, melakukan pemberontakan terhadap Belanda dengan melakukan kerusuhan di kediaman para pejabat Belanda, tetapi pemberontakan tersebut dengan cepat diredam oleh pasukan KNIL dalam waktu beberapa hari.[143]
Pada tahun 1891, rakyat suku Sasak yang mayoritas beragama Islam melakukan pemberontakan terhadap kelompok Bali-Mataram (orang-orang suku Bali yang mendiami Pulau Lombok) beragama Hindu Bali yang telah menguasai seluruh Pulau Lombok sejak tahun 1839.[144] Pemberontakan tersebut dapat diredam oleh pasukan Bali-Mataram yang memiliki persenjataan yang lebih modern. Melihat bahwa pemberontakan yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil, pada bulan Februari 1894, pihak Sasak mengirimkan utusan untuk meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Belanda yang melihat konflik ini sebagai kesempatan untuk memperluas pengaruh di Bali dan Lombok akhirnya membantu pihak Sasak dengan melakukan blokade perdagangan dan memberi perintah agar orang-orang Bali-Mataram menyerah.[145] Namun, kelompok tersebut tidak mengindahkan ancaman tersebut, sehingga Belanda akhirnya turun tangan dengan mengirimkan pasukan ke Pulau Lombok pada bulan Juli 1894. Pada bulan Agustus, pasukan Bali-Mataram menentang kehadiran Belanda dengan menyerang pasukan KNIL secara tiba-tiba, hingga akhirnya pasukan tersebut harus menarik diri karena kehilangan banyak prajurit.[146] Pada bulan November, Belanda kembali mengirimkan pasukan KNIL dengan jumlah yang lebih besar ke Lombok. Pasukan tersebut dengan cepat berhasil menundukkan seluruh perlawanan dari orang-orang Bali-Mataram, sebagian terbunuh dalam pertempuran, sebagian memilih melakukan ritual puputan, dan sebagian menyerahkan diri.[144] Akhirnya, Karangasem dan Pulau Lombok menjadi wilayah kolonial Hindia Belanda, dan seluruh kekayaan kerajaan direbut oleh Belanda.[145] Belanda kembali melanjutkan usaha penaklukannya di Bali, sehingga tidak lama kemudian, negara Bangli and Gianyar menyerah kepada Belanda, sementara negara-negara di Bali selatan masih tetap bertahan.[147]
Antara tahun 1891–1892, Christiaan Snouck Hurgronje, seorang peneliti Dunia Barat melakukan penelitian atas budaya dan penduduk di tanah Aceh. Hurgronje menyimpulkan bahwa Belanda sebaiknya mengurangi operasi militer melawan orang Aceh dan membuang fokus mereka terhadap sultan, serta sebaliknya harus menaruh perhatian mereka untuk membentuk praktik spionase yang terorganisasi dan juga menarik hati para ulèëbalang, yaitu pemegang kekuasaan lokal di Aceh. Namun, ia juga memperingatkan bahwa beberapa kaum ulama tidak dapat diajak kerja sama dan hanya dapat ditundukkan dengan kekerasan.[148] Joannes Benedictus van Heutsz, gubernur militer atas pasukan KNIL yang menyerang Aceh, mulai mengimplementasikan saran Hurgronje tersebut dalam kebijakan-kebijakannya, yaitu dengan menawarkan suatu kemudahan perdagangan dan jaminan jabatan tetap sebagai penguasa wilayah kepada para ulèëbalang yang tunduk kepada Belanda. Kebijakan tersebut terbukti berhasil dengan mulusnya kegiatan ekspedisi pasukan Belanda ke Pedir (sekarang Pidie) pada tahun 1897–1898,[149] serta ekspedisi Belanda ke daerah Idi pada bulan Juli 1898.[150] Beberapa ulèëbalang yang menyerahkan diri kemudian menjadi mata-mata bagi Belanda untuk melacak para pejuang Aceh.[151] Kegiatan spionase mereka memberi andil terhadap keberhasilan pasukan KNIL dalam mengepung dan menggugurkan Teuku Umar pada tahun 1899, serta menangkap tokoh-tokoh Aceh yang penting, seperti Muhammad Daud Syah, Panglima Polem, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud pada tahun 1903. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh penting tersebut, Belanda menyatakan bahwa Perang Aceh telah selesai.[130] Pada tahun 1904, Belanda melakukan operasi militer besar-besaran ke tanah Gayo, Alas, dan Batak, serta ke daerah-daerah lainnya yang masih melakukan perlawanan. Sekitar tiga ribu jiwa penduduk Aceh tewas dalam operasi ini.[152] Berkat keberhasilannya dalam "membawa kedamaian" di tanah Aceh, Heutsz dianggap sebagai pahlawan di negeri Belanda dengan gelar "Pembawa Perdamaian Aceh", serta diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda pada tahun yang sama, yaitu tahun 1904.[151] Sementara itu, Cut Nyak Dhien, yang juga melakukan perlawanan terpisah, ditangkap oleh Belanda pada tanggal 4 November 1905.[153] Meskipun Belanda telah menyatakan bahwa perang telah usai, beberapa tokoh ulama Aceh masih tetap melakukan perlawanan, dengan tanah Gayo sebagai pusat perlawanan, hingga mereda sekitar tahun 1913–1914.[154]
Keberhasilan Belanda dalam menyelesaikan Perang Aceh yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade tersebut juga mendorong semangat pemerintah kolonial Belanda untuk menundukkan negara-negara merdeka lainnya yang masih tersisa di Nusantara.[151] Belanda berhasil melakukan ekspedisi untuk menguasai wilayah di daerah Kerinci (September 1903) serta menduduki wilayah Sulawesi bagian selatan dan membubarkan negara Gowa dan Bone (1905).[155] Pada tanggal 15 Juni 1908, pemberontakan yang dilakukan oleh penduduk Kamang melawan Pemerintah Hindia Belanda pecah dan menyebar ke daerah-daerah lain di Keresidenan Pesisir Barat Sumatra, seperti Manggopoh dan Lintau Buo. Pemberontakan tersebut terjadi akibat penerapan pajak (belasting) yang memberatkan masyarakat, sehingga pemberontakan ini disebut juga Perang Belasting. Pemerintah meresponsnya dengan mengirimkan korps marsose KNIL yang mampu menundukkan semua gelombang pemberontakan tersebut dalam waktu sehari.[156]
Belanda yang telah berhasil menaklukkan Bali bagian utara mulai melakukan penyerangan ke negara-negara selatan yang masih bertahan melawan pengaruh Belanda. Pada tanggal 27 Mei 1904, kapal sekunar asing bernama Sri Kumala terdampar di perairan Sanur dan dijarah oleh orang-orang Bali menurut adat tawan karang Bali. Belanda menggunakan alasan ini untuk mengultimatum Badung, Tabanan, dan Klungkung agar menyerah.[157] Akhirnya pada bulan September 1908, Belanda mengirimkan armada dan pasukan KNIL untuk menyerang kerajaan-kerajaan tersebut, Ketika pasukan tiba di negara Badung, Rakyat Badung yang tidak gentar melihat musuk kemudian menyerang pasukan mereka bersama I Gusti Ngurah Made Agung, raja mereka saat itu. Beberapa penduduk lokal juga melakukan ritual puputan atau melempari pasukan dengan perhiasan dan koin untuk mengolok-olok mereka. Kisah heroik raja dan rakyat Badung tersebut saat ini dikenal dengan peristiwa Puputan Badung.[157] Setelah negara Badung berhasil ditundukkan, pasukan KNIL melanjutkan penyerangannya ke Tabanan, tetapi raja dan pengikutnya pun melakukan ritual puputan di dalam kurungan.[158] Setelah itu, pasukan Belanda pergi ke Klungkung dan mempertimbangkan untuk menyerang Dewa Agung Jambe II, penguasa Klungkung dan penguasa nominal seluruh Bali saat itu, tetapi mengurungkan niat mereka setelah Dewa Agung menyerah dan setuju untuk menandatangani perjanjian dengan Belanda.[157] Belanda akhirnya mampu menguasai seluruh Pulau Bali. Namun, monopoli yang dilakukan oleh Belanda di tanah Bali akhirnya menimbulkan pemberontakan dari Dewa Agung, sebagai penguasa nominal Bali, dan pengikut-pengikutya pada bulan April 1908. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan pihak Belanda, sementara Dewa Agung terbunuh dan pengikut-pengikutnya melakukan puputan, yang saat ini dikenal dengan peristiwa Puputan Klungkung.[159]
Berkat peperangan demi peperangan yang telah dimenangkan oleh pasukan Belanda serta keberhasilan penundukan daerah-daerah yang memberontak kepada pemerintah kolonial, sebagian besar wilayah di Nusantara dapat dianeksasi ke dalam wilayah kolonial Hindia Belanda. Akibatnya, beberapa penguasa negara berdaulat (pada saat itu) yang takut akan kekuatan militer Belanda, seperti penguasa-penguasa di negara Tidore di Maluku, Pontianak di Kalimantan, dan Palembang di Sumatra, menyerah kepada Kerajaan Belanda demi menghindari penaklukan atas wilayahnya oleh pasukan Belanda dan agar mereka mampu merundingkan perjanjian damai yang lebih baik di bawah kekuasaan kolonial. Pada tahun 1920-an, wilayah barat Pulau Papua dimasukkan ke dalam kelola administrasi kolonial Belanda, sehingga sejak masa ini Hindia Belanda telah mencakup seluruh wilayah yang kelak menjadi negara Republik Indonesia modern.[151]
Pergerakan nasional bangsa Indonesia[sunting | sunting sumber]
Dipelopori oleh Conrad Theodore van Deventer, seorang ahli hukum Belanda yang menuliskan esai pada tahun 1899 mengenai utang budi Belanda kepada penduduk pribumi Hindia Belanda, dan Pieter Brooshooft, seorang jurnalis yang menuliskan tentang ketidakadilan yang terjadi di tanah Hindia Belanda, maka pada tanggal 17 September 1901, Wilhelmina, Ratu Belanda pada saat itu, mengumumkan kebijakan politik yang sangat kontras dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Belanda sebelumnya, yaitu Politik Etis.[160] Kebijakan ini pada dasarnya membayar utang budi kepada para pribumi di Hindia Belanda dengan menjalankan program Trias van Deventer, yang sejalan dengan ide-ide yang dikemukakan oleh Deventer, yaitu perbaikan dan pengembangan sistem irigasi, pelaksanaan program transmigrasi dari Pulau Jawa yang semakin padat, serta pembukaan sekolah-sekolah demi meningkatkan taraf pendidikan para pribumi.[161] Sementara program transmigrasi dan irigasi akhirnya terbukti tidak berjalan secara optimal, meskipun program edukasi (pendidikan) tersebut hanya menguntungkan kaum priayi (elite pribumi),[160] kebijakan tersebut telah memberikan sumbangsih terhadap kemunculan gerakan-gerakan nasionalis di tanah Hindia Belanda.
Pada tahun 1907, Wahidin Soedirohoesodo, seorang alumnus dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia, mengunjungi almamaternya itu dan menggagaskan kepada para pelajar di sana suatu organisasi yang mampu mendukung biaya pendidikan kedokteran bagi orang-orang pribumi yang berprestasi tetapi tidak mampu secara finansial. Usul ini menarik perhatian beberapa pelajar di sana, sehingga Soetomo dan Soeradji Tirtonegoro mengumpulkan Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, Raden Angka Prodjosoedirdjo, Mohammad Saleh, Raden Mas Goembrek, dan Soewarno untuk mewujudkan organisasi usulan Wahidin tersebut. Organisasi yang mereka namakan Boedi Oetomo (EYD: "Budi Utomo") ini terbentuk pada tanggal 20 Mei 1908, yang saat ini dirayakan sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Dalam waktu 5 bulan, organisasi ini berhasil menerima 1.200 anggota, dan mereka berfokus pada masalah sosial, pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan seputar masyarakat Pulau Jawa, Madura, dan Bali.[162] Dalam perjalanan waktu, organisasi ini mengalami berbagai kesulitan karena pencapaian organisasi yang dinilai lamban dan jangkauan organisasi yang tidak terlalu luas. Organisasi ini juga berusaha untuk tidak menyentuh ranah politik, meskipun dalam perkembangannya, organisasi ini diikuti oleh cukup banyak tokoh-tokoh politik.[163] Pada akhirnya, Boedi Oetomo bergabung dengan beberapa kelompok-kelompok kedaerahan lain dan membentuk Partij Indonesia Raja (EYD: "Partai Indonesia Raya").[164]
Sarekat Dagang Islam berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Samanhudi,[165] atau menurut versi lain oleh Tirto Adhi Soerjo pada tanggal 27 Maret 1909.[166] Meskipun tanggal pendirian sarekat ini tidak begitu jelas, organisasi tersebut diketahui telah beroperasi secara penuh sejak kantor cabang Batavia (sekarang Jakarta) dan Buitenzorg (sekarang Bogor) mulai terbentuk sejak tanggal 5 April 1909.[166] Awalnya, serikat ini didirikan sebagai wadah bagi pedagang-pedagang Muslim agar dapat bersaing dengan para pedagang Tionghoa, yang pada saat itu memiliki status sosial dan privilese yang lebih tinggi.[167] Oemar Said Tjokroaminoto, seorang nasionalis yang bergabung dengan serikat ini dan kemudian ditunjuk menjadi ketua, mengubah nama serikat ini menjadi Sarekat Islam pada tahun 1912, dengan tujuan agar organisasi ini tidak hanya berkecimpung di ranah perdagangan tetapi juga di ranah-ranah lain, seperti keagamaan.
Sementara itu, Ernest Douwes Dekker, seorang Indo yang vokal dalam mengkritik pemerintah kolonial, mencanangkan pembentukan suatu organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak kaum Indo dan pribumi melalui jalur politik. Ia kemudian mengajak tokoh Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, yang tertarik dengan visi dan pandangan Dekker, untuk bersama-sama mewujudkan idenya tersebut. Dalam rapat-rapat umum (vergadering) yang dimulai sejak tanggal 15 September 1912 sebagai persiapan pembentukan partai, pidato Dekker untuk menarik massa tersebut berhasil menarik perhatian ribuan orang dari berbagai kalangan dan daerah. Sebagian besar dari mereka merupakan orang-orang yang tidak memenuhi syarat keanggotaan serta tidak cocok dengan visi dan misi dari organisasi lain seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.[168] Akhirnya pada tanggal 25 Desember 1912, partai tersebut didirikan oleh Dekker, Tjipto, dan Soewardi, yang saat ini dikenal sebagai Tiga Serangkai, beserta tokoh-tokoh pribumi dan Indo lainnya, dengan nama Indische Partij (Partai Hindia). Belum sempat partai ini berkembang, keabsahan dan status badan hukum atas partai ini ditolak sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda, meskipun para pengurus partai telah beberapa kali mengajukan peninjauan ulang atas penolakan tersebut kepada pemerintah. Oleh karena itu, partai ini secara otomatis menjadi organisasi ilegal, sehingga pimpinan partai dengan berat hati membubarkan partai ini pada tanggal 31 Maret 1913.[169]
Setelah Indische Partij bubar pun, beberapa tokoh pejuang, seperti Tiga Serangkai, masih terus menyuarakan kritik terhadap pemerintah secara vokal melalui media cetak seperti De Expres. Pada tanggal 12 Juli 1913, De Expres memuat rancangan pembentukan Comite Boemi Poetera (EYD: "Komite Bumiputra") yang menyuarakan pencabutan Regeringsreglement 1854 Pasal 111 tentang pembatasan hak berorganisasi bagi pribumi, yang menjadi penyebab organisasi Indische Partij ditolak.[170] Keesokan harinya, koran yang sama memuat sebuah tulisan Ki Hadjar Dewantara yang berjudul Als Ik een Nederlander was ("Seandainya aku seorang Belanda"). Tulisan ini tentu saja menggemparkan para pejabat Belanda yang mulai khawatir akan gerak-gerik Tiga Serangkai yang dinilai mampu menciptakan pemberontakan. Tidak cukup sampai situ, Tjipto kemudian menulis artikel berjudul Kracht en Vrees ("Kekuatan dan Ketakutan") yang diterbitkan pada tanggal 27 Juli, sementara Soewardi menuliskan artikel baru yang kali ini berjudul Een voor allen en allen voor een ("Satu untuk semua dan semua untuk satu") dan diterbitkan dua hari setelah artikel Tjipto tersebut. Kedua artikel tersebut pada intinya mengkritik dan mengolok-olok pemerintah kolonial yang menyengsarakan penduduk setempat. Akibat tulisan tersebut, Tjipto dan Soewardi ditangkap dengan dakwaan mengganggu keamanan dan ketertiban umum di Hindia Belanda.[171] Penangkapan tersebut membuat Dekker, yang merupakan rekan seperjuangan mereka, menuliskan kritik terhadap penangkapan kedua tokoh tersebut dan dukungan atas mereka dalam artikel berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat ("Pahlawan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat") yang diterbitkan pada 5 Agustus. Akibat artikel tersebut dan fakta bahwa ia adalah rekan seperjuangan mereka, Dekker juga ikut ditangkap oleh pasukan Belanda.[172] Pada tanggal 18 Agustus, pemerintah kolonial mengeluarkan putusan bahwa Tiga Serangkai akan diasingkan ke negara Belanda.[173]
Pada tanggal 23 Mei 1914, Henk Sneevliet, seorang komunis, membentuk suatu serikat pekerja yang bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV; harfiah: "Perhimpunan Demokrat Sosial Hindia"), yang didukung oleh Partai Buruh Demokrat Sosial Belanda (SDAP), dengan tujuan menyebarkan paham-paham komunisme, khususnya marxisme, untuk membangkitkan semangat menentang pemerintah kolonial.[174] Tetapi pada tahun 1917, ISDV memisahkan diri dari SDAP. Tidak lama kemudian, ISDV yang awalnya didominasi oleh orang-orang Belanda mulai haluan, sehingga kelompok ini didominasi oleh kaum pribumi. Pada bulan Mei 1920, ISDV berganti nama menjadi Persarekatan Kommunist India (EYD: "Perserikatan Komunis Hindia") dan semakin melebarkan sayap mereka.[175] Organisasi ini mengganti namanya kembali pada tahun 1924, kali ini menjadi Partij Kommunist Indonesia (EYD: "Partai Komunis Indonesia"; PKI).[175]
Lama-kelamaan, Sarekat Islam akhirnya tetap melebarkan sayapnya hingga masuk ke ranah politik. Di saat yang sama, paham-paham komunisme mulai masuk melalui tokoh-tokoh muda mereka, yaitu melalui anggota-anggota yang tertarik dengan visi dan pandangan Sneevliet dari ISDV, seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin. Organisasi ini kemudian terpecah menjadi dua kubu, yaitu "SI Merah" yang berhaluan komunisme (sayap kiri) dan "SI Putih" yang menentang paham tersebut (sayap kanan).[176] Pada bulan Oktober 1921, para petinggi Sarekat Islam menyatakan bahwa anggota SI tidak boleh memiliki keanggotaan rangkap dengan organisasi lain, sehingga anggota-anggota dari Partij Kommunist Indonesia, Mohammadijah (EYD: "Muhammadiyah"), Persatoean Islam (EYD: "Persatuan Islam"), dan organisasi-organisasi lainnya dikeluarkan dari Sarekat Islam karena menolak melepaskan keanggotaan rangkap tersebut. Tokoh-tokoh PKH (turunan ISDV), seperti Semaoen dan Darsono terpaksa angkat kaki dari Sarekat Islam.[177] Pada tahun 1923, nama organisasi ini diubah menjadi Partai Sarekat Islam, mengukuhkan posisi organisasi ini sebagai partai politik. Pada tahun 1929, namanya diubah kembali menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia untuk memperjelas tujuan memperjuangkan kemerdekaan nasional sebagai tujuan partai.[178]
Awalnya dibentuk pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) oleh Soetan Kasajangan Soripada dan Noto Soeroto sebagai wadah pemersatu para pelajar Hindia di perantauan Belanda, sejak tokoh Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat dari Tiga Serangkai masuk menjadi anggota perkumpulan ini pada tahun 1913, Indische Vereeniging juga mulai digunakan sebagai forum untuk bertukar pendapat dalam ranah politik.[179] Pada bulan September 1922, perkumpulan ini secara resmi mengganti namanya menjadi Indonesische Vereeniging, menjadikan perkumpulan ini sebagai organisasi pertama yang resmi menggunakan nama "Indonesia". Indonesische Vereeniging secara resmi berkecimpung dalam ranah politik dengan tujuan mempropagandakan kemerdekaan Hindia Belanda. Pada tahun 1925, perkumpulan ini berganti nama menjadi Perhimpoenan Indonesia (EYD: "Perhimpunan Indonesia"), yaitu menggunakan terjemahan bahasa Melayu ejaan van Ophuijsen dari nama sebelumnya sebagai nama resmi organisasi tersebut.[180]
Selain organisasi-organisasi pergerakan nasional tersebut, beberapa gerakan kepemudaan juga muncul untuk menampung kebutuhan berorganisasi para pemuda dari kelompok etnik atau identitas tertentu di Hindia Belanda, seperti Jong Bataksbond (Persatuan Batak Muda), Jong Sumatranenbond (Persatuan Orang Sumatra Muda), Jong Java (Jawa Muda), Sekar Roekoen (EYD: "Sekar Rukun"), Jong Islamietenbond (Persatuan Muslim Muda), Jong Ambon (Ambon Muda), Jong Minahasa (Minahasa Muda), Jong Celebes (Sulawesi Muda), Pemoeda Kaoem Betawi (EYD: "Pemuda Kaum Betawi"), dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (EYD: "Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia").[181] Meskipun demikian, banyaknya kelompok-kelompok yang bersifat kedaerahan melahirkan gagasan bahwa kelompok-kelompok tersebut harus berkumpul dan mendiskusikan kerja sama di antara kelompok-kelompok tersebut, yang sebenarnya memiliki cita-cita kebebasan yang sama. Pada tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926, gerakan-gerakan kepemudaan (minus Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia, karena kedua organisasi tersebut belum terbentuk saat itu) mengadakan suatu kongres para pemuda, yang saat ini disebut Kongres Pemuda I, yang dipimpin oleh Mohammad Tabrani di Vrijmetselaarsloge ("Loji Tarekat Mason Bebas", saat ini menjadi Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Rapat pertama yang diadakan pada tanggal 30 April membahas tentang pentingnya kerja sama dan persatuan antarperhimpunan kepemudaan dan berbagai cara melepaskan diri dari penjajah. Kemudian rapat kedua pada tanggal 1 Mei membahas tentang pentingnya peran perempuan dalam perjuangan mencapai kebebasan dan kemerdekaan. Lalu rapat ketiga pada hari terakhir membahas tentang bahasa persatuan dan agama.[182][183] Pada pertemuan hari terakhir itulah, Mohammad Jamin dari Jong Sumatranenbond mengemukakan usulnya untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, meskipun kemudian dikritik oleh Tabrani yang menginginkan agar bahasa persatuan disebut bahasa Indonesia.[184] Di akhir pertemuan, mereka sepakat bahwa seluruh rakyat dan gerakan perjuangan Hindia Belanda perlu menanamkan semangat kemerdekaan dan persatuan sebagai cita-cita bersama.[182] Dalam kongres ini, istilah "Indonesia" mulai diperkenalkan untuk menggantikan identitas Hindia Belanda.
Partij Kommunist Indonesia (PKI) mengadakan rapat pleno pada bulan Mei 1925 untuk merundingkan rencana pemberontakan demi menggulingkan pemerintahan kolonial.[175] Dibuka dengan mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja kereta api, pemberontakan tersebut dimulai pada tanggal 12 November 1926 di Labuan dengan menyerang para pegawai pemerintah di kediaman masing-masing. Penyerangan tokoh-tokoh pejabat tersebut kemudian meluas ke wilayah-wilayah Keresidenan Banten, Batavia, Priangan, Kediri, Banyumas, Pekalongan, dan Kedu. Mulai keesokan hari hingga tanggal 8 Desember, pasukan militer KNIL mulai diturunkan untuk menangkap para pemberontak yang beraksi di Jawa, terutama di daerah Banten yang menjadi tempat pecahnya pemberontakan yang paling sengit.[185] Sementara di Pulau Sumatra, pemberontakan dilakukan oleh para anggota PKI mulai pada malam hari tanggal 31 Desember 1926 di Silungkang, kemudian menyebar ke wilayah-wilayah Minangkabau lainnya di Keresidenan Pesisir Barat Sumatra. Pada Hari Tahun Baru keesokan harinya, pasukan militer mulai dikerahkan untuk menangkap pemberontak PKI di Minangkabau. Pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatra akhirnya benar-benar dapat dipadamkan pada tanggal 28 Februari 1927.[185][186] Akibat pemberontakan tersebut, PKI ditetapkan sebagai organisasi terlarang di Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial, sehingga kegiatan operasional PKI harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh para anggotanya.
Kembali ke Kerajaan Belanda, pada tahun 1926, Mohammad Hatta diangkat sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia dan sejak dalam kepemimpinannya, organisasi ini semakin gencar menyuarakan dukungan terhadap pergerakan nasional dan mengutuk penindasan pihak pemerintah kolonial di Hindia Belanda.[187] Pada Desember 1926, Semaoen menemui Hatta untuk menawarkan kerja sama pergerakan nasional. Namun, Hatta tidak dapat menyetujui paham komunisme, sehingga kerja sama batal, meskipun pembatalan tersebut mendapat pertentangan dari anggota-anggota yang telah terpapar paham komunisme dalam Perhimpoenan Indonesia.[188] Pada tanggal 23 September 1927, Hatta beserta tiga anggota organisasi lainnya ditangkap dan diadili karena diduga terlibat dalam pemberontakan PKI yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Selama di dalam sel tahanan, Hatta menyusun suatu pidato pembelaan diri yang kemudian ia bacakan di depan hakim sidang pledoi pada tanggal 9 Maret 1928. Pidato tersebut kemudian menjadi terkenal dan diberi nama Indonesië Vrij ("Indonesia Merdeka").[189] Setelah ditahan selama beberapa bulan, Hatta dan ketiga orang lainnya yang ditangkap tersebut akhirnya dibebaskan dari tuduhan pada tanggal 22 Maret karena kurangnya bukti.[190] Pada tahun 1931, Hatta mundur dari jabatan sebagai ketua agar di dapat lebih berfokus pada pendidikannya, tetapi Hatta tetap berkomitmen akan membantu urusan internal organisasi. Namun, keputusan tersebut membuka kesempatan bagi para komunis yang menjadi anggota organisasi untuk menguasai Perhimpoenan Indonesia. Tidak lama kemudian, Hatta bersama beberapa tokoh berpaham nasionalisme lainnya dikeluarkan dari organisasi dan Perhimpoenan Indonesia akhirnya menjadi sebuah "organisasi boneka" di bawah Partai Komunis Belanda.[190]
Terinspirasi oleh Indonesische Studieclub (Kelompok Studi Indonesia) yang dibentuk oleh Soetomo sewaktu menjadi pengajar di Nederlandsch-Indische Artsen School ("Sekolah Dokter Hindia Belanda", sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga) di Surabaya pada tahun 1924,[191] Soekarno, yang pada saat itu tengah mengenyam pendidikan tinggi di Technische Hoogeschool te Bandoeng ("Sekolah Tinggi Teknik di Bandung", sekarang Institut Teknologi Bandung), mendirikan suatu kelompok yang terdiri dari mahasiswa sekolah teknik tersebut pada bulan November 1925, yang diberi nama Algemeene Studieclub (Kelompok Studi Umum). Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno bersama Tjipto Mangoenkoesoemo, Sartono, dan Iskaq Tjokrohadisoerjo, mendirikan Persarekatan National Indonesia (EYD: "Perserikatan Nasional Indonesia"), sementara Algemeene Studieclub dilebur oleh Soekarno ke dalam organisasi ini. Pada bulan Mei 1928, organisasi ini mengganti namanya menjadi Partij National Indonesia (EYD: "Partai Nasional Indonesia"; PNI) sekaligus memaklumkan tujuan partai, yaitu memperjuangkan kebebasan ekonomi dan kemerdekaan politik atas wilayah Hindia Belanda tidak melalui kerja sama dengan rezim kolonial Belanda.[192] Pertumbuhan anggota PNI yang signifikan membuat pemerintah kolonial merasa terancam, sehingga pada bulan Desember 1929, Soekarno dan beberapa petinggi partai ditangkap dan diadili dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum dan persekongkolan untuk menggulingkan pemerintah kolonial. Dalam suatu sidang pledoi pada tanggal 18 Agustus 1930 di Landraad Bandung (sekarang Gedung Indonesia Menggugat), Soekarno memberikan pembelaan dirinya di hadapan hadirin sidang dalam bentuk sebuah pidato, yang saat ini dikenal dengan nama Indonesia Menggugat.[193][194]
Setelah mengadakan kongres tahun 1926, gerakan-gerakan kepemudaan tersebut kembali merencanakan kongres lanjutan sejak bulan Agustus 1928. Mereka bersepakat bahwa kongres tersebut, yang saat ini disebut Kongres Pemuda II, akan diadakan pada tanggal 27–28 Oktober 1928 di tiga gedung berbeda di Batavia, serta akan diketuai oleh Soegondo Djojopoespito. Para perwakilan yang mengikuti kongres ini bukan saja berasal dari perhimpunan-perhimpunan kepemudaan, tetapi juga dari kelompok-kelompok berbasis nasionalisme dan agama serta kelompok-kelompok belajar dari tempat pengajaran tertentu.[195] Rapat pertama berlangsung pada tanggal 27 Oktober pukul 19.30–23.30 waktu setempat di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Persatuan Anak Muda Katolik),[lower-alpha 1] serta membahas mengenai gagasan wadah nasional dan cara mempererat hubungan antarkelompok demi persatuan dan kesatuan nasional. Dalam rapat ini, Moehammad Jamin kembali mempromosikan bahasa Melayu (dalam bentuk "bahasa Indonesia") sebagai bahasa persatuan.[195] Rapat kedua berlangsung pada keesokan harinya pukul 8.00–12.00 di Oost-Java Bioscoop (Bioskop Jawa Timur),[lower-alpha 2] dan membahas mengenai peran penting pendidikan dalam membantu mewujudkan cita-cita kemerdekaan.[195] Rapat ketiga berlangsung pada hari yang sama pukul 17.30–23.30 di Indonesische Clubhuis/Clubgebouw ("Gedung Perkumpulan Indonesia", sekarang Museum Sumpah Pemuda), serta membahas tentang kepanduan (pramuka) dan rangkuman seluruh rapat dalam kongres tersebut. Di sela-sela rapat terakhir kongres ini, lagu "Indonesia Raja" (EYD: "Indonesia Raya"), yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia, diperdengarkan untuk pertama kalinya melalui gesekan biola oleh penggubah lagu tersebut, yaitu Wage Rudolf Soepratman, di hadapan seluruh hadirin rapat, yang terharu oleh lantunan nada biola Soepratman. Oleh karena permintaan hadirin yang menginginkan agar lagu "Indonesia Raja" dinyanyikan dengan lirik, Dolly Salim, putri sulung Agoes Salim, ditunjuk untuk menyanyikan lagu ini dengan perubahan kata merdeka menjadi moelia untuk menghindari pemboikotan kongres oleh aparat pemerintah kolonial yang menjaga kongres ini.[198] Akhirnya, sebagai penutup dan untuk menyimpulkan hasil kongres tersebut, Soegondo membacakan suatu naskah resolusi yang dibuat oleh Jamin di depan para peserta kongres dan resolusi tersebut disetujui dan menjadi ikrar bagi seluruh peserta kongres yang hadir. Ikrar tersebut saat ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda, yaitu kesatuan pengakuan para pemuda sebagai "bangsa Indonesia pada tanah air Indonesia yang berbahasa Indonesia". Sejak keputusan tersebut, gerakan-gerakan nasional di Hindia Belanda mulai menggunakan nama "Indonesia" sebagai identitas mereka.[199]
Sejak pimpinan PNI ditangkap, aktivitas partai menjadi lumpuh. Sementara Soekarno dan tokoh-tokoh petinggi PNI lainnya mendapat putusan hukuman penjara pada sidang vonis tanggal 22 Desember 1930,[200] pada bulan yang sama, beberapa anggota PNI memisahkan diri dan bersama Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta membentuk organisasi baru yang bernama Pendidikan National Indonesia (EYD: Pendidikan Nasional Indonesia), yang disebut "PNI Baru". Berbeda dengan cita-cita PNI "lama", organisasi ini bertujuan untuk membina kader-kader yang diharapkan akan menjadi pemimpin politik di masa depan. Sjahrir ditunjuk sebagai ketua sementara sembari menunggu Hatta menyelesaikan studinya di Belanda.[201] Pada 25 April 1931, Sartono, sebagai ketua PNI saat itu, memutuskan untuk membubarkan PNI demi menghindari stigma buruk yang ditimbulkan oleh vonis Soekarno, dan kemudian mendirikan Partij Indonesia (EYD: Partai Indonesia; disingkat Partindo). Pada tanggal 31 Desember 1931, Soekarno dibebaskan lebih awal setelah pemerintah kolonial mendapat tekanan dari pihak luar dan dalam. Ia mengalami dilema setelah melihat PNI yang tepecah dua tersebut. Awalnya Soekarno berusaha untuk menyatukan kedua organisasi tersebut, tetapi setelah melihat bahwa usahanya itu sia-sia, ia memilih masuk menjadi anggota Partindo dan kemudian menjadi ketua organisasi tersebut pada tanggal 28 Juli 1932.[202] Pada bulan yang sama, Hatta etelah menyelesaikan studinya dan kembali ke Hindia Belanda, lalu menjadi anggota PNI Baru dan diangkat sebagai ketuanya pada bulan Agustus 1932.[188] Selain mengelola partai, Soekarno juga membuka usaha biro arsitektur "Soekarno & Roosseno" bersama Roosseno Soerjohadikoesoemo, sembari mengunjungi beberapa tokoh nasionalis lainnya di Pulau Jawa dan menulis artikel mengenai kemerdekaan pada koran Fikiran Ra'jat (EYD: "Pikiran Rakyat"),[203] sementara Mohammad Hatta menulis artikel yang bertujuan membangkitkan semangat kader politik masa depan di koran Daulat Ra'yat (EYD: "Daulat Rakyat"). Akibat tulisan-tulisan yang Soekarno buat di koran tersebut pada pertengahan tahun 1933, yang pada saat ini dikumpulkan sebagai sebuah risalah bernama Mentjapai Indonesia Merdeka (EYD: "Mencapai Indonesia Merdeka"), ia sekali lagi ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan oleh polisi pada tanggal 1 Agustus 1933.[204] Ia beserta keluarga lalu diasingkan ke Endeh (sekarang Ende) pada tahun 1934,[205] dan kemudian dipindahkan ke Bencoolen (sekarang Bengkulu) pada tahun 1938.[206] Sementara pada awal tahun 1934, giliran Hatta dan Sjahrir yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Keduanya diasingkan ke Boven Digoel pada tahun 1935,[207] lalu dipindahkan ke Banda Neira setahun setelahnya,[208] dan akhirnya dipindahkan lagi ke Sukabumi pada tahun 1941.[209]
Selain gerakan-gerakan politik pada tingkat nasional dan kedaerahan, beberapa tokoh pejuang juga mendirikan berbagai sekolah dan perguruan untuk mencerdaskan anak bangsa, dengan harapan bahwa kelak mereka menjadi penyokong untuk negara merdeka kelak. Surat-surat dari Kartini, seorang wanita keturunan priayi Jawa, semasa hidupnya (1879–1904) kepada sahabat-sahabat pena di Eropa, yang membahas tentang masalah sosial, ketimpangan gender, dan harapan akan emansipasi bagi wanita, membuat Conrad Theodor van Deventer, seorang anggota parlemen Belanda dan pemerhati Hindia Belanda, tergerak untuk lebih memperhatikan kondisi perempuan-perempuan pribumi di Belanda, sehingga ia beserta istrinya mendirikan Yayasan Kartini pada tahun 1912 sebagai wadah penggalangan dana, lalu membangun tempat-tempat pengajaran khusus perempuan yang diberi nama "Sekolah Kartini", dimulai pada tahun 1912 di Semarang.[210] Kemudian di Bandung, seorang wanita priayi Sunda bernama Dewi Sartika mendirikan suatu tempat pendidikan bagi perempuan bernama "Sakola Istri" pada tanggal 16 Januari 1904 di Pendopo Kabupaten Bandung, lalu diubah menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri (EYD: "Sekolah Keutamaan Istri") pada tahun 1910 dan menyebar ke seluruh wilayah Jawa bagian barat.[211] Selanjutnya, Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 28 Februari 1928,[212] mendirikan lembaga pengajaran berbasis pendidikan humanis, kerakyatan, dan kebangsaan, yang bernama National Onderwijs Institut (Lembaga Pendidikan Nasional) "Taman Siswa" pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta, yang kemudian menyebar ke seluruh Jawa dan bahkan ke luar pulau.[213][214] Selain itu, organisasi-organisasi yang mengajarkan tentang kepanduan (pramuka) juga berdiri sebagai sarana menyalurkan semangat untuk meraih kebebasan dan kemerdekaan, yaitu Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (Perhimpunan Pandu Hindia Belanda; NIPV), Nationale Padvinderij (Pandu Nasional), dan Persaoedaraan Antar Pandoe Indonesia (EYD: Persaudaraaan Antarpandu Indonesia), Kepandoean Bangsa Indonesia (EYD: Kepanduan Bangsa Indonesia), dan lain sebagainya.[215]
Menyadari ancaman dari organisasi-organisasi berbasis nasionalisme yang menuntut kebebasan dari cengkeraman kolonialisme Belanda, maka pada dekade 1930-an, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai melakukan pelarangan dan penutupan terhadap organisasi-organisasi tersebut, serta memenjarakan sejumlah pemimpin politik nasional. Meskipun Belanda tidak dapat sepenuhnya membungkam suara-suara lokal yang menuntut perubahan, mereka berhasil mencegah pergolakan secara luas. Walaupun sentimen nasionalisme tetap tinggi selama tahun-tahun tersebut, gerakan-gerakan nyata untuk memperjuangkan kemerdekaan tetap mampu dibatasi oleh pemerintah kolonial.[216] Namun, pecahnya Perang Dunia II sejak tanggal 1 September 1939 menimbulkan berbagai perubahan dramatis pada kekuatan politik dunia, termasuk Kerajaan Belanda yang melemah akibat terlibat dalam perang besar tersebut, terutama karena posisi Belanda kali ini adalah pihak utama yang terlibat dalam pertempuran, bukan seperti pada waktu Perang Dunia I, yaitu ketika Belanda hanya berposisi sebagai pihak pembantu. Melemahnya kekuatan Belanda tersebut diperparah dengan jatuhnya Belanda ke tangan militer Jerman Nazi pada tanggal 14 Mei 1940.[217] Kekacauan tersebut berpengaruh hingga ke Hindia Belanda, terutama ketika pasukan Jepang masuk ke Hindia Belanda untuk mengusir pasukan Belanda dan menduduki wilayah ini. Pertempuran ini membuka kesempatan bagi para nasionalis untuk kembali menajamkan taringnya dan menyuarakan kemerdekaan.[218]
Periode pendudukan[sunting | sunting sumber]
[icon] | Bagian ini memerlukan pengembangan dengan referensi dan artikel lebih banyak. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda sedang diduduki oleh Jerman Nazi, Kekaisaran Jepang berhasil menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan penghargaan oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943.[butuh rujukan]
Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah Perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Periode republik[sunting | sunting sumber]
[icon] | Bagian ini memerlukan pengembangan dengan referensi lebih banyak. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Setelah kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir masing-masing menjabat sebagai presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.
Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal oleh orang Belanda sebagai 'aksi kepolisian' (politionele actie), atau dikenal oleh orang Indonesia sebagai Agresi Militer.[219] Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutama Amerika Serikat. Mosi Integral Natsir pada tanggal 17 Agustus 1950, menyerukan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia dan membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali menjadi presiden dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti sekaligus merintis gerakan non-blok pada awalnya, kemudian menjadi lebih dekat dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Tiongkok dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"),[220] dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965 meletus peristiwa G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional menjadi berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.
Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno sendiri semakin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. Tiga puluh dua tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.
Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekonomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom lulusan Departemen Ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley".[221] Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.
Masa Peralihan Orde Reformasi atau Era Reformasi berlangsung dari tahun 1998 hingga 2001, ketika terdapat tiga masa presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Pada tahun 2004, diselenggarakan Pemilihan Umum satu hari terbesar di dunia[222] yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden terpilih secara langsung oleh rakyat, yang menjabat selama dua periode. Pada tahun 2014, Joko Widodo, yang lebih akrab disapa Jokowi, terpilih sebagai presiden ke-7.
Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah berusaha untuk melepaskan diri dari naungan NKRI, terutama Papua.[butuh rujukan] Timor Timur secara resmi memisahkan diri pada tahun 1999 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.
Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam Pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.
Geografi[sunting | sunting sumber]
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang berada di Asia Tenggara,[223] dan terletak di antara benua Asia dan benua Australia/Oseania, serta di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Negara ini memiliki 17.504 pulau yang menyebar di sekitar khatulistiwa; sebanyak 16.056 pulau telah dibakukan namanya,[224] dan sekitar 6.000 pulau tidak berpenghuni.[225][226] Pulau-pulau besar di Indonesia yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan (berbagi dengan Malaysia dan Brunei Darussalam), Sulawesi, dan Papua (berbagi dengan Papua Nugini).
Indonesia berada pada koordinat antara antara 6° 04' 30" LU dan 11° 00' 36" LS serta antar 94° 58' 21" dan 141° 01' 10" BT,[227] yang membentang sepanjang 5.120 kilometer (3.181 mil) dari timur ke barat serta 1.760 kilometer (1.094 mil) dari utara ke selatan.[228] Luas daratan Indonesia adalah 1.916.906,77 km²,[229] sementara luas perairannya sekitar 3.110.000 km² dengan garis pantai sepanjang 108 ribu km.[230] Batas wilayah Indonesia diukur dari kepulauan dengan menggunakan teritorial laut 12 mil laut serta zona ekonomi eksklusif 200 mil laut,[231] searah penjuru mata angin, yaitu:
Utara | Malaysia dengan perbatasan sepanjang 1.782 km,[225] Singapura, Filipina, dan Laut Tiongkok Selatan |
Timur | Papua Nugini dengan perbatasan sepanjang 820 km,[225] Timor Leste, dan Samudra Pasifik |
Selatan | Australia, Timor Leste, dan Samudra Hindia |
Barat | Samudra Hindia |
Titik tertinggi di Indonesia yaitu Puncak Jaya (4.884 mdpl) di Provinsi Papua Tengah.[232] Danau Toba di Sumatra Utara adalah danau terluas di Indonesia sekaligus danau kaldera terbesar di dunia,[233] sedangkan sungai terpanjang di Indonesia yaitu Sungai Kapuas yang berada di Kalimantan Barat.[234]
Iklim[sunting | sunting sumber]
Secara umum, Indonesia beriklim tropis (kelompok A dalam klasifikasi iklim Köppen; meskipun ada wilayah dengan tipe iklim yang berbeda).[235][236] Perairan yang hangat di wilayah Indonesia sangat berperan dalam menjaga suhu di darat tetap konstan, dengan rerata suhu di wilayah pesisir sebesar 28 °C, di wilayah pedalaman dan dataran tinggi sebesar 26 °C , serta di wilayah pegunungan sebesar 23 °C. Kelembapan berkisar antara 70 hingga 90%.[237]
Faktor utama yang memengaruhi iklim Indonesia bukanlah suhu udara ataupun tekanan udara, melainkan curah hujan. Variasi musim di Indonesia, yaitu musim hujan dan musim kemarau, berkaitan dengan pergerakan angin muson. Angin muson barat yang bertiup dari Asia ke Australia melalui Indonesia pada bulan Oktober hingga Februari mengakibatkan curah hujan yang tinggi, terutama di Indonesia bagian barat. Sementara itu, angin muson timur yang bergerak ke arah sebaliknya pada bulan April hingga Agustus tidak banyak membawa uap air dan menurunkan hujan. Selain itu, ada pula musim peralihan ketika matahari melintasi khatulistiwa yang mengakibatkan angin bertiup lemah dan bergerak tak menentu.[238][239] Meskipun demikian, tidak semua wilayah Indonesia memiliki pola curah hujan yang sama. Selain daerah musonal, ada pula daerah ekuatorial yang dipengaruhi daerah pertemuan angin antartropis, serta daerah lokal yang polanya berkebalikan dengan pola musonal.[240][241]
Beberapa penelitian memproyeksikan Indonesia terdampak perubahan iklim.[242] Dampak buruk yang ditimbulkan di antaranya kenaikan suhu rata-rata sekitar 1 °C pada pertengahan abad ini akibat emisi yang tidak berkurang,[243][244] peningkatan frekuensi kekeringan dan kekurangan pangan (akibat perubahan curah hujan dan pola musim yang memengaruhi pertanian), serta berbagai penyakit dan kebakaran hutan.[244] Naiknya permukaan air laut juga mengancam sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir.[244][245][246] Penduduk prasejahtera mungkin merupakan kelompok yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim.[247]
Geologi[sunting | sunting sumber]
Secara tektonik, sebagian besar wilayah Indonesia sangat tidak stabil karena lokasinya menjadi pertemuan dari beberapa lempeng tektonik, seperti lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasia. Negara ini terletak di Cincin Api Pasifik sehingga memiliki banyak gunung berapi dan sering mengalami gempa bumi.[248] Busur vulkanik berjajar mulai dari Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, dan kemudian ke Kepulauan Banda di Maluku hingga ke timur laut Sulawesi.[249] Dari sekitar 400 gunung berapi, kurang lebih 130 di antaranya masih aktif.[248]
Sebuah letusan supervulkan pada sekitar 77.000 SM yang membentuk Danau Toba dipercaya mengakibatkan musim dingin vulkanik dan penurunan suhu dunia selama bertahun-tahun.[250] Letusan Tambora pada tahun 1815 dan letusan Krakatau pada 1883 juga termasuk letusan gunung terbesar yang tercatat sepanjang sejarah.[251][252] Gempa bumi berdorongan besar yang berdampak ke Indonesia dan terjadi belum lama ini adalah gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004.[253]
Lingkungan hidup[sunting | sunting sumber]
Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi sehingga dikelompokkan sebagai salah satu dari 17 negara megadiversitas oleh Conservation International.[254][255] Dari sudut pandang wilayah biogeografi, Indonesia termasuk dalam wilayah Malesia. Flora dan faunanya merupakan campuran dari spesies khas Asia dan Australasia. Alfred Russel Wallace, seorang ahli sejarah alam, menghipotesiskan sebuah garis pemisah (yang kemudian disebut garis Wallace) untuk membedakan organisme yang berasal dari Asia (Paparan Sunda) dan Australia (Paparan Sahul). Kawasan biogeografi yang menjadi zona transisi di antara kedua paparan ini disebut Wallacea.[256] Selain itu, garis Weber dan garis Lydekker juga digunakan untuk menetapkan batas biogeografi Indonesia.[257]
Indonesia memiliki sekitar 10% dari seluruh spesies tumbuhan berbunga di Bumi (sebanyak 25.000 spesies, 55% di antaranya endemik di Indonesia). Negara ini juga memiliki sekitar 12% spesies mamalia di Bumi (515 spesies) sehingga menempati peringkat kedua pada keanekaragaman mamalia setelah Brasil. Indonesia menempati peringkat keempat pada keanekaragaman spesies reptil (781 spesies) dan primata (35 spesies), peringkat kelima pada keanekaragaman spesies burung (1.592 spesies), serta peringkat keenam pada keanekaragaman spesies amfibi (270 spesies).[258]
Meskipun demikian, populasi penduduk Indonesia yang besar dan terus meningkat serta industrialisasi yang pesat memunculkan masalah lingkungan hidup yang serius, di antaranya perusakan lahan gambut, deforestasi ilegal berskala besar (yang mengakibatkan kabut asap di beberapa bagian Asia Tenggara), eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan, polusi udara, pengelolaan sampah, hingga penyediaan air dan sanitasi yang memadai.[259] Isu-isu tersebut berkontribusi pada rendahnya peringkat Indonesia (nomor 116 dari 180 negara) dalam Indeks Kinerja Lingkungan 2020. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa kinerja Indonesia secara umum di bawah rata-rata, baik dalam konteks regional maupun global.[260]
Pada tahun 2018, sekitar 49,7% dari luas daratan Indonesia ditutupi oleh hutan,[261] turun dari angka 87% yang dihitung pada tahun 1950.[262] Sejak dasawarsa 1970-an hingga saat ini, produksi kayu bulat serta berbagai tanaman perkebunan dan pertanian bertanggung jawab atas sebagian besar deforestasi di Indonesia.[262] Belakangan ini, deforestasi didorong oleh industri kelapa sawit. Meskipun dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, industri ini dapat merusak ekosistem dan menimbulkan masalah sosial.[263] Situasi ini menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca berbasis hutan terbesar di dunia,[264] serta mengancam kelangsungan hidup spesies asli dan endemik. Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) mengidentifikasi sejumlah spesies yang terancam kritis, termasuk jalak bali,[265] orang utan sumatra,[266] dan badak jawa.[267]
Politik dan pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Sistem pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Indonesia merupakan negara kesatuan yang menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Konstitusi Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang pada era reformasi mengalami empat kali amendemen sehingga membawa perubahan besar pada kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[268] Salah satu perubahan utama adalah pendelegasian kekuasaan dan wewenang kepada berbagai entitas regional sambil tetap menjadi negara kesatuan.[269][270]
Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden yang dibantu oleh wakil presiden dan kabinet. Presiden Indonesia merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, sekaligus panglima tertinggi Tentara Nasional Indonesia. Presiden dan wakil presiden dapat menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.[271] Joko Widodo dan Ma'ruf Amin adalah pasangan presiden dan wakil presiden yang terpilih untuk masa jabatan 2019–2024. Mereka memimpin Kabinet Indonesia Maju yang terdiri atas 34 menteri dan sejumlah pejabat setingkat menteri.[272]
Lembaga perwakilan tertinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang berwenang mengubah dan menetapkan konstitusi, serta melantik dan memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden.[273] Lembaga ini berbentuk bikameral yang terdiri dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berasal dari partai politik, ditambah dengan 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan wakil provinsi dari jalur independen.[274] Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilihan umum dengan masa jabatan lima tahun. Fungsi yang dijalankan oleh DPR yaitu legislasi (membentuk undang-undang), anggaran (membahas dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan pengawasan (mengawasi kinerja pemerintah),[275][276] sedangkan DPD merupakan lembaga legislatif yang lebih dikhususkan pada pengelolaan daerah.[277][278] Saat ini, MPR diketuai oleh Bambang Soesatyo,[279] DPR diketuai oleh Puan Maharani,[280] sedangkan DPD diketuai oleh La Nyalla Mattalitti.[281]
Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).[282] Sementara itu, Komisi Yudisial mengawasi kinerja para hakim.[283]
Hubungan luar negeri[sunting | sunting sumber]
Indonesia memiliki 132 perwakilan diplomatik di luar negeri, termasuk 95 kedutaan.[285] Negara ini memiliki kebijakan politik luar negeri "bebas dan aktif", yang berarti bahwa Indonesia tidak berpihak pada blok-blok kekuatan dan persekutuan militer di dunia, sekaligus bersikap aktif dalam menjaga ketertiban dunia, sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945.[286]
Berlawanan dengan Sukarno yang anti-Imperialisme, antipati terhadap kekuatan barat, dan bersitegang dengan Malaysia, hubungan luar negeri sejak "Orde baru"-nya Suharto didasarkan pada ekonomi dan kerja sama politik dengan negara-negara barat.[287] Indonesia menjaga hubungan baik dengan tetangga-tetangganya di Asia, dan Indonesia adalah pendiri ASEAN dan East Asia Summit.
Indonesia menjalin hubungan kembali dengan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1990, padahal sebelumnya melakukan pembekuan hubungan sehubungan dengan gejolak anti-komunis di awal kepemerintahan Suharto. Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-bangsa sejak tahun 1950,[288] dan pendiri Gerakan Non Blok dan Organisasi Kelompok Islam yang sekarang telah menjadi Organisasi Kerjasama Islam. Indonesia telah menandatangani perjanjian ASEAN Free Trade Area, Cairns Group, dan World Trade Organization, dan pernah menjadi anggota OPEC, meskipun Indonesia menarik diri pada tahun 2008 sehubungan Indonesia bukan lagi pengekspor minyak mentah bersih. Indonesia telah menerima bantuan kemanusiaan dan pembangunan sejak tahun 1966, terutama dari Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, Australia, dan Jepang.
Pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan dunia internasional sehubungan dengan pengeboman yang dilakukan oleh militan Islam dan Al-Qaeda.[289] Pemboman besar menimbulkan korban 202 orang tewas (termasuk 164 turis mancanegara) di Kuta, Bali pada tahun 2012.[290] Serangan tersebut dan peringatan perjalanan (travel warnings) yang dikeluarkan oleh negara-negara lain, menimbulkan dampak yang berat bagi industri jasa perjalanan/turis dan juga prospek investasi asing.[291] Tetapi beruntung ekonomi Indonesia secara keseluruhan tidak terlalu dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas, karena Indonesia adalah negara yang ekonomi domestiknya cukup kuat dan dominan.[butuh rujukan]
Militer[sunting | sunting sumber]
Tentara Nasional Indonesia terdiri dari TNI–AD, TNI-AL (termasuk Marinir) dan TNI-AU.[292] Berkekuatan 400.000 prajurit aktif, memiliki anggaran 4% dari GDP pada tahun 2006, tetapi terdapat kontroversi bahwa ada sumber-sumber dana dari kepentingan-kepentingan komersial dan yayasan-yayasan yang dilindungi oleh militer.[293] Satu hal baik dari reformasi sejalan dengan mundurnya Suharto adalah mundurnya TNI dari parlemen setelah bubarnya Dwi Fungsi ABRI, walaupun pengaruh militer dalam bernegara masih tetap kuat.[294] Gerakan separatis di sebagian daerah Aceh dan Papua telah menimbulkan konflik bersenjata, dan terjadi pelanggaran HAM serta kebrutalan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.[295][296] Setelah 30 tahun perseteruan sporadis antara Gerakan Aceh Merdeka dan militer Indonesia, maka persetujuan gencatan senjata terjadi pada tahun 2005.[297] Di Papua, telah terjadi kemajuan yang mencolok, walaupun masih terjadi kekurangan-kekurangan, dengan diterapkannya otonomi, dengan akibat berkurangnya pelanggaran HAM.[298]
Pembagian administratif[sunting | sunting sumber]
Templat:Transcluded sectionTemplat:Peta Indonesia
Saat ini, Indonesia terdiri atas 38 provinsi,[299] 416 kabupaten dan 98 kota, 7.024 daerah setingkat kecamatan,[300] atau 81.626 daerah setingkat desa/kelurahan.[301]
Di antara provinsi-provinsi tersebut, sembilan di antaranya memiliki status kekhususan dan/atau keistimewaan. Daerah-daerah tersebut ialah Aceh, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan.
Tiap provinsi memiliki DPRD Provinsi dan gubernur, tiap kabupaten memiliki DPRD Kabupaten dan bupati, sementara tiap kota memiliki DPRD Kota dan wali kota; semuanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Hal tersebut tidak berlaku pada DKI Jakarta yang terbagi atas kabupaten administrasi atau kota administrasi yang bukanlah daerah otonom, sehingga DPR Kabupaten atau Kota tidak ada di dalam daerah-daerah tersebut, serta bupati dan wali kotanya adalah pegawai negeri yang ditunjuk oleh Gubernur DKI Jakarta.
Indonesia memperbolehkan penamaan lokal/khusus untuk digunakan pada daerah-daerah administratif di bawah tingkat kabupaten/kota, sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa contoh di antaranya ialah kalurahan, kapanewon, kemantren, gampong, kampung, nagari, pekon, dan distrik.
Berikut ini merupakan provinsi di Indonesia beserta ibu kotanya.
Ibu kota negara[sunting | sunting sumber]
Templat:Location map+ Hingga saat ini, ibu kota negara Republik Indonesia berkedudukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.[303] Namun sejak tahun 2019, Pemerintah Indonesia melaksanakan proses pemindahan ibu kota Indonesia ke Ibu Kota Nusantara, yang direncanakan akan diresmikan pada tahun 2024.[304]
Semenjak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ibu kota negara Indonesia secara de facto berkedudukan di Jakarta. Ibu kota negara sempat dipindahkan ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 ketika pasukan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) menduduki Jakarta,[305] kemudian ke Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948 ketika pemerintah pusat lumpuh karena ditawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta oleh pasukan militer Belanda dan tampuk pemerintahan dipegang sementara oleh Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI),[306] lalu kembali lagi ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949 setelah kembalinya Soekarno-Hatta dari penawanan. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), ibu kota Negara Bagian Republik Indonesia berkedudukan di Yogyakarta sementara ibu kota federal RIS berada di Jakarta. Setelah kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, ibu kota negara kembali berkedudukan di Jakarta. Pada tanggal 28 Agustus 1961, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 yang mengukuhkan status Jakarta sebagai ibu kota negara.[307]
Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo melalui Pemerintah Pusat membuat kajian rancangan,[308] melakukan pencanangan,[309] dan menentukan letak wilayah dari ibu kota baru, yaitu sebagian dari wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.[310] Pemerintah bahkan sempat membentuk tim-tim pelaksana pemindahan ibu kota pada bulan Januari 2020,[311][312] yang akan melaksanakan pembangunan pada pertengahan tahun 2020, tetapi harus ditunda akibat pandemi Covid-19.[313] Pada tanggal 18 Januari 2022, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Ibu Kota Negara, yang berisi pembentukan dan garis besar rencana pembangunan ibu kota baru, yang diberi nama Ibu Kota Nusantara, yang kemudian diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022.[314] Upacara simbolis penyatuan tanah ketiga puluh empat provinsi di Indonesia saat itu dilakukan oleh Presiden Jokowi bersama para gubernur dan wakil gubernur se-Indonesia pada tanggal 14 Maret 2022 di Titik Nol Ibu Kota Nusantara.[315]
Ekonomi[sunting | sunting sumber]
Lebih dari Rp100 juta Rp50–100 juta Rp40–50 juta Rp30–40 juta | Rp20–30 juta Rp10–20 juta Rp5–10 juta Kurang dari Rp5 juta |
Sistem ekonomi Indonesia awalnya didukung dengan diluncurkannya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) pada tanggal 30 Oktober 1946 yang menjadi mata uang pertama Republik Indonesia, yang selanjutnya berganti menjadi Rupiah.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal tersebut, ditambah pula kemelut politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada ekonomi negara.[316]
Pemerintahan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadwalan ulang utang luar negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing.[316] Pada era tahun 1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar 7% antara tahun 1968 sampai 1981.[316] Reformasi ekonomi lebih lanjut menjelang akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan pelemahan nilai rupiah yang terkendali,[316] selanjutnya mengalirkan investasi asing ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor pada antara tahun 1989 sampai 1997[317] Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi tahun 1997 yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu,[318] yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Templat:Double image Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2004 dan 2005 melebihi 5% dan diperkirakan akan terus berlanjut.[319] Namun, dampak pertumbuhan itu belum cukup besar dalam memengaruhi tingkat pengangguran, yaitu sebesar 9,75%.[320][321] Perkiraan tahun 2006, sebanyak 17,8% masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, dan terdapat 49,0% masyarakat yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$ 2 per hari.[322]
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kelima[323] di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan karet.[324] Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan, menyebutkan bahwa Peraturan Presiden №125/2022 berisi tentang cadangan pangan pemerintah yang menjadi prioritas dalam perekonomian negara.[325]
Sektor jasa adalah penyumbang terbesar PDB, yang mencapai 45,3% untuk PDB 2005. Sedangkan sektor industri menyumbang 40,7%, dan sektor pertanian menyumbang 14,0%.[326] Meskipun demikian, sektor pertanian mempekerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainnya, yaitu 44,3% dari 95 juta orang tenaga kerja. Sektor jasa mempekerjakan 36,9%, dan sisanya sektor industri sebesar 18,8%.[327]
Rekan perdagangan terbesar Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara jirannya yaitu Malaysia, Singapura dan Australia.
Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam pemerintahan. Lembaga Transparency International menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-143 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang dikeluarkannya pada tahun 2007.[328]
Peringkat internasional[sunting | sunting sumber]
Organisasi | Nama Survei | Peringkat |
---|---|---|
Heritage Foundation/The Wall Street Journal | Indeks Kebebasan Ekonomi | 69 dari 180[329] |
The Economist | Indeks Kualitas Hidup | 71 dari 111[330] |
Reporters Without Borders | Indeks Kebebasan Pers | 103 dari 168[331] |
Transparency International | Indeks Persepsi Korupsi | 98 dari 180[332] |
United Nations Development Programme | Indeks Pembangunan Manusia | 111 dari 189[333] |
Forum Ekonomi Dunia | Laporan Daya Saing Global | 45 dari 140[334] |
Central Connecticut State University | Peringkat Literasi Membaca | 60 dari 61[335] |
Demografi[sunting | sunting sumber]
Kependudukan[sunting | sunting sumber]
10.001 ke atas 1.001 ke 10.000 101 ke 1.000 11 ke 100 1 ke 10 |
Menurut sensus 2020, jumlah penduduk Indonesia yaitu 270,20 juta jiwa, yang menjadikannya negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia,[336] dengan kepadatan penduduk sebanyak 141 jiwa per km2 dan rerata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,25%.[337] Sebanyak 56,1% penduduk (151,59 juta jiwa) tinggal di Pulau Jawa yang merupakan pulau berpenduduk terbanyak di dunia.[338] Pada tahun 1961, sensus pertama setelah Indonesia merdeka mencatat 97 juta penduduk.[339] Populasi diperkirakan mungkin tumbuh menjadi sekitar 295 juta pada tahun 2030 dan 321 juta pada tahun 2050.[340] Indonesia diperkirakan memiliki usia median 31,1 tahun,[341] dan mulai mengalami bonus demografi, yaitu masa ketika jumlah penduduk usia produktif jauh melebihi penduduk usia nonproduktif.[342]
Sebaran penduduk Indonesia tidak merata, dengan tingkat perkembangan yang bervariasi, mulai dari megakota Jakarta hingga suku-suku tak terjamah di Papua.[343] Pada 2017, sekitar 54,7% populasi tinggal di kawasan perkotaan.[344] Sekitar 8 juta orang Indonesia tinggal di luar negeri; sebagian besar dari mereka menetap di Malaysia, Belanda, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Hong Kong, Singapura, Amerika Serikat, dan Australia.[345]
Secara legal, status kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Warga Negara Indonesia (WNI) diberikan kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mendaftarkan seseorang di suatu wilayah administratif tertentu. Status kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh malalui kelahiran, adopsi, perkawinan, atau pewarganegaraan.[346]
Kota | Provinsi | Populasi | Kota | Provinsi | Populasi | |||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1 | Jakarta | Daerah Khusus Ibukota Jakarta | 10.562.088 | Indonesia Indonesia |
7 | Makassar | Sulawesi Selatan | 1.423.877 | ||
2 | Surabaya | Jawa Timur | 2.874.314 | 8 | Batam | Kepulauan Riau | 1.196.396 | |||
3 | Medan | Sumatera Utara | 2.460.858 | 9 | Bandar Lampung | Lampung | 1.166.066 | |||
4 | Bandung | Jawa Barat | 2.444.160 | 10 | Pekanbaru | Riau | 983.356 | |||
5 | Palembang | Sumatera Selatan | 1.668.848 | 11 | Padang | Sumatera Barat | 909.040 | |||
6 | Semarang | Jawa Tengah | 1.653.524 | 12 | Malang | Jawa Timur | 843.810 | |||
Sumber: Sensus Penduduk BPS, 2020. Catatan: Tidak termasuk Kota satelit. |
Suku bangsa[sunting | sunting sumber]
Indonesia merupakan negara yang kaya akan kelompok etnik, dengan sekitar 1.340 suku bangsa.[347] Sebagian besar penduduk Indonesia merupakan keturunan Bangsa Austronesia,[348] dan terdapat juga kelompok-kelompok suku Melanesia, serta kemungkinan Polinesia dan Mikronesia, terutama di Indonesia bagian timur.[349] Kelompok suku menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Suku Melayu, Minangkabau, Jawa, Sunda, Batak, Madura, dan lainnya.[350] Menurut sensus 2010, sekitar 40-42% penduduk merupakan suku Jawa yang menghuni hampir seluruh wilayah Indonesia sebagai akibat program transmigrasi.[351] Meskipun demikian, rasa kebangsaan Indonesia dipegang oleh warga negara Indonesia bersama dengan identitas regional yang kuat.[352]
Istilah bumiputra dan pribumi pernah digunakan untuk menyebut kelompok orang yang berbagi warisan sosial budaya yang sama dan dianggap sebagai penduduk asli Indonesia.[353] Pada tahun 1998, Presiden B.J. Habibie menginstruksikan untuk menghentikan penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam kehidupan bernegara.[354][355] Sejumlah etnis Asia daratan, seperti etnis Tionghoa, Arab, dan India, sudah lama datang ke Nusantara dan kemudian menetap dan berasimilasi menjadi bagian dari Nusantara. Sensus 2010 mencatat ada sekitar 5 juta WNI yang dikelompokkan sebagai etnis Tionghoa yang tersebar merata di hampir seluruh wilayah di Indonesia (terutama perkotaan) dan 3 juta jiwa dikelompokkan sebagai etnis Arab yang khususnya berada di Pulau Jawa, Sumatera, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sulawesi. Sedangkan untuk orang keturunan India populasinya hanya sekitar ratusan ribu saja yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti Medan, Jakarta, Pekanbaru, dan Banda Aceh. Beberapa tempat khususnya di Kota Medan, terdapat wilayah dengan orang etnis/keturunan India yang cukup signifikan yakni di Little India dan Kampung Madhras. [356]
Bahasa[sunting | sunting sumber]
Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah,[357][358] yang secara umum dipertuturkan oleh mayoritas penduduk Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa sehari-hari.[359] Sebagian besar bahasa daerah tersebut termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, dan di samping itu, ada lebih dari 270 bahasa Papua yang digunakan di Indonesia bagian timur.[360] Menurut jumlah penuturnya, bahasa daerah yang paling banyak digunakan sehari-hari secara berturut-turut adalah Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Batak, Minangkabau, Bugis, Betawi, dan Banjar.[361]
Bahasa resmi negara ini adalah bahasa Indonesia, yang merupakan salah satu dari banyak varietas bahasa Melayu.[362] Bahasa Indonesia diajukan sebagai bahasa persatuan sejak masa pergerakan kemerdekaan Indonesia melalui Sumpah Pemuda dan ditetapkan oleh konstitusi pada 1945.[363] Campur tangan negara terhadap bahasa nasional diselenggarakan melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.[364]
Beberapa bahasa asing diajarkan dalam pendidikan formal. Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah diperkenalkan kepada para pelajar mulai jenjang pendidikan dasar.[365] Bahasa asing lainnya, seperti bahasa Jerman, Prancis, dan Jepang, diajarkan di sejumlah sekolah sebagai pelengkap pada jenjang sekolah menengah atas.[366] Bagi penganut agama Islam yang menjadi kaum mayoritas di Indonesia,[367] bahasa Arab adalah bahasa asing yang memiliki kedudukan khusus karena harus dipraktikkan dalam ibadah harian tertentu, misalnya salat,[368] dan diajarkan di madrasah ibtidaiah dan jenjang selanjutnya.[369] Meskipun demikian, bahasa Arab tidak menjadi bahasa pergaulan umum sejak periode awal keberadaannya di Indonesia.[370]
Agama[sunting | sunting sumber]
Meskipun menjamin kebebasan beragama dalam konstitusi,[371] pemerintah hanya mengakui enam agama yaitu: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu: sementara itu, penganut agama tradisional ataupun agama-agama lainnya hanya mendapatkan pengakuan terbatas sebagai "penghayat kepercayaan".[372][373] Dengan 231 juta penganut pada tahun 2018, Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Sebanyak sekitar hampir 30 juta penduduk Indonesia atau lebih tepatnya 28,6 juta jiwa menganut agama Kristen, di mana 20,2 juta penduduk merupakan penganut aliran Kristen Protestan sedangkan 8,3 juta penganut Kristen Katolik, 4,7 juta penganut Hindu, 2 juta penganut Buddha, 81 ribu penganut Konghucu, dan 108 ribu penganut aliran kepercayaan lainnya (terutama agama tradisional/lokal).[367] Agama Islam dipeluk oleh hampir seluruh warga Indonesia (sekitar 86,70%), Agama Kristen (Protestan & Katolik) kebanyakkan dipeluk oleh beberapa suku, yakni: Batak, Toraja, Dayak, Nias, Minahasa, Ambon, dan lainnya. Kebanyakan pemeluk Hindu adalah Suku Bali dan Orang keturunan India di Indonesia[374] serta kebanyakan pemeluk Buddha dan Konghucu adalah orang Tionghoa-Indonesia.[375]
Penduduk asli Indonesia pada awalnya mempraktikkan animisme, paganisme dan dinamisme lokal, yang merupakan kepercayaan umum bangsa Austronesia. Mereka menyembah roh leluhur dan percaya bahwa roh gaib (hyang) mungkin menghuni tempat-tempat tertentu, seperti pohon besar, batu, hutan, gunung, atau tempat keramat.[144] Contoh kepercayaan asli Indonesia di antaranya Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Kejawen. Mereka memberikan dampak yang signifikan pada penerapan agama-agama lain, seperti abangan Jawa, Hindu Bali, dan Kristen Dayak, yang dipraktikkan sebagai bentuk agama yang kurang ortodoks dan sinkretis.[376][377]
Pengaruh agama Hindu mencapai Nusantara pada awal abad pertama Masehi.[378] Kerajaan Salakanagara di Jawa Barat sekitar tahun 130 merupakan kerajaan terkait India Raya pertama yang tercatat dalam sejarah Nusantara.[379] Agama Buddha tiba sekitar abad ke-6,[380] dan sejarahnya di Indonesia berhubungan erat dengan agama Hindu karena kedua agama ini dianut oleh beberapa kerajaan pada periode yang sama. Nusantara mengalami kebangkitan dan kejatuhan kerajaan Hindu dan Buddha yang kuat dan berpengaruh, seperti Majapahit, Sailendra, Sriwijaya, dan Medang. Meski tidak lagi menjadi mayoritas, agama Hindu dan Buddha tetap memiliki pengaruh besar pada budaya Indonesia.[381][382]
Agama Islam diperkenalkan oleh para pedagang Suni dari mazhab Syafi'i serta para pedagang Sufi dari anak benua India dan Arab Selatan pada awal abad ke-8 M.[383][384] Pada sebagian besar perkembangannya, Islam mengalami pencampuran dan saling memengaruhi budaya yang ada sehingga menghasilkan bentuk Islam dengan ciri tersendiri, seperti adanya pesantren.[385][386] Perdagangan dan aktivitas dakwah seperti yang dilakukan oleh Wali Songo dan penjelajah Tiongkok Cheng Ho, serta kampanye militer oleh beberapa kesultanan membantu mempercepat penyebaran Islam.[384][387]
Agama Katolik dibawa oleh para pedagang dan misionaris Portugis seperti Yesuit Fransiskus Xaverius, yang mengunjungi dan membaptis beberapa ribu penduduk setempat.[388][389] Penyebarannya menghadapi kesulitan karena kebijakan Perusahaan Hindia Timur Belanda yang melarang agama dan permusuhan oleh Belanda sebagai akibat dari Perang Delapan Puluh Tahun melawan pemerintahan Katolik Spanyol. Protestantisme, sebagian besar, merupakan hasil dari upaya misionaris Calvinis dan Lutheran selama era kolonial Belanda.[390][391][392] Meskipun keduanya merupakan cabang Kekristenan yang paling umum, ada banyak denominasi lain di negara ini.[393]
Jumlah penganut agama Yahudi cukup besar di Nusantara setidaknya sampai tahun 1945, yang kebanyakan merupakan orang Belanda dan orang Yahudi Baghdadi. Sebagian besar di antara mereka meninggalkan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan dan agama Yahudi tidak pernah mendapatkan status resmi. Saat ini hanya sejumlah kecil orang Yahudi di Indonesia, yang kebanyakan berada di Jakarta dan Surabaya.[394]
Pada tingkat nasional dan regional, kepemimpinan dalam politik dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia telah memainkan peran penting dalam hubungan antaragama, baik secara positif maupun negatif. Sila pertama Pancasila yang merupakan landasan filosofis Indonesia, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, sering menjadi pengingat toleransi beragama,[395] meskipun kasus-kasus intoleransi juga telah terjadi.[396] Sebagian besar orang Indonesia menganggap agama sebagai hal yang esensial dan bagian integral dari kehidupan.[397][398]
Pendidikan dan kesehatan[sunting | sunting sumber]
Sesuai dengan konstitusi yang berlaku,[399] serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah Indonesia baik pusat maupun daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD di luar gaji pendidik dan biaya kedinasan. Semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar sembilan tahun, yang meliputi enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di sekolah menengah pertama.[400] Pada 2018, tingkat partisipasi penduduk sebesar 93% untuk pendidikan dasar, 79% untuk pendidikan menengah, dan 36% untuk pendidikan tinggi, sementara tingkat melek huruf adalah 96%.[401] Pemerintah menghabiskan sekitar 3,6% dari PDB atau 20,5% dari anggaran negara (2015) untuk pendidikan.[401] Pada tahun 2018, terdapat lebih dari 4.500 perguruan tinggi di Indonesia,[402] dengan universitas terkemuka (seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan lainnya) berlokasi di Pulau Jawa.[403]
Anggaran pemerintah untuk sektor kesehatan adalah sekitar 3,3% dari PDB pada tahun 2016.[404] Sebagai bagian dari upaya mencapai cakupan kesehatan semesta, pemerintah meluncurkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014.[405] Meskipun ada peningkatan yang luar biasa dalam beberapa dekade terakhir seperti meningkatnya angka harapan hidup (dari 62,3 tahun pada tahun 1990 menjadi 71,7 tahun pada tahun 2019)[406] dan penurunan kematian anak (dari 84 kematian per 1.000 kelahiran pada tahun 1990 menjadi 25,4 kematian pada tahun 2017),[407] Indonesia terus-menerus menghadapi berbagai tantangan, seperti kesehatan ibu dan anak, kualitas udara yang rendah, kurang gizi, tingginya tingkat merokok, dan penyakit menular.[408]
Indeks Pembangunan Manusia[sunting | sunting sumber]
Menurut UNDP, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mencapai angka 0,707[333] pada Laporan Pembangunan Manusia 2019 untuk perkiraan IPM tahun 2018 dan menempati status tinggi, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Indonesia tahun 2020 telah mencapai angka 71,94 (0,719)[409] dan menempati status tinggi pada tahun 2016.
Perbedaan IPM yang dilaporkan UNDP melalui Human Development Report (HDR) dengan BPS terletak pada besarnya angka IPM dan perincian. Selama ini, memang perbedaan angka IPM sudah dianggap lazim. Namun, sejak sekitar tahun 2011, perbedaan angka IPM UNDP dan BPS meningkat secara signifikan. Dalam perihal perincian, karena UNDP melaporkan dalam tingkat internasional, laporan IPM Indonesia tidak dilaporkan hingga tingkat yang lebih rendah. Sebaliknya, karena BPS hanya melaporkan di tingkat nasional, BPS lebih memerinci, bahkan hingga IPM di tingkat kota/kabupaten dalam laporan beberapa tahun (laporan IPM hingga tingkat kota/kabupaten jarang). Namun, yang selalu dilaporkan di bawah tingkat nasional tentunya adalah laporan IPM di tingkat provinsi/daerah.
Berikut ini adalah daftar provinsi Indonesia menurut IPM tahun 2020 dibandingkan tahun 2019 menurut BPS.[409]
Peringkat | Provinsi | IPM | Perubahan (%) |
---|---|---|---|
Pembangunan Manusia Sangat Tinggi | |||
1 | Berkas:Flag of Jakarta (vectorised).svg Daerah Khusus Ibukota Jakarta | 80,77 (0,808) | 0,01 (0,01%) |
Pembangunan Manusia Tinggi | |||
2 | Berkas:Flag of Yogyakarta.svg Daerah Istimewa Yogyakarta | 79,97 (0,800) | -0,02 (-0,03%) |
3 | Templat:Country data Kalimantan Timur | 76,24 (0,762) | -0,37 (-0,48%) |
4 | Templat:Country data Kepulauan Riau | 75,59 (0,756) | 0,11 (0,15%) |
5 | Templat:Country data Bali | 75,5 (0,755) | 0,12 (0,16%) |
6 (1) | Templat:Country data Sulawesi Utara | 72,93 (0,729) | -0,06 (-0,08%) |
7 (1) | Templat:Country data Riau | 72,71 (0,727) | -0,29 (-0,40%) |
8 | Berkas:Flag of Banten, Indonesia.svg Banten | 72,45 (0,725) | 0,01 (0,01%) |
9 | Templat:Country data Sumatera Barat | 72,38 (0,724) | -0,01 (-0,01%) |
10 | Berkas:Flag of West Java (vectorised).svg Jawa Barat | 72,09 (0,721) | 0,06 (0,08%) |
11 | Templat:Country data Aceh | 71,99 (0,720) | 0,09 (0,13%) |
Indonesia | 71,94 (0,719) | 0,02 (0,03%) | |
12 (2) | Templat:Country data Sulawesi Selatan | 71,93 (0,719) | 0,27 (0,38%) |
13 | Berkas:Flag of Central Java.svg Jawa Tengah | 71,87 (0,719) | 0,14 (0,20%) |
14 (2) | Templat:Country data Sumatera Utara | 71,77 (0,718) | 0,03 (0,04%) |
15 | Jawa Timur | 71,71 (0,717) | 0,21 (0,29%) |
16 | Templat:Country data Kepulauan Bangka Belitung | 71,47 (0,715) | 0,17 (0,24%) |
17 (2) | Templat:Country data Sulawesi Tenggara | 71,45 (0,715) | 0,25 (0,35%) |
18 | Templat:Country data Bengkulu | 71,4 (0,714) | 0,19 (0,27%) |
19 (2) | Templat:Country data Jambi | 71,29 (0,713) | 0,03 (0,04%) |
20 (1) | Templat:Country data Kalimantan Tengah | 71,05 (0,711) | 0,14 (0,20%) |
21 (1) | Templat:Country data Kalimantan Selatan | 70,91 (0,709) | 0,19 (0,27%) |
22 (2) | Templat:Country data Kalimantan Utara | 70,63 (0,706) | -0,52 (-0,73%) |
23 | Templat:Country data Sumatera Selatan | 70,01 (0,700) | -0,01 (-0,01%) |
Pembangunan Manusia Sedang | |||
24 | Templat:Country data Lampung | 69,69 (0,697) | 0,12 (0,17%) |
25 | Templat:Country data Sulawesi Tengah | 69,55 (0,696) | 0,05 (0,07%) |
26 | Templat:Country data Maluku | 69,49 (0,695) | 0,04 (0,06%) |
27 (1) | Templat:Country data Gorontalo | 68,68 (0,687) | 0,19 (0,28%) |
28 (1) | Templat:Country data Maluku Utara | 68,49 (0,685) | -0,21 (-0,31%) |
29 | Templat:Country data Nusa Tenggara Barat | 68,25 (0,683) | 0,11 (0,16%) |
30 | Templat:Country data Kalimantan Barat | 67,66 (0,677) | 0,01 (0,01%) |
31 | Templat:Country data Sulawesi Barat | 66,11 (0,661) | 0,38 (0,58%) |
32 | Templat:Country data Nusa Tenggara Timur | 65,19 (0,652) | -0,04 (-0,06%) |
33 | Templat:Country data Papua Barat | 65,09 (0,651) | 0,39 (0,60%) |
34 | Templat:Country data Papua | 60,44 (0,604) | -0,40 (-0,66%) |
Budaya[sunting | sunting sumber]
Pertunjukan[sunting | sunting sumber]
Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Tiongkok, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti Wayang Kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatra seperti tari Ratéb Meuseukat, Tari Saman, dan tari Seudati dari Aceh.
Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari pelbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain.
Busana[sunting | sunting sumber]
Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan Batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri Batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Kerajinan Batik ini pun diklaim oleh negara lain dengan industri Batiknya.[410] Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju Kurung dengan Songketnya dari Sumatra Barat (Minangkabau), kain Ulos dari Sumatra Utara (Batak), busana Kebaya, busana khas Dayak di Kalimantan, baju Bodo dari Sulawesi Selatan, busana Koteka dari Papua dan sebagainya.
Arsitektur[sunting | sunting sumber]
Arsitektur Indonesia mencerminkan keanekaragaman budaya, sejarah, dan geografi yang membentuk Indonesia seutuhnya. Kaum penyerang, penjajah, penyebar agama, pedagang, dan saudagar membawa perubahan budaya dengan memberi dampak pada gaya dan teknik bangunan. Tradisionalnya, pengaruh arsitektur asing yang paling kuat adalah dari India. Tetapi, Tiongkok, Arab, dan sejak abad ke-19 pengaruh Eropa menjadi cukup dominan.
Ciri khas arsitektur Indonesia kuno masih dapat dilihat melalui rumah-rumah adat dan/atau istana-istana kerajaan dari tiap-tiap provinsi. Taman Mini Indonesia Indah, salah satu objek wisata di Jakarta yang menjadi miniatur Indonesia, menampilkan keanekaragaman arsitektur Indonesia itu. Beberapa bangunan khas Indonesia misalnya Rumah Gadang, Monumen Nasional, dan Bangunan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan di Institut Teknologi Bandung.
Olahraga[sunting | sunting sumber]
Templat:Double imageOlahraga yang paling populer di Indonesia adalah sepak bola dan bulu tangkis.[butuh rujukan] BRI Liga 1 adalah liga klub sepak bola utama di Indonesia.[butuh rujukan] Olahraga tradisional Indonesia termasuk sepak takraw dan karapan sapi. Di wilayah dengan sejarah perang antar suku, kontes pertarungan diadakan, seperti caci di Flores, dan pasola di Sumba. Pencak silat adalah seni bela diri yang unik yang berasal dari wilayah Indonesia. Seni bela diri ini kadang-kadang ditampilkan pada acara-acara pertunjukkan yang biasanya diikuti dengan musik tradisional Indonesia berupa Gamelan dan seni musik tradisional lainnya sesuai dengan daerah asalnya. Olahraga di Indonesia biasanya berorientasi pada pria dan olahraga spektator sering berhubungan dengan judi yang ilegal di Indonesia.[411]
Di ajang kompetisi multi cabang, prestasi atlet-atlet Indonesia tidak terlalu mengesankan. Di Olimpiade, prestasi terbaik Indonesia diraih pada saat Olimpiade 1992, di mana Indonesia menduduki peringkat 24 dengan meraih 2 emas 2 perak dan 1 perunggu, kelima medali tersebut diraih melalui cabang bulu tangkis. Pada era 1960 hingga 2000, Indonesia merajai bulu tangkis. Atlet-atlet putra Indonesia seperti Rudi Hartono, Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Alan Budikusuma, Ricky Subagja, dan Rexy Mainaky merajai kejuaraan-kejuaraan dunia. Rudi Hartono yang dianggap sebagai maestro bulu tangkis dunia, menjadi juara All England terbanyak sepanjang sejarah perbulu tangkisan Indonesia. Ia meraih 8 gelar juara, dengan 7 gelar diraihnya secara berturut-turut. Selain bulu tangkis, atlet-atlet tinju Indonesia juga mampu meraih gelar juara dunia, seperti Elyas Pical, Nico Thomas,[412] dan Chris John.[413] dalam ajang sepak bola internasional, Timnas Indonesia (Hindia Belanda) adalah tim Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia pada tahun 1938 di Prancis.[414]
Seni musik[sunting | sunting sumber]
Seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari Sabang hingga Merauke. Setiap provinsi di Indonesia memiliki musik tradisional dengan ciri khasnya tersendiri. Musik tradisional termasuk juga Keroncong yang berasal dari keturunan Portugis di daerah Tugu, Jakarta,[415] yang dikenal oleh semua rakyat Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Ada juga musik yang merakyat di Indonesia yang dikenal dengan nama dangdut yaitu musik beraliran Melayu modern yang dipengaruhi oleh musik India sehingga musik dangdut ini sangat berbeda dengan musik tradisional Melayu yang sebenarnya, seperti musik Melayu Deli, Melayu Riau, dan sebagainya.
Alat musik tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari pelbagai daerah di Indonesia, namun banyak pula alat musik tradisional Indonesia yang diklaim oleh negara lain[416] untuk kepentingan penambahan budaya dan seni musiknya sendiri dengan mematenkan hak cipta seni dan warisan budaya Indonesia ke lembaga Internasional UNESCO. Alat musik tradisional Indonesia antara lain meliputi:
|
|
Kuliner[sunting | sunting sumber]
Masakan Indonesia bervariasi bergantung pada wilayahnya.[417] Nasi adalah makanan pokok dan dihidangkan dengan lauk daging dan sayur. Bumbu (terutama cabai), santan, ikan, dan ayam adalah bahan yang penting.[418]
Sepanjang sejarah, Indonesia telah menjadi tempat perdagangan antara dua benua. Ini menyebabkan terbawanya banyak bumbu, bahan makanan dan teknik memasak dari bangsa Melayu sendiri, India, Timur tengah, Tionghoa, dan Eropa. Semua ini bercampur dengan ciri khas makanan Indonesia tradisional, menghasilkan banyak keanekaragaman yang tidak ditemukan di daerah lain. Bahkan bangsa Spanyol dan Portugis, telah mendahului bangsa Belanda dengan membawa banyak produk dari dunia baru ke Indonesia.[butuh rujukan]
Sambal, sate, bakso, soto, dan nasi goreng adalah beberapa contoh makanan yang biasa dimakan masyarakat Indonesia setiap hari.[419] Selain disajikan di warung atau restoran, terdapat pula aneka makanan khas Indonesia yang dijual oleh para pedagang keliling menggunakan gerobak atau pikulan. Pedagang ini menyajikan bubur ayam, mie ayam, mi bakso, mi goreng, nasi goreng, aneka macam soto, siomay, sate, nasi uduk, dan lain-lain.
Rumah makan Padang yang menyajikan nasi Padang, yaitu nasi disajikan bersama aneka lauk-pauk Masakan Padang, mudah ditemui di berbagai kota di Indonesia.[butuh rujukan] Selain itu Warung Tegal yang menyajikan masakan Jawa khas Tegal dengan harga yang terjangkau juga tersebar luas.[butuh rujukan] Nasi rames atau nasi campur yang berisi nasi beserta lauk atau sayur pilihan dijual di warung nasi di tempat-tempat umum, seperti stasiun kereta api, pasar, dan terminal bus. Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya dikenal nasi kucing sebagai nasi rames yang berukuran kecil dengan harga murah, nasi kucing sering dijual di atas angkringan, sejenis warung kaki lima. Penganan kecil semisal kue-kue banyak dijual di pasar tradisional. Kue-kue tersebut biasanya berbahan dasar beras, ketan, ubi kayu, ubi jalar, terigu, atau sagu.
Perfilman[sunting | sunting sumber]
Film pertama yang diproduksi pertama kalinya di nusantara adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp pada zaman Hindia Belanda.[butuh rujukan] Film ini dibuat dengan aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung. Setelah itu, lebih dari 2.200 film diproduksi. Pada masa awal kemerdekaan, sineas-sineas Indonesia belum banyak bermunculan. Di antara sineas yang ada, Usmar Ismail adalah salah satu sutradara paling produktif, dengan film pertamanya Harta Karun (1949).[butuh rujukan] Namun kemudian film pertama yang secara resmi diakui sebagai film pertama Indonesia sebagai negara berkedaulatan adalah film Darah dan Doa (1950) yang disutradarai Usmar Ismail. Dekade 1970 hingga 2000-an, Arizal muncul sebagai sutradara film paling produktif. Tak kurang dari 52 buah film dan 8 judul sinetron dengan 1.196 episode telah dihasilkannya.[butuh rujukan]
Popularitas industri film Indonesia memuncak pada tahun 1980-an dan mendominasi bioskop di Indonesia,[420] meskipun kepopulerannya berkurang pada awal tahun 1990-an. Antara tahun 2000 hingga 2005, jumlah film Indonesia yang dirilis setiap tahun meningkat.[420] Film Laskar Pelangi (2008) yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata menjadi film terlaris Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang sejarah perfilman Indonesia hingga tahun 2016.[421]
Kesusastraan[sunting | sunting sumber]
Bukti tulisan tertua di Indonesia adalah berbagai prasasti berbahasa Sanskerta pada abad ke-5 Masehi.[422] Figur penting dalam sastra modern Indonesia termasuk: pengarang Belanda Multatuli yang mengkritik perlakuan Belanda terhadap Indonesia selama zaman penjajahan Belanda; Muhammad Yamin dan Hamka yang merupakan penulis dan politikus pra-kemerdekaan;[423] dan Pramoedya Ananta Toer, pembuat novel Indonesia yang paling terkenal.[424] Selain novel, sastra tulis Indonesia juga berupa puisi, pantun, dan sajak. Chairil Anwar adalah penulis puisi Indonesia yang paling ternama. Banyak orang Indonesia memiliki tradisi lisan yang kuat, yang membantu mendefinisikan dan memelihara identitas budaya mereka.[425]
Kebebasan pers dan media publik[sunting | sunting sumber]
Kebebasan pers di Indonesia meningkat setelah berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Jaringan televisi publik TVRI bersaing dengan jaringan televisi swasta nasional dan stasiun daerah; begitu pula dengan jaringan radio publik RRI yang bersaing dengan jaringan radio swasta yang menyiarkan berita dan hiburan.
Internet[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 2007, dilaporkan bahwa 20 juta penduduk Indonesia menjadi pengguna internet.[426] Kemudian pada tahun 2014, jumlah pengguna internet bertambah pesat menjadi 83,7 juta orang atau terbanyak keenam di dunia.[427] Pada tahun 2019, yaitu tahun sebelum pandemi Covid-19 berlangsung, diperkirakan jumlah pengguna internet di Indonesia adalah 175 juta jiwa. Sementara pada tahun 2022, pengguna internet di Indonesia telah menyentuh angka 210 juta jiwa, yaitu sekitar 77% dari jumlah penduduk Indonesia.[428]
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
- Indonesia Raya (politik)
- Hubungan Indonesia–Palestina
- Nusantara
- Visi Indonesia 2045
- Hindia Belanda
- Mafilindo
- Daftar provinsi Indonesia menurut IPM
Referensi[sunting | sunting sumber]
- ↑ "Demographic Yearbook 72nd Issue" (PDF). United Nations - Department of Economic and Social Affairs. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 30 Januari 2023.
- ↑ "Which Countries Have The Most Islands?". World Atlas (dalam bahasa Inggris). 5 Oktober 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-24. Diakses tanggal 23 April 2022.
- ↑ 3,0 3,1 3,2 Justus M. van der Kroef (1951). "The Term Indonesia: Its Origin and Usage". Journal of the American Oriental Society. 71 (3): 166–171. doi:10.2307/595186. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 April 2020. Diakses tanggal 2 Agustus 2008.
- ↑ "Indonesian Population 2022". Ministry of Home Affairs (Indonesia). Diakses tanggal 12 April 2023.
- ↑ "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut". Jakarta: Badan Pusat Statistik. 15 Mei 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Desember 2017. Diakses tanggal 28 Februari 2019.
- ↑ Ricklefs 2001, hlm. 379.
- ↑ "Portal Jurnal Elektronik Universitas Negeri Malang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-01. Diakses tanggal 27 Februari 2022.
- ↑ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah Diarsipkan 2022-08-13 di Wayback Machine..
- ↑ "RUU Ibu Kota Negara Sah Jadi Undang-Undang". Republika. 18 Januari 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-13. Diakses tanggal 18 Januari 2022.
- ↑ Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta; Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape; Institute of Southeast Asian Studies, 2003
- ↑ Tomascik, T.; Mah, A.J. (1997). The Ecology of the Indonesian Seas–Part One. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. ISBN 962-593-078-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ↑ 12,0 12,1 Anshory, Irfan (16 Agustus 2004). "Asal Usul Nama Indonesia". Pikiran Rakyat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2006. Diakses tanggal 5 Oktober 2006.
- ↑ Earl, George S.W. (1850). "On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations". Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA): 119.
- ↑ Logan, James Richardson (1850). "The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders". Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA): 4, 252–347.
- ↑ Earl, George S.W. (1850). "On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations". Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA): 254, 277–278.
- ↑ Pope (1988). "Recent advances in far eastern paleoanthropology". Annual Review of Anthropology. 17: 43–77. doi:10.1146/annurev.an.17.100188.000355. cited in Whitten, T (1996). The Ecology of Java and Bali. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 309–312. ; Pope, G (15 Agustus, 1983). "Evidence on the Age of the Asian Hominidae". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 80 (16): 4,988–4992. doi:10.1073/pnas.80.16.4988. PMID 6410399. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-11-21. cited in Whitten, T (1996). The Ecology of Java and Bali. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 309. ; de Vos, J.P. (9 Desember 1994). "Dating hominid sites in Indonesia" (PDF). Science Magazine. 266 (16): 4, 988–4992. doi:10.1126/science.7992059. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2009-09-29. cited in Whitten, T (1996). The Ecology of Java and Bali. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 309.
- ↑ Heaney, Lawrence R. (1984). "Mammalian Species Richness on Islands on the Sunda Shelf, Southeast Asia". Oecologia. 61 (1): 11–17. Bibcode:1984Oecol..61...11H. CiteSeerX 10.1.1.476.4669 alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1007/BF00379083. JSTOR 4217198. PMID 28311380.
- ↑ Hanebuth, Till; Stattegger, Karl; Grootes, Pieter M. (2000). "Rapid Flooding of the Sunda Shelf: A Late-Glacial Sea-Level Record". Science. 288 (5468): 1033–1035. Bibcode:2000Sci...288.1033H. doi:10.1126/science.288.5468.1033. JSTOR 3075104.
- ↑ (Inggris) Chesner, C.A.; Westgate, J.A.; Rose, W.I.; Drake, R.; Deino, A. (March 1991). "Eruptive history of Earth's largest Quaternary caldera (Toba, Indonesia) clarified" (PDF). Geology. Michigan Technological University. 19 (3): 200–203. Bibcode:1991Geo....19..200C. doi:10.1130/0091-7613(1991)019<0200:EHOESL>2.3.CO;2. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-02-26. Diakses tanggal 2018-06-20.
- ↑ 20,0 20,1 Thamrin, Mahandis Yoanata (2019-06-06). "Migrasi Manusia dan Perjalanan Sejarah Melanesia di Indonesia". National Geographic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-21. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ↑ Taylor (2003), pp. 5–7
- ↑ Avisena, M Ilham Ramadhan (2021-08-17). "Tiga Teori Asal Usul Nenek Moyang Indonesia". Media Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-21. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ↑ Taylor (2003), pp. 8-9
- ↑ 24,0 24,1 Hariansah, Erik (19 March 2019). "Kandis dan Salakanagara adalah Kerajaan Tertua di Nusantara?". Attoriolong. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-13. Diakses tanggal 26 November 2020.
- ↑ Vogel, J. Ph. (1918). "The Yupa Inscription of King Mulawarman, from Koetei (East Borneo)". BKI. 74.
- ↑ Aris Munandar, Agus (2011). Indonesia Dalam Arus Sejarah 2: Kerajaan Hindu - Buddha. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. hlm. 60.
- ↑ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO). 30 (1-2): 29–80. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-08. Diakses tanggal 2022-09-13.
- ↑ Taylor (2003), pp. 22–26; Ricklefs (1991), pp. 3
- ↑ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5.
- ↑ Anonim. 1822. Malayan Miscellanies, Vol II: The Geneology of Rajah of Pulo Percha. Printed And Published at Sumatra Mission Press. Bencoolen
- ↑ George Coedes. 1934. On the origins of the Sailendras of Indonesia. Journal of the Greater India Society I: 61–70.
- ↑ 32,0 32,1 Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
- ↑ Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
- ↑ 34,0 34,1 34,2 Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
- ↑ 35,0 35,1 Sita W. Dewi (9 April 2013). "Tracing the glory of Majapahit". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-11. Diakses tanggal 5 February 2015.
- ↑ Basri, Hasan (Ed). 2006. Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis dan Sayu Wiwit. 3 Pejuang Dari Blambangan. Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi
- ↑ Suadnyana, I Wayan Sui (2019-03-10). "TRIBUN WIKI - Inilah 9 Puri di Bali yang Masih Ada Hingga Kini". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ↑ "7 Kerajaan Islam Tertua di Indonesia". indonesiabaik.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-14. Diakses tanggal 2020-08-26.
- ↑ *Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Diarsipkan 2008-12-07 di Wayback Machine. Penyunting: HM. Hembing Wijayakusuma. Pustaka Populer Obor, Oktober 2000, xliv + 299 halaman
- ↑ "Aceh Daerah Pertama di Indonesia Menerima Islam". acehprov.go.id. Pemerintah Aceh. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-14.
- ↑ Kusniah, Siti Turmini (2018). Kiaiku, Guruku, Jaringan Ulama. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ISBN 978-602-1289-85-3.
- ↑ "3 Kerajaan Islam Berpengaruh di Aceh". Republika Online. 2016-08-29. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-12. Diakses tanggal 2020-06-12.
- ↑ Peter Lewis (1982). "The next great empire". Futures. 14 (1): 47–61. doi:10.1016/0016-3287(82)90071-4.
- ↑ "Kesultanan Cirebon Jadi Satu dari Empat Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa". Ayo Cirebon. 2022-05-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ↑ Ratriani, Virdita (2022-07-28). Ratriani, Virdita, ed. "Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa adalah Kerajaan Demak: Pendiri dan Masa Jayanya". Kontan.co.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ↑ "Lumajang Ternyata Kerajaan Islam Tertua di Tanah Jawa". Suara Surabaya. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ↑ 47,0 47,1 Ricklefs 2001.
- ↑ Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunei: The Early History of Brunei up to 1432 AD (Bandar Seri Begawan: Brunei History Centre, 2000)
- ↑ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. PT Balai Pustaka. hlm. 85. ISBN 9794074098.[pranala nonaktif permanen]ISBN 978-979-407-409-1
- ↑ Setyaningrum, Puspasari, ed. (2022-07-21). "Sejarah Perang Banjar: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-17.
- ↑ Prabowo, Gama (2020-11-05). Gischa, Serafica, ed. "Kerajaan Islam di Sulawesi". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-19.
- ↑ M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I dan II", Universitas Khairun Ternate 2002.
- ↑ Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.
- ↑ Jaime Koh; Stephanie Ho Ph.D. (22 Juni 2009). Culture and Customs of Singapore and Malaysia. ABC-CLIO. hlm. 9. ISBN 978-0-313-35116-7.
- ↑ Hari, Agustinus (2019-10-13). "Mengenal Siau, Kerajaan Kristen di Sulawesi Utara Abad 16". Barta1.com. Diakses tanggal 2023-05-03.
- ↑ Ahmad, I. (2014). "Agama Sebagai Perubahan Sosial: Kristenisasi di Tobelo 1866-1942". Lembaran Sejarah. 11 (1): 83–98. ISSN 2620-5882.
- ↑ Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia, 1808-1942: a documented history. Leiden:KITLV Press ISBN 90-6718-141-2
- ↑ Pradjoko, Didik (2008). Modul I Sejarah Indonesia. Depok: Universitas Indonesia Press. hlm. 5.
- ↑ 59,0 59,1 59,2 Suntama, Permadi (2022-08-29). "Sejarah Kedatangan Bangsa Portugis ke Indonesia: Proses & Rute". Tirto. Diakses tanggal 2022-09-23.
- ↑ Winstedt, Richard (1962). A History of Malaya. Marican.
- ↑ 61,0 61,1 Kristina (2021-08-18). "Sejarah Mendaratnya Portugis di Indonesia, Pendatang Pertama dari Eropa". DetikEdu. Diakses tanggal 2022-09-22.
- ↑ Efendi, Ahmad. "Tujuan Kedatangan Bangsa Spanyol ke Indonesia dan Latar Belakangnya". tirto.id. Diakses tanggal 2023-03-03.
- ↑ 63,0 63,1 Ahsan, Ivan Aulia. "Keruwetan Perang Ternate-Portugis vs Tidore-Spanyol". tirto.id. Diakses tanggal 2023-03-03.
- ↑ Masselman, George (1963). The Cradle of Colonialism. New Haven & London: Yale University Press.
- ↑ 65,0 65,1 Yahya, Rizal Amril. "Sejarah Kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia & Latar Belakang". tirto.id. Diakses tanggal 2023-03-05.
- ↑ 66,0 66,1 Prinada, Yuda. "Apa itu Pengertian VOC, Sejarah Kapan Didirikan, dan Tujuannya?". tirto.id. Diakses tanggal 2023-03-11.
- ↑ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia Since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. hlm. 29. ISBN 0-333-57689-6.
- ↑ Miller, George, ed. (1996). To The Spice Islands and Beyond: Travels in Eastern Indonesia. New York: Oxford University Press. xvi. ISBN 967-65-3099-9.
- ↑ Dagh-register gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlandts-India anno 1624–1629 [The official register at Castle Batavia, of the census of the Dutch East Indies]. VOC. 1624.
- ↑ "170 tahun kepahlawanan minangkabau". Majalah Tempo Online (dalam bahasa indonesian). 31 July 1982. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 March 2012. Diakses tanggal 11 March 2012.
- ↑ Romain Bertrand, L‘Histoire à parts égales. Récits d'une rencontre Orient-Occident (XVIe-XVIIe siècles), Paris, Seuil, 2011, bab 15, hlm. 420-436.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-06-18). "Perang Makassar, Pertempuran Sultan Hasanuddin Melawan VOC Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-05.
- ↑ Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8
- ↑ Templat:Cite thesis
- ↑ Templat:Harvnb
- ↑ J.K.J. de Jonge, De Opkomst Van Het Nederlansch Gesag Over Java-XI, ML van Deventer, 1883
- ↑ de Vries, Jan; van der Woude, Ad (1997). The First Modern Economy: Success, Failure, and Perseverance of the Dutch Economy, 1500-1815. Cambridge University Press. hlm. 449–455. ISBN 0-521-57061-1.
- ↑ TANAP, The end of the VOC
- ↑ Jonathan Israel, The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall 1477-1806. Oxford: Oxford University Press 1995, 1128.
- ↑ Asvi Warman Adam. "The French and the British in Java, 1806–15". Britannica.
- ↑ H. L. Wesseling (23 October 2015). The European Colonial Empires 1815-1919 (dalam bahasa English). Taylor & Francis. hlm. 104. ISBN 9781317895077. Diakses tanggal 2 September 2022.
- ↑ Pramoedya sheds light on dark side of Daendels' highway. The Jakarta Post 8 January 2006.
- ↑ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. November 2008. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-391-4.
- ↑ anonim (16 Januari 2012). "Mengenal Sejarah Tanah Perdikan Madiun". Madiun Info. Diakses tanggal 19 September 2015.
- ↑ Van Uythoven, Geert (2013). "Lieutenant General Jan Willem Janssens". The Napoleon Series. Diakses tanggal 30 July 2016.
- ↑ Fregosi, Paul (1989). Dreams of Empire: Napoleon and the First World War 1792-1815. Hutchinson. ISBN 0-09-173926-8.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2021-08-16). "Kapitulasi Tuntang: Latar Belakang, Isi Perjanjian, dan Dampaknya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ↑ "Menyimak Kisah Sejarah Penjajahan Inggris di Indonesia". kumparan. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ↑ Sir Thomas Stamford Raffles (1830). The History of Java. J. Murray. hlm. xxiii. Diakses tanggal 12 August 2022.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-02-09). "Masa Penjajahan Inggris di Indonesia Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ↑ Indonesia, C. N. N. "Inggris Pernah Menjajah Indonesia, Bagaimana Sejarahnya? - Halaman 2". internasional. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ↑ Miksic, John (1990). Borobudur: Golden Tales of the Buddhas.
- ↑ Carey, Peter, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855, 2008
- ↑ Campbell, Donald Maclaine, 1869-1913; Wheeler, G. C. "Java: past & present, a description of the most beautiful country in the world, its ancient history, people, antiquities, and products". London : W. Heinemann. hlm. 404. Archived from the original on 2021-08-24. Diakses tanggal 24 August 2021.
- ↑ 95,0 95,1 95,2 95,3 95,4 Stothers, R. B. (1984). "The Great Tambora Eruption in 1815 and Its Aftermath". Science. 224 (4654): 1191–1198. doi:10.1126/science.224.4654.1191.
- ↑ Briffa, K.R. "Influence of volcanic eruptions on Northern Hemisphere summer temperature over 600 years". Nature. 393: 450–455.
- ↑ Evans, Robert Blast from the Past, Smithsonian Magazine. July 2002, p. 2
- ↑ Borschberg, Peter (2019). "Dutch objections to British Singapore, 1819–1824: law, politics, commerce and a diplomatic misstep". Journal of Southeast Asian Studies. 50 (4): 540–561. doi:10.1017/S0022463420000053.
- ↑ "Staatsblad 2016 No. 258" (PDF). Overheid.nl. 2 Juni 2016. Diakses tanggal 2020-12-05.
- ↑ 100,0 100,1 100,2 100,3 H.R.C. Wright, "The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824." Economic History Review 3.2 (1950): 229-239 online.
- ↑ "Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda - Semua Halaman - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2023-05-05.
- ↑ 102,0 102,1 102,2 102,3 Ricklefs, M C (1991). A History of Modern Indonesian since c.1300 (edisi ke-Second). Houndmills, Baingstoke, Hampshire and London: The Macmillan Press Limited. hlm. 271, 297. ISBN 0-333-57690-X.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-07-20). "Sejarah Perang Pattimura: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-06.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-06-12). "Perang Menteng: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampak Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-06.
- ↑ 105,0 105,1 Sjafnir Aboe Nain, 2004, Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
- ↑ Kepper G. 1900. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
- ↑ M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia: c.1300 to the Present (Macmillan, 1981), p. 129.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2021-06-29). "Perang Bone: Latar Belakang dan Kronologi Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-08.
- ↑ 109,0 109,1 Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.
- ↑ Tim. "Sejarah Perang Diponegoro, Pertempuran Besar di Tanah Jawa". edukasi. Diakses tanggal 2023-05-04.
- ↑ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
- ↑ Sejarah Untuk SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.
- ↑ Ningsih, Widya Lestari (2022-07-27). "Johannes van den Bosch, Penggagas Sistem Tanam Paksa". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-01-15.
- ↑ Schendel, Willem van (17 June 2016). Embedding Agricultural Commodities: Using Historical Evidence, 1840s–1940s, edited by Willem van Schendel, from google (cultivation system java famine) result 10. ISBN 9781317144977.
- ↑ Terwogt WA. 1900. Het land van Jan Pieterszoon Coen: Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. Hoorn: P. Geerts.
- ↑ Warriner, Francis (1835). Cruise of the United States frigate Potomac round the world: during the years 1831-34. New York: Leavitt, Lord & Co.
- ↑ Zulqaiyyim, (1997), Peristiwa Batipuh tahun 1841: suatu studi kasus tentang gerakan sosial di Sumatra Barat: laporan penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian, Universitas Andalas
- ↑ Yuandha, Ade (2021-11-09). "Sejarah Cagar Budaya Tapak Rumah Gadang Tuan Gadang Batipuh di Kabupaten Tanah Datar". Halonusa.com. Diakses tanggal 2023-05-07.
- ↑ 119,0 119,1 119,2 A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm by Robert Pringle
- ↑ 120,0 120,1 International Dictionary of Historic Places: Asia and Oceania by Trudy Ring p.69 [1]
- ↑ A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm Robert Pringle p.98ff [2]
- ↑ 122,0 122,1 122,2 122,3 Terwogt WA. 1900. Het land van Jan Pieterszoon Coen: Geschiedenis van de Nederlanders in Oost-Indië. Hoorn: P. Geerts.
- ↑ Hanna, Willard A. (2004). Bali Chronicles: Fascinating People and Events in Balinese History. Singapore: Periplus.
- ↑ Kielstra, Egbert Broer (1917). "Het sultanaat van Bandjermasin" [The Sultanate of Bandjermasin]. Onze Eeuw [Our Century] (dalam bahasa Belanda). 17. Haarlem: Erven F. Bohn. hlm. 12–30.
- ↑ 1900. W.A. Terwogt. Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. P. Geerts. Hoorn
- ↑ 126,0 126,1 126,2 Adhin, J. H. (1961). "De immigratie van Hindostanen en de afstand van de Goudkust". Nieuwe West-Indische Gids. 41 (1): 4–13. doi:10.1163/22134360-90002334 alt=Dapat diakses gratis.
- ↑ Foreign and Commonwealth Office - Convention between Great Britain and the Netherlands relative to the treatment of British Subjects in the Kingdom of Siak Sree Indrapoora, in the Island of Sumatra Diarsipkan 27 September 2012 di Wayback Machine.
- ↑ Foreign and Commonwealth Office - Convention between Great Britain and the Netherlands, for the Settlement of their Mutual Relations in the Island of Sumatra Diarsipkan 28 September 2012 di Wayback Machine.
- ↑ 1874. Bijlage: Een slechte verdediging. Nog iets over Atjeh door generaal De Stuers in de Gids 1875, nr. 4. C.A. Jeekel. Het Vaderland Jumat 23 april 1875.
- ↑ 130,0 130,1 Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." Indonesian Heritage: Early Modern History. Vol. 3, ed. Anthony Reid, Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133
- ↑ Media, Kompas Cyber (2020-10-26). "Perang Batak (1878-1907) Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-12.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2021-06-02). "Sisingamangaraja XII: Kehidupan, Perjuangan, dan Perlawanan Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-12.
- ↑ 133,0 133,1 133,2 Thornton, Ian W. B. (1997). Krakatau: The Destruction and Reassembly of an Island Ecosystem (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. hlm. 9–11. ISBN 978-0-674-50572-8.
- ↑ Templat:Cite document
- ↑ Monique R. Morgan (January 2013). "The Eruption of Krakatoa (also known as Krakatau) in 1883". BRANCH: Britain, Representation and Nineteenth-Century History. Diakses tanggal 5 February 2019.
- ↑ Pararas-Carayannis, George (2003). "Near and far-field effects of tsunamis generated by the paroxysmal eruptions, explosions, caldera collapses and massive slope failures of the Krakatau volcano in Indonesia on August 26–27, 1883" (PDF). Science of Tsunami Hazards. 21 (4). The Tsunami Society. hlm. 191–201. ISSN 8755-6839. Diakses tanggal 29 December 2007.
- ↑ Winchester, Simon (2003). Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883. Penguin/Viking. ISBN 978-0-670-91430-2.
- ↑ Bradley, Raymond S. (June 1988). "The explosive volcanic eruption signal in northern hemisphere continental temperature records" (PDF). Climatic Change (dalam bahasa Inggris). 12 (3): 221–243. Bibcode:1988ClCh...12..221B. doi:10.1007/bf00139431. ISSN 0165-0009. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 3 November 2020. Diakses tanggal 29 November 2019 – via Springer.
- ↑ University of Minnesota. "With a Bang: Not a Whimper" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 22 June 2010.
- ↑ 140,0 140,1 Templat:Citeweb
- ↑ Kusuma, Putri Tiah Hadi. "Mengenal Teuku Umar, Pahlawan Nasional dari Aceh". detikedu. Diakses tanggal 2023-05-14.
- ↑ Coenen, F. (1886). Iets over Djambi in 1885 (dalam bahasa Dutch). Eigen Haard. hlm. 306–311.
- ↑ "Mengenang Kembali "Pemberontakan Petani Banten 1888"". KOMPAS.tv. Diakses tanggal 2023-05-14.
- ↑ 144,0 144,1 144,2 Ooi, Keat Gin, ed. (2004). Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor (3 vols). Santa Barbara: ABC-CLIO. hlm. 790 ff. ISBN 978-1576077702. OCLC 646857823. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-08. Diakses tanggal 2023-05-24.
- ↑ 145,0 145,1 Keurs, Pieter ter (2007). Colonial Collections Revisited. CNWS publications. 152. Amsterdam University Press. hlm. 190 ff. ISBN 9789057891526.
- ↑ Bali handbook with Lombok and the Eastern Isles: the travel guide by Liz Capaldi, Joshua Eliot p.300
- ↑ Priests and programmers by John Stephen Lansing p.20
- ↑ Van Koningsveld, P.S. Snouck Hurgronje alias Abdoel Ghaffar: enige historisch-kritische kanttekeningen, (Leiden, 1982)
- ↑ 1898. Bintang Djaoeh. Pedir en de aanstaande expeditie (met een overzichtskaart van Atjeh). Eigen Haard. Bladzijde 362-365.
- ↑ 1891. De Edi-expeditie van 1890[pranala nonaktif permanen]. Indisch Militair Tijdschrift II. Bladzijde 285-403.
- ↑ 151,0 151,1 151,2 151,3 Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press. hlm. 10–13. ISBN 0-521-54262-6.
- ↑ H.L. Zwitzer (1989). "DAALEN, Gotfried Coenraad Ernst van (1863–1930)". Huygens Institute for the History of the Netherlands (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal 26 January 2022.
- ↑ "Kisah Cut Nyak Dhien Ditangkap Belanda: Cabut Rencong Hendak Tikam Panglima (9)". kumparan. Diakses tanggal 2023-05-22.
- ↑ Reid, Anthony (2005). An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra. Singapore: Singapore University Press. ISBN 9971-69-298-8.
- ↑ Michielsen, A. W. A. De expeditie naar Zuid-Celebes in 1905–1906. Indisch militair tijdschrift, vols. 35, 36, 37. Batavia [Jakarta]: Kolff, 1915–16.
- ↑ Amran, R., (1988), Pemberontakan pajak 1908, Sumatra Barat. Bag. ke. 1: Perang Kamang, Gita Karya
- ↑ 157,0 157,1 157,2 Willard A. Hanna (2004). Bali Chronicles. Periplus, Singapore. ISBN 0-7946-0272-X.
- ↑ Andy Barski, Albert Beaucort and Bruce Carpenter, Barski (2007). Bali and Lombok. Dorling Kindersley, London. ISBN 978-0-7566-2878-9.
- ↑ Insight Guide: Bali 2002 Brian Bell, Apa Publications GmbH&Co Templat:ISBN.
- ↑ 160,0 160,1 Media, Kompas Cyber (2022-07-24). "Politik Etis: Tokoh, Pengertian, Latar Belakang, dan Dampak Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-26.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2021-06-04). "Trias van Deventer, Politik Balas Budi Belanda Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-26.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-09-13). "Latar Belakang Berdirinya Budi Utomo beserta Tujuannya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-26.
- ↑ Sudiyo, Peter; Santano, Dalimun; Nugroho, Agus; Suwardi, Edy (1997). Sejarah pergerakan nasional Indonesia dari Budi Utomo sampai dengan pengakuan kedaulatan (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- ↑ Parinduri, Alhidayath (23 Februari 2021). "Sejarah Boedi Oetomo: Didirikan Oleh Siapa Saja dan Latar Belakang". Tirto.id. Diakses tanggal 24 November 2021.
- ↑ Matanasi, Petrik (13 Oktober 2020). "Kiprah Haji Samanhudi, Pedagang Batik dan Perintis Sarekat Islam". tirto.id. Diakses tanggal 26 November 2021.
- ↑ 166,0 166,1 Ahsan, Ivan Aulia (8 Desember 2018). "Peran Besar Tirto Adhi Soerjo dalam Sejarah Pergerakan Nasional". tirto.id. Diakses tanggal 26 November 2021.
- ↑ "Mengenal Tujuan Sarekat Islam, Lengkap beserta Sejarahnya". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2021-10-13. Diakses tanggal 2023-05-29.
- ↑ Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1977-01-01.
- ↑ "PERJUANGAN ERNEST FRANCOIS EUGENE DOUWES DEKKER DARI POLITIK MENUJU PENDIDIKAN 1913-1941" (Pdf). AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah. Diakses tanggal 3 Maret 2022.[pranala nonaktif permanen]
- ↑ Slamet Muljana (2007) Sejarah. Sumatera Barat: Yudhistira Ghalia Indonesia. Hal 37-38. ISBN 9790191391
- ↑ Tsuchiya, Kenji (1992). Demokrasi dan kepemimpinan : kebangkitan gerakan Taman Siswa. H. B. Yassin (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-419-5. OCLC 221655803.
- ↑ developer, mediaindonesia com. "Mengenal Tokoh Tiga Serangkai, Peranannya dalam Indische Partij". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2023-06-05.
- ↑ "Als Ik Eens Nederlander Was". GURU BERBAGI (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-05.
- ↑ marxist.com
- ↑ 175,0 175,1 175,2 Templat:Cite thesis
- ↑ Media, Kompas Cyber (2021-04-06). "Sarekat Islam: Latar Belakang, Perkembangan, dan Perpecahan Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-31.
- ↑ Jarvis, Helen (1991). Notes and appendices for Tan Malaka, From Jail to Jail. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies.
- ↑ Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 1992.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2020-02-12). "Perhimpunan Indonesia: Organisasi Pertama yang Pakai Istilah Indonesia Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-06-08.
- ↑ Revitalisasi Keindonesiaan[pranala nonaktif permanen], Kompas 28 Oktober 2005
- ↑ JP, Slamet (2020-10-29). "Perkumpulan Pemuda Pencetus Sumpah Pemuda". Kompaspedia. Diakses tanggal 2023-06-12.
- ↑ 182,0 182,1 Media, Kompas Cyber (2021-12-29). "Kongres Pemuda I: Latar Belakang, Tujuan, Ketua, dan Hasil Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-06-08.
- ↑ Kongres Sumpah Pemuda - Pemerintah Kota Surakarta.
- ↑ "Mohamad Tabrani: Pelopor Bahasa Indonesia". Republika Online. 2019-11-23. Diakses tanggal 2023-06-09.
- ↑ 185,0 185,1 "Sejarah Pemberontakan Berdarah Pertama PKI pada 1926-1927". SINDOnews.com. Diakses tanggal 2023-06-07.
- ↑ Prinada, Yuda. "Sejarah Pemberontakan PKI 1926-1927 di Sumatera Terhadap Belanda". tirto.id. Diakses tanggal 2023-06-07.
- ↑ Majalah Tempo, Edisi Khusus 80 Tahun Sumpah Pemuda, 27 Oktober 2008
- ↑ 188,0 188,1 Noer, Deliar (2012). Jaap Erkelens, ed. Mohammad Hatta:Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-709-633-5.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-12-03). ""Indonesia Merdeka," Pidato Pembelaan Hatta Saat Ditahan di Belanda Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ↑ 190,0 190,1 Soejitno, Hardjosoediro (1984). Kronologi Pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Parmita.
- ↑ Maulana, Doni (2018-04-18). "Indonesische Studieclub (lSC)". Data dan Informasi (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-13.
- ↑ "Riwayat Berdirinya PNI". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2016-07-15. Diakses tanggal 2021-07-27.
- ↑ Yance Arizona. "Indonesia Menggugat". Diakses tanggal 29 Mei 2014.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-08-08). "Isi Pidato Indonesia Menggugat Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-06-13.
- ↑ 195,0 195,1 195,2 Media, Kompas Cyber (2022-04-09). "Kongres Pemuda II, Lahirnya Sumpah Pemuda Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-06-09.
- ↑ Hariyadi, Mathias (2019-10-29). "Mapping Video di Gereja Katedral Jakarta: Kilas Balik Sejarah Sumpah Pemuda 1928 (1) | SESAWI.NET" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-09.
- ↑ "Menguak 3 Tempat Yang Jadi Saksi Lahirnya Sumpah Pemuda". Traveling Yuk (dalam bahasa Inggris). 2019-10-28UTC10:30:43. Diakses tanggal 2023-06-09.
- ↑ Haryanto, Alexander. "Sejarah Lirik Lagu Indonesia Raya dalam Hari Sumpah Pemuda". tirto.id. Diakses tanggal 2023-06-12.
- ↑ "Museum Sumpah Pemuda". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-25. Diakses tanggal 2009-09-27.
- ↑ Liputan6.com (2020-12-22). "22 Desember 1930: Indonesia Menggugat dan Vonis 4 Tahun Penjara Bung Karno". liputan6.com. Diakses tanggal 2023-06-13.
- ↑ Cribb, Robert; Kahin, Audrey (2004). Historical Dictionary of Indonesia. Scarecrow Press Inc. ISBN 978-0-8108-4935-8.
- ↑ Sukarno; Adams, Cindy (1965). Sukarno, An Autobiography. The Bobbs-Merrill Company Inc. hlm. 79–80.
- ↑ Liberti, Pasti. "Persahabatan Sukarno-Roosseno dan Masjid Istiqlal". detikx. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ↑ "SUKARNO; Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Mentjapai Indonesia Merdeka: hlm. 257-324". perpusbungkarno.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2021-08-19). "4 Tahun Bung Karno Diasingkan di Ende hingga Merenungkan Pancasila Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-08-04). "Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu, Saksi Bisu Perjuangan Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-12-04). "Mengapa Mohammad Hatta Dibuang ke Boven Digoel? Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ↑ Indonesia, C. N. N. "Spirit Juang dari Rumah Bung Hatta dan Sjahrir di Banda Neira". gaya hidup. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ↑ Fatimah, Siti. "Cerita Bung Hatta dan Sjahrir Usai Keluar dari Rumah Tahanan di Sukabumi". detikjabar. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ↑ Anjani, Anatasia. "Mengenal Sekolah yang Didirikan Kartini, Berawal dari Surat-suratnya". detikedu. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2021-05-20). "Raden Dewi Sartika: Kehidupan, Gagasan, dan Kiprahnya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ↑ Wulandari, Trisna. "Hari Pendidikan Nasional: Nama Asli Ki Hajar Dewantara dan Alasan Perubahannya". detikedu. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ↑ Zulfikar, Fahri. "Sekolah Taman Siswa Ki Hajar: Konsep Pendidikan Tanpa 'Perintah dan Sanksi'". detikedu. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ↑ SMP, Admin (2022-05-06). "Yuk Mengenal Sekolah Taman Siswa Milik Ki Hajar Dewantara". Direktorat SMP. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ↑ Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (2022-01-07). "Kepanduan Indonesia". Gerakan Pramuka Indonesia. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ↑ Ricklefs, M.C. (1991). A Modern History of Indonesia, 2nd edition. MacMillan. chapters 14–15. ISBN 0-333-57690-X.
- ↑ Amersfoort, Herman; Kamphuis, Piet, ed. (2005), Mei 1940 — De Strijd op Nederlands grondgebied (dalam bahasa Belanda), Den Haag: Sdu Uitgevers, ISBN 90-12-08959-X
- ↑ Benda, Harry S. (1956). "The Beginnings of the Japanese Occupation of Java". The Far Eastern Quarterly. 14 (4): 541–560. doi:10.2307/2941923. JSTOR 2941923.
- ↑ ZWEERS, L. (1995). Agressi II: Operatie Kraai. De vergeten beelden van de tweede politionele actie. Den Haag: SDU uitgevers.
- ↑ van der Bijl, Nick. Confrontation, The War with Indonesia 1962–1966, (London, 2007) ISBN 978-1-84415-595-8
- ↑ Wibowo, Sigit, Sjarifuddin. Ekonomi Indonesia Gagal karena Mafia Berkeley Diarsipkan 2008-06-16 di Wayback Machine., Harian Umum Sore Sinar Harapan. Copyright © Sinar Harapan 2003. Diakses: Selasa, 6 Agustus 2008.
- ↑ Templat:Cite press release "Salinan arsip" (PDF). Archived from the original on 2007-06-14. Diakses tanggal 2008-07-29.
- ↑ Morgan, Sally (2007). Indonesia. London: Wayland. ISBN 978-0-7502-4747-4. OCLC 123798216.
- ↑ "PBB Verifikasi 16.056 Nama Pulau Indonesia". Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. 19 Agustus 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Agustus 2021. Diakses tanggal 10 Agustus 2021.
- ↑ 225,0 225,1 225,2 Templat:Cite press release "Salinan arsip". Archived from the original on 2018-05-01. Diakses tanggal 2008-07-29.
- ↑ "Indonesia Regions". Indonesia Business Directory. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Desember 2005. Diakses tanggal 24 April 2007.
- ↑ BPS 2021, hlm. 5.
- ↑ Frederick, William H.; Worden, Robert L. (1993). Indonesia: A Country Study. Area Handbook Series (dalam bahasa Inggris). 550. Washington, D.C.: Federal Research Division, Library of Congress. hlm. 98. ISBN 9780844407906. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ↑ BPS 2020, hlm. 3.
- ↑ "Menko Maritim Luncurkan Data Rujukan Wilayah Kelautan Indonesia". Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. 10 Agustus 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-13. Diakses tanggal 10 Agustus 2021.
- ↑ Article 55 Diarsipkan 2008-03-16 di Wayback Machine., 1982 UN Convention on the Law of The Sea.
- ↑ Hope, G.S.; Peterson, J.A., ed. (1976). The Equatorial Glaciers of New Guinea. Rotterdam: A.A. Balkema. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ↑ Foster, Nigel (2021). Heart of Toba: Batak Life Beside the World's Largest Caldera Lake. Amazon Digital Services. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ↑ "Geografis". Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-11. Diakses tanggal 11 Agustus 2021.
- ↑ Beck, Hylke E.; Zimmermann, Niklaus E.; McVicar, Tim R.; Vergopolan, Noemi; Berg, Alexis; Wood, Eric F. (2018). "Present and future Köppen-Geiger climate classification maps at 1-km resolution". Scientific Data. 5 (1): 180214. doi:10.1038/sdata.2018.214. ISSN 2052-4463. PMC 6207062 alt=Dapat diakses gratis. PMID 30375988. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ↑ Beck, Hylke E.; Zimmermann, Niklaus E.; McVicar, Tim R.; Vergopolan, Noemi; Berg, Alexis; Wood, Eric F. (2020). "Publisher Correction: Present and future Köppen-Geiger climate classification maps at 1-km resolution". Scientific Data. 7 (1): 274. doi:10.1038/s41597-020-00616-w. ISSN 2052-4463. PMC 7431407 alt=Dapat diakses gratis. PMID 32807783. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ↑ "Climate of the World: Indonesia". Weather Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-12. Diakses tanggal 10 Agustus 2021.
- ↑ Yananto, Ardila; Sibarani, Rini Mariana (2016). "Analisis Kejadian El Nino dan Pengaruhnya terhadap Intensitas Curah Hujan di Wilayah Jabodetabek (Studi Kasus: Periode Puncak Musim Hujan Tahun 2015/2016)". Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca. 17 (2): 65. doi:10.29122/jstmc.v17i2.541. ISSN 2549-1121. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ↑ Wyrtki, Klaus (1961). Physical oceanography of the Southeast Asian waters (PDF). La Jolla, Calif.: Scripps Institution of Oceanography. OCLC 5116526. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ↑ Aldrian, E.; Karmini, M.; Budiman (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia (PDF). Jakarta: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. hlm. 19–21. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-11. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ↑ Aldrian, Edvin; Dwi Susanto, R. (2003). "Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature". International Journal of Climatology. 23 (12): 1435–1452. doi:10.1002/joc.950. ISSN 0899-8418.
- ↑ Overland, Indra (2017). Impact of Climate Change on ASEAN International Affairs: Risk and Opportunity Multiplier. Norwegian Institute of International Affairs (NUPI) dan Myanmar Institute of International and Strategic Studies (MISIS). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-28. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ↑ "Climate Impact Map". Climate Impact Lab. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 18 November 2018.
- ↑ 244,0 244,1 244,2 Case, M.; Ardiansyah, F.; Spector, E. (14 November 2007). "Climate Change in Indonesia: Implications for Humans and Nature" (PDF). World Wide Fund for Nature. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 19 Februari 2018. Diakses tanggal 18 November 2018.
- ↑ "Report: Flooded Future: Global vulnerability to sea level rise worse than previously understood". Climate Central. 29 Oktober 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 November 2019. Diakses tanggal 5 November 2019.
- ↑ Lin, Mayuri Mei; Hidayat, Rafki (13 Agustus 2018). "Jakarta, the fastest-sinking city in the world". BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Oktober 2018. Diakses tanggal 19 November 2018.
- ↑ "Indonesia: Climate Risk and Adaptation Country Profile" (PDF). World Bank. April 2011. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 6 Desember 2017. Diakses tanggal 18 November 2018.
- ↑ 248,0 248,1 "Indonesia: Volcano nation". BBC. 5 November 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 November 2017. Diakses tanggal 28 November 2017.
- ↑ Witton 2003, hlm. 38.
- ↑ Templat:Cite magazine
- ↑ "Tambora". Volcano Discovery. 29 Mei 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Desember 2016. Diakses tanggal 20 December 2016.
- ↑ Templat:Cite magazine
- ↑ "Analysis of the Sumatra-Andaman Earthquake Reveals Longest Fault Rupture Ever". National Science Foundation. 19 Mei 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-12. Diakses tanggal 15 Desember 2016.
- ↑ "The World's 17 Megadiverse Countries". Biodiversity A-Z. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-03. Diakses tanggal 11 Agustus 2021.
- ↑ Mittermeier, Russell A.; Mittermeier, Cristina Goettsch; Gil, Patricio Robles; Wilson, Edward O. (1997). Megadiversity: earth's biologically wealthiest nations. México, D.F.: CEMEX. ISBN 978-968-6397-50-5. OCLC 38584598. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-15. Diakses tanggal 2021-08-15.
- ↑ New, T.R. (2002). "Neuroptera of Wallacea: a transitional fauna between major geographical regions" (PDF). Acta Zoologica Academiae Scientiarum Hungaricae. 48 (2): 217–227. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-02-07. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ↑ Simpson, George Gaylord (1977). "Too Many Lines; The Limits of the Oriental and Australian Zoogeographic Regions". Proceedings of the American Philosophical Society. 21 (2): 107–120. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-13. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ↑ "Indonesia: Main Details". Convention on Biological Diversity. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-12. Diakses tanggal 19 Agustus 2021.
- ↑ Miller, Jason R. (14 Agustus 2007). "Deforestation in Indonesia and the Orangutan Population". TED Case Studies. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Agustus 2007. Diakses tanggal 11 Agustus 2007.
- ↑ "2020 Environmental Performance Index" (PDF). Yale University. 2020. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 9 Juni 2020. Diakses tanggal 9 Juni 2020.
- ↑ "Forest area (% of land area)–Indoneisa". World Bank. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-13. Diakses tanggal 14 Juni 2021.
- ↑ 262,0 262,1 Tsujino, Riyou; Yumoto, Takakazu; Kitamura, Shumpei; Djamaluddin, Ibrahim; Darnaedi, Dedy (2016). "History of forest loss and degradation in Indonesia". Land Use Policy. 57: 335–347. doi:10.1016/j.landusepol.2016.05.034. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-12. Diakses tanggal 2021-08-19.
- ↑ Colchester, Marcus; Jiwan, Normal; Andiko, Martua Sirait; Firdaus, Asup Y.; Surambo, A.; Pane, Herbert (26 Maret 2012). "Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous People" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2012. Diakses tanggal 31 Mei 2012.
- ↑ Chrysolite, Hanny; Juliane, Reidinar; Chitra, Josefhine; Ge, Mengpin (4 Oktober 2017). "Evaluating Indonesia's Progress on its Climate Commitments". World Resources Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Oktober 2017. Diakses tanggal 26 Agustus 2018.
- ↑ BirdLife International (2018). "Leucopsar rothschildi". The IUCN Red List of Threatened Species 2018. e.T22710912A129874226. doi:10.2305/iucn.uk.2018-2.rlts.t22710912a129874226.en. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-21. Diakses tanggal 2021-08-19.
- ↑ Singleton, I; Wich, S.A.; Nowak, M.; Usher, G.; Utami-Atmoko, S.S. (2017). "Pongo abelii". The IUCN Red List of Threatened Species 2017. e.T121097935A123797627. doi:10.2305/iucn.uk.2017-3.rlts.t121097935a115575085.en. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-19. Diakses tanggal 2021-08-19.
- ↑ Elis, S.; Talukdar, B. (2020). "Rhinoceros sondaicus". The IUCN Red List of Threatened Species 2020. e.T19495A18493900. doi:10.2305/iucn.uk.2020-2.rlts.t19495a18493900.en. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-22. Diakses tanggal 2021-08-19.
- ↑ Harijanti, Susi Dwi; Lindsey, Tim (1 Januari 2006). "Indonesia: General elections test the amended Constitution and the new Constitutional Court". International Journal of Constitutional Law. 4 (1): 138–150. doi:10.1093/icon/moi055. ISSN 1474-2659. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-27. Diakses tanggal 2021-08-23.
- ↑ Ardiansyah, F.; Marthen, A.A.; Amalia, N. (2015). Forest and land-use governance in a decentralized Indonesia: A legal and policy review. Center for International Forestry Research (CIFOR). doi:10.17528/cifor/005695. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-03. Diakses tanggal 2021-08-23.
- ↑ Setyorini, Ika (2019). "Kewenangan Pemerintah Daerah di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945". Literasi Hukum. 3 (1): 26–38. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-23. Diakses tanggal 2021-08-23.
- ↑ UUD 1945, Pasal 7.
- ↑ "Kabinet Pemerintahan Indonesia". Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-19. Diakses tanggal 24 Agustus 2021.
- ↑ UUD 1945, Pasal 3.
- ↑ Evans, Kevin (2019). "Guide to the 2019 Indonesian Elections" (PDF). Australia-Indonesia Centre. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 17 April 2019. Diakses tanggal 30 Juli 2019.
- ↑ UUD 1945, Pasal 20A.
- ↑ "Tugas dan Wewenang". Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-18. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ↑ UUD 1945, Pasal 22D.
- ↑ "Fungsi, Tugas, dan Wewenang". Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-20. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ↑ "Pimpinan MPR RI". Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-25. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ↑ "Pimpinan DPR RI". Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-02. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ↑ "Pimpinan DPD". Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-20. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ↑ UUD 1945, Pasal 24.
- ↑ "Wewenang dan Tugas". Komisi Yudisial Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-19. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ↑ Wong, Kristina (23 July 2009). "abc NEWS Poll: Obama's Popularity Lifts U.S. Global Image". USA: ABC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-13. Diakses tanggal 23 October 2011.
- ↑ "Kedutaan/Konsulat". Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-29. Diakses tanggal 29 Agustus 2021.
- ↑ Haryanto, Agus (Desember 2014). "Prinsip Bebas Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Perspektif Teori Peran". Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi. IV (II): 17–27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-29. Diakses tanggal 2021-08-29.
- ↑ "Indonesia – Foreign Policy". U.S. Library of Congress. U.S. Library of Congress. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-27. Diakses tanggal 5 May 2007.
- ↑ Indonesia temporarily withdrew from the UN on 20 January 1965 in response to the fact that Malaysia was elected as a non-permanent member of the Security Council. It announced its intention to "resume full cooperation with the United Nations and to resume participation in its activities" on 19 September 1966, and was invited to re-join the UN on 28 September 1966.
- ↑ Chris Wilson (11 October 2001). "Indonesia and Transnational Terrorism". Foreign Affairs, Defense and Trade Group. Parliament of Australia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-06. Diakses tanggal 15 October 2006.; Reyko Huang (23 May 2002). "Priority Dilemmas: U.S. – Indonesia Military Relations in the Anti Terror War". Terrorism Project. Center for Defense Information. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-10-12. Diakses tanggal 2015-02-14.
- ↑ "Commemoration of 3rd anniversary of bombings". Melbourne: The Age Newspaper. AAP. 10 December 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-01. Diakses tanggal 2015-02-14.
- ↑ Templat:Cite press release "Salinan arsip". Archived from the original on 2006-11-11. Diakses tanggal 2015-02-14.
- ↑ Chew, Amy (7 July 2002). "Indonesia military regains ground". CNN Asia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-14. Diakses tanggal 24 April 2007.
- ↑ Witular, Rendi A. (19 May 2005). "Susilo Approves Additional Military Funding". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-14. Diakses tanggal 24 April 2007.
- ↑ Friend (2003), pp. 473–475, 484
- ↑ Friend (2003), pp. 270–273, 477–480
- ↑ "Indonesia flashpoints: Aceh". BBC News. BBC. 29 December 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-02. Diakses tanggal 20 May 2007.
- ↑ "Indonesia agrees Aceh peace deal". BBC News. BBC. 17 July 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-14. Diakses tanggal 20 May 2007.; Harvey, Rachel (18 September 2005). "Indonesia starts Aceh withdrawal". BBC News. BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-02. Diakses tanggal 20 May 2007.
- ↑ Lateline TV Current Affairs (20 April 2006). "Sidney Jones on South East Asian conflicts" (PDF). TV Program transcript, Interview with South East Asia director of the International Crisis Group. Australian Broadcasting Commission (ABC). Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 September 2006.; International Crisis Group (5 September 2006). "Papua: Answer to Frequently Asked Questions" (PDF). Update Briefing. International Crisis Group (53): 1. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 18 September 2006. Diakses tanggal 17 September 2006.
- ↑ Media, Kompas Cyber (2022-11-17). "Sah! Indonesia Kini Punya 38 Provinsi, Ini Daftarnya". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-17. Diakses tanggal 2022-11-18.
- ↑ "2014BPS". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-13. Diakses tanggal 2015-10-04.
- ↑ "BPS". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-13. Diakses tanggal 2015-10-04.
- ↑ "USD". www.usd.ac.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-29. Diakses tanggal 26-06-2017.
- ↑ Templat:Cite act "Salinan arsip". Archived from the original on 2022-09-10. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ↑ "Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara" (PDF). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2022-01-18. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-01-18. Diakses tanggal 2022-01-18.
- ↑ Wiharyanto, A.K. 2009. Sejarah Indonesia Baru II. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
- ↑ Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia Diarsipkan 2015-07-03 di Wayback Machine. Tokohindonesia.com. Diakses 8 September 2013.
- ↑ Templat:Cite act "Salinan arsip". Archived from the original on 2022-07-06. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ↑ Post, The Jakarta. "Indonesia studies new sites for capital city". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-31. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ↑ Nurita, Dewi (16 Agustus 2019). Persada, Syailendra, ed. "Pidato Kenegaraan, Jokowi Sebut Pindahkan Ibu Kota ke Kalimantan". Tempo.co. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-12. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ↑ Ihsanuddin (26 Agustus 2019). Galih, Bayu, ed. "Jokowi: Ibu Kota Baru di Sebagian Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kaltim". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-10. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ↑ Andhika Prasetyo (13 Januari 2020). "Putra Mahkota Abu Dhabi Jadi Dewan Pengarah Ibu Kota Baru". Media Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Januari 2023. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ↑ Hamdani, Trio (7 Februari 2020). "Pemerintah Bentuk Tim Khusus Kebut Pemindahan Ibu Kota". detikcom. Detik Finance. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Januari 2023. Diakses tanggal 20 Januari 2022.
- ↑ "Covid-19, Pemerintah Tunda Pembangunan Ibu Kota Baru". CNN Indonesia. 9 September 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-12. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ↑ Templat:Cite act "Salinan arsip". Archived from the original on 2022-08-28. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ↑ "Tiba di Titik Nol Kilometer IKN, Presiden Satukan Tanah dan Air Nusantara". Presiden Republik Indonesia. 14 Maret 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-12. Diakses tanggal 15 Maret 2022.
- ↑ 316,0 316,1 316,2 316,3 Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. ISBN 1-86373-635-2, pp. 52–57.
- ↑ "Indonesia: Country Brief". Indonesia:Key Development Data & Statistics. Bank Dunia. 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-01.
- ↑ "Poverty in Indonesia: Always with them". The Economist. 2006-09-14. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-11-28. Diakses tanggal 2006-12-26.
- ↑ "Indonesia: Forecast". Country Briefings. The Economist. 2006-10-03. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-08-04.
- ↑ Templat:Cite press release "Salinan arsip" (PDF). Archived from the original on 2008-04-01. Diakses tanggal 2008-08-07.
- ↑ Ridwan Max Sijabat (23 Maret 2007). "Unemployment still blighting the Indonesian landscape". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-05-01. Diakses tanggal 2008-08-07.
- ↑ Templat:Cite press release "Salinan arsip" (PDF). Archived from the original on 2008-08-17. Diakses tanggal 2008-08-07.
- ↑ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 April 2016. Diakses tanggal 1 Maret 2016.
- ↑ "Indonesia (IDN) Exports, Imports, and Trade Partners | OEC". OEC - The Observatory of Economic Complexity (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-19. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ↑ Astuti, Kismi Dwi (31 Oktober 2022). "Kedelai Dunia Turun: Pemda Harus Bantu Subsidi". Pikiran Rakyat. hlm. 5.
- ↑ "Official Statistics and its Development in Indonesia" (PDF). Sub Committee on Statistics: First Session 18–20 February, 2004. Economic and Social Commission for Asia & the Pacific. hlm. 19. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2009-09-29. Diakses tanggal 2008-08-07.
- ↑ "Indonesia at a Glance" (PDF). Indonesia Development Indicators and Data. Bank Dunia. 2006-08-13. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-12-23. Diakses tanggal 2008-08-07.
- ↑ "Indeks Persepsi Korupsi". Transparency International. 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-28. Diakses tanggal 2007-09-28.
- ↑ "Index of Economic Freedom". The Heritage Foundation & The Wall Street Journal. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-08. Diakses tanggal 2018-12-08.
- ↑ "The Economist Intelligence Unit's Quality-of-Life Index" (PDF). The Economist. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-07-23. Diakses tanggal 2007-09-12.
- ↑ "Worldwide Press Freedom Index 2006" (PDF). Reporters Without Borders. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2008-06-24. Diakses tanggal 2008-06-31.
- ↑ "cpi 2017 table". Transparency International. 2018-02-21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-23. Diakses tanggal 2008-06-31.
- ↑ 333,0 333,1 "Human Development Reports: Indonesia". United Nations Development Programme. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-01. Diakses tanggal 2019-12-09.
- ↑ "Global Competitiveness Index rankings 2018" (PDF). World Economic Forum. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-08. Diakses tanggal 2018-12-08.
- ↑ "Most Literred Nation in the World 2016" (PDF). Central Connecticut State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-11. Diakses tanggal 2016-01-29.
- ↑ "Countries in the world by population (2021)". World-O-Meter. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-26. Diakses tanggal 7 Agustus 2021.
- ↑ Badan Pusat Statistik (21 Januari 2021), Hasil Sensus Penduduk 2020 (PDF), Jakarta: Badan Pusat Statistik, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 22 Januari 2021
- ↑ Migiro, Geoffrey (6 Mei 2019). "Most Populated Islands in the World". World Atlas (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-13. Diakses tanggal 20 April 2021.
- ↑ Badan Pusat Statistik (1962). Sensus Penduduk 1961 Republik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-19. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ↑ "World Population Prospect: 2017 Revision" (PDF). United Nations Department of Economics and Social Affairs–Population Division. 21 Juni 2017. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 20 Desember 2017. Diakses tanggal 20 Desember 2017.
- ↑ "Indonesia - The World Factbook". CIA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-13. Diakses tanggal 8 Agustus 2021.
- ↑ Maryati, Sri (2015). "Dinamika Pengangguran Terdidik: Tantangan Menuju Bonus Demografi di Indonesia". economica. 3 (2): 124–136. doi:10.22202/economica.2015.v3.i2.249. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ↑ "BBC: First contact with isolated tribes?". Survival International. 25 Januari 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 Juli 2017. Diakses tanggal 30 Juli 2017.
- ↑ "Share of people living in urban areas, 2017". Our World in Data. 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-12. Diakses tanggal 5 September 2020.
- ↑ Krisetya, Beltsazar (14 September 2016). "Tapping the Indonesian Diaspora Potential". Forum for International Studies. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Desember 2017. Diakses tanggal 20 Desember 2017.
- ↑ Harijanti, Susi Dwi (Februari 2017). "Report On Citizenship Law: Indonesia" (PDF). Badia Fiesolana: European University Institute. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 15 November 2020. Diakses tanggal 11 Mei 2021.
- ↑ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 6.
- ↑ Tanudirjo, Daud Aris (2017). "Mempertanyakan Austronesia, Meneguhkan Identitas Indonesia". Dalam Harry, Widianto. Jejak Austronesia di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 11–12. ISBN 978-602-386-158-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-07.
- ↑ Ridgell, Reilly (1995). Pacific Nations and Territories: The Islands of Micronesia, Melanesia, and Polynesia. Pacific Region Educational Laboratory (edisi ke-3, edisi revisi). Honolulu, Hawaii: Bess Press. hlm. 22–25. ISBN 1-57306-001-1. OCLC 33941689. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-07.
- ↑ Ananta, Aris; Arifin, Evi Nurvidya; Hasbullah, M. Sairi; Handayani, Nur Budi; Pramono, Agus (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. SG: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4519-88-5. OCLC 1011165696. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-07.
- ↑ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 5.
- ↑ Ricklefs 1991, hlm. 256.
- ↑ La Ode, M.D. (2018). Trilogi pribumisme: resolusi konflik pribumi dengan non pribumi di berbagai belahan dunia. Jakarta: Komunitas Ilmu Pertahanan Indonesia. ISBN 978-602-52288-0-3. OCLC 1091891011.
- ↑ Pemerintah indonesia (1998). "Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi" (PDF). Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kemenkumham. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-01-06.
- ↑ "Dasar Hukum yang Melarang Penggunaan Istilah "Pribumi"". Hukum Online. 17 Oktober 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 8 Agustus 2021.
- ↑ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 28.
- ↑ "Bahasa Daerah Di Indonesia". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-04. Diakses tanggal 8 Agustus 2021.
- ↑ "Asian Linguistic Maps: Indonesia & Brunei". Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 Desember 2015. Diakses tanggal 23 Desember 2012.
- ↑ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 11.
- ↑ Simons, Gary F.; Fennig, Charles D. "Ethnologue: Languages of the World, Twenty-first edition". SIL International. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Juni 2019. Diakses tanggal 20 September 2018.
- ↑ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 47.
- ↑ Kridalaksana, H. (1991). "Pengantar tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia". Dalam Kridalaksana, H. Masa Lampau bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai (PDF). Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-413-476-7. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ↑ UUD 1945, Pasal 36.
- ↑ "Tugas dan Fungsi". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Juli 2020. Diakses tanggal 9 Agustus 2021.
- ↑ Jazuly, Ahmad (2016). "Peran Bahasa Inggris pada Anak Usia Dini". Jurnal Pendidikan Dompet Dhuafa. 6 (1): 33–40. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ↑ Santoso, Iman (1 April 2014). "Pembelajaran Bahasa Asing di Indonesia: Antara Globalisasi dan Hegemoni". Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra. 14 (1): 1. doi:10.17509/bs_jpbsp.v14i1.696. ISSN 2527-8312. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ↑ 367,0 367,1 "Data Umat Berdasar Jumlah Pemeluk Agama Menurut Agama". Kementerian Agama. 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 September 2020. Diakses tanggal 9 Agustus 2021.
- ↑ Eid, Haya Muhammad (2019). Learning My Salah: The Second Pillar. Ahlan Foundation. hlm. 66.
- ↑ Muradi, Ahmad (2013). "Tujuan Pembelajaran Bahasa Asing (Arab) di Indonesia". Al-Maqayis. 1 (1): 128–137. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ↑ Chaqoqo, S.G.N. (1 Juni 2012). "Pembelajaran Bahasa Arab Sepanjang Sejarah". STAIN Salatiga. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Maret 2013. Diakses tanggal 2 Januari 2013.
- ↑ UUD 1945, Pasal 29 ayat (2).
- ↑ Marshall, Paul (2018). "The Ambiguities of Religious Freedom in Indonesia". The Review of Faith & International Affairs. 16 (1): 85–96. doi:10.1080/15570274.2018.1433588. ISSN 1557-0274. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ↑ Templat:Cite conference
- ↑ Oey, Eric (1995). Bali. Periplus. ISBN 962-593-028-0. OCLC 60286689.
- ↑ Suryadinata, Leo, ed. (2008). Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9789812308351. OCLC 469069147.
- ↑ Magnis-Suseno, Franz (1997). Javanese Ethics and World-View: The Javanese Idea of the Good Life. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 979-605-406-X. OCLC 38466385.
- ↑ "2003 International Religious Freedom Report: Indonesia". U.S. Department of State. 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-09. Diakses tanggal 13 Januari 2012..
- ↑ Gonda, Jan (1975). "The Indian Religions in Pre-Islamic Indonesia and their survival in Bali". Handbook of Oriental Studies. Section 3 Southeast Asia, Religions. Brill.
- ↑ Darsa, Undang A. 2004. "Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan", Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuna yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1–23.
- ↑ "Buddhism in Indonesia". Buddha Dharma Education Association. 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Mei 2019. Diakses tanggal 3 Oktober 2006.
- ↑ Rahman, Taufiq (2013). "'Indianization' of Indonesia in an Historical Sketch". International Journal of Nusantara Islam. 1 (2): 56–64. doi:10.15575/ijni.v1i2.26. ISSN 2355-651X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-09. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ↑ Sedyawati, Edi (19 Desember 2014). "Influence of Hinduism and Buddhism on Indonesian culture". Sanskriti Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 April 2017. Diakses tanggal 6 Desember 2020.
- ↑ Martin, Richard C. (2004). Encyclopedia of Islam and the Muslim World. Vol. 2: M–Z. New York: Macmillan Reference USA. ISBN 0-02-865603-2. OCLC 52178942. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-12. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ↑ 384,0 384,1 Böwering, Gerhard; Crone, Patricia; Mirza, Mahan (2013). The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought. Princeton, N.J.: Princeton University Press. ISBN 1-4008-3855-X. OCLC 820631887.
- ↑ Ricklefs 1991, hlm. 12–14.
- ↑ "Indonesia–Bhineka Tunggal Ika". Centre Universitaire d'Informatique. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 September 2006. Diakses tanggal 20 Oktober 2006.
- ↑ Tanasaldy, Taufiq (2012). Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia: Dayak Politics of West Kalimantan. Leiden: KITLV Press. ISBN 978-90-04-25348-3. OCLC 804847859. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ↑ Ricklefs 1991, hlm. 25, 26, 28.
- ↑ "About St Francis Xavier". Catholic Archdiocese of Sydney. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 November 2012. Diakses tanggal 5 Juli 2018.
- ↑ Ricklefs 1991, hlm. 28, 62.
- ↑ Vickers 2005, hlm. 22.
- ↑ Goh, Robbie B.H. (2005). Christianity in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 80. ISBN 978-981-230-297-7.
- ↑ "Indonesia". Reformed Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Desember 2006. Diakses tanggal 5 Desember 2006.
- ↑ Klemperer-Markman, Ayala. "The Jewish Community in Indonesia". Beit Hatfutsot. Diterjemahkan oleh Julie Ann Levy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Agustus 2019. Diakses tanggal 12 Maret 2020.
- ↑ Madjid, Nurcholish (1994). "Islamic Roots of Modern Pluralism: Indonesian Experience". Studia Islamika. 1 (1). doi:10.15408/sdi.v1i1.866. ISSN 2355-6145. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-09. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ↑ Harsono, Andreas (Mei 2019). Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia. Monash University Publishing. ISBN 978-1-925835-09-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ↑ "How religious commitment varies by country among people of all ages". Pew Research Center. 13 Juni 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 Agustus 2018. Diakses tanggal 23 November 2018.
- ↑ Pearce, Jonathan M.S. (28 Oktober 2018). "Religion in Indonesia: An Insight". Patheos. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Oktober 2018. Diakses tanggal 23 November 2018.
- ↑ UUD 1945, Pasal 31 ayat (4).
- ↑ Al-Samarrai, Samer; Cerdan-Infantes, Pedro (9 Maret 2013). "Awakening Indonesia's Golden Generation: Extending Compulsory Education from 9 to 12 Years". The World Bank Blog. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Oktober 2017. Diakses tanggal 10 Oktober 2017.
- ↑ 401,0 401,1 "Indonesia". UNESCO Institute for Statistics. 27 November 2016. Diakses tanggal 5 September 2020.
- ↑ "Is Indonesia Ready for International Branch Campuses?". Inside Higher Ed. 29 Mei 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 Mei 2018. Diakses tanggal 18 November 2018.
- ↑ "Indonesia's Unequal Higher Education". Asia Sentinel. 4 Mei 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 September 2020. Diakses tanggal 3 Desember 2020.
- ↑ "2018 Health SDG Profile: Indonesia" (PDF). Organisasi Kesehatan Dunia. Juli 2018. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 6 Desember 2018. Diakses tanggal 10 Desember 2018.
- ↑ Thabrany, Hasbullah (2 Januari 2014). "Birth of Indonesia's 'Medicare': Fasten your seatbelts". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Januari 2014. Diakses tanggal 26 Agustus 2018.
- ↑ "Life expectancy". Our World in Data. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-13. Diakses tanggal 6 September 2020.
- ↑ "Child mortality rate". Our World in Data. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-27. Diakses tanggal 5 September 2020.
- ↑ Mboi, Nafsiah; Surbakti, Indra Murty; Trihandini, Indang; Elyazar, Iqbal; Smith, Karen Houston; Bahjuri Ali, Pungkas; Kosen, Soewarta; Flemons, Kristin; Ray, Sarah E. (2018). "On the road to universal health care in Indonesia, 1990–2016: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016". The Lancet (dalam bahasa Inggris). 392 (10147): 581–591. doi:10.1016/S0140-6736(18)30595-6. PMC 6099123 alt=Dapat diakses gratis. PMID 29961639. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-10. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ↑ 409,0 409,1 Badan Pusat Statistik (15 Desember 2020). "Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2020". Berita Resmi Statistik (No.97/12/Th.XXIII). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-29. Diakses tanggal 2021-01-22.
- ↑ "PENGERAJIN BATIK TAK PERLU RESAH". Majalah Hukum & HAM Online. 30 September 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-26. Diakses tanggal 14 Agustus 2008.
- ↑ Witton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. hlm. 103. ISBN 1-74059-154-2.
- ↑ Elyas Pical Dapat Penghargaan[pranala nonaktif permanen]. Surya, 27 Maret 2009. Diakses pada 10 September 2010.
- ↑ Afriatni, Ami. Petinju Chris John Sukses Pertahankan Gelar Juara Dunia Diarsipkan 2008-12-10 di Wayback Machine.. Tempo, 19 Agustus 2007. Diakses pada 10 September 2010.
- ↑ "Jejak Bersejarah Hindia Belanda di Piala Dunia 1938". CNN Indonesia. 23 April 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-16. Diakses tanggal 21 Februari 2020.
- ↑ "Kampung Tugu, Menyimpan Kenangan Sejarah". Kompas.com. Rabu, 28 April 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-11. Diakses tanggal 14 Agustus 2008.
- ↑ Radhar Panca Dahana (Kamis, 6 Desember 2007). "Perspektif: Mencuri Klaim, Itu Biasa". Gatra.Com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-08. Diakses tanggal 14 Agustus 2008.
- ↑ Witton, Patrick (2002). World Food: Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. ISBN 1-74059-009-0.
- ↑ Brissendon, Rosemary (2003). South East Asian Food. Melbourne: Hardie Grant Books. ISBN 1-74066-013-7.
- ↑ http://www.cnngo.com/explorations/eat/40-foods-indonesians-cant-live-without-327106 Diarsipkan 2011-10-25 di Wayback Machine. 40 of Indonesia's best dishes. Diakses pada 5 Desember 2011.
- ↑ 420,0 420,1 Kristianto, JB (2 Juli 2005). "Sepuluh Tahun Terakhir Perfilman Indonesia". Kompas.com. Kompas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-13. Diakses tanggal 5 Oktober 2006.
- ↑ Pramantie, Caroline (30 Maret 2017). "Menengok 10 Film Indonesia Terlaris Dalam 10 Tahun Terakhir". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-16. Diakses tanggal 2022-01-15.
- ↑ Literacy and Writing Systems in Asia (dalam bahasa Inggris). Department of Linguistics, University of Illinois at Urbana-Champaign. 2000. hlm. 137.
- ↑ Taylor (2003), pp. 299–301
- ↑ Vickers (2005) pp. 3-7; Friend (2003), pp. 74, 180
- ↑ Czermak, Karen. ""Preserving Intangible Cultural Heritage in Indonesia"" (PDF). SIL International. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2007-07-09. Diakses tanggal 2007-07-04.
- ↑ "Internet World Stats". Asia Internet Usage, Population Statistics and Information. Miniwatts Marketing Group. 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-30. Diakses tanggal 2007-08-13.
- ↑ Suprapto (November 24, 2014). "Inilah Data Peringkat Negara Pengguna Internet". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-07-19. Diakses tanggal 2015-08-21.
- ↑ Dewi, Intan Rakhmayanti (2022-06-09). "Data Terbaru! Berapa Pengguna Internet Indonesia 2022?". CNBC Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-13. Diakses tanggal 2022-09-13.
Kepustakaan[sunting | sunting sumber]
- Badan Pusat Statistik (2020). Statistik Indonesia 2020. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
- Badan Pusat Statistik (2021). Statistik Indonesia 2021. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Agustus 2021.
- Frederick, William H.; Worden, Robert L., ed. (2011). Indonesia: A Country Study (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-6). Washington, D.C.: Library of Congress, Federal Research Division. ISBN 978-0-8444-0790-6.
- Friend, T. (2003). Indonesian Destinies (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. ISBN 0-674-01137-6.
- Na'im, Akhsan; Syaputra, Hendry (2010). "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia" (PDF). Badan Pusat Statistik (BPS). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 23 September 2015. Diakses tanggal 23 September 2015.
- Ricklefs, Merle Calvin (2001). A history of modern Indonesia since c. 1200 (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-3). Basingstoke; Stanford, CA: Palgrave; Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-4480-5.
- Ricklefs, Merle Calvin (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200 (E-Book version) (edisi ke-4). New York: Palgrave Macmillan.
- Pemerintah Indonesia (1945), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (dalam bahasa Inggris). Westview Press. ISBN 1-86373-635-2.
- Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories (dalam bahasa Inggris). New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5.
- Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-6.
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
- (Indonesia) Situs web resmi pemerintah Republik IndonesiaDiarsipkan 2012-02-03 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Pemilu Indonesia Diarsipkan 2016-02-05 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Data Kependudukan Resmi Indonesia
- (Inggris) Indonesia di Encyclopædia Britannica
- (Inggris) Indonesia: Country Studies 1993
- (Inggris) Presentasi tentang Indonesia Diarsipkan 2013-01-18 di Wayback Machine.
Lua error in Modul:Authority_control at line 1174: attempt to index field 'wikibase' (a nil value).
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan
- Halaman dengan galat skrip
- Galat CS1: tidak memiliki penulis atau penyunting
- CS1 sumber berbahasa Inggris (en)
- Templat webarchive tautan wayback
- Halaman dengan rujukan yang menggunakan parameter yang tidak didukung
- Galat CS1: tanggal
- Halaman dengan berkas rusak
- Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis
- Artikel dengan pranala luar nonaktif
- Artikel dengan pranala luar nonaktif permanen
- Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui
- Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun
- Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list
- Pemeliharaan CS1: Url tak layak
- CS1 sumber berbahasa Belanda (nl)
- Pemeliharaan CS1: Format PMC
- Halaman dengan rujukan yang memiliki parameter duplikat
- Halaman dengan teks IPA berbahasa Indonesia
- Artikel mengandung aksara Belanda
- Semua artikel perlu dikembangkan
- Artikel yang menggunakan kotak pesan kecil
- Artikel yang perlu dikembangkan September 2023
- Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan
- Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan September 2023
- Halaman yang menggunakan multiple image dengan pengubahan ukuran gambar otomatis
- Templat Portal dengan pranala merah
- Pages with empty portal template
- Flagicons with missing country data templates
- Indonesia
- Republik
- Negara di Asia
- Negara di Asia Tenggara
- Negara mayoritas Muslim
- Negara di Melanesia
- Negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam
- Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
- Negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
- Negara mantan anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi
- Negara dan wilayah berbahasa Melayu
- Pendirian tahun 1945 di Indonesia
- Pendirian tahun 1945 di Asia
- Pendirian tahun 1945 di Asia Tenggara
- Negara dan wilayah yang didirikan tahun 1945
- Negara anggota Kelompok D-8 Negara Berkembang
- Negara E7
- Negara G15
- Negara G20
- Negara industri baru
- Negara pulau
- Negara lintas benua
- Negara kepulauan
- Halaman dengan kesalahan referensi