Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018

Dari Wiki Javasatu
Revisi sejak 16 Oktober 2023 06.23 oleh Adminjavasatu (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Pembukaan[sunting sumber]

{{{jenis}}}

Nomor {{{nomor}}} Tahun {{{tahun}}}
TENTANG
{{{tentang}}}

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
{{{pejabat}}},



Konsideran[sunting sumber]

Menimbang:
a. bahwa Cagar Budaya merupakan kebudayaan daerah yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dalam rangka memajukan kebudayaan daerah untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
b. bahwa Cagar Budaya yang berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya;
c. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pemerintah Daerah mempunyai tugas untuk melakukan Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya;

Dasar Hukum[sunting sumber]

Mengingat:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam lingkungan Propinsi Djawa-Timur, Djawa-Tengah, Djawa-Barat dan Dalam Daerah Istimewa Djogjakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 5679);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Malang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041);
12. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);
13. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs;
14. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan;
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036);
16. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010-2030 (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2011 Nomor 1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 4);
17. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 1);

Keputusan[sunting | sunting sumber]

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA MALANG

dan

WALIKOTA MALANG MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG CAGAR BUDAYA.

BAB I KETENTUAN UMUM[sunting | sunting sumber]

Pasal 1[sunting | sunting sumber]

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1.  Daerah  adalah Kota Malang.

2.  Pemerintah Daerah  adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

3.  Walikota  adalah Walikota Malang.

4.  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD  adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang.

5.  Perangkat Daerah  adalah unsur pembantu Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

6.  Pejabat yang ditunjuk  adalah pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang tertentu dan mendapat pendelegasian dari Walikota.

7.  Cagar Budaya  adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

8.  Benda Cagar Budaya  adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

9.  Bangunan Cagar Budaya  adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

10.  Struktur Cagar Budaya  adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

11.  Situs Cagar Budaya  adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

12.  Kawasan Cagar Budaya  adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

13.  Daftar Warisan Budaya Daerah  adalah dokumen yang berisi catatan data Warisan Budaya, yang dibuat oleh Pemerintah Kota.

14.  Kepemilikan  adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.

15.  Penguasaan  adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.

16.  Pengalihan  adalah proses pemindahan hak kepemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya dari setiap orang dan/atau badan kepada Pemerintah Daerah atau pihak lain.

17.  Kompensasi  adalah imbalan berupa uang dan/atau bukan uang dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

18.  Insentif  adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain bersifat non dana untuk mendorong pelestarian Cagar Budaya dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

19.  Tim Ahli Cagar Budaya yang selanjutnya disebut Tim Ahli  adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.

20.  Tenaga Ahli Pelestarian yang selanjutnya disebut Tenaga Ahli  adalah orang yang karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya.

21.  Museum  adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.

22.  Kurator  adalah orang yang karena kompetensi keahliannya bertanggungjawab dalam pengelolaan koleksi museum.

23.  Pendaftaran  adalah upaya pencatatan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada Pemerintah Daerah atau perwakilan Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan dalam Register Nasional Cagar Budaya.

24.  Penetapan  adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh Kepala Daerah berdasarkan rekomendasi Tim Ahli.

25.  Register Nasional Cagar Budaya  adalah daftar resmi kekayaan budaya bangsa berupa Cagar Budaya yang berada di dalam dan di luar negeri.

26.  Pengelolaan  adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

27.  Pelestarian  adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

28.  Perlindungan  adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.

29.  Penyelamatan  adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.

30.  Pengamanan  adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.

31.  Juru Pelihara  adalah tenaga teknis yang mempuyai kemampuan, pengetahuan, dan ketrampilan dalam melakukan pemeliharaan Cagar Budaya.

32.  Zonasi  adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.

33.  Pemeliharaan  adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari.

34.  Pemugaran  adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya, Bagunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.

35.  Pengembangan  adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.

36.  Penelitian  adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.

37.  Revitalisasi  adalah kegiatan pengembangan yang ditunjukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.

38.  Pemanfaatan  adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

39.  Perbanyakan  adalah kegitan duplikasi langsung terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian- bagiannya.

40.  Adaptasi  adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.

41.  Etika Pelestarian Cagar Budaya  adalah norma sosial yang diwujudkan dalam standar moral guna membimbing perilaku setiap orang yang melakukan pelestarian Cagar Budaya.

42.  Setiap orang  adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat, badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum.

BAB II RUANG LINGKUP[sunting | sunting sumber]

Pasal 2[sunting | sunting sumber]

Ruang lingkup Cagar Budaya meliputi:

a. pelestarian cagar budaya;

b. registrasi;

c. pengelolaan cagar budaya;

d. peran serta masyarakat;

e. penghargaan;dan

f. pembiayaan;

BAB III PELESTARIAN CAGAR BUDAYA[sunting | sunting sumber]

Bagian Kesatu Umum

Pasal 3[sunting | sunting sumber]

Pasal 3[sunting sumber]

1

Pasal 3[sunting sumber]

2

Pasal 3[sunting sumber]

3

Pasal 3[sunting sumber]

4

Pasal 4[sunting | sunting sumber]

Pasal 4[sunting sumber]

1

Pasal 4[sunting sumber]

2

Pasal 5[sunting | sunting sumber]

Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya.

Pasal 6[sunting | sunting sumber]

Pasal 6[sunting sumber]

1

Pasal 6[sunting sumber]

2

Pasal 6[sunting sumber]

3

Pasal 6[sunting sumber]

4

Paragraf 1

Koordinasi Pelestarian

Pasal 7[sunting | sunting sumber]

Pasal 7[sunting sumber]

1

Pasal 7[sunting sumber]

2

Paragraf 2

Etika Pelestarian Cagar Budaya

Pasal 8[sunting | sunting sumber]

Pasal 8[sunting sumber]

1

Pasal 8[sunting sumber]

2

Paragraf 3

Arahan Pelestarian

Pasal 9[sunting | sunting sumber]

Pasal 9[sunting sumber]

1

Pasal 9[sunting sumber]

2

Pasal 9[sunting sumber]

3

Pasal 10[sunting | sunting sumber]

Pelestarian Benda Cagar Budaya harus mempertimbangkan:

a. bentuk; dan

b. sifat dan kondisi Benda Cagar Budaya.

Pasal 11[sunting | sunting sumber]

Pelestarian Bangunan Cagar Budaya harus mempertimbangkan:

a. peringkat dan golongan Bangunan Cagar Budaya;

b. keaslian bangunan (bentuk corak/tipe/langgam arsitektur, bahan, tata letak, struktur, teknik pengerjaan);

c. kondisi bangunan; dan

d. kepemilikan dan kesesuian dengan lingkungan dan lokasi keberadaan bangunan, jenis, serta jumlah.

Pasal 12[sunting | sunting sumber]

Pelestarian Struktur Cagar Budaya harus mempertimbangkan:

a. ciri asli;

b. bentuk; dan/atau

c. fasad struktur.

Pasal 13[sunting | sunting sumber]

Pelestarian Situs Cagar Budaya harus mempertimbangkan:

a. pemanfaatan;

b. daya dukung;

c. daya tampung;

d. memperkuat nilai penting dan identitas; dan

e. citra situs.

Pasal 14[sunting | sunting sumber]

Pelestarian Kawasan Cagar Budaya harus mempertimbangkan:

a. langgam arsitekstur bernuansa budaya sebagai pembetuk citra kawasan;

b. fasad bangunan pada jalan utama;

c. peruntukan kawasan;

d. elemen/unsur utama pembentuk kawasan yang meliputi:

1. tata ruang;

2. jalan;

3. tata lingkungan;

4. garis langit;

5. elemen jalan;

6. flora; dan

7. infrastruktur;

e. penanda toponimi kampong;

f. bangunan, struktur, dan situs Cagar Budaya yang merupakan isi dari kawasan yang menjadi prioritas untuk dilestarikan;

g. definisi dan zonasi kawasan;

h. revitalisasi kawasan; dan

i. ciri asli lanskap budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.

Bagian Kedua

Perlindungan

Paragraf 1

Umum

Pasal 15[sunting | sunting sumber]

Pasal 15[sunting sumber]

1

Pasal 15[sunting sumber]

2

Paragraf 2

Penyelamatan

Pasal 16[sunting | sunting sumber]

Pasal 16[sunting sumber]

1

Pasal 16[sunting sumber]

2

Pasal 17[sunting | sunting sumber]

Pasal 17[sunting sumber]

1

Pasal 17[sunting sumber]

2

Pasal 17[sunting sumber]

3

Pasal 18[sunting | sunting sumber]

Penyelamatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3

Pengamanan

Pasal 19[sunting | sunting sumber]

Pasal 19[sunting sumber]

1

Pasal 19[sunting sumber]

2

Pasal 19[sunting sumber]

3

Pasal 19[sunting sumber]

4

Pasal 20[sunting | sunting sumber]

Setiap orang dilarang:

a. merusak, menghilangkan dan/atau mengambil dengan tanpa hak atas Cagar Budaya, baik seluruh maupun sebagian, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal; dan

b. memindahkan dan/atau memisahkan Cagar Budaya peringkat kota, baik seluruh maupun sebagian, kecuali dengan izin Walikota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan

c. membawa Cagar Budaya keluar wilayah daerah bukan untuk kepentingan penelitian, promosi kebudayaan, dan/atau pameran, kecuali dengan izin pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 21[sunting | sunting sumber]

Pasal 21[sunting sumber]

1

Pasal 21[sunting sumber]

2

Pasal 21[sunting sumber]

3

Pasal 21[sunting sumber]

4

Pasal 21[sunting sumber]

5

Pasal 22[sunting | sunting sumber]

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 diatur dalam Peraturan Walikota.

Paragraf 4

Penetapan Zonasi

Pasal 23[sunting | sunting sumber]

Pasal 23[sunting sumber]

1

Pasal 23[sunting sumber]

2

Pasal 23[sunting sumber]

3

Pasal 24[sunting | sunting sumber]

Pasal 24[sunting sumber]

1

Pasal 24[sunting sumber]

2

Pasal 24[sunting sumber]

3

Pasal 24[sunting sumber]

4

Pasal 24[sunting sumber]

5

Pasal 24[sunting sumber]

6

Paragraf 5

Pemeliharaan

Pasal 25[sunting | sunting sumber]

Pasal 25[sunting sumber]

1

Pasal 25[sunting sumber]

2

Pasal 26[sunting | sunting sumber]

Pasal 26[sunting sumber]

1

Pasal 26[sunting sumber]

2

Pasal 26[sunting sumber]

3

Pasal 26[sunting sumber]

4

Pasal 26[sunting sumber]

5

Pasal 26[sunting sumber]

6

Paragraf 6

Pemugaran

Pasal 27[sunting | sunting sumber]

Pasal 27[sunting sumber]

1

Pasal 27[sunting sumber]

2

Pasal 27[sunting sumber]

3

Pasal 27[sunting sumber]

4

Pasal 27[sunting sumber]

5

Pasal 27[sunting sumber]

6

Pasal 27[sunting sumber]

7

Pasal 27[sunting sumber]

8

Pasal 27[sunting sumber]

9

Pasal 27[sunting sumber]

10

Pasal 28[sunting | sunting sumber]

Pasal 28[sunting sumber]

1

Pasal 28[sunting sumber]

2

Pasal 28[sunting sumber]

3

Pasal 29[sunting | sunting sumber]

Pasal 29[sunting sumber]

1

Pasal 29[sunting sumber]

2

Pasal 30[sunting | sunting sumber]

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan tata cara Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 diatur dalam Peraturan Walikota.

Bagian Ketiga

Pengembangan

Paragraf 1

Umum

Pasal 31[sunting | sunting sumber]

Pasal 31[sunting sumber]

1

Pasal 31[sunting sumber]

2

Pasal 31[sunting sumber]

3

Pasal 31[sunting sumber]

4

Pasal 31[sunting sumber]

5

Pasal 31[sunting sumber]

6

Pasal 32[sunting | sunting sumber]

Pasal 32[sunting sumber]

1

Pasal 32[sunting sumber]

2

Pasal 32[sunting sumber]

3

Pasal 32[sunting sumber]

4

Pasal 33[sunting | sunting sumber]

Pasal 33[sunting sumber]

1

Pasal 33[sunting sumber]

2

Pasal 33[sunting sumber]

3

Paragraf 2

Penelitian

Pasal 34[sunting | sunting sumber]

Pasal 34[sunting sumber]

1

Pasal 34[sunting sumber]

2

Pasal 34[sunting sumber]

3

Pasal 34[sunting sumber]

4

Pasal 34[sunting sumber]

5

Paragraf 3

Revitalisasi

Pasal 35[sunting | sunting sumber]

Pasal 35[sunting sumber]

1

Pasal 35[sunting sumber]

2

Pasal 35[sunting sumber]

3

Pasal 35[sunting sumber]

4

Pasal 35[sunting sumber]

5

Pasal 35[sunting sumber]

6

Pasal 36[sunting | sunting sumber]

Ketentuan lebih lanjut mengenai Revitalisasi sebagimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur dalam Peraturan Walikota.

Paragraf 4

Adaptasi

Pasal 37[sunting | sunting sumber]

Pasal 37[sunting sumber]

1

Pasal 37[sunting sumber]

2

Pasal 38[sunting | sunting sumber]

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diatur dalam Peraturan Walikota.

Bagian Keempat

Pemanfaatan

Pasal 39[sunting | sunting sumber]

Pasal 39[sunting sumber]

1

Pasal 39[sunting sumber]

2

Pasal 39[sunting sumber]

3

Pasal 39[sunting sumber]

4

Pasal 39[sunting sumber]

5

Pasal 39[sunting sumber]

6

Pasal 40[sunting | sunting sumber]

Pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 41[sunting | sunting sumber]

Pasal 41[sunting sumber]

1

Pasal 41[sunting sumber]

2

Pasal 42[sunting | sunting sumber]

Pasal 42[sunting sumber]

1

Pasal 42[sunting sumber]

2

Pasal 42[sunting sumber]

3

Pasal 42[sunting sumber]

4

Pasal 43[sunting | sunting sumber]

Pemanfaatan dengan cara perbanyakan Benda Cagar Budaya yang tercatat sebagai Cagar Budaya Daerah atau dimiliki dan/atau dikuasai setiap orang atau dikuasai Pemerintah Daerah hanya dapat dilakukan atas izin Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 44[sunting | sunting sumber]

Pemanfaatan koleksi berupa Cagar Budaya di museum dilakukan untuk pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, sosial, dan/atau pariwisata.

Pasal 45[sunting | sunting sumber]

Setiap orang dilarang:

a. mendokumentasikan Cagar Budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya untuk kepentingan komersial tanpa seizin pemilik dan/atau yang menguasainya;

b. memanfaatkan Cagar Budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dengan cara perbanyakan, kecuali dengan seizin Walikota.

Pasal 46[sunting | sunting sumber]

Pasal 46[sunting sumber]

1

Pasal 46[sunting sumber]

2

Pasal 47[sunting | sunting sumber]

Pasal 47[sunting sumber]

1

Pasal 48[sunting sumber]

2

Pasal 48[sunting | sunting sumber]

Pasal 48[sunting sumber]

1

Pasal 48[sunting sumber]

2

Pasal 48[sunting sumber]

3

Pasal 49[sunting | sunting sumber]

Pasal 49[sunting sumber]

1

Pasal 49[sunting sumber]

2

BAB IV REGISTRASI DAERAH[sunting | sunting sumber]

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 50[sunting | sunting sumber]

Registrasi Daerah Cagar Budaya meliputi:

a. Pendaftaran;

b. Pengkajian;

c. Penetapan; dan

d. Pelaporan.

Bagian Kedua

Pendaftaran

Pasal 51[sunting | sunting sumber]

Pendaftaran Cagar Budaya dilakukan dengan tahapan:

a. pra pendaftaran;

b. pendaftaran

c. klarifikasi; dan

d. verifikasi.

Pasal 52[sunting | sunting sumber]

Pra pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dilakukan dengan cara:

a. mendiskripsikan dan mendokumentasikan objek yang diduga Cagar Budaya berdasarkan usianya, kelangkaan jenisnya, keunikan rancangannya, keterbatasan jumlahnya, dan/atau kepentingan nilainya bagi masyarakat;

b. pengumpulan data objek atau objek yang diduga sebagai Cagar Budaya meliputi: nama, bentuk, jenis, ukuran, bahan, warna, satuan ruang, wilayah administrasi, pemilik/ yang menguasai, pemanfaatan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan deskripsi;

c. pengumpulan data lokasi dan satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan:

1. sifat benda, bangunan, atau struktur di dalamnya yang bergerak atau tidak bergerak;

2. hubungan historis antara benda, bangunan, atau struktur yang menunjukkan kegiatan manusia di masa lampau, baik pada masa yang akan bersamaan maupun pada masa yang berbeda;

3. kepadatan dan persebaran benda, bangunan, atau struktur; dan

4. kebutuhan ruang bagi Pelestarian.

Pasal 53[sunting | sunting sumber]

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 54[sunting | sunting sumber]

Pasal 54[sunting sumber]

1

Pasal 54[sunting sumber]

2

Pasal 54[sunting sumber]

3

Pasal 54[sunting sumber]

4

Pasal 55[sunting | sunting sumber]

Pemerintah Daerah membantu pendaftaran Cagar Budaya dalam sistem dan jejaring Pendaftaran Cagar Budaya secara digital dan/atau nondigital.

Pasal 56[sunting | sunting sumber]

Pasal 56[sunting sumber]

1

Pasal 56[sunting sumber]

2

Pasal 56[sunting sumber]

3

Pasal 57[sunting | sunting sumber]

Pasal 57[sunting sumber]

1

Pasal 57[sunting sumber]

2

Pasal 57[sunting sumber]

3

Bagian Ketiga

Pengkajian

Pasal 58[sunting | sunting sumber]

Pasal 58[sunting sumber]

1

Pasal 58[sunting sumber]

2

Pasal 58[sunting sumber]

3

Pasal 58[sunting sumber]

4

Pasal 58[sunting sumber]

5

Pasal 59[sunting | sunting sumber]

Pengkajian terhadap koleksi museum yang didaftarkan dilakukan oleh Kurator dan selanjutnya diserahkan kepada Tim Ahli.

Pasal 60[sunting | sunting sumber]

Pasal 60[sunting sumber]

1

Pasal 60[sunting sumber]

2

Pasal 61[sunting | sunting sumber]

Pasal 61[sunting sumber]

1

Pasal 61[sunting sumber]

2

Pasal 61[sunting sumber]

3

Pasal 61[sunting sumber]

4

Pasal 62[sunting | sunting sumber]

Pasal 62[sunting sumber]

1

Pasal 62[sunting sumber]

2

Pasal 62[sunting sumber]

3

Pasal 62[sunting sumber]

4

Bagian Keempat

Penetapan

Pasal 63[sunting | sunting sumber]

Pasal 63[sunting sumber]

1

Pasal 63[sunting sumber]

2

Pasal 64[sunting | sunting sumber]

Pasal 64[sunting sumber]

1

Pasal 64[sunting sumber]

2

Bagian Kelima

Pelaporan

Pasal 65[sunting | sunting sumber]

Walikota atau pejabat yang ditunjuk melaporkan keputusan penetapan cagar budaya ke kementerian yang membidangi urusan pemerintahan bidang kebudayaan.

Pasal 66[sunting | sunting sumber]

Setelah tercatat dalam Register Nasional Cagar Budaya, pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh jaminan hukum berupa:

a. surat keterangan status Cagar Budaya; dan

b. surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah. (diusulkan untuk dihapuskan)

BAB V PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA[sunting | sunting sumber]

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 67[sunting | sunting sumber]

Pasal 67[sunting sumber]

1

Pasal 67[sunting sumber]

2

Pasal 67[sunting sumber]

3

Pasal 67[sunting sumber]

4

Bagian Kedua

Perencanaan

Pasal 68[sunting | sunting sumber]

Pasal 68[sunting sumber]

1

Pasal 68[sunting sumber]

2

Pasal 68[sunting sumber]

3

Pasal 68[sunting sumber]

4

Pasal 68[sunting sumber]

5

Pasal 69[sunting | sunting sumber]

Pasal 69[sunting sumber]

1

Pasal 69[sunting sumber]

2

Bagian Ketiga

Pelaksanaan

Pasal 70[sunting | sunting sumber]

Pasal 70[sunting sumber]

1

Pasal 70[sunting sumber]

2

Bagian Keempat

Pembinaan

Pasal 71[sunting | sunting sumber]

Pasal 71[sunting sumber]

1

Pasal 71[sunting sumber]

2

Pasal 71[sunting sumber]

3

Bagian Kelima

Pengawasan

Pasal 72[sunting | sunting sumber]

Pasal 72[sunting sumber]

1

Pasal 72[sunting sumber]

2

Pasal 72[sunting sumber]

3

Pasal 72[sunting sumber]

4

Pasal 72[sunting sumber]

5

Pasal 72[sunting sumber]

6

Pasal 72[sunting sumber]

7

BAB VI PERANAN MASYARAKAT[sunting | sunting sumber]

Bagian Kesatu

Hak dan Kewajiban Masyarakat

Paragraf 1

Hak Masyarakat

Pasal 73[sunting | sunting sumber]

Pasal 73[sunting sumber]

1

Pasal 73[sunting sumber]

2

Pasal 73[sunting sumber]

3

Pasal 73[sunting sumber]

4

Pasal 73[sunting sumber]

5

Paragraf 2

Kewajiban Masyarakat

Pasal 74[sunting | sunting sumber]

Pasal 74[sunting sumber]

1

Pasal 74[sunting sumber]

2

Pasal 74[sunting sumber]

3

Pasal 74[sunting sumber]

4

Pasal 74[sunting sumber]

5

Pasal 75[sunting | sunting sumber]

Pasal 75[sunting sumber]

1

Pasal 75[sunting sumber]

2

Pasal 75[sunting sumber]

3

Pasal 76[sunting | sunting sumber]

Pasal 76[sunting sumber]

1

Pasal 76[sunting sumber]

2

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban Pemilik, Penghuni, dan Pengelola

Paragraf 1

Hak Pemilik, Penghuni, dan Pengelola

Pasal 77[sunting | sunting sumber]

Pasal 77[sunting sumber]

1

Pasal 77[sunting sumber]

2

Pasal 77[sunting sumber]

3

Pasal 78[sunting | sunting sumber]

Pasal 78[sunting sumber]

1

Pasal 78[sunting sumber]

2

Pasal 78[sunting sumber]

3

Pasal 79[sunting | sunting sumber]

Pasal 79[sunting sumber]

1

Pasal 79[sunting sumber]

2

Paragraf 2

Kewajiban Pemilik, Penghuni dan Pengelola

Pasal 80[sunting | sunting sumber]

Pasal 80[sunting sumber]

1

Pasal 80[sunting sumber]

2

Pasal 80[sunting sumber]

3

Pasal 81[sunting | sunting sumber]

Pasal 81[sunting sumber]

1

Pasal 81[sunting sumber]

2

Pasal 82[sunting | sunting sumber]

Pasal 82[sunting sumber]

1

Pasal 82[sunting sumber]

2

Pasal 82[sunting sumber]

3

Pasal 82[sunting sumber]

4

Pasal 82[sunting sumber]

5

Pasal 83[sunting | sunting sumber]

Pasal 83[sunting sumber]

1

Pasal 83[sunting sumber]

2

Pasal 83[sunting sumber]

3

Pasal 83[sunting sumber]

4

Pasal 83[sunting sumber]

5

Bagian Ketiga

Peningkatan Kesadaran dan Peran Serta Masyarakat

Pasal 84[sunting | sunting sumber]

Pasal 84[sunting sumber]

1

Pasal 84[sunting sumber]

2

Pasal 84[sunting sumber]

3

Pasal 85[sunting | sunting sumber]

Pasal 85[sunting sumber]

1

Pasal 85[sunting sumber]

2

BAB VII PENGHARGAAN[sunting | sunting sumber]

Pasal 86[sunting | sunting sumber]

Pasal 86[sunting sumber]

1

Pasal 86[sunting sumber]

2

Pasal 86[sunting sumber]

3

Pasal 86[sunting sumber]

4

Pasal 86[sunting sumber]

5

Pasal 86[sunting sumber]

6

BAB VIII PEMBIAYAAN[sunting | sunting sumber]

Pasal 87[sunting | sunting sumber]

Pasal 87[sunting sumber]

1

Pasal 87[sunting sumber]

2

Pasal 87[sunting sumber]

3

BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF[sunting | sunting sumber]

Pasal 88[sunting | sunting sumber]

Pasal 88[sunting sumber]

1

Pasal 88[sunting sumber]

2

Pasal 88[sunting sumber]

3

Pasal 89[sunting | sunting sumber]

Pasal 89[sunting sumber]

1

Pasal 89[sunting sumber]

2

BAB X KETENTUAN PENUTUP[sunting | sunting sumber]

Pasal 90[sunting | sunting sumber]

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Malang.

Penutup[sunting | sunting sumber]

Ditetapkan di Malang pada tanggal 16 Januari 2018

WALIKOTA MALANG,

ttd.

MOCH. ANTON


Diundangkan di Malang

pada tanggal 16 Januari 2018

SEKRETARIS DAERAH KOTA MALANG,

ttd.

WASTO


LEMBARAN DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2018 NOMOR 1

NOREG PERATURAN DAERAH KOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR : NOMOR : 08 -1/2018

Salinan sesuai dengan aslinya

KEPALA BAGIAN HUKUM,

TABRANI, SH, M.Hum. Pembina

NIP. 19650302 199003 1 019

Penjelasan[sunting | sunting sumber]

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 1 TAHUN 2018

TENTANG

CAGAR BUDAYA

I. UMUM

Pengelolaan Cagar Budaya melalui upaya pelestariannya mencakup tujuan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian perlu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan dan wisata. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai pengelolaan Cagar Budaya tersebut. Oleh karena itu Penyusunan Peraturan Daerah ini tidak hanya mengatur pelestarian Benda Cagar Budaya, tetapi juga berbagai aspek lain secara keseluruhan berhubungan dengan tinggalan budaya masa lalu, seperti bangunan dan struktur, situs dan kawasan, serta lanskap budaya yang pada regulasi sebelumnya tidak secara jelas dimunculkan. Di samping itu, nama Cagar Budaya juga mengandung pengertian mendasar sebagai pelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakan penyesuaian terhadap pandangan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat dalam mengelola Cagar Budaya, dibutuhkan sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik berkaitan dengan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

50 Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Toponimi adalah bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal usul, arti, penggunaan, dan tipologinya. Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

51 Huruf i

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

52 Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Lanskap adalah bentang alam hasil bertukan manusia yang mencerminkan pemanfaatan situs atau kawasan pada masa lalu. Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Ayat (4)

Cukup Jelas

Ayat (5)

Cukup Jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup Jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

53 Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Cukup jelas

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

54 Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Cukup jelas

Pasal 66

Cukup jelas

Pasal 67

Cukup jelas

Pasal 68

Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas

Pasal 71

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Cukup jelas

Pasal 74

Cukup Jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Cukup jelas

Pasal 77

Cukup jelas

Pasal 78

Cukup Jelas

Pasal 79

Cukup jelas

Pasal 80

Cukup jelas

55 Pasal 81

Cukup jelas

Pasal 82

Cukup jelas

Pasal 83

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan sebab tertentu adalah melepaskan hak kepemilikan Cagar Budaya dengan sukarela. Ayat (5)

Cukup Jelas

Ayat (6)

Cukup Jelas

Pasal 84

Cukup jelas

Pasal 85

Cukup jelas

Pasal 86

Cukup jelas

Pasal 87

Cukup jelas

Pasal 88

Cukup jelas

Pasal 89

Cukup jelas

Pasal 90

Cukup jelas

Pasal 91

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 35

56