Verbatim:1
Tanggal Transkrip:
Kamis, 19 Desember 2024
Juru Transkrip:
Julian S
Tautan Audio:
https://youtu.be/IgYKvRFo150
Judul Tautan:
Ngaji Filsafat 357 : Sutan Takdir Alisyahbana - Kebudayaan
Nama Channel:
MJS Channel
[00:00:00,000]
Bismillah, bismillahirrahmanirahim alhamdulillahirabbil 'alamiin wabihi nastainu 'ala umuriddunya waddiin, allahuma sholli wa salim wa barrik ala habibina wasyyafiina sayyidina wa Maulana Muhammadin wa 'ala alihi wa ashabihi waman tabiahum biihsanin Ila yaumiddin, amma ba'du.
[00:00:53,607]
Bismillah, teman-teman kita lanjut lagi ya, belajar melalui ngaji filsafat kita. Bulan ini kita banyak belajar nanti tentang kebudayaan. Khususnya kebudayaan Indonesia, mumpung ini bulan Agustus ya, kita belajar sebentar, bukan tentang apa sih budaya Indonesia itu? tapi bagaimana sih jadi makhluk yang berbudaya di Indonesia.
Makanya tokoh yang kita angkat bulan ini ada dua tokoh nasional dan dua tokoh dari barat. Satu tema di tengah-tengah nanti bonus ya itu, karena tanggal merah, jadi saya ngak tahu nanti isinya apa, pokoknya itu tema kita, santai-santai saja, nanti kalau yang pas tanggal 17 itu.
[00:02:03,767]
Baik, malam hari ini, kita akan membahas pandangan tentang kebudayaan kita yang seharusnya menurut Sutan Takdir Alisjahbana. Teman-teman mungkin pernah mendengar nama ini, mungkin dulu waktu sekolah pernah belajar tentang bahasa dan sastra Indonesia pasti pernah mendengar nama beliau. Beliau ini dikenal sebagai pelopor pujangga baru. Beliau tokoh cendekiawan intelektual, budayawan, sastrawan, ahli bahasa. Cuma malam hari ini kita ndak bahas macam-macam, kita bahas tentang kebudayaan.
[00:02:57,567]
Jadi, zaman dulu sekitar tahun 1935, itu terjadi namanya 'polemik kebudayaan'. Jadi sebelum Indonesia merdeka, itu orang-orang pintar zaman itu, itu merancang kiro-kiro idealnya Indonesia itu seperti apa?
Nah yang memicu debat beliau, ini, Sultan Takdir Ali Syahbana. Nanti banyak tokoh-tokoh lain menanggapi, karena memang gagasan beliau yang paling kontroversial. Makanya bulan ini kita ambil dua kubu dari tokoh polemik kebudayaan ini yang agak kontras. Yang pertama, dari pandangannya Sultan Takdir, orang mengenalnya beliau ini liberal westernis, ke barat-baratan. Minggu depan kita bahas yang kontras, yaitu Ki Hadjar Dewantara. Ki Hajar juga menanggapi, pandangan-pandangan yang dianggap westernis dari seorang Sutan Takdir Ali Syahbana.
Tapi teman-teman ngak usah khawatir ini debatnya orang-orang pintar yang semuanya ingin yang terbaik untuk Indonesia, meskipun pandangannya beda-beda. Nah ini, bagi saya penting, ini kita garis bawahi, asumsi yang jenisnya husnudzon, ini.
Hari ini banyak problem dalam kehidupan kita, itu kita menyikapi apapun secara su'udzon. Kalau ada orang berbuat baik, kita khawatir jangan-jangan Itu pencitraan, jangan-jangan nanti aku dikadali belakangnya. Jadi kita, kita terus ndak tenang. Apalagi orang yang jelas-jelas jahat. Kalau ada orang yang menampilkan kebaikan kita curiga, jangan-jangan dibalik itu ada pamrihnya, akhirnya kita juga ndak tenang.
Nah sekarang kita latihan untuk husnudzon, termasuk polemik-polemik ini. Jadi yo sesuai kapasitas, sesuai perspektif dari beliau-beliau yang ingin Indonesia ini dapat yang terbaik. Ya tentu saja perspektifnya beda-beda. Asalkan kita tetap berposisi kritis, tetap berposisi tidak nge-judge begitu saja sebelum kita paham apa sih hakikatnya gagasan itu. Ya saya sarankan ndak berhenti malam hari ini saja, minggu depan dilanjutkan di perspektif yang berbeda. Karena kalau berhenti malam hari ini saja yo jatuhnya westernis nanti, agak bau barat, tapi bukan berarti ndak rasional.
Asiknya belajar filsafat itu, "belajar tokoh ini, oh rasanya kok asik ya tokoh ini", terus minggu depan ganti tokoh lagi, "Oh ini yo asik juga", terus sampean bingung terus "tokohnya banyak asik kabeh", akhirnya kita ndak ngapa-ngapain. Cuma bagian bagian menilai, ini asyik ini ndak asyik, ini asyik, ini ndak asik itu saja.
Baik, yo seperti gayanya ngaji filsafat ya, kita gali, kita cari, mana yang cocok, mana yang sesuai untuk hidup kita. Entah di bagian mana, entah di titik yang mana.
Oke, beliau ini mungkin tadi sudah saya sebut ya, tokoh Pujangga baru. beliau banyak jasanya khususnya untuk dunia bahasa Indonesia. Beliau orang pertama yang menyusun secara sistematis tata bahasa Indonesia yang kita pelajari sekarang di sekolah-sekolah. Beliau ini agak kecewa karena beliau punya misi bagaimana bahasa Melayu yang sekarang jadi bahasa Indonesia itu tidak sekedar jadi bahasa kita tapi juga bahasa pergaulan regional.
Jadi ya dengan Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan lain-lain itu beliau inginnya ada bahasa regional. Yo bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang. Tapi cita-cita beliau belum terpenuhi, beliau meninggal tahun 1994. Kelahiran tahun 1908, kelahiran daerah Natal di Mandailing Natal. Mandailing Natal kalau sekarang kabupaten ya, kemudian ya meninggalnya di Jakarta. Ya wes beliau intelektual sejati lah, karyanya banyak, 30-an buku dari berbagai genre, termasuk kalau ada yang tertarik beliau nulis juga tentang pengantar filsafat. Silakan dicari. Cuma saya ndak bahas itu malam hari ini kita bahas yang bagian budaya. Novel-novel juga banyak. Kalau teman-teman pernah baca Layar Terkembang atau Diam Yang Tak Kunjung Padam. Nah itu itu karya beliau, kalau pernah ya, ini dari wajahnya kelihatannya belum. Saya ndak tahu selera bacaanmu hari ini apa, kalau generasimu mungkin yang katanya Dilan, terus apalagi? iya buku novel-novel semacam itu ya Ini era Pujangga baru banyak novel-novel itu.
Nah pandangannya yang agak barat tentang budaya nanti boleh dibaca, misalnya novelnya Layar Terkembang. Bagaimana beliau menerjemahkan gagasan-gagasan besar dalam bentuk novel.
Baik, penghargaan banyak, beliau dapat beberapa honoris kausa, kemudian penghargaan dari luar negeri juga banyak. Riwayat hidup detailnya silakan dibaca di...boleh cari online, boleh cari Wikipedia mungkin, kalau belum diblokir oleh kominfo, boleh cari di...ya kamu, kamu cari ya info online kan mudah sekarang. Semoga Google ndak diblokir ya karena andalanmu kuliah itu kan Google selama ini, kalau Google diblokir kamu ndak lulus nanti kuliahmu.
Baik, bismillah kita awali, nah untuk kebudayaan banyak orang menganggap beliau ini gaya berpikirnya itu gaya berpikir Renaisans ala humanisme modern. Jadi jatuhnya pada era awal modernisme, ya karena beliau ingin Indonesia ini modern. Jadi semangatnya semangat era renaisan, era humanisme modern. Ini dua tema yang dua-duanya pernah kita bahas. Makanya saya ndak menjelaskan detail.
Cirinya enam, yang pertama, individu, atau pakai istilah kalau di filsafat itu antroposentrisme. Jadi segalanya itu kuncinya di manusia. Dunia ini jadi seperti apa, itu kuncinya manusia. Dunia ini harmonis atau rusak itu manusia kuncinya. Dunia ini aman nyaman bertuhan atau ateis kuncinya manusia. Nah ini gaya humanisme modern. Namanya antroposentrisme.
Gaya kedua, positivistik, positivisme. Ini nanti yang membuat sains berkembang, yang dipercaya adalah yang masuk akal dan yang ada dan jelas faktanya. Ini gaya berpikir positivistik. Jadi positif itu berarti ya dasar empirisnya ada, kenyataannya konkret, ada. Makanya kalau dalam hukum itu kita diminta hukum positif atau bukti yang positif itu adalah bukti yang jelas, nyata, konkret, tidak andai-andai, tidak kira-kira, ah ini namanya positivisme, ini yang diinginkan oleh Sultan Takdir nanti. Jadi bangsa Indonesia yang ilmu pengetahuannya berkembang, cara berpikirnya yang rasional, yang empiris, yang masuk akal yang punya basis empiris. Tidak lagi yang klenik-klenik, dukun-dukun, metafisik-metafisik, Saatnya untuk bangkit ilmu pengetahuan. Tapi ini tahun 35 ya, harusnya tahun ini kita sudah jaya ilmu pengetahuannya. Ternyata ya belum, berarti kita belum belajar sejak tahun 1935an itu. Kita belum banyak belajar juga.
Nah yang ketiga, kritik. Jadi era renaisan itu kan kritik yang sangat kuat pada cara berpikir sebelumnya, khususnya cara berpikir agama-agama yang kaku. Jadi era abad tengahnya barat itu kan era yang sering orang menyebutnya zaman kegelapan, yang itu didobrak oleh era renaisan, era pencerahan, dengan cara mengkritik keras cara berpikir yang tidak bebas, yang kaku, sehingga terus ndak maju, akhirnya barat tercerahkan, gantian kita yang di timur sampai hari ini.
Yang keempat, yo gandengannya kritik itu kebebasan. Jadi manusia itu bisa mengembangkan dirinya dasarnya kebebasan. Kalau ndak bebas itu ndak ada nilainya perbuatan kita. Saya orang baik kok pak tapi nak bebas, baiknya karena dipaksa atau karena terpaksa atau karena ikut orang lain saja, itu kan nilai kebaikannya tidak maksimal. Mungkin ya nilainya hanya ya nilai ikut saja, apalagi nilai terpaksa, tapi kalau kebaikan itu pilihanku sendiri keputusanku sendiri, ini kan jauh lebih bernilai. Kejahatan juga begitu, "Pak saya ini maling Pak tapi terpaksa Pak. Kalau saya ngak maling anak istri saya keluarga saya ndak makan", itu kan nilainya beda dengan maling yang pilihan, sebenarnya aku bisa maling aku bisa ndak maling tapi ternyata aku milih maling, ah ini bebas kalau ini kalau bebas gini yo ya kalau dosa, dosanya lebih besarlah. Ya saya memperkosa sih Pak tapi terpaksa saya, pak loh saya diancam ya kalau enggak diperkosa saya dibunuh, misalnya. Jadi keterpaksaan itu mengurangi nilai moral, ketidakbebasan mengurangi nilai moral ini Teori ini dari Immanuel Kant, era modern juga. Ya sama kan kayak adik-adik kita yang kecil, wah ini masih umur 3 tahun kok rajin ke masjid ya? itu kan dia belum paham, belum ngerti mungkin disuruh saja, mungkin diajak saja itu kan nilainya beda dengan kita yang sudah besar. Ah ini sudah besar masih rajin ke masjid ya itu kan beda dengan yang masih kecil rajin ke masjid biasanya kan masih kecil aja ke masjid kalau sudah besar malas ke masjid. Nah jadi yang nomor empat yang dikembangkan oleh Sultan Takdir itu kebebasan.
yang nomor 5 tentu saja kemajuan. Ya tentu saja hidup ini harus progres, harus maju, jangan statis jangan, mandek apalagi mundur. tadi saya bilang kita ternyata sejak tahun 1935 nak berubah-berubah sampai hari ini, itu berarti kita mandek, tidak maju.
yang keenam idealisme ini beliau banyak terpengaruh oleh Hegel