1.295
suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
| Baris 167: | Baris 167: | ||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | {{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | ||
Mental feodal itu, yang pertama "kepatuhan mutlak pada otoritas yang dia percaya". Yang kedua jadinya "tidak kreatif", ikut saja pada dawuhnya yang "dirajakan" dalam tanda petik. Kemudian yang ketiga yo akhirnya ndak produktif. Jadi karena apa? yo nunggu, yo kalau kebetulan rajanya bagus, ngaturnya bagus, kita produktif. Tapi kalau rajanya pasti tidak bagus "raja" dalam tanda petik ya, yo kita nanti hanya diperalat saja oleh "raja-raja" ini, dalam tanda petik. Mental kita masih sering mental feodal, mental feodal itu daya kreatifnya rendah. Kalau disuruh apa-apa sulit, disuruh kreatif sulit. Saya sering itu ada teman-teman Pak Faiz saya undang ke sini ya terus temanya apa mas? saya ikut Pak Faiz saja. Jadi sulit, disuruh milih bebas menentukan itu nak mampu. Bisanya pasrah saja pada yang dianggap otoritas. Nah, jadi dia bahkan menentukan kebutuhanku apa, itu dia juga ngak mampu. Nunggu dipilihkan. Nah ini mental-mental feudalistik. Jadi karena selama ini memang bisanya yo manut saja, ikut saja.}} | Mental feodal itu, yang pertama "kepatuhan mutlak pada otoritas yang dia percaya". Yang kedua jadinya "tidak kreatif", ikut saja pada dawuhnya yang "dirajakan" dalam tanda petik. Kemudian yang ketiga yo akhirnya ndak produktif. Jadi karena apa? yo nunggu, yo kalau kebetulan rajanya bagus, ngaturnya bagus, kita produktif. Tapi kalau rajanya pasti tidak bagus "raja" dalam tanda petik ya, yo kita nanti hanya diperalat saja oleh "raja-raja" ini, dalam tanda petik. Mental kita masih sering mental feodal, mental feodal itu daya kreatifnya rendah. Kalau disuruh apa-apa sulit, disuruh kreatif sulit. Saya sering itu ada teman-teman Pak Faiz saya undang ke sini ya terus temanya apa mas? saya ikut Pak Faiz saja. Jadi sulit, disuruh milih bebas menentukan itu nak mampu. Bisanya pasrah saja pada yang dianggap otoritas. Nah, jadi dia bahkan menentukan kebutuhanku apa, itu dia juga ngak mampu. Nunggu dipilihkan. Nah ini mental-mental feudalistik. Jadi karena selama ini memang bisanya yo manut saja, ikut saja.}} | ||
{{timeline|tc=00: | {{timeline|tc=00:56:49,559|isi= | ||
Baik, jadi ini ciri-ciri budaya Indonesia yang dikritikkan oleh Sultan | Baik, jadi ini ciri-ciri budaya Indonesia yang dikritikkan oleh Sultan Takdir dulu tahun 1935. Semoga sekarang sudah mulai berkurang ya. Kita ndak lagi suka mistik-mistik klenik. Kita ndak lagi fanatisme buta. Kita ndak lagi tidak profesional. Kita ndak lagi malas, tidak tangguh, apalagi ndak kreatif, feodalistik. Kalau belum, yo latihan. Kita keluar dari jeratan itu biar kita gak mbulet di situ terus. teman-teman kan sering bilang, ''"Pak, orang dulu itu hebat-hebat ya, Pak? pikirannya cocok terus dengan kita"''. Sebenarnya, mungkin bukan pikirannya cocok terus, ya kita saja ndak berubah-berubah, sejak dulu begitu terus. Jadi yo akhirnya yo cocok terus, wong kita ndak berubah-berubah. Dulu kita malas, sekarang yo malas. jadi, nasihat tahun 1800 sekian, "jangan malas" itu masih cocok buat kita sekarang, wong kita masih malas memang sampai hari ini. Bukan mereka yang futuristik, "Wah orang dulu futuristik ya, ngerti masa depan" o kamu aja ndak berubah-berubah sejak dulu. Jadi ini ciri budaya kita, dulu.}} | ||
{{timeline|tc=00: | {{timeline|tc=00:58:18,280|isi= | ||
Baik, kita lanjutkan, ini. Nah ini menarik, beliau menyebut "Kita sering terlena oleh kejayaan masa lalu, masa silam, seolah-olah itu saja cukup", kata beliau menarik, beliau punya kalimat begini, "Adalah salah yang dikatakan pameo bahwa bangsa yang pernah menghasilkan [[Borobudur]] akan dengan sendirinya sanggup menciptakan apa saja", itu adalah satu kebanggaan bahkan kesombongan yang sangat berlebihan. Pameo tersebut harusnya ditulis kembali dengan sedikit rendah hati dan berbunyi "Bangsa yang pernah menghasilkan Borobudur mungkin sekali dapat menghasilkan Borobudur-borobudur yang baru, selama bangsa itu bersedia membuka diri bagi ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru, dengan keyakinan bahwa setiap langkah harus lebih baik dari langkah sebelumnya".}} | Baik, kita lanjutkan, ini. Nah ini menarik, beliau menyebut "Kita sering terlena oleh kejayaan masa lalu, masa silam, seolah-olah itu saja cukup", kata beliau menarik, beliau punya kalimat begini, "Adalah salah yang dikatakan pameo bahwa bangsa yang pernah menghasilkan [[Borobudur]] akan dengan sendirinya sanggup menciptakan apa saja", itu adalah satu kebanggaan bahkan kesombongan yang sangat berlebihan. Pameo tersebut harusnya ditulis kembali dengan sedikit rendah hati dan berbunyi "Bangsa yang pernah menghasilkan Borobudur mungkin sekali dapat menghasilkan Borobudur-borobudur yang baru, selama bangsa itu bersedia membuka diri bagi ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru, dengan keyakinan bahwa setiap langkah harus lebih baik dari langkah sebelumnya".}} | ||
{{timeline|tc=00: | {{timeline|tc=00:59:35,559|isi= | ||
Jadi kita yang selama ini kan sering membanggakan masa lalu "Wah kita itu bangsa besar loh, kita menciptakan Borobudur, Prambanan, kita banyak sekali peninggalan nenek moyang kita yang luar biasa" ya, nenek moyang kita hebat, lah terus kita gimana? karya kita apa? tinggalan kita apa? jangan-jangan sampai nanti keturunan anak kita kesekian, generasi kesekian, yang dibanggakan tetap masih Borobudur. Kita sudah sekian generasi kebanggaannya masih Borobudur juga. Lho, kapan kita bisa menciptakan karya semonumental setara Borobudur sehingga anak cucu kita mungkin generasi kesekian. Nanti yang dibanggakan gak hanya Borobudur. jadi dia bisa "Oh ini kalau generasi sekian Borobudur ini, generasi sekian perambanan, generasi sekian..." Nah maka tinggalan kita terus apa yang membanggakan dari generasi ke generasi? jadi ndak Salah Kita membanggakan masa silam, tapi harusnya kebesaran masa silam itu jadi jalan kita untuk membentuk kebesaran yang sama di era kita. Kalau versinya Sutan Takdir, "kebesaran zaman ini itu ya kita mengikuti pertumbuhan sains dan teknologi".}} | Jadi kita yang selama ini kan sering membanggakan masa lalu "Wah kita itu bangsa besar loh, kita menciptakan Borobudur, Prambanan, kita banyak sekali peninggalan nenek moyang kita yang luar biasa" ya, nenek moyang kita hebat, lah terus kita gimana? karya kita apa? tinggalan kita apa? jangan-jangan sampai nanti keturunan anak kita kesekian, generasi kesekian, yang dibanggakan tetap masih Borobudur. Kita sudah sekian generasi kebanggaannya masih Borobudur juga. Lho, kapan kita bisa menciptakan karya semonumental setara Borobudur sehingga anak cucu kita mungkin generasi kesekian. Nanti yang dibanggakan gak hanya Borobudur. jadi dia bisa "Oh ini kalau generasi sekian Borobudur ini, generasi sekian perambanan, generasi sekian..." Nah maka tinggalan kita terus apa yang membanggakan dari generasi ke generasi? jadi ndak Salah Kita membanggakan masa silam, tapi harusnya kebesaran masa silam itu jadi jalan kita untuk membentuk kebesaran yang sama di era kita. Kalau versinya Sutan Takdir, "kebesaran zaman ini itu ya kita mengikuti pertumbuhan sains dan teknologi".}} | ||
{{timeline|tc= | {{timeline|tc=01:01:17,480|isi= | ||
Jadi, harusnya kita hari ini penguasanya sains dan teknologi, harusnya begitu. Karena yang monumental zaman ini kan begitu. Jangan-jangan besok Yo kita ndak bisa bangga. Yang bangga mungkin orang Korea "Wah Kitalah yang menciptakan Samsung, dulu". Nanti yang Amerika "Kita yang menciptakan iPhone, dulu". Ini sekarang ada museum smartphone misalnya. Nah mereka bangga. saya nak tahu kalau zaman kita ini memasukkan itu di museum itu apa? karya kita hari ini di museum, itu. Kalau bangsa Indonesia kalau hari ini kan terkenal misalnya cerewetnya di medsos misalnya, aa itu mungkin kita bisa itu, contohnya obrolan bangsa Indonesia tahun 2002 kayak gini tahun mungkin itu.}} | Jadi, harusnya kita hari ini penguasanya sains dan teknologi, harusnya begitu. Karena yang monumental zaman ini kan begitu. Jangan-jangan besok Yo kita ndak bisa bangga. Yang bangga mungkin orang Korea "Wah Kitalah yang menciptakan Samsung, dulu". Nanti yang Amerika "Kita yang menciptakan iPhone, dulu". Ini sekarang ada museum smartphone misalnya. Nah mereka bangga. saya nak tahu kalau zaman kita ini memasukkan itu di museum itu apa? karya kita hari ini di museum, itu. Kalau bangsa Indonesia kalau hari ini kan terkenal misalnya cerewetnya di medsos misalnya, aa itu mungkin kita bisa itu, contohnya obrolan bangsa Indonesia tahun 2002 kayak gini tahun mungkin itu.}} | ||
{{timeline|tc= | {{timeline|tc=01:02:07,960|isi= | ||
Nah jadi...yuk, kejayaan masa silam oke, kita banggakan, tapi tentu saja tidak berhenti di kebanggaan saja. Kita harusnya menghidupkan lagi semangat berkaryanya. Jadi, sebenarnya mengikuti Barat itu bukan kok menjiplak barat, tapi etos dinamis progresif barat, itulah yang diambil. Jadi sambil...tetap identitas kebangsaan identitas religius, monggo saja. Tapi etos ini loh, untuk maju yang kita sangat kurang, kata Sutan Takdir.}} | Nah jadi...yuk, kejayaan masa silam oke, kita banggakan, tapi tentu saja tidak berhenti di kebanggaan saja. Kita harusnya menghidupkan lagi semangat berkaryanya. Jadi, sebenarnya mengikuti Barat itu bukan kok menjiplak barat, tapi etos dinamis progresif barat, itulah yang diambil. Jadi sambil...tetap identitas kebangsaan identitas religius, monggo saja. Tapi etos ini loh, untuk maju yang kita sangat kurang, kata Sutan Takdir.}} | ||
{{timeline|tc= | {{timeline|tc=01:02:54,079|isi= | ||
Lanjut, nah sekarang kita lihat, kenapa sih kok barat? Ini kita baca ya, ndak boleh tersinggung. Ini memang, beliau penggemar barat. Kata Sutan Takdir begini, ini yang pertama, "Sejak [[Vasco da Gama]], manusia baru renaisan Eropa mengelilingi Afrika dan mendarat di Kalikut, terbukalah bagi seluruh Asia, satu sejarah baru, dalam abad-abad berikutnya, berduyun-duyun pelayar dan sodagar. Penjajah dan misi Eropa mengunjungi dan menjajah Asia dan lambat laun menguasainya. Mulailah sejarah imperialisme yang dalam banyak hal sangat menyedihkan. Bertubi-tubi datang penyerbuan manusia modern Eropa pada kerajaan-kerajaan Asia. Banyak yang dapat ditaklukkannya dan dijadikan jajahannya. Tetapi yang tidak bisa ditaklukkannya pun tidak dapat mengelak dari pengaruh kebudayaan modern Eropa itu. Namun bagi Indonesia zaman ini adalah zaman kegelapan, zaman kalah terus-menerus.}} | Lanjut, nah sekarang kita lihat, kenapa sih kok barat? Ini kita baca ya, ndak boleh tersinggung. Ini memang, beliau penggemar barat. Kata Sutan Takdir begini, ini yang pertama, "Sejak [[Vasco da Gama]], manusia baru renaisan Eropa mengelilingi Afrika dan mendarat di Kalikut, terbukalah bagi seluruh Asia, satu sejarah baru, dalam abad-abad berikutnya, berduyun-duyun pelayar dan sodagar. Penjajah dan misi Eropa mengunjungi dan menjajah Asia dan lambat laun menguasainya. Mulailah sejarah imperialisme yang dalam banyak hal sangat menyedihkan. Bertubi-tubi datang penyerbuan manusia modern Eropa pada kerajaan-kerajaan Asia. Banyak yang dapat ditaklukkannya dan dijadikan jajahannya. Tetapi yang tidak bisa ditaklukkannya pun tidak dapat mengelak dari pengaruh kebudayaan modern Eropa itu. Namun bagi Indonesia zaman ini adalah zaman kegelapan, zaman kalah terus-menerus.}} | ||