Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X: Perbedaan antara revisi
(←Membuat halaman berisi '{{Perundangan bab|X|ANGKUTAN| {{Perundangan bagian|Kesatu|Angkutan Orang dan Barang| {{Perundangan pasal|137| {{Perundangan ayat|137|1|Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.}} {{Perundangan ayat|137|2|Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.}} {{Perundangan ayat|137|3|Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang.}} {{Per...') |
(←Mengganti halaman dengan '{{Perundangan bab|X|ANGKUTAN| {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kesatu}} {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kedua}} {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Ketiga}} {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Keempat}} {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kelima}} {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Keenam}} {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Ketujuh}} {{:Undang-Undang Nomo...') Tag: Penggantian |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Perundangan bab|X|ANGKUTAN| | {{Perundangan bab|X|ANGKUTAN| | ||
{{ | {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kesatu}} | ||
{{ | {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kedua}} | ||
{{ | {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Ketiga}} | ||
{{ | {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Keempat}} | ||
{{ | {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kelima}} | ||
{{ | {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Keenam}} | ||
{{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Ketujuh}} | |||
{{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kedelapan}} | |||
{{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kesembilan}} | |||
{{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kesepuluh}} | |||
{{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kesebelas}} | |||
{{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Kedua Belas}} | |||
{{ | {{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Ketiga Belas}} | ||
{{:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB X/Bagian Keempat Belas}} | |||
{{ | |||
{{ | |||
{{ | |||
{{ | |||
{{ | |||
}} | }} | ||
Revisi terkini sejak 22 Oktober 2023 15.02
(BAB X)
ANGKUTAN[sunting sumber]
Bagian Kesatu
Angkutan Orang dan Barang[sunting sumber]
Pasal 137[sunting sumber]
1 | Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. |
2 | Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus. |
3 | Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang. |
4 | Mobil barang dilarang digunakan untuk angkutan orang, kecuali:
a. rasio Kendaraan Bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai; b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah. |
5 | Ketentuan lebih lanjut mengenai mobil barang yang digunakan untuk angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah. |
Bagian Kedua
Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum[sunting sumber]
Pasal 138[sunting sumber]
1 | Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. |
2 | Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
3 | Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum. |
Pasal 139[sunting sumber]
1 | Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara. |
2 | Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi. |
3 | Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota. |
4 | Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Ketiga
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum[sunting sumber]
Paragraf 1 - Umum
Pasal 140[sunting sumber]
Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum terdiri atas:
a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan
b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek.
Paragraf 2 - Standar Pelayanan Angkutan Orang
Pasal 141[sunting sumber]
1 | Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi:
a. keamanan; b. keselamatan; c. kenyamanan; d. keterjangkauan; e. kesetaraan; dan f. keteraturan. |
2 | Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan. |
3 | Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. |
Paragraf 3 - Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek
Pasal 142[sunting sumber]
Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a terdiri atas:
a. angkutan lintas batas negara;
b. angkutan antarkota antarprovinsi;
c. angkutan antarkota dalam provinsi;
d. angkutan perkotaan; atau
e. angkutan perdesaan.
Pasal 143[sunting sumber]
Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a harus:
a. memiliki rute tetap dan teratur;
b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan
c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan.
Pasal 144[sunting sumber]
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan:
a. tata ruang wilayah;
b. tingkat permintaan jasa angkutan;
c. kemampuan penyediaan jasa angkutan;
d. ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. kesesuaian dengan kelas jalan;
f. keterpaduan intramoda angkutan; dan
g. keterpaduan antarmoda angkutan.
Pasal 145[sunting sumber]
1 | Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek. |
2 | Penyusunan rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait. |
3 | Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. jaringan trayek lintas batas negara; b. jaringan trayek antarkota antarprovinsi; c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi; d. jaringan trayek perkotaan; dan e. jaringan trayek perdesaan. |
4 | Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji ulang secara berkala paling lama 5 (lima) tahun. |
Pasal 146[sunting sumber]
1 | Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan kawasan perkotaan. |
2 | Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah provinsi; b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota. |
Pasal 147[sunting sumber]
1 | Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum lintas batas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan perjanjian antarnegara. |
2 | Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
Pasal 148[sunting sumber]
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota antarprovinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) provinsi;
b. gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota dalam provinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; atau
c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perkotaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 149[sunting sumber]
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf e ditetapkan oleh:
a. bupati untuk kawasan perdesaan yang menghubungkan 1 (satu) daerah kabupaten;
b. gubernur untuk kawasan perdesaan yang melampaui 1 (satu) daerah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah provinsi.
Pasal 150[sunting sumber]
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 4 - Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek
Pasal 151[sunting sumber]
Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas:
a. angkutan orang dengan menggunakan taksi;
b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;
c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan
d. angkutan orang di kawasan tertentu.
Pasal 152[sunting sumber]
1 | Angkutan orang dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a harus digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi dalam kawasan perkotaan. |
2 | Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. berada dalam wilayah kota; b. berada dalam wilayah kabupaten; c. melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau d. melampaui wilayah provinsi. |
3 | Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jumlah maksimal kebutuhan taksi ditetapkan oleh:
a. walikota untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kota; b. bupati untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten; c. gubernur untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau d. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu lintas dan Angkutan Jalan untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah provinsi. |
Pasal 153[sunting sumber]
1 | Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilarang menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam trayek. |
2 | Angkutan orang dengan tujuan tertentu diselenggarakan dengan menggunakan mobil penumpang umum atau mobil bus umum. |
Pasal 154[sunting sumber]
1 | Angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf c harus digunakan untuk pelayanan angkutan wisata. |
2 | Penyelenggaraan angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum dan mobil bus umum dengan tanda khusus. |
3 | Angkutan orang untuk keperluan pariwisata tidak diperbolehkan menggunakan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, kecuali di daerah yang belum tersedia angkutan khusus untuk pariwisata. |
Pasal 155[sunting sumber]
1 | Angkutan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d harus dilaksanakan melalui pelayanaan angkutan di jalan lokal dan jalan lingkungan. |
2 | Angkutan orang di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum. |
Pasal 156[sunting sumber]
Evaluasi wilayah operasi dan kebutuhan angkutan orang tidak dalam trayek dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan diumumkan kepada masyarakat.
Pasal 157[sunting sumber]
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 5 - Angkutan Massal
Pasal 158[sunting sumber]
1 | Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan perkotaan. |
2 | Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan:
a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal; b. lajur khusus; c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; dan d. angkutan pengumpan. |
Pasal 159[sunting sumber]
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Keempat
Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum[sunting sumber]
Paragraf 1 - Umum
Pasal 160[sunting sumber]
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas:
a. angkutan barang umum; dan
b. angkutan barang khusus.
Paragraf 2 - Angkutan Barang Umum
Pasal 161[sunting sumber]
Pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas Jalan;
b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat dan membongkar barang; dan
c. menggunakan mobil barang.
Paragraf 3 - Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat
Pasal 162[sunting sumber]
1 | Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib:
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut; c. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan; d. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan f. mendapat rekomendasi dari instansi terkait. |
2 | Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
3 | Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut. |
Pasal 163[sunting sumber]
1 | Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus wajib memberitahukan kepada pengelola pergudangan dan/atau penyelenggara angkutan barang sebelum barang dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum. |
2 | Penyelenggara angkutan barang yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus wajib menyediakan tempat penyimpanan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum. |
Pasal 164[sunting sumber]
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Kelima
Angkutan Multimoda[sunting sumber]
Pasal 165[sunting sumber]
1 | Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda. |
2 | Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan badan hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain. |
3 | Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan mendapat izin dari Pemerintah. |
4 | Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
Bagian Keenam
Dokumen Angkutan Orang dan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum[sunting sumber]
Pasal 166[sunting sumber]
1 | Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang melayani trayek tetap lintas batas negara, antarkota antarprovinsi, dan antarkota dalam provinsi harus dilengkapi dengan dokumen. |
2 | Dokumen angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tiket Penumpang umum untuk angkutan dalam trayek; b. tanda pengenal bagasi; dan c. manifes. |
3 | Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi:
a. surat perjanjian pengangkutan; dan b. surat muatan barang. |
Pasal 167[sunting sumber]
1 | Perusahaan Angkutan Umum orang wajib:
a. menyerahkan tiket Penumpang; b. menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek; c. menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang; dan d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi. |
2 | Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen identitas diri yang sah. |
Pasal 168[sunting sumber]
1 | Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat muatan barang sebagai bagian dokumen perjalanan. |
2 | Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat perjanjian pengangkutan barang. |
Bagian Ketujuh
Pengawasan Muatan Barang[sunting sumber]
Pasal 169[sunting sumber]
1 | Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas jalan. |
2 | Untuk mengawasi pemenuhan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan muatan angkutan barang. |
3 | Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan menggunakan alat penimbangan. |
4 | Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan. |
Pasal 170[sunting sumber]
1 | Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu. |
2 | Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah. |
3 | Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan oleh unit pelaksana penimbangan yang ditunjuk oleh Pemerintah. |
4 | Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan. |
Pasal 171[sunting sumber]
1 | Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf b digunakan dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan penyidikan tindak pidana pelanggaran muatan. |
2 | Pengoperasian alat penimbangan untuk pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pemeriksa Kendaraan Bermotor. |
3 | Pengoperasian alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama dengan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
Pasal 172[sunting sumber]
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pengusahaan Angkutan[sunting sumber]
Paragraf 1 - Perizinan Angkutan
Pasal 173[sunting sumber]
1 | Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki:
a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek; b. izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat. |
2 | Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau b. pengangkutan jenazah. |
Pasal 174[sunting sumber]
1 | Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan. |
2 | Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. |
3 | Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan. |
Pasal 175[sunting sumber]
1 | Izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk jangka waktu tertentu. |
2 | Perpanjangan izin harus melalui proses seleksi atau pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2). |
Paragraf 2 - Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang dalam Trayek
Pasal 176[sunting sumber]
Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a diberikan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:
1. trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antarnegara;
2. trayek antarkabupaten/kota yang melampaui wilayah
1 (satu) provinsi;
3. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; dan
4. trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu) provinsi.
b. gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:
1. trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
2. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
3. trayek perdesaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten dalam satu provinsi.
c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
d. bupati untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:
1. trayek perdesaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten; dan
2. trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten.
e. walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota.
Pasal 177[sunting sumber]
Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang diberikan; dan
b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1).
Pasal 178[sunting sumber]
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 3 - Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek
Pasal 179[sunting sumber]
1 | Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b diberikan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani: 1. angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui 1 (satu) daerah provinsi; 2. angkutan dengan tujuan tertentu; atau 3. angkutan pariwisata. b. gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; dan d. bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota. |
2 | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. |
Paragraf 4 - Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat
Pasal 180[sunting sumber]
1 | Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan rekomendasi dari instansi terkait. |
2 | Izin penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. |
3 | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan barang khusus dan alat berat diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. |
Bagian Kesembilan
Tarif Angkutan[sunting sumber]
Pasal 181[sunting sumber]
1 | Tarif angkutan terdiri atas tarif Penumpang dan tarif barang. |
2 | Tarif Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek; dan b. tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek. |
Pasal 182[sunting sumber]
1 | Tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek terdiri atas:
a. tarif kelas ekonomi; dan b. tarif kelas nonekonomi. |
2 | Penetapan tarif kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota antarprovinsi, angkutan perkotaan, dan angkutan perdesaan yang wilayah pelayanannya melampaui wilayah provinsi; b. gubernur untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam provinsi serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang melampaui batas satu kabupaten/kota dalam satu provinsi; c. bupati untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam kabupaten serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang wilayah pelayanannya dalam kabupaten; dan d. walikota untuk angkutan orang yang melayani trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya dalam kota. |
3 | Tarif Penumpang angkutan orang dalam trayek kelas nonekonomi ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum. |
4 | Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. |
Pasal 183[sunting sumber]
1 | Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum atas persetujuan Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan. |
2 | Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum. |
Pasal 184[sunting sumber]
Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.
Bagian Kesepuluh
Subsidi Angkutan Penumpang Umum[sunting sumber]
Pasal 185[sunting sumber]
1 | Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi pada trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. |
2 | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan Penumpang umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
Bagian Kesebelas
Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Umum[sunting sumber]
Paragraf 1 - Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum
Pasal 186[sunting sumber]
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang.
Pasal 187[sunting sumber]
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan.
Pasal 188[sunting sumber]
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.
Pasal 189[sunting sumber]
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.
Pasal 190[sunting sumber]
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan.
Pasal 191[sunting sumber]
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
Pasal 192[sunting sumber]
1 | Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang. |
2 | Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan. |
3 | Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak Penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati. |
4 | Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut. |
5 | Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah. |
Pasal 193[sunting sumber]
1 | Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim. |
2 | Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami. |
3 | Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati. |
4 | Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang. |
5 | Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah. |
Pasal 194[sunting sumber]
1 | Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan Umum. |
2 | Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian pihak ketiga kepada Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian. |
Paragraf 2 - Hak Perusahaan Angkutan Umum
Pasal 195[sunting sumber]
1 | Perusahaan Angkutan Umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan. |
2 | Perusahaan Angkutan Umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan. |
3 | Perusahaan Angkutan Umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 196[sunting sumber]
Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, Perusahaan Angkutan Umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Belas
Tanggung Jawab Penyelenggara[sunting sumber]
Pasal 197[sunting sumber]
1 | Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan wajib:
a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan; b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan umum; dan c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang dan barang. |
2 | Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. |
Bagian Ketiga Belas
Industri Jasa Angkutan Umum[sunting sumber]
Pasal 198[sunting sumber]
1 | Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat. |
2 | Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus:
a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar; b. menetapkan standar pelayanan minimal; c. menetapkan kriteria persaingan yang sehat; d. mendorong terciptanya pasar; dan e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum. |
3 | Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat diatur dengan peraturan pemerintah. |
Bagian Keempat Belas
Sanksi Administratif[sunting sumber]
Pasal 199[sunting sumber]
1 | Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, dan Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin. |
2 | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. |