1.295
suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
| Baris 18: | Baris 18: | ||
isi=Tapi teman-teman ngak usah khawatir ini debatnya orang-orang pintar yang semuanya ingin yang terbaik untuk Indonesia, meskipun pandangannya beda-beda. Nah ini, bagi saya penting, ini kita garis bawahi, asumsi yang jenisnya ''husnudzon'', ini.<br>Hari ini banyak problem dalam kehidupan kita, itu kita menyikapi apapun secara su'udzon. Kalau ada orang berbuat baik, kita khawatir jangan-jangan Itu pencitraan, jangan-jangan nanti aku ''dikadali'' belakangnya. Jadi kita, kita terus ndak tenang. Apalagi orang yang jelas-jelas jahat. Kalau ada orang yang menampilkan kebaikan kita curiga, jangan-jangan dibalik itu ada pamrihnya, akhirnya kita juga ndak tenang.}} | isi=Tapi teman-teman ngak usah khawatir ini debatnya orang-orang pintar yang semuanya ingin yang terbaik untuk Indonesia, meskipun pandangannya beda-beda. Nah ini, bagi saya penting, ini kita garis bawahi, asumsi yang jenisnya ''husnudzon'', ini.<br>Hari ini banyak problem dalam kehidupan kita, itu kita menyikapi apapun secara su'udzon. Kalau ada orang berbuat baik, kita khawatir jangan-jangan Itu pencitraan, jangan-jangan nanti aku ''dikadali'' belakangnya. Jadi kita, kita terus ndak tenang. Apalagi orang yang jelas-jelas jahat. Kalau ada orang yang menampilkan kebaikan kita curiga, jangan-jangan dibalik itu ada pamrihnya, akhirnya kita juga ndak tenang.}} | ||
{{timeline|tc=00:05:04,120| | {{timeline|tc=00:05:04,120| | ||
isi=Nah sekarang kita latihan untuk husnudzon, termasuk polemik-polemik ini. Jadi yo sesuai kapasitas, sesuai perspektif dari beliau-beliau yang ingin Indonesia ini dapat yang terbaik. Ya tentu saja perspektifnya beda-beda. Asalkan kita tetap berposisi kritis, tetap berposisi tidak nge-''judge'' begitu saja sebelum kita paham apa sih hakikatnya gagasan itu. Ya saya sarankan ndak berhenti malam hari ini saja, minggu depan dilanjutkan di perspektif yang berbeda. Karena kalau berhenti malam hari ini saja yo jatuhnya westernis nanti, agak bau barat, tapi bukan berarti ndak rasional. | isi=Nah sekarang kita latihan untuk husnudzon, termasuk polemik-polemik ini. Jadi yo sesuai kapasitas, sesuai perspektif dari beliau-beliau yang ingin Indonesia ini dapat yang terbaik. Ya tentu saja perspektifnya beda-beda. Asalkan kita tetap berposisi kritis, tetap berposisi tidak nge-''judge'' begitu saja sebelum kita paham apa sih hakikatnya gagasan itu. Ya saya sarankan ndak berhenti malam hari ini saja, minggu depan dilanjutkan di perspektif yang berbeda. Karena kalau berhenti malam hari ini saja yo jatuhnya westernis nanti, agak bau barat, tapi bukan berarti ndak rasional. Asiknya belajar filsafat itu, ''"belajar tokoh ini, oh rasanya kok asik ya tokoh ini"'', terus minggu depan ganti tokoh lagi, ''"Oh ini yo asik juga"'', terus sampean bingung terus ''"tokohnya banyak asik kabeh"'', akhirnya kita ndak ngapa-ngapain. Cuma bagian bagian menilai, ini asyik ini ndak asyik, ini asyik, ini ndak asik itu saja. Baik, yo seperti gayanya ngaji filsafat ya, kita gali, kita cari, mana yang cocok, mana yang sesuai untuk hidup kita. Entah di bagian mana, entah di titik yang mana.}} | ||
{{timeline|tc=00:06:37,919| | {{timeline|tc=00:06:37,919| | ||
isi=Oke, beliau ini mungkin tadi sudah saya sebut ya, tokoh pujangga baru. beliau banyak jasanya khususnya untuk dunia bahasa Indonesia. Beliau orang pertama yang menyusun secara sistematis tata bahasa Indonesia yang kita pelajari sekarang di sekolah-sekolah. Beliau ini agak kecewa karena beliau punya misi bagaimana bahasa Melayu yang sekarang jadi bahasa Indonesia itu tidak sekedar jadi bahasa kita tapi juga bahasa pergaulan regional.}} | isi=Oke, beliau ini mungkin tadi sudah saya sebut ya, tokoh pujangga baru. beliau banyak jasanya khususnya untuk dunia bahasa Indonesia. Beliau orang pertama yang menyusun secara sistematis tata bahasa Indonesia yang kita pelajari sekarang di sekolah-sekolah. Beliau ini agak kecewa karena beliau punya misi bagaimana bahasa Melayu yang sekarang jadi bahasa Indonesia itu tidak sekedar jadi bahasa kita tapi juga bahasa pergaulan regional.}} | ||
| Baris 44: | Baris 40: | ||
isi=<u>Yang nomor 5</u> tentu saja <u>kemajuan</u>. Ya tentu saja hidup ini harus progres, harus maju, jangan statis jangan, mandek apalagi mundur. Tadi saya bilang kita ternyata sejak tahun 1935 ndak berubah-berubah sampai hari ini, itu berarti kita mandek, tidak maju.}} | isi=<u>Yang nomor 5</u> tentu saja <u>kemajuan</u>. Ya tentu saja hidup ini harus progres, harus maju, jangan statis jangan, mandek apalagi mundur. Tadi saya bilang kita ternyata sejak tahun 1935 ndak berubah-berubah sampai hari ini, itu berarti kita mandek, tidak maju.}} | ||
{{timeline|tc=00:16:02,880| | {{timeline|tc=00:16:02,880| | ||
isi=Yang keenam, idealisme. Ini beliau banyak terpengaruh oleh [[Georg Wilhelm Friedrich Hegel|Hegel]]. Beliau sering pakai istilah [[geist]], geist itu semacam ruhnya dunia, jiwanya hidup ini, itu namanya geist. Jadi hidup ini selalu berkembang, ada ruhnya. | isi=Yang keenam, idealisme. Ini beliau banyak terpengaruh oleh [[Georg Wilhelm Friedrich Hegel|Hegel]]. Beliau sering pakai istilah [[geist]], geist itu semacam ruhnya dunia, jiwanya hidup ini, itu namanya geist. Jadi hidup ini selalu berkembang, ada ruhnya. Yo kayak hari ini misalnya, dunia hari ini itu ruhnya itu digital, gaya berpikir digital, apa-apa sambungannya digital, dan lain sebagainya, dulu apa, sekarang apa, berubah terus, ini idealismenya Hegel, kan begitu. Dulu kita pernah belajar filsafat sejarahnya Hegel. Nah maunya Sutan Takdir begitu. Hidup ini yo jangan statis, jangan mandek, yo maju, progres, dulu apa, sekarang apa, terus berkembang. Baik, jadi ini akar pikirannya. Jadi saya ndak panjang-panjang karena sudah pernah panjang lebar saya jelaskan tentang renaisan dan humanisme modern.}} | ||
{{timeline|tc=00:17:17,240| | {{timeline|tc=00:17:17,240| | ||
isi=Nah saya lanjutkan sekarang. Asumsinya Sutan Takdir, bagi beliau fitrahnya manusia itu antara lain, dia adalah pencipta kebudayaan. Jadi ini nanti ada hubungannya dengan pandangannya tentang budaya Indonesia, Budaya nasional.}} | isi=Nah saya lanjutkan sekarang. Asumsinya Sutan Takdir, bagi beliau fitrahnya manusia itu antara lain, dia adalah pencipta kebudayaan. Jadi ini nanti ada hubungannya dengan pandangannya tentang budaya Indonesia, Budaya nasional.}} | ||
| Baris 109: | Baris 99: | ||
{{timeline|tc=00:00:00,000| | {{timeline|tc=00:00:00,000| | ||
isi=Mau ndak mau konsumen tergantung dengan produsen. Atau self-organization, self-organization itu kemampuan ngatur diri. Kalau kita ndak bisa ini, efeknya apa? yo diatur orang lain butuh yang luar yang mengendalikan kita.}} | isi=Mau ndak mau konsumen tergantung dengan produsen. Atau self-organization, self-organization itu kemampuan ngatur diri. Kalau kita ndak bisa ini, efeknya apa? yo diatur orang lain butuh yang luar yang mengendalikan kita.}} | ||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Nah, jadi kalau satu bangsa kok ndak self-organization, yo mesti ada yang luar ikut ngatur karena kita ndak bisa ngatur diri kita sendiri. Kalau kita ndak bisa disiplin itu kan butuh orang lain mendisiplinkan kita. Jadi itu yang disebut self-organization.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Demikian juga self-referential. Self-referential itu, reference itu yo rujukan, kebutuhan. Kalau kita ndak punya hal-hal untuk mencapai tujuan kita yo akhirnya kita butuh yang lain. Ndak punya uang yo utang ke yang lain, ndak punya modal pinjam ke yang lain, tidak self-referential.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Yang terakhir tertutup tapi sekaligus terbuka. Tertutup itu kita tahu ciri kita identitas kita, jadi kita punya prinsip, punya nilai-nilai, tapi jangan kaku. Wong kita itu manusia, tidak pasti benar. Mungkin saja salah, mungkin saja meleset, wong kita itu terbatas, wawasan kita juga terbatas, sepintar-pintarnya orang yo yang dia tahu kan pastinya hanya sejauh pengalamannya saja.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Kayak saya ini ndak pernah ke mana-mana, yo pengalamanku hanya itu-itu saja. Nah, maka ya tetap harus terbuka, kalau ada wawasan-wawasan baru, pandangan-pandangan baru. Di situlah kita bisa berkembang. Nah ini ideal, namanya autopiosis, orang yang mampu menciptakan dirinya sendiri mengendalikan mengatur dirinya memenuhi kebutuhannya dan tertutup sekaligus terbuka. Yo kita aminkan saja ya semoga kita bisa seperti ini. Iya. Ya kan ini ideal kan, ideal itu kan ya kita aminkan saja.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Baik, saatnya berpolemik sekarang. Kalau tadi yang lurus-lurus, sekarang kita mulai ya ini, jangan kaget ya. Ini mungkin pikiran-pikirannya agak berbeda dengan pikiran-pikiran teman-teman selama ini.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Yang pertama, Sutan Takdir memilah antara Indonesia dengan pra Indonesia. yang disebut Indonesia yo saat itu menjelang-menjelang kemerdekaan. Jadi satu generasi yang ingin membebaskan diri bersatu, bersama-sama, mendirikan satu negara yang namanya Indonesia.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Sebelum itu, belum Indonesia, namanya masih Pra Indonesia. Jadi kalau ada orang bilang nenek moyang kita Indonesia dulu, gak. Indonesia itu yo zaman '45 itu, era-era itu. Era lahirnya kebangsaan, kebersamaan bahwa kita di nusantara ini punya rasa yang sama, nasib yang sama. Sebelum itu, masih kerajaan-kerajaan sejarahnya, bukan sejarah Indonesia tapi sejarah Aceh, sejarah Mataram, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Jadi, kata Sutan zaman pra Indonesia itu zaman yang hanya mengenal sejarahnya VOC, sejarahnya Mataram, sejarahnya Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain-lain. Oh ini nanti menarik di beberapa tulisan beliau bilang loh y, ya seperti perjuangan-perjuangan sebelumnya itu kan belum kenal Indonesia. Jadi mereka masing-masing mungkin yang ditegakkan yo kerajaan-kerajaan wilayah-wilayahnya sendiri-sendiri.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Seperti Pangeran Diponegoro, mungkin bayangannya bukan Indonesia seperti sekarang, mungkin ya Jawa paling tidak, kerajaan mataramnya. Jadi ini yang saya sebut tadi ya cara berpikirnya Sutan Takdir. Ya ini nanti di belakang banyak dikritik, selanjutnya banyak polemik, tapi ini perspektif yang khas, yang berbeda.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Jadi disebut rasa kebangsaan Indonesia itu ya ketika mulai muncul kesadaran bahwa kita harus bersama-sama, bareng-bareng, satu cita-cita satu keinginan, mendirikan bangsa, mendirikan negara yang nanti namanya Indonesia. Dan itu muncul ya tahun-tahun era revolusi tahun 30-an, 45-an.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Jadi ini pembagian yang dilakukan oleh Sultan takdir. Nah beliau inginnya saat itu Ini zaman baru ini kan tahun 35an, ayo bergerak secara baru mengikuti zaman saat itu. Jadi jangan terlalu takut untuk merancang sesuatu yang baru yang maju. Jadi, dasar pikirannya ini nanti beliau inginnya.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Nah cuma yang khas bagi beliau, orientasi atau visi kebudayaan ideal menurut beliau itu Barat. Barat dalam hal apa? cara berpikir yang dinamisnya. Jadi, sederhananya begini, kita kan mengakui kalau Barat itu maju. Berarti apa? loh kalau kita ingin maju yo Harusnya kita meniru yang dilakukan oleh peradaban yang kita sebut maju. Jadi logika sederhananya begitu.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Jadi beliau ingin benchmarknya kalau bahasa di kampus ya, tiruannya itu barat yang ditiru yang diikuti itu barat, kenapa? sudah terbukti. Jadi khususnya apa dalam hal yang Indonesia saat itu belum punya, kata Sutan Takdir. Apa yang belum belum kita miliki saat itu yang pertama ilmu pengetahuan, yang ketiga kemajuan ekonomi eh yang kedua, yang ketiga teknologi.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Jadi kita perlu menguasai ilmu pengetahuan, ekonomi yang maju, dan teknologi yang rasional secepat-cepatnya, kata Sutan Takdir. Meskipun sampai hari ini juga rasanya masih PR ya buat kita. Baik ilmu pengetahuannya, maupun ekonominya, maupun teknologinya. Kita masih masuk negara yang ber-flower, katanya anak-anak. Iya, di WA-WA itu kan gitu. Saya kemarin bingung maksudnya "negara dasar negara berflower itu" oh maksudnya negara berkembang.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Jadi, oke ya jadi ini menjadikan kebudayaan Barat sebagai benchmark. Ini visi yang khas, ya tentu saja terus nanti banyak yang mengkritik tapi kita ikuti ya argumen beliau. Yo ndak sesederhana itu beliau punya argumen yang dalam. Kata beliau begini, "Indonesia di satu pihak dengan berani ini idealnya harus menjadi negara yang semodern-modernnya. tetapi meskipun dalam hal itu mempertahankan jenisnya sebagai bangsa yang secara alami menghayati estetika menjadi satu budaya yang khas dan unik, yang dalam kekhasan itu menjadi sumbangan yang amat indah pada kebudayaan umat manusia universal".}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Jadi menurut Sultan takdir "Ayo maju seperti Barat. Modern seperti barat" Loh apa budaya kita yang unik yang khas yang estetik ditinggal? tidak. tapi jadikan itu sumbangan untuk dunia global. Jadi jadikan itu berkontribusi untuk kehidupan manusia yang universal. Tapi syaratnya modern dulu. Jadi dengan kita modern, maka budaya kita bisa dikemas secara modern dan nanti bisa menyumbangkan sesuatu untuk peradaban manusia secara lebih luas tidak hanya kita nikmati sendiri keunikan kita.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Jadi cita-citanya itu, yo modern semodern-modernnya sambil tetap mempertahankan identitas. Seperti saya bilang tadi, kita masih punya banyak PR, ya tadi sudah saya sebut tiga itu. Di kalimat selanjutnya beliau menyebut empat. Yang pertama tadi teknologi, yang kedua ekonomi, yang ketiga ilmu pengetahuan.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Satu lagi keterampilan berorganisasi. Jadi keterampilan mengatur diri, menata diri, ada leader yang bagus dan ada yang dipimpin yang juga bagus, ini PR kita ke depan, entah sampai kapan depannya, pokoknya kita harus sampai di titik sana. Jadi teknologi ekonomi keterampilan berorganisasi dan ilmu pengetahuan.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Nah ini bukan hal mudah, kata Sutan Takdir, yo karena corak budaya kita berbeda. Sutan Takdir pakai istilah, timur itu kecenderungannya ekspresif, sementara barat progresif. Dan yang disebut maju itu perlu progresivitas. Jadi kemajuan itu datangnya dari modern. Sementara yang sudah modern itu barat. Logika sederhananya yo Berarti kita harus mengikuti barat. Nah itu yang ada di pikirannya Sutan Takdir. Kalau budaya kita seperti banyak budaya Timur yang lain, cenderung ekspresif. Penguasanya adalah agama dan seni. Sementara budaya progresif itu penguasanya ilmu pengetahuan dan ekonomi. | |||
Jadi ndak usah kaget kalau kita orang Indonesia itu dikit-dikit agama, dikit-dikit agama, loh kita memang orang timur ekspresif, jadi emosi...apa? kepercayaan, keyakinan, itu lebih menonjol dalam hidup kita.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Nah kalau budaya progresif, kata Sutan Takdir, ilmu pengetahuan dan ekonomi. Baik, itu beliau punya kalimat pusatnya budaya yang lama itu di masjid, di gereja, di wihara. Sementara budaya yang baru dan modern itu pusatnya di universitas, pabrik, laboratorium, harusnya begitu, idealnya. Maka kata Sutan Takdir Indonesia harus hijrah, ini mumpung baru Muharam ya, jadi yang hijrah jangan hanya orangnya. Yuk kita sebagai bangsa hijrah dong atau nama akademikya kita bertransformasi. Ayo geser dari budaya yang ekspresif menuju budaya yang progresif.}} | |||
{{timeline|tc=00:32:11,240|isi= | |||
Dari budaya statis yang mengutamakan pandangan kecenderungan emosional ekspresif kepada budaya maju yang progresif saintifik. Nah ini yang diinginkan, yang dicita-citakan oleh Sutan Takdir.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Nah ini ini debat tetap, ini tema ini sampai hari ini jadi perdebatan, benar gak sih Barat itu progresif saja? dan dia ndak peduli agama? ndak peduli yang lain-lain? ataukah Timur itu memang sepenuhnya begitu. Sampai hari ini debatnya masih panjang, bahkan hari ini juga muncul pertanyaan Barat itu yang mana, Timur itu yang mana. Tapi untuk sementara kita pahami ini dulu ya konteksnya pikirannya Sutan Takdir dulu.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Yuk kita lanjut. Nah ini kritik beliau cirinya budaya Indonesia. Nah ini ndak boleh tersinggung ya, wong ini pendapat kan boleh saja. Jadi beliau melihat yang pertama apa? Masyarakat kita itu kuat sekali kepercayaannya terhadap mitos, roh-roh, benda-benda gaib, yang mistik-mistik, hobi wis pokoke kita. Kalau ndak percaya, kamu cek ya, film-film dengan penonton terbanyak di Indonesia kui mesti film horor. Jadi film hantu-hantuan. Mungkin kamu nyoba film-film apa, laga kah? atau film-film sains opo-opo mungkin gak ada yang percaya, gak ada yang nonton. Tapi begitu film-film hantu-hantuan Itu laris. Itu pintar sutradaranya, pintar produsernya, ngerti, masyarakat kita itu senang dengan tema-tema begitu. Tema-tema dukun, kesaktian ya kan, io yang kemarin rameai itu ya viral itu.<br>Kamu kan heran Oh kok bisa ya? Kok laris? ya Kok laku ya? kok anu lah Lah Yo masyarakat kita ini sudah dikritik oleh Sultan takdir sejak tahun 1935, sekarang 2022, ternyata ya gak jauh-jauh amat kita, masih begitu-begitu saja. jadi kepercayaan kita masih seputar itu. mitos, roh-roh gitu kan tadi jendelon nafrak duak, itu jangan-jangan ada yang mikir ini penunggunya jangan-jangan mungkin ada yang mikir begitu Wah ini yang menunggu ndak rela Ini mesti kita temanya kayak gini ini misalnya.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
nah jadi kritik pertama, yang kedua, ini juga dikritik, berkuasanya nilai solidaritas. Loh Pak soliderkan bagus? Iya. tapi di Indonesia sering sampai pada titik Bener salah sing penting kelompokku, sing penting kancaku, yang penting grupku, ckelkuah, jadi Solider. kita kan ada di suporter sepak bola yang sama, maka melakukan Apun ayo. Itu Solider}} | |||
{{timeline|tc=00:48:49,240|isi= | |||
Kita kuat sekali di situ. Kita di partai yang sama, kita di lembaga yang sama, kita harus dituntut untuk solider, benar salah kalau itu kelompokku grupku aliranku yo harus aku bela, ini sering. Bukan berarti solider itu jelek, tapi kalau sampai di titik itu, yo masalah. Tapi kita ndak sadar bahwa itu sering jadi masalah, menghalangi kita untuk maju.<br>Jadi budaya yang jenisnya fanatik, tidak peduli fakta, tidak peduli benar salahnya yang mana, yang penting kelompokku, yang penting grupku, yang penting aliranku, circle-ku, besti-ku. Loh, ya kan? kamu hari ini kan itu terus dibelo mati-matian. Nah oke itu ciri kedua.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Ciri ketiga, kuat sekali perhatiannya pada hubungan darah. Kalau ini ya lanjutannya. Saudaraku, temanku, yang penting kita jangan pisah ya, yang penting kita, sampai di masyarakat Jawa ada peribahasa "mangan ora mangan sing penting kumpul". Jadi sudah...kita ngumpul saja, rukun yang enak, Fokusnya ke sini bukan berarti ini salah, tapi dalam kondisi tertentu seperti di barat modern ya perlu titik-titik profesional. Misalnya, harusnya profesional kerja, tapi ''"Lah ini yang ngelamar saudaraku e, lah ini yang ngajukin lamaran masih famili e"''. Kalau daftar, terus kita titip ''"Ada kenalan gak? ada saudara gak di sana?"'' itu alamat kan? kita masih punya logika "punya kenal orang dalam gak?" jadi hubungan darah itu jaminan kesuksesan, banyak kalau hari ini, ya kan? Yo nasibmu, kamu ndak punya saudara yang orang-orang besar.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Nah, di kita begitu. Saya ndak... Yo kamu sekarang ketawa, saya ndak jamin besok kalau kamu jadi punya posisi pejabat apa, terus anakmu, atau saudaramu, atau ponakanmu ngelamar di perusahaanmu saingannya banyak. Berani ndak? kamu ndak nerimo yang ada hubungan darah tapi menerima yang lebih profesional? Oh...kamu bisa dimusuhi sak keluarga besarmu, iya kan? kamu kalau pulang dimarah-marahi, mesti kan? "sedulure dewe ora di..." khas itu, gaya Indonesia sudah. Jadi ini masih PR, kita di situ.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Kemudian, ini bukan saya ya, Sutan Takdir. Kuatnya kedudukan agama. Bukan berarti agama itu jelek, tapi sering kali...ini persis seperti yang dikritikkan oleh Karl Max, membuat kita terninabobokkan. Jadi ndak aktif, ndak kreatif. Apa-apa ditarik ke agama. Misalnya kita sedang sedang sulit, kita sedang dizalimi, dijajah, "Sudahlah Pak, hidup ini kan sudah digariskan oleh Allah. Jangan kemerungsung, jangan marah-marah, kalau takdirnya menang besok, kita tetap menang kok", ya kan?.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Apa-apa dibawa ke sana. Bukan berarti salah ya, memang kita punya Tuhan, kita percaya Tuhan, tapi kan kita juga punya peran amanat sebagai khalifahnya. Jadi melupakan sisi kekhalifahan ini, lebih fokus pada sisi penghambaannya. Jadi sisi abid, ibadahnya. Yo kita ini abid, tapi juga khalifahnya. Bukan berarti kembali ke agama itu salah, cuma, ada porsi dan proporsinya. Nanti harusnya digarap secara profesional.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
''"Sudahlah, gak usah kita serius-serius, capek-capek. Kita berdoa saja bareng-bareng. Semoga kerjaan kita ini selesai"'', misalnya, ndak nyambung. ''"Toh kita capek-capek kayak apa, kalau nak diridai Allah juga ndak sukses kok"''. Ah ini berat kalau cara berpikirnya begini. Kadang-kadang, terus, misalnya, berjuang pun ndak berhitungan. ''"Sudahlah, kita yang penting maju saja, kalah juga nanti masuk surga, nanti..."'' Ndak, yo perhitungan dong.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Jadi ini yang hal-hal yang membuat kita jadi gak rasional. Padahal Al-qur'an kan banyak juga nyindir kita, afala ta'qilun afala tatafakarun, opo kamu ndak mikir? opo kamu ndak merenung? kok kelakuanmu kayak gitu? nanti kalau gagal Allah jadi kambing hitam, ''"Wah ini Allah ini ndak sayang padaku. Apa salahku?"'', ini disalahkan Allah.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Baik, nah yang terakhir kritiknya Sultan Takdir pada budaya Indonesia adalah feodalistik. Jadi feodalistik itu pokoknya...apa...patuh pada "raja-raja". Itu saya kasih tanda petik karena maksudnya atau yang diposisikan seperti raja. Jadi kalau sudah diposisikan yang terhormat, ya cirinya mungkin kalau pas pidato sambutan, "Yang saya hormati bla bla bla bla..." itu biasanya terus kita ndak berani bantah sudah, ini mental feodal.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Mental feodal itu, yang pertama "kepatuhan mutlak pada otoritas yang dia percaya". Yang kedua jadinya "tidak kreatif", ikut saja pada dawuhnya yang "dirajakan" dalam tanda petik. Kemudian yang ketiga yo akhirnya ndak produktif. Jadi karena apa? yo nunggu, yo kalau kebetulan rajanya bagus, ngaturnya bagus, kita produktif. Tapi kalau rajanya pasti tidak bagus "raja" dalam tanda petik ya, yo kita nanti hanya diperalat saja oleh "raja-raja" ini, dalam tanda petik. Mental kita masih sering mental feodal, mental feodal itu daya kreatifnya rendah. Kalau disuruh apa-apa sulit, disuruh kreatif sulit. Saya sering itu ada teman-teman Pak Faiz saya undang ke sini ya terus temanya apa mas? saya ikut Pak Faiz saja. Jadi sulit, disuruh milih bebas menentukan itu nak mampu. Bisanya pasrah saja pada yang dianggap otoritas. Nah, jadi dia bahkan menentukan kebutuhanku apa, itu dia juga ngak mampu. Nunggu dipilihkan. Nah ini mental-mental feudalistik. Jadi karena selama ini memang bisanya yo manut saja, ikut saja.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Baik, jadi ini ciri-ciri budaya Indonesia yang dikritikkan oleh Sultan takdir dulu tahun 1935. Semoga sekarang sudah mulai berkurang ya. Kita ndak lagi suka mistik-mistik klenik. Kita ndak lagi fanatisme buta. Kita ndak lagi tidak profesional. Kita ndak lagi malas, tidak tangguh, apalagi ndak kreatif, feodalistik. Kalau belum, yo latihan. Kita keluar dari jeratan itu biar kita gak mbulet di situ terus. teman-teman kan sering bilang, ''"Pak, orang dulu itu hebat-hebat ya, Pak? pikirannya cocok terus dengan kita"''. Sebenarnya, mungkin bukan pikirannya cocok terus, ya kita saja ndak berubah-berubah, sejak dulu begitu terus. Jadi yo akhirnya yo cocok terus, wong kita ndak berubah-berubah. Dulu kita malas, sekarang yo malas. jadi, nasihat tahun 1800 sekian, "jangan malas" itu masih cocok buat kita sekarang, wong kita masih malas memang sampai hari ini. Bukan mereka yang futuristik, "Wah orang dulu futuristik ya, ngerti masa depan" o kamu aja ndak berubah-berubah sejak dulu. Jadi ini ciri budaya kita, dulu.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Baik, kita lanjutkan, ini. Nah ini menarik, beliau menyebut "Kita sering terlena oleh kejayaan masa lalu, masa silam, seolah-olah itu saja cukup", kata beliau menarik, beliau punya kalimat begini, "Adalah salah yang dikatakan pameo bahwa bangsa yang pernah menghasilkan [[Borobudur]] akan dengan sendirinya sanggup menciptakan apa saja", itu adalah satu kebanggaan bahkan kesombongan yang sangat berlebihan. Pameo tersebut harusnya ditulis kembali dengan sedikit rendah hati dan berbunyi "Bangsa yang pernah menghasilkan Borobudur mungkin sekali dapat menghasilkan Borobudur-borobudur yang baru, selama bangsa itu bersedia membuka diri bagi ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru, dengan keyakinan bahwa setiap langkah harus lebih baik dari langkah sebelumnya".}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Jadi kita yang selama ini kan sering membanggakan masa lalu "Wah kita itu bangsa besar loh, kita menciptakan Borobudur, Prambanan, kita banyak sekali peninggalan nenek moyang kita yang luar biasa" ya, nenek moyang kita hebat, lah terus kita gimana? karya kita apa? tinggalan kita apa? jangan-jangan sampai nanti keturunan anak kita kesekian, generasi kesekian, yang dibanggakan tetap masih Borobudur. Kita sudah sekian generasi kebanggaannya masih Borobudur juga. Lho, kapan kita bisa menciptakan karya semonumental setara Borobudur sehingga anak cucu kita mungkin generasi kesekian. Nanti yang dibanggakan gak hanya Borobudur. jadi dia bisa "Oh ini kalau generasi sekian Borobudur ini, generasi sekian perambanan, generasi sekian..." Nah maka tinggalan kita terus apa yang membanggakan dari generasi ke generasi? jadi ndak Salah Kita membanggakan masa silam, tapi harusnya kebesaran masa silam itu jadi jalan kita untuk membentuk kebesaran yang sama di era kita. Kalau versinya Sutan Takdir, "kebesaran zaman ini itu ya kita mengikuti pertumbuhan sains dan teknologi".}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Jadi, harusnya kita hari ini penguasanya sains dan teknologi, harusnya begitu. Karena yang monumental zaman ini kan begitu. Jangan-jangan besok Yo kita ndak bisa bangga. Yang bangga mungkin orang Korea "Wah Kitalah yang menciptakan Samsung, dulu". Nanti yang Amerika "Kita yang menciptakan iPhone, dulu". Ini sekarang ada museum smartphone misalnya. Nah mereka bangga. saya nak tahu kalau zaman kita ini memasukkan itu di museum itu apa? karya kita hari ini di museum, itu. Kalau bangsa Indonesia kalau hari ini kan terkenal misalnya cerewetnya di medsos misalnya, aa itu mungkin kita bisa itu, contohnya obrolan bangsa Indonesia tahun 2002 kayak gini tahun mungkin itu.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Nah jadi...yuk, kejayaan masa silam oke, kita banggakan, tapi tentu saja tidak berhenti di kebanggaan saja. Kita harusnya menghidupkan lagi semangat berkaryanya. Jadi, sebenarnya mengikuti Barat itu bukan kok menjiplak barat, tapi etos dinamis progresif barat, itulah yang diambil. Jadi sambil...tetap identitas kebangsaan identitas religius, monggo saja. Tapi etos ini loh, untuk maju yang kita sangat kurang, kata Sutan Takdir.}} | |||
{{timeline|tc=00:00:00,000|isi= | |||
Lanjut, nah sekarang kita lihat, kenapa sih kok barat? Ini kita baca ya, ndak boleh tersinggung. Ini memang, beliau penggemar barat. Kata Sutan Takdir begini, ini yang pertama, "Sejak [[Vasco da Gama]], manusia baru renaisan Eropa mengelilingi Afrika dan mendarat di Kalikut, terbukalah bagi seluruh Asia, satu sejarah baru, dalam abad-abad berikutnya, berduyun-duyun pelayar dan sodagar. Penjajah dan misi Eropa mengunjungi dan menjajah Asia dan lambat laun menguasainya. Mulailah sejarah imperialisme yang dalam banyak hal sangat menyedihkan. Bertubi-tubi datang penyerbuan manusia modern Eropa pada kerajaan-kerajaan Asia. Banyak yang dapat ditaklukkannya dan dijadikan jajahannya. Tetapi yang tidak bisa ditaklukkannya pun tidak dapat mengelak dari pengaruh kebudayaan modern Eropa itu. Namun bagi Indonesia zaman ini adalah zaman kegelapan, zaman kalah terus-menerus.}} | |||