Verbatim:1: Perbedaan antara revisi

11.142 bita ditambahkan ,  11 bulan yang lalu
tidak ada ringkasan suntingan
(Penambahan tautan Saweria)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 44: Baris 44:
isi=<u>Yang keempat</u>, yo gandengannya kritik itu <u>kebebasan</u>. Jadi manusia itu bisa  mengembangkan dirinya dasarnya kebebasan. Kalau ndak bebas itu ndak ada nilainya perbuatan kita. ''"Saya orang baik kok pak tapi ndak bebas"'', baiknya karena dipaksa atau karena terpaksa? atau karena ikut orang lain saja? itu kan nilai kebaikannya tidak maksimal. Mungkin, ya nilainya hanya ya nilai ikut saja, apalagi nilai terpaksa, tapi kalau kebaikan itu pilihanku sendiri keputusanku sendiri, ini kan jauh lebih bernilai.<br>Kejahatan juga begitu, ''"Pak, saya ini maling Pak tapi terpaksa, Pak. Kalau saya nggak maling, anak istri saya, keluarga saya ndak makan"'', itu kan nilainya beda dengan maling yang pilihan, ''"Sebenarnya aku bisa maling...aku bisa ndak maling...tapi ternyata aku milih maling"'', ah ini bebas kalau ini kalau bebas gini yo ya kalau dosa, dosanya lebih besarlah. ''"Ya saya memperkosa sih Pak tapi terpaksa saya"'', ''"pak loh saya diancam ya kalau enggak diperkosa saya dibunuh"'', misalnya.<br>Jadi keterpaksaan itu mengurangi nilai moral, ketidakbebasan mengurangi nilai moral. Ini, teori ini dari [[Immanuel Kant]], era modern juga. Ya sama kan kayak adik-adik kita yang kecil, ''"Wah, ini masih umur 3 tahun kok rajin ke masjid ya?"'' itu kan dia belum paham, belum ngerti, mungkin disuruh saja, mungkin diajak saja. Itu kan nilainya beda dengan kita yang sudah besar. ''"Wah ini sudah besar masih rajin ke masjid ya."'', itu kan beda dengan yang masih kecil rajin ke masjid biasanya kan masih kecil aja ke masjid kalau sudah besar malas ke masjid. Nah, jadi yang nomor empat yang dikembangkan oleh Sultan Takdir itu kebebasan.}}
isi=<u>Yang keempat</u>, yo gandengannya kritik itu <u>kebebasan</u>. Jadi manusia itu bisa  mengembangkan dirinya dasarnya kebebasan. Kalau ndak bebas itu ndak ada nilainya perbuatan kita. ''"Saya orang baik kok pak tapi ndak bebas"'', baiknya karena dipaksa atau karena terpaksa? atau karena ikut orang lain saja? itu kan nilai kebaikannya tidak maksimal. Mungkin, ya nilainya hanya ya nilai ikut saja, apalagi nilai terpaksa, tapi kalau kebaikan itu pilihanku sendiri keputusanku sendiri, ini kan jauh lebih bernilai.<br>Kejahatan juga begitu, ''"Pak, saya ini maling Pak tapi terpaksa, Pak. Kalau saya nggak maling, anak istri saya, keluarga saya ndak makan"'', itu kan nilainya beda dengan maling yang pilihan, ''"Sebenarnya aku bisa maling...aku bisa ndak maling...tapi ternyata aku milih maling"'', ah ini bebas kalau ini kalau bebas gini yo ya kalau dosa, dosanya lebih besarlah. ''"Ya saya memperkosa sih Pak tapi terpaksa saya"'', ''"pak loh saya diancam ya kalau enggak diperkosa saya dibunuh"'', misalnya.<br>Jadi keterpaksaan itu mengurangi nilai moral, ketidakbebasan mengurangi nilai moral. Ini, teori ini dari [[Immanuel Kant]], era modern juga. Ya sama kan kayak adik-adik kita yang kecil, ''"Wah, ini masih umur 3 tahun kok rajin ke masjid ya?"'' itu kan dia belum paham, belum ngerti, mungkin disuruh saja, mungkin diajak saja. Itu kan nilainya beda dengan kita yang sudah besar. ''"Wah ini sudah besar masih rajin ke masjid ya."'', itu kan beda dengan yang masih kecil rajin ke masjid biasanya kan masih kecil aja ke masjid kalau sudah besar malas ke masjid. Nah, jadi yang nomor empat yang dikembangkan oleh Sultan Takdir itu kebebasan.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=<u>Yang nomor 5</u> tentu saja <u>kemajuan</u>. Ya tentu saja hidup ini harus  progres, harus maju, jangan statis jangan,  mandek apalagi  mundur. tadi saya bilang kita ternyata  sejak tahun 1935 nak berubah-berubah sampai hari ini, itu berarti kita mandek,  tidak  maju.}}
isi=<u>Yang nomor 5</u> tentu saja <u>kemajuan</u>. Ya tentu saja hidup ini harus  progres, harus maju, jangan statis jangan,  mandek apalagi  mundur. Tadi saya bilang kita ternyata  sejak tahun 1935 ndak berubah-berubah sampai hari ini, itu berarti kita mandek,  tidak  maju.}}
 
{{timeline|tc=00:00:00,000|
yang keenam idealisme ini beliau banyak terpengaruh  oleh  Hegel
isi=Yang keenam, idealisme. Ini beliau banyak terpengaruh  oleh  Hegel. Beliau sering pakai istilah geist, geist itu semacam ruhnya dunia, jiwanya hidup ini, itu namanya geist. Jadi hidup ini selalu berkembang, ada ruhnya.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Yo kayak hari ini misalnya, dunia hari ini itu ruhnya itu digital, gaya berpikir digital, apa-apa sambungannya digital, dan lain sebagainya, dulu apa, sekarang apa, berubah terus, ini idealismenya Hegel, kan begitu.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Dulu kita pernah belajar filsafat sejarahnya Hegel. Nah maunya Sutan Takdir begitu. Hidup ini yo jangan statis, jangan mandek, yo maju, progres, dulu apa, sekarang apa, terus berkembang.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Baik, jadi ini akar pikirannya. Jadi saya ndak panjang-panjang karena sudah pernah panjang lebar saya jelaskan tentang renaisan dan humanisme modern.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Nah saya lanjutkan sekarang. Asumsinya Sutan Takdir, bagi beliau fitrahnya manusia itu antara lain, dia adalah pencipta kebudayaan. Jadi ini nanti ada hubungannya dengan pandangannya tentang budaya Indonesia, Budaya nasional.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Kita itu kan selama ini mengagung-agungkan budaya nasional kita, budaya lama. Ndak ada salahnya mungkin menghargai budaya lama, tapi kalau gara-gara itu terus kita mandek, kita tidak lagi jadi makhluk pencipta budaya, kita salah orientasi.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Wong kita itu mulia karena kreativitas kita, karya kita. Kalau kita hanya mengagumi masa lalu saja dan tidak ngapa-ngapain, yo kita sedang ada di jalur yang keliru, karena fitrah kita itu pencipta budaya.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Kita kan sering "Woh, Indonesia zaman dulu itu luar biasa, Islam itu luar biasa" dulu, lah sekarang kamu ngapain? ndak ngapa-ngapain ya wes pokoknya mengagumi saja masa lalu", nah ini, ini yang dirasakan oleh Sutan Takdir.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Jadi manusia itu pencipta budaya. Jangan biarkan dirimu ndak ngapa-ngapain, bukan berarti salah kamu menghargai, menghormati budayamu, masa lalumu. Tapi kalau hanya itu saja yang kamu lakukan dan situasinya ndak progres, ndak maju, mandek, nah itu salah kita.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Kata Sutan Takdir manusia itu punya dua kodrat, yang pertama makhluk alam, yang kedua makhluk budi. Ini saya ndak tahu, mungkin pandangan tentang budi ini zaman itu banyak dipakai orang, kalau menyebut akal itu biasanya gandeng dengan akal budi, untuk menyebut intelektualitas manusia. Karena akal budi inilah bedanya manusia dengan yang bukan manusia.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Jadi kita itu makhluk alam, yo makhluk budi. Itu mungkin karena ini dulu buku-buku SD zaman saya itu yo kalau ngambil tokoh selalu Budi. Ini Budi, Ini bapak Budi, itu mungkin pelan-pelan mengajarkan tentang Budi. Saya ndak tahu bahasa Indonesia hari ini masih ada budi atau ndak? atau Budinya sudah tua jadi ndak ada lagi di buku SD.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Jadi, kita makhluk alam, kalau ini statis, jadi ada polanya, ada sunatullahnya. Kalau ini paket pakem, sisi fisik kita. Tapi sisi batin kita, tidak. Jadi sesuatu yang harus dielaborasi, dikembangkan. Dengan inilah kita nanti milih ingin hidup seperti apa kita itu. Nah ini, karena apa karena kita makhluk Budi. Kalau hewan ndak. Kita bisa milih, binatang tidak. Binatang itu paket sudah, seperti kita yang aspek jasmani kita.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Jadi binatang zaman dulu sampai zaman sekarang ya tetap seperti itu. Unta zaman Nabi dengan unta hari ini ya begitu. Ayam zaman dulu ayam hari ini ya tetap seperti itu, ndak berubah, gak pernah kok Ayam itu punya ide "Wah ini saya kok bajunya ndak ganti-ganti ya Gimana caranya misalnya" atau "Makannya enaknya diversifikasi yang apa" ndak ndak mikir itu. Tapi kalau manusia Iya. Sapi itu ya seperti itu terus. Dia nak pernah mikir "wah ini sudah dekat-dekat Idul Adha ini, gimana caranya melarikan diri", ya dia gak mikir gitu. Jadi ngertine ya wis pokok seperti itu hidupnya. Beda dengan manusia. Nah kuncinya ada pada akal budi. Jadi dia milih nilai-nilai apa yang harus saya hidupkan, hidup seperti apa yang harus saya wujudkan. Itulah yang nanti disebut, dialah pencipta kebudayaan. jadi hasil olah budi dan daya.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Oke lanjut, yo contohnya kebudayaan, jendela misalnya, itu kan karya manusia, sampai ada jendela, kalau orang diam saja Yo Mungkin bentuk jendela ndak seperti itu, seperti orang-orang purba mungkin cuma batu dilubangi. Tapi sekarang gak, ada macam-macam jendela. Ada yang bisa bunyi, ada yang gak bunyi.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Oke saya lanjut, itu budaya ya, lanjut. Nah, maka nanti oleh Sultan Takdir, beliau mendefinisikan budaya itu "penjelmaan keaktifan budi manusia menanggapi persoalan-persoalan hidup dan nilai-nilai". Ini sebelum masuk ke polemik ya, kita pelajari dulu dasarnya. Jadi budaya itu penjelmaan budi dan daya kita. Jadi, berarti apa? eksistensi kita sebagai manusia itu ditentukan pada "Apakah kita berbudi dan berdaya?". Buktinya apa? Karya.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Jadi dasarnya budi Itu kan pikiran, kesadaran kita, kemampuan kita bernalar. Kalau daya, itu kemampuan kita menghasilkan sesuatu. Karyamu apa? Ah itu hubungannya nanti dengan budaya, yang bisa kita lahirkan itulah nanti jadi budaya. Hasil dari budi dan daya kita, hasil dari pikiran kita untuk menanggapi problem-problem hidup.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Budaya hari ini kita pakai smartphone misalnya, itu kan menanggapi problem komunikasi jarak jauh. Manusia merancang telepon kemudian HP biasa kemudian sekarang ada smartphone mungkin besok apaagi? Seperti artificial intelligence kemarin itu kan bagian dari budaya dan peradaban kita hari ini.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Jadi kuncinya, budaya itu ternyata di sini, jadi manusia itu eksis ketika dia berbudi dan berdaya, berpikir dan menghasilkan sesuatu. Ini nanti jadi pijakan beliau sehingga pandangan-pandangan beliau agak disebut orang liberal westernis.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Nah ini dikutip juga oleh Sutan Takdir, "Apa sih isinya budaya?", isinya budaya itu konfigurasi nilai-nilai. Isinya budaya itu nilai. Ada nilai-nilai teoritis. Ini yang berhubungan dengan "benar salah". Jadi mana yang dianggap benar dalam satu budaya, mana yang dianggap salah dalam satu budaya, itu namanya nilai teoritis.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Kemudian ada nilai ekonomis, ada untung rugi. "Wah ikut ngaji ini, untung ya dapat teh gratis dapat kenalan baru dapat...", Ah ini nilai ekonomis namanya, peritungan untung rugi dalam satu budaya. "Jangan mengadopsi teknologi itu nanti kita rugi. Ambil saja yang ini nanti kita untung," dan lain sebagainya. Itu nilai dalam satu budaya.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Ada nilai religius, kalau nilai religius itu di satu budaya biasanya ada persepsi tentang "Oh ini sakral, ini profan ini harus kita hormati kita hargai, kalau ini biasa saja". Nah ,kalau ke masjid nyopot sandal ya nyopot sepatu, ah tapi kalau ke kampus gak usah misalnya karena masjid lebih sakral misalnya. Ini namanya nilai religius. ada dalam satu budaya.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Kemudian ada Nilai estetik. Kalau nilai estetik itu indah atau tidak indah. Nah setiap klustter budaya pasti punya persepsi tentang indah dan tidak indah ini.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Kemudian ada nilai politis tentang kekuasaan dan ketundukan. Kita harus patuh pada siapa? atau kita harus menguasai apa, dan siapa. Nah itu namanya nilai-nilai politik yang ada dalam satu budaya.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Yang terakhir nilai sosial, nilai sosial ini nanti hubungannya dengan, dengan siapa kita harus kerja sama solider dengan siapa kita harus cuek saja, egois saja, kita urusi diri kita sendiri, kapan kita harus kerja sama, kapan kita ngurus diri kita, ini nilai-nilai sosial.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Nah jadi isinya budaya menurut Sutan Takdir ini mengutip Spranger, jadi nilai-nilai dalam budaya ada nilai-nilai, mana benar mana salah mana, untung mana rugi, mana sakral mana profan, mana indah mana tidak indah, mana kekuasaan mana ketundukan. "Oh aku ini penguasa, aku ini pemimpin, jadi harus ngatur" "Oh aku ini yang dipimpin jadi harus tunduk", ini nilai politis namanya. Dan nilai-nilai sosial. Kapan orang Solider, kapan orang ngurusi dirinya sendiri dan lain sebagainya. Nah, jadi ini dasarnya untuk memahami budaya di setiap budaya pasti ada nilai itu.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Baik saya lanjutkan, dasar selanjutnya, ini masih belum polemik ya masih teori-teori tentang budaya. Ada istilah dari Sutan Takdir, yaitu, ini sebenarnya istilah dari tradisi ilmu sosial. Autopoiesis. Jadi autopoiesis itu artinya penciptaan diri sendiri, atau auto itu berarti diri dan poiesis itu artinya penciptaan atau produksi.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Jadi ini satu sistem hidup ketika satu entitas bisa membentuk dirinya sendiri. Jadi ketika syarat-syarat tertentu terpenuhi tentu saja. Jadi ini nanti hubungannya dengan kemandirian, self creation, self organization, self reference, dan juga punya sistem yang tertutup dan terbuka.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Jadi, Sutan Takdir melihat bangsa Indonesia ini harus menuju ke sini. Jadi menuju kondisi self creation, bisa membentuk dirinya sendiri. Kalau saya ingin maju, bisa. Saya ingin sampai sana, saya mampu. Saya ingin melakukan itu, aku ya bisa. Ini namanya self creation.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Yang kedua self organization, ngatur diri nya. Untuk mencapai ke sana aku harus begini, yang sebelah sini harus begitu, dan lain sebagainya namanya self organization.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Terus self referensial, self referensial itu bahan-bahan yang aku butuhkan ada, aku punya, dalam diriku sendiri. Dan yang terakhir, tertutup dan terbuka, tertutup itu yo aku itu identitasku jati diriku ini, tapi aku terbuka, kalau ada yang lebih baik, yang bisa aku ambil, aku ambil. Kalau ada yang lebih produktif yang bisa aku lakukan, aku lakukan. Jadi, aku seperti ini tapi tidak harga mati. Itu namanya sistem tertutup dan terbuka. Ini namanya autoposis. Jadi, yo ini kalau bahasa lainnya, Mandiri.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Kita jadi bangsa mbok yang mandiri, self creation, self organization, self referensial. Tidak mandiri berarti tidak self creation, ndak self creation itu berarti kita tergantung, mau ini tergantung itu, ingin itu tergantung sana lagi, serba tergantung.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Kalau serba tergantung kan kita ndak mandiri. Jadi gimana kalau, bayangkan kalau tiba-tiba diblokir...blokir-blokiran ini terus-terusan? sementara kita ndak bisa bikin situs game sendiri sedahsyat itu, kita nak bisa bikin channel sehebat itu sendiri, kita kan terus bingung. Kenapa begitu? karena selama ini kita tidak self creation, kita ndak produktif, selama ini kita hanya konsumen saja.}}
{{timeline|tc=00:00:00,000|
isi=Mau ndak mau konsumen tergantung dengan produsen. Atau self organization, self organization itu kemampuan ngatur diri. Kalau kita ndak bisa ini, efeknya apa? yo diatur orang lain butuh yang luar yang mengendalikan kita.}}