Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009/BAB IX

Dari Wiki Javasatu
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

(BAB IX)
LALU LINTAS
[sunting | sunting sumber]

Bagian Kesatu
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
[sunting | sunting sumber]

Paragraf 1 - Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Pasal 93[sunting | sunting sumber]
1 Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus;

b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki;

c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;

d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas;

e. pemaduan berbagai moda angkutan;

f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan;

g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau

h. perlindungan terhadap lingkungan.


3 Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan:

a. perencanaan;

b. pengaturan;

c. perekayasaan;

d. pemberdayaan; dan

e. pengawasan.


Pasal 94[sunting | sunting sumber]
1 Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf a meliputi:

a. identifikasi masalah Lalu Lintas;

b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas;

c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang;

d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan;

e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung Kendaraan;

f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas;

g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas;

h. penetapan tingkat pelayanan; dan

i. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas.


2 Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi:

a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan

b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.


3 Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c meliputi:

a. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan Jalan yang tidak berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan;

b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan Jalan yang berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; dan

c. optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam rangka meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan hukum.


4 Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi pemberian:

a. arahan;

b. bimbingan;

c. penyuluhan;

d. pelatihan; dan

e. bantuan teknis.


5 Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e meliputi:

a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan;

b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan

c. tindakan penegakan hukum.


Pasal 95[sunting | sunting sumber]
1 Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) huruf a yang berupa perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk diatur dengan:

a. peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jalan nasional;

b. peraturan daerah provinsi untuk jalan provinsi;

c. peraturan daerah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; atau

d. peraturan daerah kota untuk jalan kota.


2 Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.

Paragraf 2 - Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Pasal 96[sunting | sunting sumber]
1 Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, Pasal 94 ayat (2), Pasal 94 ayat (3) huruf b, Pasal 94 ayat (4), serta Pasal 94 ayat (5) huruf a dan huruf b untuk jaringan jalan nasional.

2 Menteri yang membidangi Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i, serta Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional.

3 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf i, Pasal 94 ayat (3) huruf c, dan Pasal 94 ayat (5).

4 Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan provinsi setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.

5 Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kabupaten dan/atau jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.

6 Walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kota setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.

Pasal 97[sunting | sunting sumber]
1 Dalam hal terjadi perubahan arus Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian.

2 Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan yang bersifat sementara.

3 Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepada instansi terkait.

Pasal 98[sunting | sunting sumber]
1 Penanggung jawab pelaksana Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas wajib berkoordinasi dan membuat analisis, evaluasi, dan laporan pelaksanaan berdasarkan data dan kinerjanya.

2 Laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Kedua
Analisis Dampak Lalu Lintas
[sunting | sunting sumber]

Pasal 99[sunting | sunting sumber]
1 Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.

2 Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:

a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan;

c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak;

d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan

e. rencana pemantauan dan evaluasi.


3 Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang-undangan.

Pasal 100[sunting | sunting sumber]
1 Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat.

2 Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 101[sunting | sunting sumber]

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dan Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan Petugas yang Berwenang
[sunting | sunting sumber]

Paragraf 1 - Syarat dan Prosedur Pemasangan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan Marka Jalan

Pasal 102[sunting | sunting sumber]
1 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan yang bersifat perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk pada jaringan atau ruas Jalan pemasangannya harus diselesaikan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pemberlakuan peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1).

2 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemasangan.

3 Ketentuan lebih lanjut mengenai kekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2 - Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas

Pasal 103[sunting | sunting sumber]
1 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan.

2 Rambu Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Marka Jalan.

3 Dalam hal terjadi kondisi kemacetan Lalu Lintas yang tidak memungkinkan gerak Kendaraan, fungsi marka kotak kuning harus diutamakan daripada Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 3 - Pengutamaan Petugas

Pasal 104[sunting | sunting sumber]
1 Dalam keadaan tertentu untuk Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan:

a. memberhentikan arus Lalu Lintas dan/atau Pengguna Jalan;

b. memerintahkan Pengguna Jalan untuk jalan terus;

c. mempercepat arus Lalu Lintas;

d. memperlambat arus Lalu Lintas; dan/atau

e. mengalihkan arah arus Lalu Lintas.


2 Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diutamakan daripada perintah yang diberikan oleh Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.

3 Pengguna Jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4 Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Keempat
Tata Cara Berlalu Lintas
[sunting | sunting sumber]

Paragraf 1 - Ketertiban dan Keselamatan

Pasal 105[sunting | sunting sumber]

Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib:

a. berperilaku tertib; dan/atau

b. mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan.

Pasal 106[sunting | sunting sumber]
1 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.

2 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.

3 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan.

4 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan:

a. rambu perintah atau rambu larangan;

b. Marka Jalan;

c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;

d. gerakan Lalu Lintas;

e. berhenti dan Parkir;

f. peringatan dengan bunyi dan sinar;

g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau

h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain.


5 Pada saat diadakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor wajib menunjukkan:

a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat

Tanda Coba Kendaraan Bermotor;

b. Surat Izin Mengemudi;

c. bukti lulus uji berkala; dan/atau d. tanda bukti lain yang sah.


6 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan.

7 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

8 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

9 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.

Paragraf 2 - Penggunaan Lampu Utama

Pasal 107[sunting | sunting sumber]
1 Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.

2 Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.

Paragraf 3 - Jalur atau Lajur Lalu Lintas

Pasal 108[sunting | sunting sumber]
1 Dalam berlalu lintas Pengguna Jalan harus menggunakan jalur Jalan sebelah kiri.

2 Penggunaan jalur Jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika:

a. Pengemudi bermaksud akan melewati Kendaraan di depannya; atau

b. diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk digunakan sementara sebagai jalur kiri.


3 Sepeda Motor, Kendaraan Bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang, dan Kendaraan Tidak Bermotor berada pada lajur kiri Jalan.

4 Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului Kendaraan lain.

Pasal 109[sunting | sunting sumber]
1 Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan melewati Kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur Jalan sebelah kanan dari Kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.

2 Dalam keadaan tertentu, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

3 Jika Kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati Kendaraan tersebut.

Pasal 110[sunting | sunting sumber]
1 Pengemudi yang berpapasan dengan Kendaraan lain dari arah berlawanan pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas wajib memberikan ruang gerak yang cukup di sebelah kanan Kendaraan.

2 Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika terhalang oleh suatu rintangan atau Pengguna Jalan lain di depannya wajib mendahulukan Kendaraan yang datang dari arah berlawanan.

Pasal 111[sunting | sunting sumber]

Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bagi Kendaraan untuk saling berpapasan, Pengemudi Kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi kesempatan jalan kepada Kendaraan yang mendaki.

Paragraf 4 - Belokan atau Simpangan

Pasal 112[sunting | sunting sumber]
1 Pengemudi Kendaraan yang akan berbelok atau berbalik arah wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan.

2 Pengemudi Kendaraan yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat.

3 Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.

Pasal 113[sunting | sunting sumber]
1 Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi wajib memberikan hak utama kepada:

a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah cabang persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas atau Marka Jalan;

b. Kendaraan dari Jalan utama jika Pengemudi tersebut datang dari cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari pekarangan yang berbatasan dengan Jalan;

c. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan sebelah kiri jika cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih dan sama besar;

d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri di persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus; atau

e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus.


2 Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali Lalu Lintas yang berbentuk bundaran, Pengemudi harus memberikan hak utama kepada Kendaraan lain yang datang dari arah kanan.

Pasal 114[sunting | sunting sumber]

Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan Jalan, Pengemudi Kendaraan wajib:

a. berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain;

b. mendahulukan kereta api; dan

c. memberikan hak utama kepada Kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

Paragraf 5 - Kecepatan

Pasal 115[sunting | sunting sumber]

Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang:

a. mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau

b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain.

Pasal 116[sunting | sunting sumber]
1 Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan Rambu Lalu Lintas.

2 Selain sesuai dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika:

a. akan melewati Kendaraan Bermotor Umum yang sedang menurunkan dan menaikkan Penumpang;

b. akan melewati Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring;

c. cuaca hujan dan/atau genangan air;

d. memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas;

e. mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kereta api; dan/atau

f. melihat dan mengetahui ada Pejalan Kaki yang akan menyeberang.


Pasal 117[sunting | sunting sumber]

Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus mengamati situasi Lalu Lintas di samping dan di belakang Kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan Kendaraan lain.

Paragraf 6 - Berhenti

Pasal 118[sunting | sunting sumber]

Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali:

a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh;

b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau

c. di jalan tol.

Pasal 119[sunting | sunting sumber]
1 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan dan/atau menaikkan Penumpang wajib memberi isyarat tanda berhenti.

2 Pengemudi Kendaraan yang berada di belakang Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan kendaraannya sementara.

Paragraf 7 - Parkir

Pasal 120[sunting | sunting sumber]

Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.

Pasal 121[sunting | sunting sumber]
1 Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan.

2 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping.

Paragraf 8 - Kendaraan Tidak Bermotor

Pasal 122[sunting | sunting sumber]
1 Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang:

a. dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik oleh Kendaraan Bermotor dengan kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan;

b. mengangkut atau menarik benda yang dapat merintangi atau membahayakan Pengguna Jalan lain; dan/atau

c. menggunakan jalur jalan Kendaraan Bermotor jika telah disediakan jalur jalan khusus bagi Kendaraan Tidak Bermotor.


2 Pesepeda dilarang membawa Penumpang, kecuali jika sepeda tersebut telah dilengkapi dengan tempat Penumpang.

3 Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi Kendaraan lain untuk mendahului.

Pasal 123[sunting | sunting sumber]

Pesepeda tunarungu harus menggunakan tanda pengenal yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang sepedanya.

Paragraf 9 - Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum

Pasal 124[sunting | sunting sumber]
1 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek wajib:

a. mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan;

b. memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas;

c. menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah;

d. memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang;

e. menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan

f. mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.


2 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek dengan tarif ekonomi wajib mengangkut anak sekolah.

Pasal 125[sunting | sunting sumber]

Pengemudi Kendaraan Bermotor angkutan barang wajib menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan.

Pasal 126[sunting | sunting sumber]

Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:

a. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan;

b. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan;

c. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau

d. melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek.

Bagian Kelima
Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas
[sunting | sunting sumber]

Paragraf 1 - Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas yang Diperbolehkan

Pasal 127[sunting | sunting sumber]
1 Penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.

2 Penggunaan jalan nasional dan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional.

3 Penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi.

Paragraf 2 - Tata Cara Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas

Pasal 128[sunting | sunting sumber]
1 Penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) yang mengakibatkan penutupan Jalan dapat diizinkan jika ada jalan alternatif.

2 Pengalihan arus Lalu Lintas ke jalan alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sementara.

3 Izin penggunaan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 3 - Tanggung jawab

Pasal 129[sunting | sunting sumber]
1 Pengguna Jalan di luar fungsi Jalan bertanggung jawab atas semua akibat yang ditimbulkan.

2 Pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (3) bertanggung jawab menempatkan petugas pada ruas Jalan untuk menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 130[sunting | sunting sumber]

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, Pasal 128, dan Pasal 129 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas
[sunting | sunting sumber]

Pasal 131[sunting | sunting sumber]
1 Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.

2 Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang Jalan di tempat penyeberangan.

3 Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.

Pasal 132[sunting | sunting sumber]
1 Pejalan Kaki wajib:

a. menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau Jalan yang paling tepi; atau

b. menyeberang di tempat yang telah ditentukan.


2 Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejalan Kaki wajib memperhatikan Keselamatan dan Kelancaran Lalu Lintas.

3 Pejalan Kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda khusus yang jelas dan mudah dikenali Pengguna Jalan lain.

Bagian Ketujuh
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas
[sunting | sunting sumber]

Pasal 133[sunting | sunting sumber]
1 Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan Ruang Lalu Lintas dan mengendalikan pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan Lalu Lintas berdasarkan kriteria:

a. perbandingan volume Lalu Lintas Kendaraan Bermotor dengan kapasitas Jalan;

b. ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum; dan

c. kualitas lingkungan.


2 Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:

a. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;

b. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;

c. pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;

d. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan klasifikasi fungsi Jalan;

e. pembatasan ruang Parkir pada kawasan tertentu dengan batasan ruang Parkir maksimal; dan/atau

f. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Tidak Bermotor Umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu.


3 Pembatasan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4 Manajemen kebutuhan Lalu Lintas ditetapkan dan dievaluasi secara berkala oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan lingkup kewenangannya dengan melibatkan instansi terkait.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen kebutuhan Lalu Lintas diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kesembilan
Sanksi Administratif
[sunting | sunting sumber]

Pasal 136[sunting | sunting sumber]
1 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 128 dikenai sanksi administratif.

2 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara pelayanan umum;

c. penghentian sementara kegiatan;

d. denda administratif;

e. pembatalan izin; dan/atau

f. pencabutan izin.


3 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.