Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Dari Wiki Javasatu
Revisi sejak 25 September 2023 10.58 oleh Adminjavasatu (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '{{Infobox Legislature | background_color = #f1c647 | text_color = #000000 | name = Dewan Perwakilan Daerah<br />Republik Indonesia | legislature = Periode 2019–2024 | coa_pic = Coat of arms of the Regional Representative Council of Indonesia.svg | coa_res = 170px | house_type = Majelis Tinggi | body = | leader1_type = Ketua |...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Templat:Infobox Legislature Templat:Tata Negara Republik Indonesia Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (disingkat DPD RI atau DPD), sebelum 2004 disebut Fraksi Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum serta merupakan majelis tinggi dalam lembaga legislatif. Adapun, anggota DPD RI biasa disebut senator.[1] Bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, keduanya membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Dewan Perwakilan Daerah merupakan bentuk perwujudan lembaga perwakilan daerah di Indonesia. Lembaga perwakilan daerah, atau biasa disebut majelis tinggi (upper house) secara internasional, telah ada sejak lama di Indonesia. Sebelum DPD dibentuk, telah terdapat lembaga Senat RIS, yang mewakili 16 negara bagian RIS. Pada saat yang bersamaan, di Negara Indonesia Timur, terdapat pula Senat Sementara NIT yang mewakili 13 provinsi dalam NIT. Setelah RIS dan NIT dibubarkan, Senat pun ditiadakan, sehingga tidak ada lagi majelis tinggi/lembaga yang merepresentasikan kepentingan daerah di Indonesia.

Kemudian, pada tahun 1959, setelah diberlakukannya dekrit presiden dan kembalinya Indonesia pada UUD 1945, Presiden Soekarno membentuk lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang didalamnya terdapat kelompok Utusan Daerah. Kelompok ini terdiri dari wakil-wakil provinsi yang dipilih oleh DPRD Provinsi. Kelompok Utusan Daerah akan tetap bertahan hingga tahun 2004.[butuh rujukan] Utusan Daerah baru digantikan oleh Dewan Perwakilan Daerah setelah berlangsungnya Pemilihan umum legislatif Indonesia 2004. Penggantian ini telah digagas sebelum Pemilihan umum legislatif Indonesia 1999 sebagai upaya untuk meningkatkan fungsi Utusan Daerah sebagai bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.[2]

Senat RIS (1950)[sunting | sunting sumber]

Senat Republik Indonesia Serikat merupakan majelis tinggi yang terdapat pada sistem parlemen Republik Indonesia Serikat. Senat RIS dibentuk pada tanggal 15 Februari 1950 dengan dasar hukum Konstitusi RIS. Senat RIS terdiri dari 32 anggota, dengan 2 anggota yang mewakili tiap negara bagian RIS. Anggota senat ditunjuk oleh tiap negara bagian dalam RIS. Calon-calon anggota senat dari tiap negara bagian diajukan oleh parlemen dari negara bagian yang bersangkutan (Pasal 81 Konstitusi RIS). Calon diterima sebagai anggota senat apabila surat-surat kepercayaannya dari negara bagian yang bersangkutan telah diverifikasi (Pasal 7 Tata Tertib Senat RIS).

Sidang pertama Senat RIS dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 1950. Sidang ini dilaksanakan untuk membahas mengenai posisi ketua dan wakil ketua Senat RIS. Sidang ini berhasil memilih Pellaupessy (NIT) sebagai Ketua dan Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua.[3]

Tata Tertib Senat RIS, yang dibuat dan disahkan oleh Panitia Tata Tertib Senat RIS pada tanggal 22 Februari 1950, berisi mengenai pemeriksaan surat-surat kepercayaan, pemeriksaan persiapan, usul dan saran kepada Senat. Berdasarkan tata tertib tersebut, terdapat lima badan khusus yang berfungsi untuk membantu Senat dalam melaksanakan tugas-tugasnya: Panitia Pemeriksa Surat-Surat Kepercayaan, Panitia Permusyawaratan, Panitia Rumah Tangga, Panitia Permohonan, dan Majelis Persiapan.[4]

Selama masa hidupnya yang singkat (15 Februari 1950 − 16 Agustus 1950), hanya ada satu dari 7 undang-undang federal dan 30 undang-undang darurat yang disahkan pemerintah dengan persetujuan Senat RIS, yakni UU No.7 Tahun 1950 mengenai perubahan UUD RIS menjadi UUD Sementara. Adapun dari 30 undang-undang darurat, terdapat 12 undang-undang darurat yang disahkan dengan mendengarkan pertimbangan dari Senat RIS.[5]

Senat Sementara Negara Indonesia Timur[sunting | sunting sumber]

Senat Sementara Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan majelis tinggi yang terdapat pada parlemen NIT. Senat Sementara dibentuk dengan dasar hukum UUD Sementara NIT dan UU Senat Sementara NIT tahun 1948. Senat ini terdiri dari 13 anggota, dengan tiap anggota mewakili 13 wilayah yang terdapat di Indonesia Timur. Anggota Senat Sementara NIT dilantik pada tanggal 28 Mei 1949 oleh Presiden NIT, Soekawati.[6]

Berdasarkan undang-undang ini, Senat Sementara NIT memiliki kewenangan untuk mengesahkan rancangan UUD yang diajukan oleh Badan Perwakilan Sementara (setingkat DPR) di NIT. Setelah UUD disahkan, UUD akan diberlakukan, kemudian senat sementara akan dibubarkan dan digantikan oleh Senat yang bersifat tetap. Senat yang tetap ini akan diberikan wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan Senat Sementara.[6]

Pada pelaksanaannya, rancangan UUD tidak pernah disahkan, dikarenakan NIT yang bubar sekitar 1½ tahun setelah pembentukan senat sementara. Senat yang tetap tidak pernah terbentuk, sehingga tugas-tugas pokok dan fungsi majelis tinggi dalam Parlemen NIT hanya bersifat de jure saja.[6]

Fraksi Utusan Daerah (F-UD) di Majelis Permusyawaratan Rakyat[sunting | sunting sumber]

Setelah pembubaran Senat RIS, maka secara praktis tidak ada lagi organisasi/fraksi yang mewakili kepentingan daerah di dalam parlemen Indonesia, kecuali fraksi Kesatuan yang mewakili Papua. Kepentingan daerah baru kembali terakomodasi melalui fraksi Utusan Daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dibentuk melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dan anggotanya dilantik pada tanggal 15 September 1960. Susunan MPRS — sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 12 tahun 1959 — terdiri atas anggota DPR Gotong Royong (DPR-GR), utusan daerah, dan golongan karya (Pasal 1).

Komposisi keanggotaan tiap provinsi dalam fraksi Utusan Daerah (F-UD) diambil berdasarkan jumlah penduduk dari tiap provinsi. Untuk provinsi yang berpenduduk lebih dari 3 juta akan memperoleh 5 orang wakil dalam F-UD, untuk provinsi yang memiliki penduduk antara 1 sampai 3 juta orang akan memperoleh 4 orang wakil dalam F-UD, sedangkan untuk provinsi yang memiliki penduduk kurang dari 1 juta orang akan memperoleh 3 orang wakil dalam F-UD (Pasal 2 Penjelasan Perpres). Calon wakil untuk F-UD dicalonkan oleh DPRD provinsi yang bersangkutan, dengan jumlah calon maksimal dua kali jatah yang telah ditetapkan oleh Perpres. Presiden kemudian akan memilih wakil untuk F-UD dari tiap provinsi.[7]

Dari peraturan tersebut maka diperoleh jumlah keseluruhan anggota F-UD sebanyak 94 orang anggota. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingan dengan golongan karya yang memiliki 200 orang anggota, ataupun DPR-GR yang memiliki 257 orang anggota.[8]

Setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, undang-undang baru dibuat untuk mengubah susunan parlemen Indonesia. Susunan MPR yang sebelumnya ditetapkan oleh Perpres No. 12 Tahun 1959 digantikan oleh UU No. 16 Tahun 1969. Berdasarkan UU ini, jumlah anggota F-UD memperoleh kenaikan dari 94 menjadi 110 anggota. Penambahan anggota ini diakibatkan oleh peningkatan jumlah wakil-wakil dari setiap provinsi (Pasal 8 Ayat 1), dan penunjukan gubernur (Pasal 8 Ayat 2), Panglima Kodam, dan Komandan Korem (Keppres No. 83/M Tahun 1972), sebagai anggota ex officio dari F-UD. Akibatnya, jumlah anggota utusan daerah meningkat lagi menjadi 130 orang pada MPR periode 1972-1977, dan pada periode-periode selanjutnya tidak ada peningkatan yang signifikan dalam jumlah anggota.[9]

Pada praktiknya, utusan daerah selama masa Soekarno dan Soeharto tidak banyak memainkan peranan penting dalam menyalurkan aspirasi daerah. Hal ini dikarenakan pemilihannya oleh DPRD yang bersangkutan, sehingga lebih didominasi oleh para pejabat setempat. Selain itu, dipilihnya anggota F-UD oleh presiden membuat F-UD (dan MPR secara keseluruhan) hanya sebagai rubber-stamp parliament, di mana tugas dan fungsinya secara de facto hanyalah menyetujui segala keputusan presiden, baik secara formal maupun informal. Kelemahan lainnya adalah bahwa tidak ada keharusan bagi anggota F-UD untuk berasal dari atau bertempat tinggal di daerah yang diwakilinya. Hanya ada peraturan mengenai usia (maksimal 21 tahun), kewarganegaraan, dan tidak terlibat G30S/PKI, serta syarat normatif lainnya bagi anggota F-UD.[10]

Reformasi yang menggulingkan Presiden Soeharto membawa dampak besar bagi lembaga legislatif, tidak terkecuali bagi F-UD. Pada MPR periode 1999-2004, jumlah anggota F-UD dipotong menjadi 130 anggota[11] dari jumlah pada MPR periode 1997-1999 sebanyak 149 anggota.[12] Berbeda dengan periode sebelumnya, di mana jumlah anggota F-UD dari setiap provinsi disesuaikan dengan jumlah penduduknya, jumlah wakil F-UD dari setiap provinsi disamaratakan sebanyak 5 orang. Meskipun sistem keanggotaan ini sudah mulai menyerupai DPD seperti sekarang, menurut peraturan Tatib MPR, fraksi-fraksi dalam MPR hanya dibagi berdasarkan parpol, TNI/Polri, dan utusan golongan. F-UD dibubarkan dan anggota F-UD masuk ke dalam fraksi parpol menurut partai asal yang mencalonkan mereka dalam pemilihan di DPRD Provinsi.[13]

Hal ini mengakibatkan F-UD tidak lain hanyalah wakil partai politik dalam parlemen, bukan merupakan wakil daerah. Para anggota F-UD yang tidak setuju dengan keputusan ini kemudian membuat secara informal Forum Utusan Daerah,[14] dan fraksi Utusan Daerah kembali disahkan sebagai kelompok dalam MPR pada Sidang Tahunan MPR pada tanggal 1-9 November 2001.[15]

Meskipun begitu, tidak semua anggota MPR dari utusan daerah kembali masuk ke dalam fraksi ini. Dari 130 anggota utusan daerah di MPR, hanya 55 yang kembali masuk ke dalam F-UD. Sisanya tetap bertahan di fraksi partai masing-masing.[16]

Sebagai Dewan Perwakilan Daerah[sunting | sunting sumber]

Setelah reformasi bergulir, perubahan-perubahan dasar ketatanegaraan pun dilangsungkan. Dalam kurun waktu 1999 hingga 2002, telah terjadi empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Salah satu bagian yang diamandemen adalah mengenai susunan lembaga legislatif di Indonesia. MPR yang sebelumnya bersifat unikameral, berubah menjadi bikameral dengan keberadaan DPD.[17]

Tidak seperti F-UD, DPD dipilih langsung oleh masyarakat sehingga DPD bersifat lebih demokratis dalam mewakili aspirasi daerah dibandingkan dengan F-UD. Selain itu, posisi ex officio di dalam DPD pun dihapuskan, sehingga anggota DPD dipilih oleh rakyat secara keseluruhan. Yang terakhir, anggota DPD diharuskan untuk bersikap independen dalam mewakili aspirasi daerahnya, tidak seperti F-UD yang lebih cenderung berpihak ke suatu parpol.[18]

Pembahasan mengenai pembentukan DPD dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 dan pada Rapat Paripurna ke-5, hari Minggu, 4 November 2001. Pada rapat ini, hampir seluruh fraksi dalam MPR menyetujui pembentukan DPD, terkecuali F-PDU (Persatuan Daulat Ummah) yang tidak memberikan tanggapan apapun mengenai pembentukan DPD.[19]

Pembentukan DPD akhirnya disahkan pada tanggal 9 November 2001 dan menjadi bagian dari amandemen ketiga UUD 1945.[20] Meskipun begitu, F-UD tidak serta merta hilang: F-UD tetap bertahan hingga akhir periode 1999-2004.[16] MPR, DPR, dan DPD dengan susunan yang baru terbentuk pada tanggal 1 Oktober 2004, dengan ketua DPD pertama Ginandjar Kartasasmita dan wakil ketua Irman Gusman dan La Ode Ida.[21]

Persyaratan anggota[sunting | sunting sumber]

Syarat Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menurut UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut:

  1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri
  3. Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya
  4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah
  5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
  6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara
  7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara
  8. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
  9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
  10. Terdaftar sebagai Pemilih
  11. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
  12. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945
  13. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
  14. Berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun
  15. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat
  16. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI
  17. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia

Fungsi[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Pasal 248 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, fungsi DPD adalah:

  • pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
  • ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
  • pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama
  • pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Sementara[sunting | sunting sumber]

Sebelum pimpinan tetap dilantik, DPD mengangkat pimpinan sementara untuk memimpin sidang paripurna DPD dan pemilihan ketua dan wakil ketua DPD. Pimpinan sementara terdiri dari ketua dan wakil ketua sementara DPD, dimana ketua sementara merupakan anggota DPD tertua, sedangkan wakil ketua sementara merupakan anggota DPD termuda.

Jika anggota tertua atau termuda berhalangan untuk hadir, maka posisi tersebut bisa digantikan oleh anggota tertua atau termuda berikutnya.

Pimpinan Tetap[sunting | sunting sumber]

Pimpinan tetap DPD terdiri dari seorang ketua dan beberapa wakil ketua.

Anggota[sunting | sunting sumber]

Kekebalan hukum[sunting | sunting sumber]

Anggota DPD tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.

Alat kelengkapan[sunting | sunting sumber]

Alat kelengkapan DPD terdiri atas: Komite, Badan Kehormatan dan Panitia-panitia lain yang diperlukan.

Komite I[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Komite I DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; serta pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.[22]

Lingkup tugas Komite I sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[22]

  • Pemerintah daerah;
  • Hubungan pusat dan daerah serta antar daerah;
  • Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
  • Pemukiman dan kependudukan;
  • Pertanahan dan tata ruang;
  • Politik, hukum, HAM dan ketertiban umum; dan
  • Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara.

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Komite I periode 2014 - 2019 [23]

Komite II[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Komite II DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pengelolaan sumber daya alam; dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya.[24]

Lingkup tugas Komite II sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[24]

  • Pertanian dan Perkebunan;
  • Perhubungan;
  • Kelautan dan Perikanan;
  • Energi dan Sumber daya mineral;
  • Kehutanan dan Lingkungan hidup;
  • Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Daerah Tertinggal;
  • Perindustrian dan Perdagangan;
  • Penanaman Modal; dan
  • Pekerjaan Umum.

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Komite II periode 2014 - 2019:[23]

Komite III[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Komite III DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pendidikan dan agama.[25]

Lingkup tugas Komite III sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[25]

  • Pendidikan;
  • Agama;
  • Kebudayaan;
  • Kesehatan;
  • Pariwisata;
  • Pemuda dan olahraga;
  • Kesejahteraan sosial;
  • Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
  • Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
  • Ekonomi Kreatif;
  • Administrasi Kependudukan/Pencatatan Sipil;
  • Pengendalian Kependudukan/Keluarga Berencana; dan
  • Perpustakaan.

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Komite III periode 2014 - 2019:[23]

Komite IV[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Komite IV DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN; perimbangan keuangan pusat dan daerah; memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan Anggota BPK; pajak; dan usaha mikro, kecil dan menengah.[26]

Lingkup tugas Komite IV sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut:[26]

  • Anggaran pendapat dan belanja negara;
  • Pajak dan pungutan lain;
  • Perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  • Pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK;
  • Lembaga keuangan; dan
  • Koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah.

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Komite IV periode 2014 - 2019:[23]

Panitia Perancang Undang-undang[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[27]

  1. Merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul rancangan undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPD dan setiap tahun anggaran;
  2. Membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
  3. Melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi usul rancangan undang-undang yang disiapkan oleh DPD;
  4. Melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah dan/atau Sidang Paripurna;
  5. Melakukan pembahasan terhadap rancangan undang-undang dari DPR atau Presiden yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah atau Sidang Paripurna;
  6. Melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh komite;
  7. Melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul rancangan undang-undang;
  8. Melakukan tugas atas keputusan Sidang Paripurna dan/atau Panitia Musyawarah;
  9. Mengusulkan kepada Panitia Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPD;
  10. Mengadakan persiapan, pembahasan dan penyusunan RUU yang tidak menjadi lingkup tugas komite;
  11. Mengoordinasikan proses penyusunan RUU yang pembahasannya melibatkan lebih dari 1 (satu) Komite; dan
  12. Membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir tahun sidang dan akhir masa keanggotaan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan Panitia Perancang Undang-Undang pada masa keanggotaan berikutnya

Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas Panitia Perancang Undang-Undang mempunyai tugas:

  1. Memberikan pendapat dan pertimbangan atas permintaan daerah tentang berbagai kebijakan hukum dan tentang masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan daerah dan kepentingan umum;
  2. Memberikan masukan yang objektif kepada pimpinan, pemerintah daerah, dan masyarakat mengenai pelaksanaan pembangunan hukum dan saran-saran lain yang berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang di DPD; dan
  3. Mengoordinasikan secara substansi dan fungsional Pusat Perancangan Kebijakan dan Informasi Hukum Pusat-Daerah (Law Center) DPD.

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Panitia Perancang Undang-undang periode 2014 - 2019:[23]

Panitia Urusan Rumah Tangga[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) merupakan Alat Kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[28]

  1. Membantu pimpinan dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD RI, termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal;
  2. Membantu pimpinan dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal, termasuk pengelolaan kantor DPD RI di daerah;
  3. Membantu pimpinan dalam merencanakan dan menyusun kebijakan anggaran DPD;
  4. Mengawasi pengelolaan anggaran yang dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal;
  5. Mewakili pimpinan melakukan koordinasi dalam rangka pengelolaan sarana dan prasarana kawasan gedung perkantoran MPR, DPR, dan DPD;
  6. Melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh pimpinan berdasarkan hasil Sidang Panitia Musyawarah; dan
  7. Menyampaikan laporan kinerja dalam Sidang Paripurna yang khusus diadakan untuk itu.

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga periode 2014 - 2019:[23]

Badan Kehormatan[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Badan Kehormatan (BK) merupakan Alat Kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[29]

  1. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota DPD karena:
    • tidak melaksanakan kewajiban;
    • tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangantetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun;
    • tidak menghadiri Sidang Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam ) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
    • tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
    • melanggar ketentuan larangan Anggota.
  2. menetapkan keputusan atas hasil penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota;
  3. menyampaikan keputusan sebagaimana atas penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan teradap Anggota pada Sidang Paripurna untu ditetapkan.
  4. selain tugas-tugas sebagaimana di atas BK juga melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD tentang Tata Tertib dan Kode Etik DPD.

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Badan Kehormatan periode 2014 - 2019:[23]

Badan Kerjasama Parlemen[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Badan Kerjasama Parlemen dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[30]

  1. Membina, mengembangkan dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD dan lembaga sejenis, lembaga pemerintah ataupun lembaga nonpemerintah, baik secara regional maupun internasional, atas penugasan Sidang Paripurna ataupun atas dasar koordinasi dengan Panitia Musyawarah, dan Komite;
  2. Mengoordinasikan kegiatan kunjungan kerja yang dilakukan oleh alat kelengkapan baik regional maupun internasional;
  3. Mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kunjungan delegasi lembaga negara sejenis yang menjadi tamu DPD;
  4. Memberikan saran atau usul kepada pimpinan tentang kerjasama antara DPD dan lembaga negara sejenis, baik secara regional maupun internasional;
  5. Mengadakan sidang gabungan dengan pimpinan, Panitia Musyawarah, Panitia Urusan Rumah Tangga, Panitia Perancang Undang-Undang, dan Komite dalam rangka pembentukan delegasi DPD; dan
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan antar lembaga diatur lebih lanjut dengan keputusan Panitia Hubungan Antar Lembaga.

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Badan Kerjasama Parlemen periode 2014 - 2019:[23]

Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah(BPKK DPD) bertugas antara lain mengkaji sistem ketatanegaraan guna mewajudkan lembaga perwakilan daerah yang mengejawantahkan nilai demokrasi. Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok DPD dibantu anggota/pimpinan BPKK DPD.[23]

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan periode 2014 - 2019:[23]

Badan Akuntabilitas Publik[sunting | sunting sumber]

Tugas[sunting | sunting sumber]

Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap mempunyai tugas:[31]

  1. Melakukan penelaahan dan menindaklanjuti temuan BPK yang berindikasi kerugian negara secara melawan hukum;
  2. Menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi dan malaadministrasi dalam pelayanan publik;

Pimpinan[sunting | sunting sumber]

Pimpinan Badan Akuntabilitas Publik periode 2014 - 2019 [23]

Panitia Musyawarah[sunting | sunting sumber]

Panitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas:[32]

  1. Merancang dan menetapkan jadwal acara serta kegiatan DPD, termasuk sidang dan rapat, untuk:
    • 1 (satu) tahun sidang;
    • 1 (satu) masa persidangan; dan
    • sebagian dari suatu masa sidang.
  2. Merancang rencana kerja lima tahunan sebagai program dan arah kebijakan DPD selama 1 (satu) masa keanggotaan;
  3. Rencana kerja lima tahunan sebagai program dan arah kebijakan DPD selama 1 (satu) masa keanggotaan dapat direvisi setiap tahun;
  4. Menyusun rencana kerja tahunan sebagai penjabaran dari rencana kerja lima tahunan;
  5. Merancang dan menetapkan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah;
  6. Merancang dan menetapkan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi hak sidang Paripurna untuk mengubahnya;
  7. Memberikan pendapat kepada pimpinan dalam penanganan masalah menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPD;
  8. Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPD yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut pelaksanaan tugas setiap alat kelengkapan tersebut
  9. Menentukan penanganan terhadap pelaksanaan tugas DPD oleh alat kelengkapan DPD;
  10. Membahas dan menentukan mekanisme kerja antar alat kelengkapan yang tidak diatur dalam Tata Tertib; dan
  11. Merumuskan agenda kegiatan Anggota di daerah.

Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas, Panitia Musyawarah mempunyai tugas menyusun rencana kegiatan untuk disampaikan kepada Panitia Urusan Rumah Tangga dalam penentuan dukungan anggaran.

Sekretariat Jenderal[sunting | sunting sumber]

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal DPD yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat Jenderal DPD dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPD.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. Aprionis (2020-01-09). Ferdinand, Yuniardi, ed. "Ketua DPD RI perintahkan senator turun ke daerah". ANTARA News. Diakses tanggal 2021-10-04. 
  2. Mahmuzar (Februari 2019). Parlemen Bikameral di Negara Kesatuan: Studi Konstitusional Kehadiran DPD di NKRI (PDF). Bandung: Penerbit Nusa Media. hlm. 122–123. ISBN 978-602-6913-70-8. 
  3. Templat:Harvnb
  4. Templat:Harvnb
  5. Templat:Harvnb
  6. 6,0 6,1 6,2 Templat:Harvnb
  7. Sebagai contoh, Provinsi Jawa Barat memiliki jatah 5 orang wakil dalam F-UD. Maka, DPRD Jawa Barat berhak mencalonkan maksimal 10 orang wakil (dua kali lipat jatah) dalam F-UD. Kemudian, presiden akan menunjuk 5 orang dari daftar calon tersebut untuk menduduki posisi di F-UD.
  8. Templat:Harvnb
  9. Jumlah anggota Utusan Daerah dari tahun 1971 hingga 1997 mengalami kenaikan secara minim. Hal ini disebabkan oleh proses integrasi secara bertahap provinsi Irian Jaya dan Timor Timur ke dalam lembaga legislatif, dan perubahan undang-undang yang mengatur komposisi anggota DPR/MPR, mulai dari UU No. 16 Tahun 1969 hingga UU No. 2 Tahun 1985. Lihat Pemerintah RI 1992, hlm. 3-4; Departemen Penerangan RI 1992, hlm. 30
  10. Templat:Harvnb
  11. Pada pelantikan anggota MPR tanggal 1 Oktober 1999, terdapat 135 anggota F-UD. Setelah Provinsi Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia, anggota F-UD dari Timor Timur ditarik balik.
  12. Templat:Harvnb
  13. Templat:Harvnb
  14. Kompas, 12 Juni 2000
  15. Templat:Harvnb
  16. 16,0 16,1 Templat:Harvnb
  17. Templat:Harvnb
  18. Templat:Harvnb
  19. Templat:Harvnb
  20. Templat:Harvnb
  21. Kompas, 2 Oktober 2004
  22. 22,0 22,1 <http://www.dpd.go.id/alatkelengkapan/komite-i Diarsipkan 2014-10-08 di Wayback Machine. Komite I DPD RI>
  23. 23,00 23,01 23,02 23,03 23,04 23,05 23,06 23,07 23,08 23,09 23,10 :Jurnal Parlemen: Ini Formasi Alat Kelengkapan DPD Tahun Sidang 2014-2015 Diarsipkan 2015-04-03 di Wayback Machine.
  24. 24,0 24,1 <http://www.dpd.go.id/alatkelengkapan/komite-ii Diarsipkan 2014-10-08 di Wayback Machine. Komite II DPD RI>
  25. 25,0 25,1 <http://www.dpd.go.id/alatkelengkapan/komite-iii Diarsipkan 2014-10-08 di Wayback Machine. Komite III DPD RI>
  26. 26,0 26,1 http://www.dpd.go.id/alatkelengkapan/komite-iv Diarsipkan 2014-10-08 di Wayback Machine. Komite IV DPD RI>
  27. "Panitia Perancang Undang-undang DPD RI". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-08. Diakses tanggal 2014-11-25. 
  28. "Panitia Urusan Rumah Tangga". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-08. Diakses tanggal 2014-11-25. 
  29. "Badan Kehormatan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-08. Diakses tanggal 2014-11-25. 
  30. "Badan Kerjasama Parlemen". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-23. Diakses tanggal 2014-11-25. 
  31. "Badan Akuntabilitas Publik". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-18. Diakses tanggal 2014-11-25. 
  32. "Panitia Musyawarah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-08. Diakses tanggal 2014-11-25. 

Bibliografi[sunting | sunting sumber]

  • Bastiaans, W. Ch. J. (1950), Personalia Van Staatkundige Eenheden (Regering en Volksvertegenwoordiging) in Indonesie (per 1 Sept. 1949) (PDF), Jakarta, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-10-23, diakses tanggal 2020-06-12 
  • Departemen Penerangan RI (1992), Daftar Nama-Nama Anggota DPR, MPR, dan DPRD Tingkat I Hasil Pemilihan Umum 1992 (dalam bahasa Indonesian), Jakarta 
  • Departemen Penerangan RI (1998), Nama Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang Terpilih dan yang Diangkat serta yang Pergantian Antarwaktu Masa Bakti Tahun 1997-2002 (dalam bahasa Indonesian), Jakarta 
  • Efriza, Rozi; Syafuan (2010), Parlemen Indonesia: Geliat Volksraad hingga DPD, Penerbit Alfabeta 
  • Jaweng, Robert Endi; Siahaan, Henry; Armanjaya, Lexy; Adinabung, Adian (2005), Mengenal DPD-RI: Sebuah Gambaran Awal, Jakarta: Institute for Local Development 
  • Tim Penyusun Sejarah (1970), Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (PDF), Jakarta: Sekretariat DPR-GR