Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022/Penjelasan

Dari Wiki Javasatu
Revisi sejak 30 Oktober 2023 17.34 oleh Adminjavasatu (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ' PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

I. UMUM

1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara.

Pembagian ...

SK No 104173 A

PE SIDEN EPLBLIK INDONESIA

-2

Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.

Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.

2. Sistem ...

SK No 104123 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 3

2. Sistem Pajak dan Retribusi

Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).

Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.

Lebih ...

SK No 104124 A SeR

%

PRE SIDEN REPLIBLIK INDONESIA

- 4

Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.

Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

3. TKO

TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKO meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa.

Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi. Reformulasi ... SK No 104125 A

PWESIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 5

Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiskal sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah.

TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja.

Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

4. Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan

Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Selain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan.

Daerah ...

SK No 104126 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 6

Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/ atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Sadan U saha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.

5. Pengelolaan Belanja Daerah

Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optimal mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output dan/ atau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional.

Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penyusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja.

Lebih ...

SK No 104127 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

-7

Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasan. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah.

Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.

6. Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional

Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan fiskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur.

Dengan ...

SK No 104128 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 8

Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.

Pasal 2 Cukup jelas.

Pasal 3 Cukup jelas.

Pasal 4 Cukup jelas.

Pasal 5 Cukup jelas.

Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Hurufb Cukup jelas.

Ayat (3) ...

SK No 104129 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

-9

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 7 Cukup jelas.

Pasal 8 Cukup jelas.

Pasal 9 Cukup jelas.

Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing masmg diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.

Ayat (3) ...

SK No 104130 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 10

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 11 Cukup jelas.

Pasal 12 Ayat (1) BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kepabeanan, contoh: 1. kendaraan yang dibawa oleh wisatawan; 2. kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan 3. kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Huruf c Cukup jelas.

Ayat (5) ...

SK No 104176 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 11

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 13 Cukup jelas.

Pasal 14 Cukup jelas.

Pasal 15 Cukup jelas.

Pasal 16 Cukup jelas.

Pasal 17 Cukup jelas.

Pasal 18 Cukup jelas.

Pasal 19 Cukup jelas.

Pasal 20 Cukup jelas.

Pasal 21 Cukup jelas.

Pasal 22 Cukup jelas.

Pasal 23 Cukup jelas.

Pasal 24 Cukup jelas.

Pasal 25 Cukup jelas.

Pasal 26 ...

SK No 104132 A

PWESIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 12

Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 27 Cukup jelas.

Pasal 28 Cukup jelas.

Pasal 29 Cukup jelas.

Pasal30 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 31 ...

SK No 104133 A

PRE SIDEN EPLBLIK INDONESIA

- 13 -

Pasal 31 Cukup jelas.

Pasal 32 Cukup jelas.

Pasal 33 Cukup jelas.

Pasal34 Cukup jelas.

Pasal 35 Cukup jelas.

Pasal 36 Cukup jelas.

Pasal 37 Cukup jelas.

Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas.

Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas.

Huruf g ...

SK No 104134 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 14

Pasal 39 Huruf g Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun. Hurufh Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Cukup jelas.

Pasal 40 Cukup jelas.

Pasal 41 Cukup jelas.

Pasal 42 Cukup jelas.

Pasal 43 Cukup jelas.

Pasal 44 Cukup jelas.

Pasal 45 Cukup jelas.

Pasal46 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) ...

SK No 104135 A

P E SIDE N R EPU B LIK INDONESIA

- 15 -

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Ayat (7) Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.

Ayat (8) Cukup jelas.

Pasal47 Cukup jelas.

Pasal 48 Cukup jelas.

Pasal 49 Cukup jelas.

Pasal 50 Cukup jelas.

Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Conteh Penjualan dan/ atau penyerahan Makanan dan/ atau Minuman: 1. Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/ atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.

2. Toko ...

SK No 104190 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 16

2. Toke Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.

Hurufb Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 52 Cukup jelas.

Pasal 53 ...

SK No 104191 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 17

Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.

Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas.

Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas.

Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). Huruf k Cukup jelas.

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Cukup jelas.

Huruf c ...

SK No 104138 A

PRES IDEN REPLBLIK INDONESIA

- 18

Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.

Pasal54 Cukup jelas.

Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/ atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.

Huruf i ...

SK No 104139 A

P E SIDEN R E P U B LIK INDONESIA

- 19

Huruf i Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas.

Huruf 1 Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.

Pasal 57 Cukup jelas.

Pasal 58 Cukup jelas.

Pasal 59 Cukup jelas.

Pasal 60 ...

SK No 104140 A

PE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 20

Pasal 60 Cukup jelas.

Pasal 61 Cukup jelas.

Pasal62 Cukup jelas.

Pasal 63 Cukup jelas.

Pasal 64 Cukup jelas.

Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pemanfaatan" adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 66 Cukup jelas.

Pasal 67 Cukup jelas.

Pasal 68 Cukup jelas.

Pasal 69 Cukup jelas.

Pasal 70 Cukup jelas.

Pasal 71 Cukup jelas.

Pasal 72 Cukup jelas.

Pasal 73 ...

SK No 104141 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 21

Pasal 73 Cukup jelas.

Pasal 74 Cukup jelas.

Pasal 75 Cukup jelas.

Pasal 76 Cukup jelas.

Pasal 77 Cukup jelas.

Pasal 78 Cukup jelas.

Pasal 79 Cukup jelas.

Pasal 80 Cukup jelas.

Pasal 81 Cukup jelas.

Pasal 82 Cukup jelas.

Pasal 83 Cukup jelas.

Pasal 84 Cukup jelas.

Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) ...

SK No 104142 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 22

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Huruf a Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 86 Cukup jelas.

Pasal 87 Cukup jelas.

Pasal 88 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.

Ayat (7)...

SK No 104143 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 23

Ayat (7) Cukup jelas.

Ayat (8) Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit.

Ayat (9) Cukup jelas.

Pasal 89 Cukup jelas.

Pasal 90 Cukup jelas.

Pasal 91 Cukup jelas.

Pasal 92 Cukup jelas.

Pasal 93 Cukup jelas.

Pasal 94 Cukup jelas.

Pasal 95 Cukup jelas.

Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.

Pasal 97 ...

SK No 104144 A

PE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 24

Pasal 97 Cukup jelas.

Pasal 98 Cukup jelas.

Pasal 99 Cukup jelas.

Pasal 100 Cukup jelas.

Pasal 101 Cukup jelas.

Pasal 102 Cukup jelas.

Pasal 103 Cukup jelas.

Pasal 104 Cukup jelas.

Pasal 105 Cukup jelas.

Pasal 106 Cukup jelas.

Pasal 107 Cukup jelas.

Pasal 108 Cukup jelas.

Pasal 109 Cukup jelas.

Pasal 110 Cukup jelas.

Pasal 111 ...

SK No 104145 A

P E SIDEN R E P L B L IK INDONESIA

- 25

Pasal 111 Cukup jelas.

Pasal 112 Ayat (1) DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 113 Cukup jelas.

Pasal 114 Cukup jelas.

Pasal 115 Ayat (1) Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan.

Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan.

Huruf c ...

SK No 104146 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 26 -

Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 116 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf c Cukup jelas.

Huruf d ...

SK No 104147 A

P E SIDEN R E P L B LIK INDONESIA

- 27 -

Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak ekternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.

Pasal 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif.

Ayat (3) ...

SK No 104148A

PE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 28

Ayat (3) Huru.f a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.

Pasal 118 ...

SK No 104149 A

PE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 29

Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif.

Pasal 119 Cukup jelas.

Pasal 120 Bagian dari 90% (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk: a. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama; b. kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda; c. kabupaten/kota pengolah, dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/ atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan.

Pasal 121 ...

SK No 104150 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 30

Pasal 121 Cukup jelas.

Pasal 122 Cukup jelas.

Pasal 123 Ayat (1) Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 124 Ayat (1) Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geografis dan perekonomian Daerah.

Pasal 125 Ayat (1) DAU = Celah Fiskal (CF) Ayat (2) Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah. Ayat (3) Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK.

Ayat (4) ...

SK No 104151 A

PRESIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 31

Ayat (4) Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan.

Pasal 126 Ayat (1) Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "biaya investasi" adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan.

Pasal 127 Cukup jelas.

Pasal 128 Ayat (1) DAU Provinsi, = Bobot provinsi; x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi. Ayat (2) Bobot Prov

dimana, CF Provinsi CF Provinsi

CF Prov, CF Prov

= Celah Fiskal untuk provinsi. = jumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi.

Pasal 129 ...

SK No 104177 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 32

Pasal 129 Ayat (1) DAU kabupaten/kota; = Bobot jumlah kota

kabupaten/kota, Xx DAU kabupaten dan dalam kelompok

Ayat (2)

Bobot Kab/Kota= kabupaten/kota.

CF Kab/Kotat CF Kab/Kota

dimana, CF kabupaten/kota,

CF kabupaten dan kota

= Celah Fiskal untuk kabupaten/kota,. = jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota.

Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH.

Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) ...

SK No 104153 A

PRE SIDEN EPLBLIK INDONESIA

- 33

Ayat (4) Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/ atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.

Pasal 132 Ayat (1) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 133 Ayat (1) Dana Keistimewaan bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 134 ...

SK No 104154 A

P E SIDEN R EP L B LIK INDONESIA

- 34

Pasal 134 Ayat (1) Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 135 Cukup jelas.

Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/ atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom barn yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD. Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) ...

SK No 104155 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 35

Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/ atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 138 Ayat (1) Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/ atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD. Ayat (2) Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah.

Pasal 139 Cukup jelas.

Pasal 140 Cukup jelas.

Pasal 141 Cukup jelas.

Pasal 142 Cukup jelas.

Pasal 143 Cukup jelas.

Pasal 144 Cukup jelas.

Pasal 145 ...

SK No 104156 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 36

Pasal 145 Ayat (1) Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 146 Ayat ( 1) Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 147 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/ atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah. Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/ atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/ atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa.

Ayat (2) ...

SK No 104157 A

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 37

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 148 Cukup jelas.

Pasal 149 Cukup jelas.

Pasal 150 Cukup jelas.

Pasal 151 Cukup jelas.

Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dirnaksud dengan "dalarn hal tertentu" adalah dalarn rangka rnenjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk rnernberikan rnasukan yang bersifat lintas sektor. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 153 Cukup jelas.

Pasal 154 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) ...

SK No 104158 A

PE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 38

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Ayat (7) Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD.

Ayat (8) Cukup jelas.

Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 156 Cukup jelas.

Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) ...

SK No 104159 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 39

Ayat (3) Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/ atau memberikan manfaat bagi masyarakat.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 158 Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 159 Cukup jelas.

Pasal 160 Cukup jelas.

Pasal 161 Cukup jelas.

Pasal 162 Ayat ( 1) Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/ atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 163 ...

SK No 104160 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 40

Pasal 163 Cukup jelas.

Pasal 164 Cukup jelas.

Pasal 165 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/ awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/ pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat. Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 166 Cukup jelas.

Pasal 167 Cukup jelas.

Pasal 168 Cukup jelas.

Pasal 169 Ayat (1) Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cyclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional.

Ayat (2) ...

SK No 104161 A

PRE SIDEN EPLBLIK INDONESIA

- 41

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 170 Cukup jelas.

Pasal 171 Cukup jelas.

Pasal 172 Cukup jelas.

Pasal 173 Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain: a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan; b. proyeksi penurunan pendapatan negara/Daerah dan/ atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau c. adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/ atau stabilitas sistem keuangan.

Pasal 174 Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 175 Cukup jelas.

Pasal 176 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan.

Pasal 177 ...

SK No 104178 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 42 -

Pasal 177 Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa.

Pasal 178 Cukup jelas.

Pasal 179 Ayat (1) Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian output atas program-program prioritas nasional dan Daerah.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 180 Cukup jelas.

Pasal 181 Cukup jelas.

Pasal 182 Cukup jelas.

Pasal 183 Cukup jelas.

Pasal 184 Cukup jelas.

Pasal 185 Cukup jelas.

Pasal 186 ...

SK No 104163 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 43

Pasal 186 Cukup jelas.

Pasal 187 Cukup jelas.

Pasal 188 Cukup jelas.

Pasal 189 Cukup jelas.

Pasal 190 Cukup jelas.

Pasal 191 Cukup jelas.

Pasal 192 Cukup jelas.

Pasal 193 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757

SK No 104174 A