Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022/BAB II

Dari Wiki Javasatu
Revisi sejak 31 Oktober 2023 05.05 oleh Adminjavasatu (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

{{Perundangan bab|II|PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH| {{Perundangan bagian|Kesatu|Pajak Paragraf 1 - Jenis Pajak

Pasal 4

(1) Pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas: a. PKB; b. BBNKB; c. PAB; d. PBBKB; e. PAP; f. Pajak Rokok; dan g. Opsen Pajak MBLB.

(2) Pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas: a. PBB-P2;

b. BPHTB;

c. PBJT;

d. Pajak Reklame;

e. PAT;

f. Pajak MBLB;

g. Pajak Sarang Burung Walet;

h. Opsen PKB; dan

i. Opsen BBNKB.

(3) Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipungut oleh Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom.

Pasal 5

(1) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e serta Pasal 4 ayat (2) huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah.

(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf f, dan huruf g serta Pasal 4 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.

(3) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.

(4) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.

(5) Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 6

(1) Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selainjenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).

(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak dipungut, dalam hal:

a. potensinya kurang memadai; dan/ atau

b. Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut.

(3) Jenis Pajak yang tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi.

Paragraf 2 - PKB

Pasal 7

(1) Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.

(2) Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

(3) Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:

a. kereta api;

b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;

c. Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah;

d. Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan e. Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.

Pasal 8

(1) Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/ atau menguasai Kendaraan Bermotor.

(2) Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.

Pasal 9

(1) Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:

a. nilai jual Kendaraan Bermotor; dan

b. bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/ atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.

(2) Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.

(3) Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.

(4) Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.

(5) Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.

(6) Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:

a. harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/ atau satuan tenaga yang sama;

b. penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;

c. harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;

d. harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;

e. harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;

f. harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan

g. harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.

(7) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakanjalan dan/ atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan

b. koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.

(8) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:

a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/ as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;

b. jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan

c. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.

(9) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:

a. untuk Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri; dan

b. untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

(10) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.

Pasal 10

(1) Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:

a. untuk kepemilikan dan/ atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama, ditetapkan paling tinggi 1,2% (satu koma dua persen); dan

b. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 6% (enam persen).

(2) Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:

a. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama paling tinggi sebesar 2% (dua persen); dan

b. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(3) Tarif PKB atas kepemilikan dan/ atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan paling tinggi 0,5% (nol koma lima persen).

(4) Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/ atau alamat yang sama.

(5) Tarif PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 11

(1) Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5).

(2) PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.

(3) PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.

Paragraf 3 - BBNKB

Pasal 12

(1) Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.

(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:

a. kereta api;

b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;

c. Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;

d. Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan e. Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.

(4) Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:

a. untuk diperdagangkan;

b. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan

c. digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.

(5) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.

Pasal 13

(1) Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.

(2) Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.

Pasal 14

Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9).

Pasal 15

(1) Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 12% (dua belas persen).

(2) Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(3) Tarif BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 16

(1) Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).

(2) BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.

(3) Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.

(4) Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4 - PAB

Pasal 17

(1) Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.

(2) Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) adalah kepemilikan dan/ atau penguasaan atas:

a. Alat Berat yang dimiliki dan/ atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. Alat Berat yang dimiliki dan/ atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan

c. kepemilikan dan/ atau penguasaan Alat Berat lainnya yang diatur dalam Perda.

Pasal 18

(1) Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/ atau menguasai Alat Berat.

(2) Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/ atau menguasai Alat Berat.

Pasal 19

(1) Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat.

(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.

(3) Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.

(4) Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.

(5) Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.

Pasal 20

(1) Tarif PAB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).

(2) Tarif PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 21

(1) Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).

(2) PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.

Pasal 22

(1) PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/ atau menguasai Alat Berat.

(2) PAB untuk kepemilikan dan/ atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.

(3) PAB untuk kepemilikan dan/ atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.

(4) Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan gubernur.

{{Perundangan paragraf|5|PBBKB|

Pasal 23

Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.

Pasal 24

(1) Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.

(2) Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.

(3) Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.

(4) Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah produsen dan/ atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.

Pasal 25

Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.

Pasal 26

(1) Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2) Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.

(3) Untuk jenis BBKB tertentu, Pemerintah dapat menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah ditetapkan dalam Perda dalam rangka stabilisasi harga.

(4) Penyesuaian tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

(5) Tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 27

Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.

Paragraf 6

PAP

Pasal 28

(1) Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

(2) Yang dikecualikandari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk: a. keperluan dasar rumah tangga; b. pengairan pertanian rakyat; c. perikanan rakyat; d. keperluan keagamaan; e. kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/ atau di daratan (air payau); dan f. kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam Perda, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

(1) Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

(2) Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

Pasal 30

(1) Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.

(2) Nilai...

SK No 104058 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 24

(2) Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.

(3) Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.

(4) Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor: a. lokasi pengambilan air; b. volume air; dan c. kewenangan pengelolaan sumber daya air.

(5) Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) ditetapkan dengan peraturan gubernur.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.

Pasal 31

(1) Tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2) Tarif PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 32

(1) Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2).

(2) PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.

Paragraf 7 ...

SK No 104059 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 25

Paragraf 7

Pajak Rokok

Pasal 33

(1) Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.

(2) Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.

(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

Pasal 34

( 1) Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.

(2) Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.

(3) Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.

(4) Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 35

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.

Pasal 36

Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.

Pasal 37 ...

SK No l 04060 A

PRE SIDE N REPUBLIK INDONESIA

- 26

Pasal 37

Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.

Paragraf 8

PBB-P2

Pasal38

(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.

(3) Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/ atau pemanfaatan atas: a. Bumi dan/ atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah; b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; c. Bumi dan/ atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis; d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; e. Bumi dan/ atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

f. Bumi ...

SK No 104061 A

P E SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 27

f. Bumi dan/ atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri; g. Bumi dan/ atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis; h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan 1. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.

Pasal 39

(1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/ atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/ atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

(2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/ atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/ atau memiliki, menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

Pasal 40

(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.

(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.

(3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rpl0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.

(5) NJOP ...

SK No 104062 A

PRE SIDEN EPLBLIK INDONE SIA

- 28

(5) NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(6) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.

(7) Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 41

(1) Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen).

(2) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya.

(3) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 42

Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3).

Pasal 43

(1) Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.

(2) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.

(3) Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.

Paragraf 9 ...

SK No 104063 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 29

Paragraf 9

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/ atau Bangunan (BPHTB)

Pasal44

(1) Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemindahan hak karena: 1. jual beli; 2. tukar-menukar; 3. hibah; 4. hibah wasiat; 5. wans; 6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; 7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8. penunjukan pembeli dalam lelang; 9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunya1 kekuatan hukum tetap; 10. penggabungan usaha; 11. peleburan usaha; 12. pemekaran usaha; atau 13. hadiah; dan b. pemberian hak baru karena: 1. kelanjutan pelepasan hak; atau 2. di luar pelepasan hak.

(3) Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak milik atas satuan rumah susun; dan f. hak pengelolaan.

(6) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan:

a. untuk ...

SK No 104064 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 30

a. untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah; b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/ atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri; d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf; g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

( 1) Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan.

(2) Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan.

Pasal 46

(1) Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.

(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. harga transaksi untuk jual beli;

b. nilai ...

SK No 104065 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 31

b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang. (3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.

(4) Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.

(6) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(7) Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

(8) Nilai ...

SK No 104066 A

PRE SIDEN EPLBLIK INDONESIA

- 32

(8) Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 47

(1) Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).

(2) Tarif BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 48

(1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat ( 1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2).

(2) BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/ atau Bangunan berada.

Pasal49

Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:

a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;

b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/ atau hadiah;

c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;

d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;

e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;

f. pada ...

SK No 104039 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 33

f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau

g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.

Paragraf 10

PBJT

Pasal 50

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/ atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi: a. Makanan dan/ atau Minuman; b. Tenaga Listrik; c. Jasa Perhotelan; d. Jasa Parkir; dan e. Jasa Kesenian dan Hiburan.

Pasal 51

(1) Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a meliputi Makanan dan/ atau Minuman yang disediakan oleh: a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/ atau Minuman berupa meja, kursi, dan/ atau peralatan makan dan minum; b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan: 1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan; 2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan 3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.

(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman: a. dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dalam Perda;

b. dilakukan ...

SK No 104182 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 34

b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/ atau Minuman; c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/ atau Minuman; atau d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat ( lounge) pada bandar udara.

Pasal 52

(1) Konsumsi TenagaListrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.

(2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya; b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik; c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan e. konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Perda.

Pasal 53

(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti: a. hotel; b. hostel; c. vila; d. pondok wisata; e. motel; f. losmen;

g. wisma ...

SK No 104041 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 35

g. wisma pariwisata; h. pesanggrahan; 1. rumah penginapan/ guesthouse/bungalo/ resort/ cottage; j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan k. glamping.

(2) Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) meliputi: a. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan; d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.

Pasal 54

(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d meliputi: a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).

(2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan d. jasa tempat parkir lainnya yang diatur dengan Perda.

Pasal 55 ...

SK No 104042 A

PRESIDE N REPLBLIK INDONESIA

- 36

Pasal 55

(1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e meliputi: a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/ atau busana; c. kontes kecantikan; d. kontes binaraga; e. pameran; f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; h. permainan ketangkasan; 1. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ ruang dan/ atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; k. panti pijat dan pijat refleksi; dan 1. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

(2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk: a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/ atau c. bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda.

Pasal 56

( 1) Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.

(2) Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/ atau konsumsi barang dan jasa tertentu.

Pasal 57 ...

SK No 104043 A e eEe %

PE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 37

Pasal 57

( 1) Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu.

(2) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.

Pasal 58

( 1) Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% ( sepuluh persen).

(2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).

(3) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk: a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen).

(4) Tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 59

(1) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 7 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4).

(2) PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/ atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.

(3) Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat pembayaran/penyerahan/konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.

Paragraf 11 . . .

SK No 104044 A

PE SIDEN EPLBLIK INDONESIA

- 38

Paragraf 11

Pajak Reklame

Pasal 60

( 1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.

(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Reklame papan/ billboard/ videotron/ megatron; b. Reklame kain; c. Reklame melekat/ stiker; d. Reklame selebaran; e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan; f. Reklame udara; g. Reklame apung; h. Reklame film/ slide; dan 1. Reklame peragaan.

(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah: a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya; b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya; c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Perkada dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut; d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan f. Reklame lainnya yang diatur dengan Perda.

Pasal 61 , ..

SK No I 04045 A

P E SIDEN R E P U B L IK INDONESIA - 39 Pasal 61 (1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.

(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.

Pasal 62

( 1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.

(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.

(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.

(4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/ atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perkada.

Pasal 63

(1) Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).

(2) Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 64

(1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).

(2) Pajak ...

SK No 104046 A

PE SIDEN RREPLBLIK INDONESIA

- 40

(2) Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.

(3) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.

Paragraf 12

PAT

Pasal 65

(1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.

(2) Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk: a. keperluan dasar rumah tangga; b. pengairan pertanian rakyat; c. perikanan rakyat; d. peternakan rakyat; e. keperluan keagamaan; dan f. kegiatan lainnya yang diatur dengan Perda.

Pasal 66

(1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/ atau pemanfaatan Air Tanah.

(2) Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.

Pasal 67 (1) Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah. (2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.

(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.

(4) Bobot ...

SK No 104047 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 41

(4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor faktor berikut: a. jenis sumber air; b. lokasi sumber air; c. tujuan pengambilan dan/ atau pemanfaatan air; d. volume air yang diambil dan/ atau dimanfaatkan; e. kualitas air; dan f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.

Pasal 68

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tarrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

(2) Peraturan yang ditetapkan oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) disusun dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.

Pasal 69

(1) Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(2) Tarif PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 70

(1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2).

(2) PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tarrah.

(3) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/ atau pemanfaatan Air Tarrah.

Paragraf 13 . . .

SK No 104048 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 42

Paragraf 13

Pajak MBLB

Pasal 71

(1) Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi: a. asbes; b. batu tulis; c. batu setengah permata; d. batu kapur; e. batu apung; f. batu permata; g. bentonit; h. dolomit; 1. feldspar, J. garam batu (halite); k. grafit; 1. granit/ andesit; m. gIps; n. kalsit; 0. kaolin; p. leusit; q. magnesit; r. mika; s. marmer; t. nitrat; u. obsidian; V. oker; W. pasir dan kerikil; X. pasir kuarsa; y. perlit; z. fosfat; aa. talk; bb. tanah serap (fullers earth); cc. tanah diatom; dd. tanah liat; ee. tawas (alum);

ff. tras ...

SK No I 04049 A

PRESIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 43

ff. tras; gg. yarosit; hh. zeolit; ii. basal; jj. trakhit; kk. belerang; 11. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB: a. untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/ dipindahtangankan; b. untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan c. untuk keperluan lainnya yang ditetapkan dengan Perda.

Pasal 72

(1) Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.

(2) Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.

Pasal 73

( 1) Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.

(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dihitung berdasarkan perkalian volume/ tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.

(3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.

(4) Harga ...

SK No 104188 A

PE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 44

(4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu hara.

Pasal 74

(1) Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(2) Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).

(3) Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 75

(1) Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihituhg dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3).

(2) Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.

Paragraf 14

Pajak Sarang Burung Walet

Pasal 76

(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.

(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan b. kegiatan pengambilan dan/ atau pengusahaan sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Perda.

Pasal 77 ...

SK No 104051 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 45

Pasal 77

(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/ atau mengusahakan sarang Burung Walet.

(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/ atau mengusahakan sarang Burung Walet.

Pasal 78

(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.

(2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet.

Pasal 79

( 1) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Perda.

Pasal 80

Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2).

Paragraf 15

Opsen

Pasal 81

Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:

a. PKB; b. BBNKB; dan c. Pajak MBLB.

Pasal 82 ...

SK No 104052 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 46

Pasal 82

Wajib Pajak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:

a. PKB;

b. BBNKB; dan c. Pajak MBLB.

Pasal 83

(1) Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:

a. Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen);

b. Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan

c. Opsen Pajak MBLB sebesar 25% (dua puluh lima persen),

dihitung dari besaran Pajak terutang.

(2) Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.

Pasal 84

( 1) Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 16

Bagi Hasil Pajak Provinsi

Pasal 85

(1) Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.

(2) Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada kabupaten/kota.

(3) Khusus ...

SK No 104053 A

z < ,. a L

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 47

(3) Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen).

(4) Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.

(5) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan sebagai berikut: a. PBBKB dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; b. PAP dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/ atau luas daerah tangkapanair; dan c. Pajak Rokok dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Perda provinsi.

Paragraf 17

Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya

Pasal 86

(1) Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut: a. PKB dan Opsen PKB; b. PBJT atas Tenaga Listrik; c. Pajak Rokok; dan d. PAT, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.

(2) Besaran : ..

SK No 104183 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 48

(2) Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis Pajaknya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Retribusi

Paragraf 1

Jenis dan Objek Retribusi

Pasal 87

(1) Jenis Retribusi terdiri atas: a. Retribusi Jasa Umum; b. Retribusi Jasa Usaha; dan c. Retribusi Perizinan Tertentu.

(2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.

(3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/ atau perizinan.

(4) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/ dinikmati.

Paragraf 2

Jenis Pelayanan Retribusi

Pasal 88

(1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a meliputi: a. pelayanan kesehatan; b. pelayanan kebersihan;

c. pelayanan ...

SK No 104165 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 49

c. pelayanan parkir di tepi jalan umum; d. pelayanan pasar; dan e. pengendalian lalu lintas.

(2) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/ atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/ daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.

(3) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf b meliputi: a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya; b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan; c. penyediaan ternpat khusus parkir di luar badan jalan; d. penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila; e. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak; f. pelayanan jasa kepelabuhanan; g. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga; h. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air; i. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan j. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/ atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat ( 1) huruf c meliputi: a. persetujuan bangunan gedung; b. penggunaan tenaga kerja asing; dan c. pengelolaan pertambangan rakyat.

(5) Retribusi ...

SK No 104067 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 50

(5) Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh Daerah.

(6) Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing.

(7) Retribusi pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan Daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara.

(8) Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(9) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) antara lain: a. Objek Retribusi; b. Subjek dan Wajib Retribusi; c. Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi; dan d. Tata cara penghitungan Retribusi.

Pasal 89

Ketentuan lebih lanjut mengenai Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3

Tata Cara Penghitungan Retribusi

Pasal 90

Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.

Pasal 91...

SK No 104068 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 51

Pasal 91

Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.

Pasal 92

(1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.

(2) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.

Pasal 93

( 1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.

(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.

(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Perkada.

Bagian Ketiga

Muatan Perda tentang Pajak dan Retribusi

Pasal 94

Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.

Bagian Keempat ...

SK No 104069 A

PE SIDEN EPLBLIK INDONESIA

- 52

Bagian Keempat

Pemungutan Pajak dan Retribusi

Paragraf 1

Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi

Pasal 95

( 1) Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.

(2) Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai: a. pendaftaran dan pendataan; b. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang; c. pembayaran dan penyetoran; d. pelaporan; e. pengurangan, pembetulan, dan ketetapan; f. pemeriksaan Pajak; g. penagihan Pajak dan Retribusi; h. keberatan; 1. gugatan; pembatalan j. penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Kepala Daerah; dan k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.

(3) Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2

Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan

Pasal 96

(1) Kepala Daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/ atau sanksi Pajak dan Retribusi.

(2) Pemberian ...

SK No 104070 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 53

(2) Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/ atau objek Pajak atau objek Retribusi.

Bagian Kelima

Pengaturan Pajak dan Retribusi dalam rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Berinvestasi

Paragraf 1

Kewenangan Pemerintah dalam Pengawasan dan Evaluasi Tarif

Pasal 97

(1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta untuk mendorong pertumbuhan industri dan/ atau usaha yang berdaya saing tinggi serta memberikan pelindungan dan pengaturan yang berkeadilan, Pemerintah sesuai dengan program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

(2) Kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. dapat mengubah tarif Pajak dan tarif Retribusi dengan penetapan tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional; dan b. pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

(3) Penetapan tarif Pajak yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup tarif atas jenis Pajak provinsi dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(4) Penetapan...

SK No 104071 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 54

(4) Penetapan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan tarif Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2

Evaluasi Rancangan Perda dan Perda Pajak dan Retribusi

Pasal 98

( 1) Evaluasi rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri. (2) Rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh DPRD provinsi dan gubernur sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan. (3) Evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi dilakukan oleh gubernur, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan Menteri.

(4) Rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada gubernur, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan Menteri paling. lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.

(5) Menteri ...

SK No I 04072 A

PE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 55

(5) Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian rancangan Perda dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/ atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

(6) Gubernur melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk menguji kesesuaian rancangan Perda dengan ketentuan Undang Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

(7) Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) berkoordinasi dengan Menteri.

(8) Dalam pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Menteri melakukan evaluasi dari sisi kebijakan fiskal nasional.

(9) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat berupa persetujuan atau penolakan.

( 10) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri kepada gubernur untuk rancangan Perda provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/wali kota untuk rancangan Perda kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya rancangan Perda dimaksud dengan tembusan kepada Menteri.

(11) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan dengan disertai alasan penolakan.

(12) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), rancangan Perda dimaksud dapat langsung ditetapkan.

(13) Dalam ...

SK No 104073 A

PE SIDEN EPLBLIK INDONESIA

- 56

(13) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), rancangan Perda dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/wali kota bersama dengan DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri untuk rancangan Perda provinsi dan kepada gubernur dan Menteri untuk rancangan Perda kabupaten/kota.

(14) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi rancangan Perda tentang Pajak dan Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 99

(1) Perda yang telah ditetapkan oleh gubemur/bupati/wali kota disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan untuk dilakukan evaluasi.

(2) Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan evaluasi Perda provinsi/kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah berlaku untuk menguji kesesuaian antara Perda dimaksud dengan kepentingan umum, ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan kebijakan fiskal nasional.

(3) Dalam hal berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Perda bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/ atau kebijakan fiskal nasional, Menteri merekomendasikan dilakukannya perubahan atas Perda dimaksud kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.

(4) Penyampaian rekomendasi perubahan Perda oleh Menteri kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Berdasarkan ...

SK No 104074 A

P E SIDEN R E P L B LIK INDONESIA

- 57

(5) Berdasarkan rekomendasi perubahan Perda yang disampaikan oleh Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri memerintahkan gubernur/bupati/wali kota untuk melakukan perubahan Perda dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja.

(6) Jika dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja, gubernur/bupati/wali kota tidak melakukan perubahan atas Perda tersebut, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri menyampaikan rekomendasi pemberian sanksi kepada Menteri.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi Perda tentang Pajak dan Retribusi dan pengawasan pelaksanaan Perda mengenai Pajak dan Retribusi dan aturan pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 100

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dan Pasal 99 oleh Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/ atau DBH.

(2) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Menteri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3

Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi

Pasal 101

(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.

(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/ atau sanksinya.

(3) Insentif ...

SK No 104189 A

PRE SIDEN REPUBLIK INDONESIA

- 58

(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, antara lain: a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi; b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/ atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak; c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro; d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/ atau e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.

(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Kepala Daerah dalam memberikan insentif fiskal tersebut.

(5) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Perkada.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam

Penetapan Target Penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD

Pasal 102

( 1) Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit: a. kebijakan makroekonomi Daerah; dan b. potensi Pajak dan Retribusi.

(2) Kebijakan ...

SK No 104076 A

PE SIDEN REPLIBLIK INDONESIA

- 59

(2) Kebijakan makroekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.

(3) Kebijakan makroekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makroekonomi regional dan kebijakan makroekonomi yang mendasari penyusunan APBN.

Bagian Ketujuh

Kerahasiaan Data Wajib Pajak

Pasal 103

( 1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.

(3) Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan ayat (2) adalah: a. Pejabat dan/ atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.

(4) Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.

(5) Untuk ...

SK No 104184 A

PE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 60

( 5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Kepala Daerah dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.

(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

Bagian Kedelapan

Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi

Pasal 104

( 1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.

(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan

Penyidikan

Pasal 105

(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.

(2) Penyidik ...

SK No 104078 A

PRE SIDEN REPLBLIK INDONESIA

- 61

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi; d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi; g. menyuruh berhenti dan/ atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/ atau dokumen yang dibawa; h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. menghentikan penyidikan; dan/atau

k. melakukan ...

SK No 104079 A

PRE SIDEN EPUBLIK INDONESIA

- 62

k. melakukan tindakan lain yang perlu kelancaran penyidikan tindak pidana di perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai ketentuan peraturan peruridang-undangan. untuk bidang dengan

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.