Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009: Perbedaan antara revisi

Dari Wiki Javasatu
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 531: Baris 531:
}}
}}
}}
}}
}}<!--/bagian kedua-->
{{Perundangan bagian|Ketiga|Dana Preservasi Jalan|
{{Perundangan bagian|Ketiga|Dana Preservasi Jalan|
{{Perundangan pasal|29|
{{Perundangan pasal|29|

Revisi per 20 Oktober 2023 10.41

Pembukaan

{{{jenis}}}

Nomor {{{nomor}}} Tahun {{{tahun}}}
TENTANG
{{{tentang}}}

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
{{{pejabat}}},




Konsideran

Menimbang:
a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah;
c. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang- undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;


Dasar Hukum

Mengingat: Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Keputusan

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.

(BAB I)
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.  Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.

2.  Lalu Lintas  adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.

3.  Angkutan  adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.

4.  Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah serangkaian Simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

5.  Simpul  adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara.

6.  Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.

7.  Kendaraan  adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.

8.  Kendaraan Bermotor  adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.

9.  Kendaraan Tidak Bermotor  adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.

10.  Kendaraan Bermotor Umum  adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.

11.  Ruang Lalu Lintas Jalan  adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung.

12.  Jalan  adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.

13.  Terminal  adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.

14.  Halte  adalah tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.

15.  Parkir  adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.

16.  Berhenti  adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.

17.  Rambu Lalu Lintas  adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan.

18.  Marka Jalan  adalah suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.

19.  Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas  adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang dan/atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan.

20.  Sepeda Motor  adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.

21.  Perusahaan Angkutan Umum  adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.

22.  Pengguna Jasa  adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum.

23.  Pengemudi  adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi.

24.  Kecelakaan Lalu Lintas  adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

25.  Penumpang  adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan.

26.  Pejalan Kaki  adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan.

27.  Pengguna Jalan  adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas.

28.  Dana Preservasi Jalan  adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

29.  Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas  adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas.

30.  Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/atau Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum, dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas.

31.  Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/atau lingkungan.

32.  Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan.

33.  Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan.

34.  Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

35.  Penyidik  adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

36.  Penyidik Pembantu  adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

37.  Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,  adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

38.  Pemerintah Daerah  adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

39.  Menteri  adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan.

40.  Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia  adalah pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.


(BAB II)
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:

a. asas transparan;

b. asas akuntabel;

c. asas berkelanjutan;

d. asas partisipatif;

e. asas bermanfaat;

f. asas efisien dan efektif;

g. asas seimbang;

h. asas terpadu; dan

i. asas mandiri.


Pasal 3

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:

a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.


(BAB III)
RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG

Pasal 4

Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:

a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;

b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


(BAB IV)
PEMBINAAN

Pasal 5
1 Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.

2 Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. perencanaan;

b. pengaturan;

c. pengendalian; dan

d. pengawasan.


3 Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang meliputi:

a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;

b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;

d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan

e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Pasal 6
1 Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi:

a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional;

b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional;

c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional;

d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan

e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.


2 Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

3 Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota;

b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan

c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.


4 Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;

b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan

c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.



(BAB V)
PENYELENGGARAAN

Pasal 7
1 Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.

2 Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi:

a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;

b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;

d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan

e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Pasal 8

Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)] huruf a, yaitu:

a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya;

b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan;

c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan;

d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan;

e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan;

f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan

g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan.

Pasal 9

Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:

a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;

c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;

d. perizinan angkutan umum;

e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 10

Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:

a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor;

b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 11

Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi:

a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor;

b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 12

Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

7 ayat (2) huruf e meliputi:

a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor;

b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor;

c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas;

f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;

g. pendidikan berlalu lintas;

h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan

i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.

Pasal 13
1 Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi.

2 Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

3 Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

4 Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.


(BAB VI)
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 14
1 Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.

2 Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan.

3 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;

b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan

c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.


Pasal 15
1 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional.

2 Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

3 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi;

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.


Pasal 16
1 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.

2 Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan

c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.


3 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan

d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.


Pasal 17
1 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.

2 Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan

e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.


3 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan

d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.


Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 1 - Kelas Jalan

Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas

Pasal 19
1 Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:

a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.


2 Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;

b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;

c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan

d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.


3 Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton.

4 Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 20
1 Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh:

a. Pemerintah, untuk jalan nasional;

b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;

c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau d. pemerintah kota, untuk jalan kota.


2 Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.

3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2 - Penggunaan dan Perlengkapan Jalan

Pasal 21
1 Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.

2 Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan.

3 Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.

4 Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22
1 Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.

2 Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.

3 Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.

4 Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.

5 Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.

6 Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.

7 Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23
1 Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 24
1 Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.

2 Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.

Pasal 25
1 Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:

a. Rambu Lalu Lintas;

b. Marka Jalan;

c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;

d. alat penerangan Jalan;

e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;

f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;

g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan

h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.


2 Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 26
1 Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:

a. Pemerintah untuk jalan nasional;

b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;

c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau

d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.


2 Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 27
1 Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas.

2 Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah.

Pasal 28
1 Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.

2 Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).


Bagian Ketiga
Dana Preservasi Jalan

Pasal 29
1 Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.

2 Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.

3 Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.

4 Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.

Pasal 31

Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan.

Pasal 32

Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.


Bagian Keempat
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal

Paragraf 1 - Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal

Pasal 33
1 Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal.

2 Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.

Pasal 34
1 Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.

2 Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.

Pasal 35

Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.


Paragraf 2 - Penetapan Lokasi Terminal

Pasal 37
1 Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:

a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;

b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;

c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas;

d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;

e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;

f. permintaan angkutan;

g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;

h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dann Angkutan Jalan; dan/atau

i. kelestarian lingkungan hidup.



Paragraf 3 - Fasilitas Terminal

Pasal 38
1 Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.

2 Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.

3 Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan.


Paragraf 4 - Lingkungan Kerja Terminal

Pasal 39
1 Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.

2 Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.

3 Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.


Paragraf 5 - Pembangunan dan Pengoperasian Terminal

Pasal 40
1 Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:

a. rancang bangun;

b. buku kerja rancang bangun;

c. rencana induk Terminal;

d. analisis dampak Lalu Lintas; dan

e. analisis mengenai dampak lingkungan.


2 Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:

a. perencanaan;

b. pelaksanaan; dan

c. pengawasan operasional Terminal.


Pasal 41
1 Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.

2 Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 6 - Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah.


Bagian Kelima
Fasilitas Parkir

Pasal 43
1 Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.

2 Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:

a. usaha khusus perparkiran; atau

b. penunjang usaha pokok.


3 Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44

Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:

a. rencana umum tata ruang;

b. analisis dampak lalu lintas; dan c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.


Bagian Keenam
Fasilitas Pendukung

Pasal 45
1 Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. trotoar;

b. lajur sepeda;

c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;

d. Halte; dan/atau

e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.


2 Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:

a. Pemerintah untuk jalan nasional;

b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;

c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa;

d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan

e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.


Pasal 46
1 Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta.

2 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.



-break-


Bagian Keenam
Fasilitas Pendukung

Pasal 45

Pasal 46

BAB VII KENDARAAN

Bagian Kesatu
Jenis dan Fungsi Kendaraan

Pasal 47

Pasal 47

1

Pasal 47

2

Pasal 47

3

Pasal 47

4


Bagian Kedua
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor

Pasal 48

Pasal 48

1

Pasal 48

2

Pasal 48

3

Pasal 48

4


Bagian Ketiga
Pengujian Kendaraan Bermotor

Pasal 49

Pasal 49

1

Pasal 49

2

Pasal 50

Pasal 50

1

Pasal 50

2

Pasal 50

3

Pasal 50

4

Pasal 51

Pasal 51

1

Pasal 51

2

Pasal 51

3

Pasal 51

4

Pasal 51

5

Pasal 51

6

Pasal 52

Pasal 52

1

Pasal 52

2

Pasal 52

3

Pasal 52

4

Pasal 53

Pasal 53

1

Pasal 53

2

Pasal 53

3

Pasal 54

Pasal 54

1

Pasal 54

2

Pasal 54

3

Pasal 54

4

Pasal 54

5

Pasal 54

6

Pasal 54

7

Pasal 55

Pasal 55

1

Pasal 55

2

Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah.


Bagian Keempat
Perlengkapan Kendaraan Bermotor

Pasal 57

Pasal 57

1

Pasal 57

2

Pasal 57

3

Pasal 57

4

Pasal 58

Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.

Pasal 59

Pasal 59

1

Pasal 59

2

Pasal 59

3

Pasal 59

4

Pasal 59

5

Pasal 59

6

Pasal 59

7


Bagian Kelima
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor

Pasal 60

Pasal 60

1

Pasal 60

2

Pasal 60

3

Pasal 60

4

Pasal 60

5

Pasal 60

6


Bagian Keenam
Kendaraan Tidak Bermotor

Pasal 61

Pasal 61

1

Pasal 61

2

Pasal 61

3

Pasal 61

4

Pasal 62

Pasal 62

1

Pasal 62

2

Pasal 63

Pasal 63

1

Pasal 63

2

Pasal 63

3


Bagian Ketujuh
Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor

Pasal 64

Pasal 64

1

Pasal 64

2

Pasal 64

3

Pasal 64

4

Pasal 64

5

Pasal 64

6

Pasal 65

Pasal 65

1

Pasal 65

2

Pasal 66

Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk pertama kali harus memenuhi persyaratan:

a. memiliki sertifikat registrasi uji tipe;

b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor yang sah; dan

c. memiliki hasil pemeriksaan cek fisik Kendaraan Bermotor.

Pasal 67

Pasal 67

1

Pasal 67

2

Pasal 67

3

Pasal 67

4

Pasal 68

Pasal 68

1

Pasal 68

2

Pasal 68

3

Pasal 68

4

Pasal 68

5

Pasal 68

6

Pasal 69

Pasal 69

1

Pasal 69

2

Pasal 69

3

Pasal 70

Pasal 70

1

Pasal 70

2

Pasal 70

3

Pasal 71

Pasal 71

1

Pasal 71

2

Pasal 71

3

Pasal 72

Pasal 72

1

Pasal 72

2

Pasal 72

3

Pasal 73

Pasal 73

1

Pasal 73

2

Pasal 74

Pasal 74

1

Pasal 74

2

Pasal 74

3

Pasal 75

Ketentuan lebih lanjut mengenai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Bagian Kedelapan
Sanksi Administratif

Pasal 76

Pasal 76

1

Pasal 76

2

Pasal 76

3

Pasal 76

4

Pasal 76

5


BAB VIII PENGEMUDI

Bagian Kesatu
Surat Izin Mengemudi

Paragraf 1

Persyaratan Pengemudi

Pasal 77

Pasal 77

1

Pasal 77

2

Pasal 77

3

Pasal 77

4

Pasal 77

5

Paragraf 2

Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi

Pasal 78

Pasal 78

1

Pasal 78

2

Pasal 78

3

Pasal 78

4

Pasal 79

Pasal 79

1

Pasal 79

2

Paragraf 3

Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi

Pasal 80

Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a digolongkan menjadi:

a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;

d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan

Sepeda Motor; dan

e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.

Pasal 81

Pasal 81

1

Pasal 81

2

Pasal 81

3

Pasal 81

4

Pasal 81

5

Pasal 81

6

Pasal 82

Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b digolongkan menjadi:

a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan

c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram.

Pasal 83

Pasal 83

1

Pasal 83

2

Pasal 83

3

Pasal 83

4

Pasal 83

5

Pasal 84

Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor dapat digunakan sebagai Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor yang jumlah beratnya sama atau lebih rendah, sebagai berikut:

a. Surat Izin Mengemudi A Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A;

b. Surat Izin Mengemudi B I dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A;

c. Surat Izin Mengemudi B I Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, dan Surat Izin Mengemudi B I;

d. Surat Izin Mengemudi B II dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A dan Surat Izin Mengemudi B I; atau

e. Surat Izin Mengemudi B II Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, Surat Izin Mengemudi B I, Surat Izin Mengemudi B I Umum, dan Surat Izin Mengemudi B II.

Pasal 85

Pasal 85

1

Pasal 85

2

Pasal 85

3

Pasal 85

4

Pasal 85

5

Paragraf 4

Fungsi Surat Izin Mengemudi

Pasal 86

Pasal 86

1

Pasal 86

2

Pasal 86

3


Bagian Kedua
Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi

Paragraf 1

Penerbitan Surat Izin Mengemudi

Pasal 87

Pasal 87

1

Pasal 87

2

Pasal 87

3

Pasal 87

4

Pasal 88

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2

Pemberian Tanda Pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi

Pasal 89

Pasal 89

1

Pasal 89

2

Pasal 89

3


Bagian Ketiga
Waktu Kerja Pengemudi

Pasal 90

Pasal 90

1

Pasal 90

2

Pasal 90

3

Pasal 90

4


Bagian Keempat
Sanksi Administratif

Pasal 91

Pasal 91

1

Pasal 91

2

Pasal 92

Pasal 92

1

Pasal 92

2

Pasal 92

3


BAB IX LALU LINTAS

Bagian Kesatu
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Paragraf 1

Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Pasal 93

Pasal 93

1

Pasal 93

2

Pasal 93

3

Pasal 94

Pasal 94

1

Pasal 94

2

Pasal 94

3

Pasal 94

4

Pasal 94

5

Pasal 95

Pasal 95

1

Pasal 95

2

Paragraf 2

Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Pasal 96

Pasal 96

1

Pasal 96

2

Pasal 96

3

Pasal 96

4

Pasal 96

5

Pasal 96

6

Pasal 97

Pasal 97

1

Pasal 97

2

Pasal 97

3

Pasal 98

Pasal 98

1

Pasal 98

2


Bagian Kedua
Analisis Dampak Lalu Lintas

Pasal 99

Pasal 99

1

Pasal 99

2

Pasal 99

3

Pasal 100

Pasal 100

1

Pasal 100

2

Pasal 101

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dan Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.


Bagian Ketiga
Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan Petugas yang Berwenang

Paragraf 1

Syarat dan Prosedur Pemasangan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan Marka Jalan

Pasal 102

Pasal 102

1

Pasal 102

2

Pasal 102

3

Paragraf 2

Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas

Pasal 103

Pasal 103

1

Pasal 103

2

Pasal 103

3

Pasal 103

4

Paragraf 3

Pengutamaan Petugas

Pasal 104

Pasal 104

1

Pasal 104

2

Pasal 104

3

Pasal 104

4


Bagian Keempat
Tata Cara Berlalu Lintas

Paragraf 1

Ketertiban dan Keselamatan

Pasal 105

Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib:

a. berperilaku tertib; dan/atau

b. mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan.

Pasal 106

Pasal 106

1

Pasal 106

2

Pasal 106

3

Pasal 106

4

Pasal 106

5

Pasal 106

6

Pasal 106

7

Pasal 106

8

Pasal 106

9

Paragraf 2

Penggunaan Lampu Utama

Pasal 107

Pasal 107

1

Pasal 107

2

Paragraf 3

Jalur atau Lajur Lalu Lintas

Pasal 108

Pasal 108

1

Pasal 108

2

Pasal 108

3

Pasal 108

4

Pasal 109

Pasal 109

1

Pasal 109

2

Pasal 109

3

Pasal 110

Pasal 110

1

Pasal 110

2

Pasal 111

Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bagi Kendaraan untuk saling berpapasan, Pengemudi Kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi kesempatan jalan kepada Kendaraan yang mendaki.

Paragraf 4

Belokan atau Simpangan

Pasal 112

Pasal 112

1

Pasal 112

2

Pasal 112

3

Pasal 113

Pasal 113

1

Pasal 113

2

Pasal 114

Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan Jalan, Pengemudi Kendaraan wajib:

a. berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain;

b. mendahulukan kereta api; dan

c. memberikan hak utama kepada Kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

Paragraf 5

Kecepatan

Pasal 115

Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang:

a. mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau

b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain.

Pasal 116

Pasal 116

1

Pasal 116

2

Pasal 117

Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus mengamati situasi Lalu Lintas di samping dan di belakang Kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan Kendaraan lain.

Paragraf 6

Berhenti

Pasal 118

Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap

Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali:

a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh;

b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau

c. di jalan tol.

Pasal 119

Pasal 119

1

Pasal 119

1

Paragraf 7

Parkir

Pasal 120

Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.

Pasal 121

Pasal 121

1

Pasal 121

2

Paragraf 8

Kendaraan Tidak Bermotor

Pasal 122

Pasal 122

1

Pasal 122

2

Pasal 122

3

Pasal 123

Pesepeda tunarungu harus menggunakan tanda pengenal yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang sepedanya.

Paragraf 9

Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum

Pasal 124

Pasal 124

1

Pasal 124

2

Pasal 125

Pengemudi Kendaraan Bermotor angkutan barang wajib menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan.

Pasal 126

Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:

a. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan;

b. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan;

c. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau

d. melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek.


Bagian Kelima
Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas

Paragraf 1

Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas yang Diperbolehkan

Pasal 127

Pasal 127

1

Pasal 127

2

Pasal 127

3

Paragraf 2

Tata Cara Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas

Pasal 128

Pasal 128

1

Pasal 128

2

Pasal 128

3

Paragraf 3

Tanggung jawab

Pasal 129

Pasal 129

1

Pasal 129

2

Pasal 130

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, Pasal 128, dan Pasal 129 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas

Pasal 131

Pasal 131

1

Pasal 131

2

Pasal 131

3

Pasal 132

Pasal 132

1

Pasal 132

2

Pasal 132

3


Bagian Ketujuh
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas

Pasal 133

Pasal 133

1

Pasal 133

2

Pasal 133

3

Pasal 133

4

Pasal 133

5


Bagian Kedelapan
Hak Utama Pengguna Jalan untuk Kelancaran

Paragraf 1

Pengguna Jalan yang Memperoleh Hak Utama

Pasal 134

Pengguna Jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut:

a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;

b. ambulans yang mengangkut orang sakit;

c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada

Kecelakaan Lalu Lintas;

d. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;

e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara;

f. iring-iringan pengantar jenazah; dan

g. konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2

Tata Cara Pengaturan Kelancaran

Pasal 135

Pasal 135

1

Pasal 135

2

Pasal 135

3


Bagian Kesembilan
Sanksi Administratif

Pasal 136

Pasal 136

1

Pasal 136

2

Pasal 136

3


BAB X ANGKUTAN

Bagian Kesatu
Angkutan Orang dan Barang

Pasal 137

Pasal 137

1

Pasal 137

2

Pasal 137

3

Pasal 137

4

Pasal 137

5


Bagian Kedua

Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum

Pasal 138

Pasal 138

1

Pasal 138

2

Pasal 138

3

Pasal 139

Pasal 139

1

Pasal 139

2

Pasal 139

3

Pasal 139

4

Bagian Ketiga
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Paragraf 1

Umum

Pasal 140

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor

Umum terdiri atas:

a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan

b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek.

Paragraf 2

Standar Pelayanan Angkutan Orang

Pasal 141

Pasal 141

1

Pasal 141

2

Pasal 141

3

Paragraf 3

Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek

Pasal 142

Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a terdiri atas:

a. angkutan lintas batas negara;

b. angkutan antarkota antarprovinsi;

c. angkutan antarkota dalam provinsi;

d. angkutan perkotaan; atau e. angkutan perdesaan.

Pasal 143

Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a harus:

a. memiliki rute tetap dan teratur;

b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan

c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan.

Pasal 144

Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan:

a. tata ruang wilayah;

b. tingkat permintaan jasa angkutan;

c. kemampuan penyediaan jasa angkutan;

d. ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. kesesuaian dengan kelas jalan;

f. keterpaduan intramoda angkutan; dan g. keterpaduan antarmoda angkutan.

Pasal 145

Pasal 145

1

Pasal 145

2

Pasal 145

3

Pasal 145

1

Pasal 146

Pasal 146

1

Pasal 146

2

Pasal 147

Pasal 147

1

Pasal 147

1

Pasal 148

Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh:

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota antarprovinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) provinsi;

b. gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota dalam provinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; atau

c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perkotaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 149

Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf e ditetapkan oleh:

a. bupati untuk kawasan perdesaan yang menghubungkan 1 (satu) daerah kabupaten;

b. gubernur untuk kawasan perdesaan yang melampaui 1 (satu) daerah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau

c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah provinsi.

Pasal 150

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 4

Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek

Pasal 151

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas:

a. angkutan orang dengan menggunakan taksi;

b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;

c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan d. angkutan orang di kawasan tertentu.

Pasal 152

Pasal 152

1

Pasal 152

2

Pasal 152

3

Pasal 153

Pasal 153

1

Pasal 153

1

Pasal 154

Pasal 154

1

Pasal 154

2

Pasal 154

3

Pasal 155

Pasal 155

1

Pasal 155

2

Pasal 156

Evaluasi wilayah operasi dan kebutuhan angkutan orang tidak dalam trayek dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan diumumkan kepada masyarakat.

Pasal 157

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 5

Angkutan Massal

Pasal 158

Pasal 158

1

Pasal 158

2

Pasal 159

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


Bagian Keempat
Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Paragraf 1

Umum

Pasal 160

Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas:

a. angkutan barang umum; dan b. angkutan barang khusus.

Paragraf 2

Angkutan Barang Umum

Pasal 161

Pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas Jalan;

b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat dan membongkar barang; dan

c. menggunakan mobil barang.

Paragraf 3

Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat

Pasal 162

Pasal 162

1

Pasal 162

2

Pasal 162

3

Pasal 163

Pasal 163

1

Pasal 163

1

Pasal 164

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


{{Perundangan bagian|Kelima|Angkutan Multimoda|

Pasal 165

Pasal 165

1

Pasal 165

2

Pasal 165

3

Pasal 165

4

Bagian Keenam
Dokumen Angkutan Orang dan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Pasal 166

Pasal 166

1

Pasal 166

2

Pasal 166

3

Pasal 167

Pasal 167

1

Pasal 167

2

Pasal 168

Pasal 168

1

Pasal 168

2


Bagian Ketujuh
Pengawasan Muatan Barang

Pasal 169

Pasal 169

1

Pasal 169

2

Pasal 169

3

Pasal 169

4

Pasal 170

Pasal 170

1

Pasal 170

2

Pasal 170

3

Pasal 170

4

Pasal 171

Pasal 171

1

Pasal 171

2

Pasal 171

3

Pasal 172

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.


Bagian Kedelapan
Pengusahaan Angkutan

Paragraf 1

Perizinan Angkutan

Pasal 173

Pasal 173

1

Pasal 173

2

Pasal 174

Pasal 174

1

Pasal 174

2

Pasal 174

3

Pasal 175

Pasal 175

1

Pasal 175

2

Paragraf 2

Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang dalam Trayek

Pasal 176

Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a diberikan oleh:

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:

1. trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antarnegara;

2. trayek antarkabupaten/kota yang melampaui wilayah

1 (satu) provinsi;

3. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; dan

4. trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu) provinsi.

b. gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:

1. trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;

2. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan

3. trayek perdesaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten dalam satu provinsi.

c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

d. bupati untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:

1. trayek perdesaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten; dan

2. trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten.

e. walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota.

Pasal 177

Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek wajib:

a. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang diberikan; dan

b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1).

Pasal 178

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 3

Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek

Pasal 179

Pasal 179

1

Pasal 179

2

Paragraf 4

Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat

Pasal 180

(1) Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan rekomendasi dari instansi terkait.

(2) Izin penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan barang khusus dan alat berat diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Kesembilan Tarif Angkutan Pasal 181

(1) Tarif angkutan terdiri atas tarif Penumpang dan tarif barang.

(2) Tarif Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek; dan

b. tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek.

Pasal 182

(1) Tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek terdiri atas:

a. tarif kelas ekonomi; dan

b. tarif kelas nonekonomi.

(2) Penetapan tarif kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota antarprovinsi, angkutan perkotaan, dan angkutan perdesaan yang wilayah pelayanannya melampaui wilayah provinsi;

b. gubernur untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam provinsi serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang melampaui batas satu kabupaten/kota dalam satu provinsi;

c. bupati untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam kabupaten serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang wilayah pelayanannya dalam kabupaten; dan

d. walikota untuk angkutan orang yang melayani trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya dalam kota.

(3) Tarif Penumpang angkutan orang dalam trayek kelas nonekonomi ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 183

(1) Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum atas persetujuan Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.

(2) Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.

Pasal 184

Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

181 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan

antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.


Bagian Kesepuluh
Subsidi Angkutan Penumpang Umum

Pasal 185

(1) Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi pada trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan Penumpang umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.


Bagian Kesebelas
Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Umum

Paragraf 1

Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 186

Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang.

Pasal 187

Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan.

Pasal 188

Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.

Pasal 189

Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.

Pasal 190

Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan.

Pasal 191

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.

Pasal 192

(1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang.

(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan.

(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak Penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati.

(4) Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 193

(1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.

(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.

(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.

(4) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 194

(1) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan Umum.

(2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian pihak ketiga kepada Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.

Paragraf 2

Hak Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 195

(1) Perusahaan Angkutan Umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan.

(2) Perusahaan Angkutan Umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan.

(3) Perusahaan Angkutan Umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 196

Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, Perusahaan Angkutan Umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua Belas
Tanggung Jawab Penyelenggara

Pasal 197

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan wajib:

a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan;

b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan umum; dan

c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang dan barang.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


Bagian Ketiga Belas
Industri Jasa Angkutan Umum

Pasal 198

(1) Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.

(2) Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus:

a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar;

b. menetapkan standar pelayanan minimal;

c. menetapkan kriteria persaingan yang sehat;

d. mendorong terciptanya pasar; dan

e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat diatur dengan peraturan pemerintah.


Bagian Keempat Belas
Sanksi Administratif

Pasal 199

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal

177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, dan

Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


BAB XI KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 200

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama antara pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat.

(3) Untuk mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan kegiatan:

a. penyusunan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan berlalu lintas dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan etika masyarakat dalam berlalu lintas;

d. pengkajian masalah Keamanan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan;

e. manajemen keamanan Lalu Lintas;

f. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan/atau patroli;

g. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan

Pengemudi; dan

h. penegakan hukum Lalu Lintas.

Pasal 201

(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem keamanan dengan berpedoman pada program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi untuk memudahkan pendeteksian kejadian kejahatan di Kendaraan Bermotor.

Pasal 202

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 dan Pasal 201 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Bagian Kedua

Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 203

(1) Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya

Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi:

a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 204

(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ke Pusat Kendali Sistem Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 205

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2) dan kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga

Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 206

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. audit;

b. inspeksi; dan

c. pengamatan dan pemantauan.

(2) Audit bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(3) Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(4) Inspeksi bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(5) Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(6) Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan secara berkelanjutan oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(7) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan tindakan korektif dan/atau penegakan hukum.

Pasal 207

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat

Budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 208

(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertangggung jawab membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Upaya membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini;

b. sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. pemberian penghargaan terhadap tindakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

d. penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang mendorong pengguna jalan berperilaku tertib; dan

e. penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan.

(3) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program untuk mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas.

BAB XII DAMPAK LINGKUNGAN

Bagian Kesatu
Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 209

(1) Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.


Bagian Kedua

Pencegahan dan Penanggulangan

Dampak Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 210

(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Jalan wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 211

Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.

Pasal 212

Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib melakukan perbaikan terhadap kendaraannya jika terjadi kerusakan yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.

Bagian Ketiga

Hak dan Kewajiban

Paragraf 1

Kewajiban Pemerintah

Pasal 213

(1) Pemerintah wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib:

a. merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;

b. membangun dan mengembangkan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;

c. melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan Angkutan Umum, pemilik, dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor yang beroperasi di jalan; dan

d. menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 2

Hak dan Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 214

(1) Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh kemudahan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan.

(2) Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh informasi mengenai kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 215

Perusahaan Angkutan Umum wajib:

a. melaksanakan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah;

b. menyediakan sarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;

c. memberi informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi jasa angkutan umum;

d. memberi penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan sarana angkutan umum; dan

e. mematuhi baku mutu lingkungan hidup.

Paragraf 3

Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 216

(1) Masyarakat berhak mendapatkan Ruang Lalu Lintas yang ramah lingkungan.

(2) Masyarakat berhak memperoleh informasi tentang kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 217

Masyarakat wajib menjaga kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Keempat

Sanksi Administratif

Pasal 218

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai dampak lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kriteria pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XIII PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 219

(1) Pengembangan industri dan teknologi sarana dan

Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan Bermotor;

b. peralatan penegakan hukum;

c. peralatan uji laik kendaraan;

d. fasilitas Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. peralatan registrasi dan identifikasi Kendaraan dan Pengemudi;

f. teknologi serta informasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

g. fasilitas pendidikan dan pelatihan personel Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

h. komponen pendukung Kendaraan Bermotor.

(2) Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor;

b. pengembangan standardisasi Kendaraan dan/atau komponen Kendaraan Bermotor;

c. pengalihan teknologi;

d. penggunaan sebanyak-banyaknya muatan lokal;

e. pengembangan industri bahan baku dan komponen;

f. pemberian kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;

g. pemberian fasilitas kerja sama dengan industri sejenis; dan/atau

h. pemberian fasilitas kerja sama pasar pengguna di dalam dan di luar negeri.


Bagian Kedua

Pengembangan Rancang Bangun Kendaraan Bermotor

Pasal 220

(1) Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh:

a. Pemerintah;

b. Pemerintah Daerah;

c. badan hukum;

d. lembaga penelitian; dan/atau e. perguruan tinggi.

(2) Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan:

a. dimensi utama dan konstruksi Kendaraan Bermotor;

b. kesesuaian material;

c. kesesuaian motor penggerak;

d. kesesuaian daya dukung jalan;

e. bentuk fisik Kendaraan Bermotor;

f. dimensi, konstruksi, posisi, dan jarak tempat duduk;

g. posisi lampu;

h. jumlah tempat duduk;

i. dimensi dan konstruksi bak muatan/volume tangki;

j. peruntukan Kendaraan Bermotor; dan k. fasilitas keluar darurat.

(3) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 221

Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (2) dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya nasional, menerapkan standar keamanan dan keselamatan, serta memperhatikan kelestarian lingkungan.

Bagian Ketiga

Pengembangan Industri dan Teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 222

(1) Pemerintah wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.

(3) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi modernisasi fasilitas:

a. pengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. penegakan hukum;

c. uji kelaikan Kendaraan;

d. Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, serta

Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. pengawasan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

f. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan

Pengemudi;

g. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan; dan

h. keselamatan Pengemudi dan/atau Penumpang.

(4) Metode pengembangan industri dan teknologi meliputi:

a. pemahaman teknologi;

b. pengalihan teknologi; dan

c. fasilitasi riset teknologi.

(5) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan pengesahan dari instansi terkait.

Bagian Keempat

Pemberdayaan Industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 223

(1) Untuk mengembangkan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

222 ayat (2), Pemerintah mendorong pemberdayaan

industri dalam negeri.

(2) Untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemberian fasilitas, insentif bidang tertentu, dan menerapkan standar produk peralatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 224

(1) Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri atas:

a. rekayasa;

b. produksi;

c. perakitan; dan/atau

d. pemeliharaan dan perbaikan.

(2) Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mencakup alih teknologi yang disesuaikan dengan kearifan lokal.

Bagian Kelima

Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 225

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XIV KECELAKAAN LALU LINTAS

Bagian Kesatu
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 226

(1) Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui:

a. partisipasi para pemangku kepentingan;

b. pemberdayaan masyarakat;

c. penegakan hukum; dan d. kemitraan global.

(2) Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

(3) Penyusunan program pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Bagian Kedua

Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

Paragraf 1

Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 227

Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:

a. mendatangi tempat kejadian dengan segera;

b. menolong korban;

c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;

d. mengolah tempat kejadian perkara;

e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;

f. mengamankan barang bukti; dan g. melakukan penyidikan perkara.

Pasal 228

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2

Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 229

(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Pasal 230

Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3

Pertolongan dan Perawatan Korban

Pasal 231

(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan

Lalu Lintas, wajib:

a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;

b. memberikan pertolongan kepada korban;

c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara

Republik Indonesia terdekat; dan

d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.

(2) Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat.

Pasal 232

Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib:

a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu Lintas;

b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau

c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

Paragraf 4

Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 233

(1) Setiap kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data Kecelakaan Lalu Lintas.

(2) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari data forensik.

(3) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data yang berasal dari rumah sakit.

(4) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Ketiga

Kewajiban dan Tanggung Jawab

Paragraf 1

Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi,

Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan

Pasal 234

(1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.

(2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) tidak berlaku jika:

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;

b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau

c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

Pasal 235

(1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

(2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Pasal 236

(1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.

(2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.

Pasal 237

(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan.

(2) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan.

Paragraf 2

Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah

Pasal 238

(1) Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.

(2) Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.

Pasal 239

(1) Pemerintah mengembangkan program asuransi

Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat

Hak Korban

Pasal 240

Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:

a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;

b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan

c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.

Pasal 241

Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XV PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT, MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Perlakuan Khusus

Pasal 242

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.

(2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. aksesibilitas;

b. prioritas pelayanan; dan

c. fasilitas pelayanan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak- anak, wanita hamil, dan orang sakit diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 243

Masyarakat secara kelompok dapat mengajukan gugatan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


Bagian Kedua

Sanksi Administratif

Pasal 244

(1) Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak- anak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XVI SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 245

(1) Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan sistem informasi dan komunikasi yang terpadu.

(2) Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan serta operasional Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi:

a. bidang prasarana Jalan;

b. bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, penegakan hukum, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas.

Pasal 246

(1) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) merupakan subsistem dalam Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh pusat kendali yang mengintegrasikan data, informasi, dan komunikasi dari setiap subsistem.

(3) Data, informasi, dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dapat diakses oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


Bagian Kedua

Pengelolaan Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 247

(1) Dalam mewujudkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengelola subsistem informasi dan komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kewenangannya.

(2) Subsistem informasi dan komunikasi yang dibangun oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terintegrasi dalam pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(3) Pusat kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Ketiga

Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 248

(1) Untuk memenuhi tugas pokok dan fungsi berbagai pemangku kepentingan, dikembangkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data.

(2) Sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data meliputi:

a. perencanaan;

b. perumusan kebijakan;

c. pemantauan; d. pengawasan; e. pengendalian;

f. informasi geografi;

g. pelacakan;

h. informasi Pengguna Jalan;

i. pendeteksian arus Lalu Lintas;

j. pengenalan tanda nomor Kendaraan Bermotor; dan/atau

k. pengidentifikasian Kendaraan Bermotor di Ruang Lalu Lintas.

Bagian Keempat

Pusat Kendali Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 249

(1) Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan berfungsi sebagai pusat:

a. kendali;

b. koordinasi;

c. komunikasi;

d. data dan informasi terpadu;

e. pelayanan masyarakat; dan

f. rekam jejak elektronis untuk penegakan hukum.

(2) Pengelolaan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu.

(3) Kegiatan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sekurang-kurangnya meliputi:

a. pelayanan kebutuhan data, informasi, dan komunikasi tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. dukungan tindakan cepat terhadap pelanggaran, kemacetan, dan kecelakaan serta kejadian lain yang berdampak terhadap Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. analisis, evaluasi terhadap pelanggaran, kemacetan, dan Kecelakaan Lalu Lintas;

d. dukungan penegakan hukum dengan alat elektronik dan secara langsung;

e. dukungan pelayanan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor;

f. pemberian informasi hilang temu Kendaraan Bermotor;

g. pemberian informasi kualitas baku mutu udara;

h. dukungan pengendalian Lalu Lintas dengan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli;

i. dukungan pengendalian pergerakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

j. pemberian informasi tentang kondisi Jalan dan pelayanan publik.

Pasal 250

Data dan informasi pada pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat.

Pasal 251

Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat digunakan untuk penegakan hukum yang meliputi:

a. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau kejahatan lain;

b. tindakan penanganan kecelakaan, pelanggaran, dan kemacetan Lalu Lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau

c. pengejaran, penghadangan, penangkapan, dan penindakan terhadap pelaku dan/atau kendaraan yang terlibat kejahatan atau pelanggaran Lalu Lintas.

Bagian Kelima

Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 252

Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XVII SUMBER DAYA MANUSIA

Pasal 253

(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengembangkan sumber daya manusia untuk menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan oleh:

a. Pemerintah;

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau

c. lembaga swasta yang terakreditasi.

Pasal 254

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan dan pelatihan bagi tenaga mekanik dan Pengemudi.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan terhadap manajemen Perusahaan Angkutan Umum untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 255

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XVIII PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 256

(1) Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. pemantauan dan penjagaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. masukan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. pendapat dan pertimbangan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah terhadap kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menimbulkan dampak lingkungan; dan

d. dukungan terhadap penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan/atau dukungan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 257

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok,

organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.

Pasal 258

Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB XIX PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Penyidikan

Pasal 259

(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:

a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini.

(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

a. Penyidik; dan

b. Penyidik Pembantu.

Paragraf 1

Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 260

(1) Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:

a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;

b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;

d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti;

e. melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti;

h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau

i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.

(2) Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 261

Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) huruf b mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), kecuali mengenai penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) huruf h yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 2

Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Pasal 262

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:

a. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus;

b. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum;

c. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap;

d. melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;

e. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau

f. melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.

(2) Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap.

(3) Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 3

Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Pasal 263

(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selaku koordinator dan pengawas, melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Dalam melaksanakan kewenangannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta barang bukti kepada pengadilan melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


Bagian Kedua

Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Paragraf 1

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan

Pasal 264

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan oleh:

a. Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 265

(1) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 meliputi pemeriksaan:

a. Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor;

b. tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji;

c. fisik Kendaraan Bermotor;

d. daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang;

dan/atau

e. izin penyelenggaraan angkutan.

(2) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau insidental sesuai dengan kebutuhan.

(3) Untuk melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

a. menghentikan Kendaraan Bermotor;

b. meminta keterangan kepada Pengemudi; dan/atau

c. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.

Pasal 266

(1) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) dapat dilakukan secara insidental oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dapat dilakukan secara insidental oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(3) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2) dalam keadaan tertentu dilakukan secara gabungan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didampingi oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2

Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 267

(1) Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan.

(2) Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar.

(3) Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.

(4) Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(5) Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran.

Pasal 268

(1) Dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar untuk diambil.

(2) Sisa uang denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak diambil dalam waktu 1 (satu) tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara.

Pasal 269

(1) Uang denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.

(2) Sebagian penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan sebagai insentif bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan penegakan hukum di Jalan yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Penanganan Benda Sitaan

Pasal 270

(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara.

(3) Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula benda itu disita.

(4) Tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 271

(1) Penyidik wajib mengidentifikasi dan mengumumkan benda sitaan Kendaraan Bermotor yang belum diketahui pemiliknya melalui media massa.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan ciri-ciri Kendaraan Bermotor, tempat penyimpanan, dan tanggal penyitaan.

(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

(4) Benda sitaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah lewat waktu 1 (satu) tahun dan belum diketahui pemiliknya dapat dilelang untuk negara berdasarkan penetapan pengadilan.

Pasal 272

(1) Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik.

(2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

BAB XX KETENTUAN PIDANA

Pasal 273

(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).

(4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 274

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

(2) Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).

Pasal 275

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

(2) Setiap orang yang merusak Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sehingga tidak berfungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 276

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek tidak singgah di Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 277

Setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 278

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 279

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 280

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 281

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 282

Setiap Pengguna Jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 283

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 284

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 285

(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 286

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 287

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d atau tata cara berhenti dan Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

(4) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

(5) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

(6) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 288

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 289

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 290

Setiap orang yang mengemudikan dan menumpang Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 291

(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 292

Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping yang mengangkut Penumpang lebih dari 1 (satu) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 293

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Pasal 294

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan membelok atau berbalik arah, tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 295

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 296

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada perlintasan antara kereta api dan Jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 297

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor berbalapan di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pasal 298

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang tidak memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 299

Setiap orang yang mengendarai Kendaraan Tidak Bermotor yang dengan sengaja berpegang pada Kendaraan Bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat membahayakan Pengguna Jalan lain, dan/atau menggunakan jalur jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Pasal 300

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang:

a. tidak menggunakan lajur yang telah ditentukan atau tidak menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf c;

b. tidak memberhentikan kendaraannya selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf d; atau

c. tidak menutup pintu kendaraan selama Kendaraan berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf e.

Pasal 301

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor angkutan barang yang tidak menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 302

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 303

Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 304

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu yang menaikkan atau menurunkan Penumpang lain di sepanjang perjalanan atau menggunakan Kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk keperluan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 305

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, Parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 306

Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak dilengkapi surat muatan dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 307

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 308

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang:

a. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a;

b. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal

173 ayat (1) huruf b;

c. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal

173 ayat (1) huruf c; atau

d. menyimpang dari izin yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.

Pasal 309

Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya untuk penggantian kerugian yang diderita oleh Penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 310

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 311

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal

229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 312

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Pasal 313

Setiap orang yang tidak mengasuransikan awak Kendaraan dan penumpangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 314

Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.

Pasal 315

(1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan Umum dan/atau pengurusnya.

(2) Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling banyak dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

(3) Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan.

Pasal 316

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274, Pasal 275 ayat (1), Pasal 276, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 305, Pasal 306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 309, dan Pasal 313 adalah pelanggaran.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275 ayat (2), Pasal 277, Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 adalah kejahatan.

Pasal 317

Dalam hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan, besaran nilai denda sebagaimana dimaksud dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 318

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pendidikan dan pelatihan Pengemudi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap berlangsung sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 319

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, audit yang sedang dilaksanakan oleh auditor Pemerintah tetap dijalankan sampai dengan selesainya audit.

BAB XXII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 320

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 321

Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 322

Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 323

Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan harus berfungsi paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 324

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 325

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3480) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 326

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Penutup

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 22 Juni 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 22 Juni 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 96

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

Bidang Perekonomian dan Industri,

Setio Sapto Nugroho