Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009: Perbedaan antara revisi

Dari Wiki Javasatu
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(104 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Perundangan judul|{{Perundangan jenis|Undang-undang|{{Perundangan lembaga|Republik Indonesia}}}}<br/>
{{#seo:|image=Cover UU 22 2009.jpg}}
{{Perundangan nomor|22}} {{Perundangan tahun|2009}}<br/>
TENTANG<br/>
{{Perundangan tentang|LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN}}


{{Perundangan uu
|daerah=Republik Indonesia
|nomor=22
|tahun=2009
|tentang=LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
|pejabat=PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
}}


{{Perundangan konsideran|{{Perundangan konsideran isi|a|Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945}}


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
{{Perundangan konsideran isi|b|Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah}}


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,}}
{{Perundangan konsideran isi|c|perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara}}


{{Perundangan konsideran isi|d|[[Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992]] tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang- undang yang baru}}


{{Perundangan konsideran|{{Hanging indent |text=a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;}}
{{Perundangan konsideran isi|e|berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan}}
 
}}
{{Hanging indent |text=b. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah;}}


{{Hanging indent |text=c. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara;}}


{{Hanging indent |text=d. bahwa [[Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992]] tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang- undang yang baru;
{{Perundangan dasar hukum|{{Perundangan dasar hukum isi||[[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945#Pasal 5 ayat 1|Pasal 5 ayat (1)]] serta Pasal [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945#Pasal 20 ayat 1|20 ayat (1)]] dan [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945#Pasal 20 ayat 2|ayat (2)]] [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]]}}
}}
}}
{{Hanging indent |text=e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
}}}}
{{Perundangan dasar hukum|Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;}}




Baris 35: Baris 33:


===Keputusan===
===Keputusan===
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN
JALAN.
===BAB I KETENTUAN UMUM===
====Pasal 1====
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
{{Perundangan ketentuan umum|1|Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.}}
{{Perundangan ketentuan umum|2|Lalu Lintas|gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|3|Angkutan|perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|4|Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|serangkaian Simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|5|Simpul|tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara.}}
{{Perundangan ketentuan umum|6|Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.}}
{{Perundangan ketentuan umum|7|Kendaraan|suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.}}
{{Perundangan ketentuan umum|8|Kendaraan Bermotor|setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.}}
{{Perundangan ketentuan umum|9|Kendaraan Tidak Bermotor|setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|10|Kendaraan Bermotor Umum|setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.}}
{{Perundangan ketentuan umum|11|Ruang Lalu Lintas Jalan|prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung.}}
{{Perundangan ketentuan umum|12|Jalan|seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.}}
{{Perundangan ketentuan umum|13|Terminal|pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|14|Halte|tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.}}
{{Perundangan ketentuan umum|15|Parkir|keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.}}
{{Perundangan ketentuan umum|16|Berhenti|keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.}}
{{Perundangan ketentuan umum|17|Rambu Lalu Lintas|bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|18|Marka Jalan|suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.}}
{{Perundangan ketentuan umum|19|Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas|perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang dan/atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|20|Sepeda Motor|Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.}}
{{Perundangan ketentuan umum|21|Perusahaan Angkutan Umum|badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.}}
{{Perundangan ketentuan umum|22|Pengguna Jasa|perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum.}}
{{Perundangan ketentuan umum|23|Pengemudi|orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi.}}
{{Perundangan ketentuan umum|24|Kecelakaan Lalu Lintas|suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.}}
{{Perundangan ketentuan umum|25|Penumpang|orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|26|Pejalan Kaki|setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|27|Pengguna Jalan|orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas.}}
{{Perundangan ketentuan umum|28|Dana Preservasi Jalan|dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|29|Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas|serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas.}}
{{Perundangan ketentuan umum|30|Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/atau Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum, dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas.}}
{{Perundangan ketentuan umum|31|Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/atau lingkungan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|32|Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|33|Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|34|Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|35|Penyidik|pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|36|Penyidik Pembantu|pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini.}}
{{Perundangan ketentuan umum|37|Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,|Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.}}
{{Perundangan ketentuan umum|38|Pemerintah Daerah|gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.}}
{{Perundangan ketentuan umum|39|Menteri|pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan.}}
{{Perundangan ketentuan umum|40|Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia|pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.}}
===BAB II ASAS DAN TUJUAN===
====Pasal 2====
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. asas transparan;
b. asas akuntabel;
c. asas berkelanjutan;
d. asas partisipatif;
e. asas bermanfaat;
f. asas efisien dan efektif;
g. asas seimbang;
h. asas terpadu; dan
i. asas mandiri.
====Pasal 3====
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:
a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
===BAB III RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG===
====Pasal 4====
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:
a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;
b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
===BAB IV PEMBINAAN===
====Pasal 5====
{{Perundangan pasal|5|1|Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.}}
{{Perundangan pasal|5|2|Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. pengendalian; dan
d. pengawasan.}}
{{Perundangan pasal|5|3|Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang meliputi:
a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;
d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
====Pasal 6====
{{Perundangan pasal|6|1|Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 5 ayat 3|Pasal 5 ayat (3)]] meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional;
b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional;
c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional;
d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan
e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.}}
{{Perundangan pasal|6|2|Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.}}
{{Perundangan pasal|6|3|Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.}}
{{Perundangan pasal|6|4|Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.}}
===BAB V PENYELENGGARAAN===
====Pasal 7====
{{Perundangan pasal|7|1|Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.}}
{{Perundangan pasal|7|2|Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi:
a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;
d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
====Pasal 8====
Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 7 ayat 2|Pasal 7 ayat (2)]]] huruf a, yaitu:
a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya;
b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan;
c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan;
d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan;
e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan;
f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan
g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan.
====Pasal 9====
Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:
a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;
c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;
d. perizinan angkutan umum;
e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
====Pasal 10====
Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:
a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor;
b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
====Pasal 11====
Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi:
a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor;
b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
====Pasal 12====
Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (2) huruf e meliputi:
a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor;
b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor;
c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas;
f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;
g. pendidikan berlalu lintas;
h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan
i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.
====Pasal 13====
{{Perundangan pasal|13|1|Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 7 ayat 1|Pasal 7 ayat (1)]] dilakukan secara terkoordinasi.}}
{{Perundangan pasal|13|2|Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
{{Perundangan pasal|13|3|Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
{{Perundangan pasal|13|4|Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat.}}
{{Perundangan pasal|13|5|Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.}}
===BAB VI JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN===
Bagian Kesatu
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
====Pasal 14====
{{Perundangan pasal|14|1|Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.}}
{{Perundangan pasal|14|2|Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan.}}
{{Perundangan pasal|14|3|Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.}}
====Pasal 15====
{{Perundangan pasal|15|1|Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 14 ayat 3|Pasal 14 ayat (3)]] huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional.}}
{{Perundangan pasal|15|2|Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.}}
{{Perundangan pasal|15|3|Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.}}
====Pasal 16====
{{Perundangan pasal|16|1|Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 14 ayat 3|Pasal 14 ayat (3)]] huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.}}
{{Perundangan pasal|16|2|Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.}}
{{Perundangan pasal|16|3|Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.}}
====Pasal 17====
{{Perundangan pasal|17|1|Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 14 ayat 3|Pasal 14 ayat (3)]] huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.}}
{{Perundangan pasal|17|2|Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.}}
{{Perundangan pasal|17|3|Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.}}
====Pasal 18====
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas
Paragraf 1
Kelas Jalan
====Pasal 19====
{{Perundangan pasal|19|1|Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|19|2|Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.}}
{{Perundangan pasal|19|3|Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton.}}
{{Perundangan pasal|19|4|Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.}}
{{Perundangan pasal|19|5|Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.}}
====Pasal 20====
{{Perundangan pasal|20|1|Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh:
a. Pemerintah, untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau d. pemerintah kota, untuk jalan kota.}}
{{Perundangan pasal|20|2|Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.}}
{{Perundangan pasal|20|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
Paragraf 2
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan
====Pasal 21====
{{Perundangan pasal|21|1|Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.}}
{{Perundangan pasal|21|2|Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan.}}
{{Perundangan pasal|21|3|Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.}}
{{Perundangan pasal|21|4|Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.}}
{{Perundangan pasal|21|5|Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
====Pasal 22====
{{Perundangan pasal|22|1|Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.}}
{{Perundangan pasal|22|2|Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.}}
{{Perundangan pasal|22|3|Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.}}
{{Perundangan pasal|22|4|Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.}}
{{Perundangan pasal|22|5|Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
{{Perundangan pasal|22|6|Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
{{Perundangan pasal|22|7|Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
====Pasal 23====
{{Perundangan pasal|23|1|Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
{{Perundangan pasal|23|2|Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
====Pasal 24====
{{Perundangan pasal|24|1|Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.}}
{{Perundangan pasal|24|2|Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.}}
====Pasal 25====
{{Perundangan pasal|25|1|Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. alat penerangan Jalan;
e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan
h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.}}
{{Perundangan pasal|25|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
====Pasal 26====
{{Perundangan pasal|26|1|Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau
d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.}}
{{Perundangan pasal|26|2|Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
====Pasal 27====
{{Perundangan pasal|27|1|Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas.}}
{{Perundangan pasal|27|2|Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah.}}
====Pasal 28====
{{Perundangan pasal|28|1|Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.}}
{{Perundangan pasal|28|2|Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 25 ayat 1|Pasal 25 ayat (1)]].}}
Bagian Ketiga
Dana Preservasi Jalan
====Pasal 29====
{{Perundangan pasal|29|1|Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.}}
{{Perundangan pasal|29|2|Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.}}
{{Perundangan pasal|29|3|Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.}}
{{Perundangan pasal|29|4|Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
====Pasal 30====
Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.
====Pasal 31====
Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan.
====Pasal 32====
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Terminal
Paragraf 1
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal
====Pasal 33====
{{Perundangan pasal|33|1|Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal.}}
{{Perundangan pasal|33|2|Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.}}
====Pasal 34====
{{Perundangan pasal|34|1|Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 33 ayat 2|Pasal 33 ayat (2)]] menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.}}
{{Perundangan pasal|34|2|Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.}}
====Pasal 35====
Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
====Pasal 36====
Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.
Paragraf 2
Penetapan Lokasi Terminal
====Pasal 37====
{{Perundangan pasal|37|1|Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
{{Perundangan pasal|37|2|Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:
a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas;
d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;
e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
f. permintaan angkutan;
g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dann Angkutan Jalan; dan/atau
i. kelestarian lingkungan hidup.}}
Paragraf 3
Fasilitas Terminal
====Pasal 38====
{{Perundangan pasal|38|1|Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.}}
{{Perundangan pasal|38|2|Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.}}
{{Perundangan pasal|38|3|Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan.}}
Paragraf 4
Lingkungan Kerja Terminal
====Pasal 39====
{{Perundangan pasal|39|1|Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.}}
{{Perundangan pasal|39|2|Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.}}
{{Perundangan pasal|39|3|Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.}}
Paragraf 5
Pembangunan dan Pengoperasian Terminal
====Pasal 40====
{{Perundangan pasal|40|1|Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
a. rancang bangun;
b. buku kerja rancang bangun;
c. rencana induk Terminal;
d. analisis dampak Lalu Lintas; dan
e. analisis mengenai dampak lingkungan.}}
{{Perundangan pasal|40|2|Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan; dan
c. pengawasan operasional Terminal.}}
====Pasal 41====
{{Perundangan pasal|41|1|Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.}}
{{Perundangan pasal|41|2|Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
Paragraf 6
Pengaturan Lebih Lanjut
====Pasal 42====
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kelima
Fasilitas Parkir
====Pasal 43====
{{Perundangan pasal|43|1|Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.}}
{{Perundangan pasal|43|2|Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:
a. usaha khusus perparkiran; atau
b. penunjang usaha pokok.}}
{{Perundangan pasal|43|3|Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.}}
{{Perundangan pasal|43|4|Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.}}
====Pasal 44====
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:
a. rencana umum tata ruang;
b. analisis dampak lalu lintas; dan c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.
Bagian Keenam
Fasilitas Pendukung
====Pasal 45====
{{Perundangan pasal|45|1|Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. trotoar;
b. lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
d. Halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.}}
{{Perundangan pasal|45|2|Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa;
d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan
e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.}}
====Pasal 46====
{{Perundangan pasal|46|1|Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta.}}
{{Perundangan pasal|46|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.}}
===BAB VII KENDARAAN===
Bagian Kesatu
Jenis dan Fungsi Kendaraan
====Pasal 47====
{{Perundangan pasal|47|1|Kendaraan terdiri atas:
a. Kendaraan Bermotor; dan
b. Kendaraan Tidak Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|47|2|Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:
a. sepeda motor;
b. mobil penumpang;
c. mobil bus;
d. mobil barang; dan
e. kendaraan khusus.}}
{{Perundangan pasal|47|3|Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi:
a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan
b. Kendaraan Bermotor Umum.}}
{{Perundangan pasal|47|4|Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam:
a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan
b. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.}}
Bagian Kedua
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor
====Pasal 48====
{{Perundangan pasal|48|1|Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.}}
{{Perundangan pasal|48|2|Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. susunan;
b. perlengkapan;
c. ukuran;
d. karoseri;
e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya;
f. pemuatan;
g. penggunaan;
h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau
i. penempelan Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|48|3|Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. emisi gas buang;
b. kebisingan suara;
c. efisiensi sistem rem utama;
d. efisiensi sistem rem parkir;
e. kincup roda depan;
f. suara klakson;
g. daya pancar dan arah sinar lampu utama;
h. radius putar;
i. akurasi alat penunjuk kecepatan;
j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan
k. kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat kendaraan.}}
{{Perundangan pasal|48|4|Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
Bagian Ketiga
Pengujian Kendaraan Bermotor
====Pasal 49====
{{Perundangan pasal|49|1|Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian.}}
{{Perundangan pasal|49|2|Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. uji tipe; dan
b. uji berkala.}}
====Pasal 50====
{{Perundangan pasal|50|1|Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.}}
{{Perundangan pasal|50|2|Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan yang dilakukan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan
b. penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya.}}
{{Perundangan pasal|50|3|Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.}}
{{Perundangan pasal|50|4|Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
====Pasal 51====
{{Perundangan pasal|51|1|Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe.}}
{{Perundangan pasal|51|2|Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang telah lulus uji tipe diterbitkan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa.}}
{{Perundangan pasal|51|3|Penanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan dan kereta tempelan, serta Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi harus meregistrasikan tipe produksinya.}}
{{Perundangan pasal|51|4|Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji tipe.}}
{{Perundangan pasal|51|5|Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.}}
{{Perundangan pasal|51|6|Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe diatur dengan peraturan pemerintah.}}
====Pasal 52====
{{Perundangan pasal|52|1|Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut.}}
{{Perundangan pasal|52|2|Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui.}}
{{Perundangan pasal|52|3|Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang.}}
{{Perundangan pasal|52|4|Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi ulang.}}
====Pasal 53====
{{Perundangan pasal|53|1|Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan.}}
{{Perundangan pasal|53|2|Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan
b. pengesahan hasil uji.}}
{{Perundangan pasal|53|3|Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh:
a. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota;
b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat izin dari Pemerintah; atau
c. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan izin dari Pemerintah.}}
====Pasal 54====
{{Perundangan pasal|54|1|Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.}}
{{Perundangan pasal|54|2|Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. susunan;
b. perlengkapan;
c. ukuran;
d. karoseri; dan
e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya.}}
{{Perundangan pasal|54|3|Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. emisi gas buang Kendaraan Bermotor;
b. tingkat kebisingan;
c. kemampuan rem utama; d. kemampuan rem parkir; e. kincup roda depan;
f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama;
g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan
h. kedalaman alur ban.}}
{{Perundangan pasal|54|4|Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu.}}
{{Perundangan pasal|54|5|Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian kartu uji dan tanda uji.}}
{{Perundangan pasal|54|6|Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji.}}
{{Perundangan pasal|54|7|Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji.}}
====Pasal 55====
{{Perundangan pasal|55|1|Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b diberikan oleh:
a. petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota; dan
b. petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit pelaksana pengujian swasta.}}
{{Perundangan pasal|55|2|Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan.}}
====Pasal 56====
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Perlengkapan Kendaraan Bermotor
====Pasal 57====
{{Perundangan pasal|57|1|Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|57|2|Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.}}
{{Perundangan pasal|57|3|Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurang- kurangnya terdiri atas:
a. sabuk keselamatan;
b. ban cadangan;
c. segitiga pengaman;
d. dongkrak;
e. pembuka roda;
f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan
g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas Lintas.}}
{{Perundangan pasal|57|4|Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
====Pasal 58====
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.
====Pasal 59====
{{Perundangan pasal|59|1|Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.}}
{{Perundangan pasal|59|2|Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna:
a. merah;
b. biru; dan
c. kuning.}}
{{Perundangan pasal|59|3|Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.}}
{{Perundangan pasal|59|4|Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.}}
{{Perundangan pasal|59|5|Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:
a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan
c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus.}}
{{Perundangan pasal|59|6|Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
{{Perundangan pasal|59|7|Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
Bagian Kelima
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor
====Pasal 60====
{{Perundangan pasal|60|1|Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor, wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.}}
{{Perundangan pasal|60|2|Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|60|3|Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang industri.}}
{{Perundangan pasal|60|4|Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
{{Perundangan pasal|60|5|Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.}}
{{Perundangan pasal|60|6|Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan peraturan pemerintah.}}
Bagian Keenam
Kendaraan Tidak Bermotor
====Pasal 61====
{{Perundangan pasal|61|1|Setiap Kendaraan Tidak Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan, meliputi:
a. persyaratan teknis; dan
b. persyaratan tata cara memuat barang.}}
{{Perundangan pasal|61|2|Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sekurang-kurangnya meliputi:
a. konstruksi;
b. sistem kemudi;
c. sistem roda;
d. sistem rem;
e. lampu dan pemantul cahaya; dan
f. alat peringatan dengan bunyi.}}
{{Perundangan pasal|61|3|Persyaratan tata cara memuat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya meliputi dimensi dan berat.}}
{{Perundangan pasal|61|4|Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
====Pasal 62====
{{Perundangan pasal|62|1|Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda.}}
{{Perundangan pasal|62|2|Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.}}
====Pasal 63====
{{Perundangan pasal|63|1|Pemerintah Daerah dapat menentukan jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor di daerahnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.}}
{{Perundangan pasal|63|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.}}
{{Perundangan pasal|63|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat lintas kabupaten/kota diatur dengan peraturan daerah provinsi.}}
Bagian Ketujuh
Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor
====Pasal 64====
{{Perundangan pasal|64|1|Setiap Kendaraan Bermotor wajib diregistrasikan.}}
{{Perundangan pasal|64|2|Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. registrasi Kendaraan Bermotor baru;
b. registrasi perubahan identitas Kendaraan Bermotor dan pemilik;
c. registrasi perpanjangan Kendaraan Bermotor; dan/atau
d. registrasi pengesahan Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|64|3|Registrasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. tertib administrasi;
b. pengendalian dan pengawasan Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Indonesia;
c. mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau kejahatan;
d. perencanaan, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
e. perencanaan pembangunan nasional.}}
{{Perundangan pasal|64|4|Registrasi Kendaraan Bermotor dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|64|5|Data registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian.}}
{{Perundangan pasal|64|6|Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
====Pasal 65====
{{Perundangan pasal|65|1|Registrasi Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan:
a. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan pemiliknya;
b. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor; dan
c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|65|2|Sebagai bukti bahwa Kendaraan Bermotor telah diregistrasi, pemilik diberi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.}}
====Pasal 66====
Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk pertama kali harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki sertifikat registrasi uji tipe;
b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor yang sah; dan
c. memiliki hasil pemeriksaan cek fisik Kendaraan Bermotor.
====Pasal 67====
{{Perundangan pasal|67|1|Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor, pembayaran pajak Kendaraan Bermotor, dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan secara terintegrasi dan terkoordinasi dalam Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap.}}
{{Perundangan pasal|67|2|Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah Daerah.}}
{{Perundangan pasal|67|3|Mekanisme penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap dikoordinasikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
{{Perundangan pasal|67|4|Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Presiden.}}
====Pasal 68====
{{Perundangan pasal|68|1|Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|68|2|Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data Kendaraan Bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi Kendaraan Bermotor, dan masa berlaku.}}
{{Perundangan pasal|68|3|Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kode wilayah, nomor registrasi, dan masa berlaku.}}
{{Perundangan pasal|68|4|Tanda Nomor Kendaraan Bermotor harus memenuhi syarat bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan.}}
{{Perundangan pasal|68|5|Selain Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor khusus dan/atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor rahasia.}}
{{Perundangan pasal|68|6|Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
====Pasal 69====
{{Perundangan pasal|69|1|Setiap Kendaraan Bermotor yang belum diregistrasi dapat dioperasikan di Jalan untuk kepentingan tertentu dengan dilengkapi Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|69|2|Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada badan usaha di bidang penjualan, pembuatan, perakitan, atau impor Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|69|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
====Pasal 70====
{{Perundangan pasal|70|1|Buku Pemilik Kendaraan Bermotor berlaku selama kepemilikannya tidak dipindahtangankan.}}
{{Perundangan pasal|70|2|Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun.}}
{{Perundangan pasal|70|3|Sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor wajib diajukan permohonan perpanjangan.}}
====Pasal 71====
{{Perundangan pasal|71|1|Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia jika:
a. bukti registrasi hilang atau rusak;
b. spesifikasi teknis dan/atau fungsi Kendaraan Bermotor diubah;
c. kepemilikan Kendaraan Bermotor beralih; atau
d. Kendaraan Bermotor digunakan secara terus- menerus lebih dari 3 (tiga) bulan di luar wilayah Kendaraan diregistrasi.}}
{{Perundangan pasal|71|2|Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut terakhir diregistrasi.}}
{{Perundangan pasal|71|3|Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut dioperasikan.}}
====Pasal 72====
{{Perundangan pasal|72|1|Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia diatur dengan peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan dilaporkan untuk pendataan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
{{Perundangan pasal|72|2|Registrasi Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
{{Perundangan pasal|72|3|Registrasi Kendaraan Bermotor perwakilan negara asing dan lembaga internasional diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
====Pasal 73====
{{Perundangan pasal|73|1|Kendaraan Bermotor Umum yang telah diregistrasi dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum atas dasar:
a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor Umum; atau
b. usulan pejabat yang berwenang memberi izin angkutan umum.}}
{{Perundangan pasal|73|2|Setiap Kendaraan Bermotor Umum yang tidak lagi digunakan sebagai angkutan umum wajib dihapuskan dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum.}}
====Pasal 74====
{{Perundangan pasal|74|1|Kendaraan Bermotor yang telah diregistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor atas dasar:
a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor; atau
b. pertimbangan pejabat yang berwenang melaksanakan registrasi Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|74|2|Penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika:
a. Kendaraan Bermotor rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan; atau
b. pemilik Kendaraan Bermotor tidak melakukan registrasi ulang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.}}
{{Perundangan pasal|74|3|Kendaraan Bermotor yang telah dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi kembali.}}
====Pasal 75====
Ketentuan lebih lanjut mengenai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedelapan
Sanksi Administratif
====Pasal 76====
{{Perundangan pasal|76|1|Setiap orang yang melanggar ketentuan [[#Pasal 53 ayat 1|Pasal 53 ayat (1)]], Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembayaran denda;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.}}
{{Perundangan pasal|76|2|Setiap orang yang menyelenggarakan bengkel umum yang melanggar ketentuan [[#Pasal 60 ayat 3|Pasal 60 ayat (3)]] dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembayaran denda; dan/atau
c. penutupan bengkel umum.}}
{{Perundangan pasal|76|3|Setiap petugas pengesah swasta yang melanggar ketentuan [[#Pasal 54 ayat 2|Pasal 54 ayat (2)]] atau [[#Pasal 54 ayat 3|ayat (3)]] dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembayaran denda;
c. pembekuan sertifikat pengesah; dan/atau
d. pencabutan sertifikat pengesah.}}
{{Perundangan pasal|76|4|Setiap petugas penguji atau pengesah uji berkala yang melanggar ketentuan [[#Pasal 54 ayat 2|Pasal 54 ayat (2)]] atau [[#Pasal 54 ayat 3|ayat (3)]] dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
{{Perundangan pasal|76|5|Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
===BAB VIII PENGEMUDI===
Bagian Kesatu
Surat Izin Mengemudi
Paragraf 1
Persyaratan Pengemudi
====Pasal 77====
{{Perundangan pasal|77|1|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.}}
{{Perundangan pasal|77|2|Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis:
a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan
b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum.}}
{{Perundangan pasal|77|3|Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.}}
{{Perundangan pasal|77|4|Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum.}}
{{Perundangan pasal|77|5|Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan.}}
Paragraf 2
Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi
====Pasal 78====
{{Perundangan pasal|78|1|Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari Pemerintah.}}
{{Perundangan pasal|78|2|Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.}}
{{Perundangan pasal|78|3|Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
{{Perundangan pasal|78|4|Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
====Pasal 79====
{{Perundangan pasal|79|1|Setiap calon Pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji.}}
{{Perundangan pasal|79|2|Instruktur atau penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelanggaran dan/atau Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi saat calon Pengemudi belajar atau menjalani ujian.}}
Paragraf 3
Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi
====Pasal 80====
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a digolongkan menjadi:
a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;


b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
{{Perundangan keputusan|UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.}}


c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;
{{:{{PAGENAME}}/BAB I}}


d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan
{{:{{PAGENAME}}/BAB II}}


Sepeda Motor; dan
{{:{{PAGENAME}}/BAB III}}


e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.
{{:{{PAGENAME}}/BAB IV}}


====Pasal 81====
{{:{{PAGENAME}}/BAB V}}
{{Perundangan pasal|81|1|Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian.}}


{{Perundangan pasal|81|2|Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
{{:{{PAGENAME}}/BAB VI}}


a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;
{{:{{PAGENAME}}/BAB VII}}


b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan
{{:{{PAGENAME}}/BAB VIII}}


c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.}}
{{:{{PAGENAME}}/BAB IX}}


{{Perundangan pasal|81|3|Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
{{Perundangan bab|X|ANGKUTAN|
 
{{Perundangan bagian|Kesatu|Angkutan Orang dan Barang|
a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk;
{{Perundangan pasal|137|
 
{{Perundangan ayat|137|1|Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.}}
b. pengisian formulir permohonan; dan c. rumusan sidik jari.}}
{{Perundangan ayat|137|2|Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.}}
 
{{Perundangan ayat|137|3|Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang.}}
{{Perundangan pasal|81|4|Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
{{Perundangan ayat|137|4|Mobil barang dilarang digunakan untuk angkutan orang, kecuali:
 
a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan
 
b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis.}}
 
{{Perundangan pasal|81|5|Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
 
a. ujian teori;
 
b. ujian praktik; dan/atau
 
c. ujian keterampilan melalui simulator.}}
 
{{Perundangan pasal|81|6|Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan:
 
a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan
 
b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.}}
 
====Pasal 82====
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b digolongkan menjadi:
 
a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
 
b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan
 
c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram.
 
====Pasal 83====
{{Perundangan pasal|83|1|Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus.}}
 
{{Perundangan pasal|83|2|Syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
 
a. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum;
 
b. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan
 
c. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum.}}
 
{{Perundangan pasal|83|3|Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
 
a. lulus ujian teori yang meliputi pengetahuan mengenai:
 
1. pelayanan angkutan umum;
 
2. fasilitas umum dan fasilitas sosial;
 
3. pengujian Kendaraan Bermotor;
 
4. tata cara mengangkut orang dan/atau barang;
 
5. tempat penting di wilayah domisili;
 
6. jenis barang berbahaya; dan
 
7. pengoperasian peralatan keamanan.
 
b. lulus ujian praktik, yang meliputi:
 
1. menaikkan dan menurunkan penumpang dan/atau barang di Terminal dan di tempat tertentu lainnya;
 
2. tata cara mengangkut orang dan/atau barang;
 
3. mengisi surat muatan;
 
4. etika Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum; dan
 
5. pengoperasian peralatan keamanan.}}
 
{{Perundangan pasal|83|4|Dengan memperhatikan syarat usia, setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan:
 
a. Surat Izin Mengemudi A Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan;
 
b. untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I atau Surat Izin Mengemudi A Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan
 
c. untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B II atau Surat Izin Mengemudi B I Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.}}
 
{{Perundangan pasal|83|5|Selain harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), setiap orang yang mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) dan ayat (4).}}
 
====Pasal 84====
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor dapat digunakan sebagai Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor yang jumlah beratnya sama atau lebih rendah, sebagai berikut:
 
a. Surat Izin Mengemudi A Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A;
 
b. Surat Izin Mengemudi B I dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A;
 
c. Surat Izin Mengemudi B I Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, dan Surat Izin Mengemudi B I;
 
d. Surat Izin Mengemudi B II dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A dan Surat Izin Mengemudi B I; atau
 
e. Surat Izin Mengemudi B II Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, Surat Izin Mengemudi B I, Surat Izin Mengemudi B I Umum, dan Surat Izin Mengemudi B II.
 
====Pasal 85====
{{Perundangan pasal|85|1|Surat Izin Mengemudi berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain.}}
 
{{Perundangan pasal|85|2|Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.}}
 
{{Perundangan pasal|85|3|Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.}}
 
{{Perundangan pasal|85|4|Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara lain, Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan di Indonesia dapat pula berlaku di negara lain dan Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di Indonesia.}}
 
{{Perundangan pasal|85|5|Pemegang Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi internasional yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
Paragraf 4
 
Fungsi Surat Izin Mengemudi
 
====Pasal 86====
{{Perundangan pasal|86|1|Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi mengemudi.}}
 
{{Perundangan pasal|86|2|Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai registrasi Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap Pengemudi.}}
 
{{Perundangan pasal|86|3|Data pada registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian.}}
 
Bagian Kedua
 
Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi
 
Paragraf 1
 
Penerbitan Surat Izin Mengemudi
 
====Pasal 87====
{{Perundangan pasal|87|1|Surat Izin Mengemudi diberikan kepada setiap calon Pengemudi yang lulus ujian mengemudi.}}
 
{{Perundangan pasal|87|2|Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
{{Perundangan pasal|87|3|Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyelenggarakan sistem informasi penerbitan Surat Izin Mengemudi.}}
 
{{Perundangan pasal|87|4|Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menaati prosedur penerbitan Surat Izin Mengemudi.}}
 
====Pasal 88====
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
Paragraf 2
 
Pemberian Tanda Pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi
 
====Pasal 89====
{{Perundangan pasal|89|1|Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan tanda atau data pelanggaran terhadap Surat Izin Mengemudi milik Pengemudi yang melakukan pelanggaran tindak pidana Lalu Lintas.}}
 
{{Perundangan pasal|89|2|Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara atau mencabut Surat Izin Mengemudi sementara sebelum diputus oleh pengadilan.}}
 
{{Perundangan pasal|89|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda atau data pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
Bagian Ketiga
 
Waktu Kerja Pengemudi
 
====Pasal 90====
{{Perundangan pasal|90|1|Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.}}
 
{{Perundangan pasal|90|2|Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam sehari.}}
 
{{Perundangan pasal|90|3|Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam.}}
 
{{Perundangan pasal|90|4|Dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.}}
 
Bagian Keempat
 
Sanksi Administratif
 
====Pasal 91====
{{Perundangan pasal|91|1|Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa sanksi disiplin dan/atau etika profesi kepolisian.}}
 
{{Perundangan pasal|91|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
====Pasal 92====
{{Perundangan pasal|92|1|Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dikenai sanksi administratif.}}
 
{{Perundangan pasal|92|2|Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
 
a. peringatan tertulis;
 
b. pemberian denda administratif;
 
c. pembekuan izin; dan/atau
 
d. pencabutan izin.}}
 
{{Perundangan pasal|92|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
 
===BAB IX LALU LINTAS===
Bagian Kesatu
 
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
 
Paragraf 1
 
Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
 
====Pasal 93====
{{Perundangan pasal|93|1|Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
{{Perundangan pasal|93|2|Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
 
a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus;
 
b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki;
 
c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;
 
d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas;
 
e. pemaduan berbagai moda angkutan;
 
f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan;
 
g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau
 
h. perlindungan terhadap lingkungan.}}
 
{{Perundangan pasal|93|3|Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan:
 
a. perencanaan;
 
b. pengaturan;
 
c. perekayasaan;
 
d. pemberdayaan; dan
 
e. pengawasan.}}
 
====Pasal 94====
{{Perundangan pasal|94|1|Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf a meliputi:
 
a. identifikasi masalah Lalu Lintas;
 
b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas;
 
c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang;
 
d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan;
 
e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung Kendaraan;
 
f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas;
 
g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas;
 
h. penetapan tingkat pelayanan; dan
 
i. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas.}}
 
{{Perundangan pasal|94|2|Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi:
 
a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan
 
b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.}}
 
{{Perundangan pasal|94|3|Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c meliputi:
 
a. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan Jalan yang tidak berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan;
 
b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan Jalan yang berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; dan
 
c. optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam rangka meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan hukum.}}
 
{{Perundangan pasal|94|4|Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi pemberian:
 
a. arahan;
 
b. bimbingan;
 
c. penyuluhan;
 
d. pelatihan; dan
 
e. bantuan teknis.}}
 
{{Perundangan pasal|94|5|Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e meliputi:
 
a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan;
 
b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan
 
c. tindakan penegakan hukum.}}
 
====Pasal 95====
{{Perundangan pasal|95|1|Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 94 ayat 2|Pasal 94 ayat (2)]] huruf a yang berupa perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk diatur dengan:
 
a. peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jalan nasional;
 
b. peraturan daerah provinsi untuk jalan provinsi;
 
c. peraturan daerah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; atau
 
d. peraturan daerah kota untuk jalan kota.}}
 
{{Perundangan pasal|95|2|Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.}}
 
Paragraf 2
 
Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
 
====Pasal 96====
{{Perundangan pasal|96|1|Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, Pasal 94 ayat (2), Pasal 94 ayat (3) huruf b, Pasal 94 ayat (4), serta Pasal 94 ayat (5) huruf a dan huruf b untuk jaringan jalan nasional.}}
 
{{Perundangan pasal|96|2|Menteri yang membidangi Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i, serta Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional.}}
 
{{Perundangan pasal|96|3|Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf i, Pasal 94 ayat (3) huruf c, dan Pasal 94 ayat (5).}}
 
{{Perundangan pasal|96|4|Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan provinsi setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.}}
 
{{Perundangan pasal|96|5|Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kabupaten dan/atau jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.}}
 
{{Perundangan pasal|96|6|Walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kota setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.}}
 
====Pasal 97====
{{Perundangan pasal|97|1|Dalam hal terjadi perubahan arus Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian.}}
 
{{Perundangan pasal|97|2|Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan yang bersifat sementara.}}
 
{{Perundangan pasal|97|3|Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepada instansi terkait.}}
 
====Pasal 98====
{{Perundangan pasal|98|1|Penanggung jawab pelaksana Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas wajib berkoordinasi dan membuat analisis, evaluasi, dan laporan pelaksanaan berdasarkan data dan kinerjanya.}}
 
{{Perundangan pasal|98|2|Laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
Bagian Kedua
 
Analisis Dampak Lalu Lintas
 
====Pasal 99====
{{Perundangan pasal|99|1|Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.}}
 
{{Perundangan pasal|99|2|Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
 
a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
 
b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan;
 
c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak;
 
d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan
 
e. rencana pemantauan dan evaluasi.}}
 
{{Perundangan pasal|99|3|Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang-undangan.}}
 
====Pasal 100====
{{Perundangan pasal|100|1|Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat.}}
 
{{Perundangan pasal|100|2|Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
====Pasal 101====
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dan Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.
 
Bagian Ketiga
 
Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,
 
Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan Petugas yang Berwenang
 
Paragraf 1
 
Syarat dan Prosedur Pemasangan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan Marka Jalan
 
====Pasal 102====
{{Perundangan pasal|102|1|Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan yang bersifat perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk pada jaringan atau ruas Jalan pemasangannya harus diselesaikan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pemberlakuan peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1).}}
 
{{Perundangan pasal|102|2|Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemasangan.}}
 
{{Perundangan pasal|102|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai kekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.}}
 
Paragraf 2
 
Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas
 
====Pasal 103====
{{Perundangan pasal|103|1|Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan.}}
 
{{Perundangan pasal|103|2|Rambu Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Marka Jalan.}}
 
{{Perundangan pasal|103|3|Dalam hal terjadi kondisi kemacetan Lalu Lintas yang tidak memungkinkan gerak Kendaraan, fungsi marka kotak kuning harus diutamakan daripada Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan.}}
 
{{Perundangan pasal|103|4|Ketentuan lebih lanjut mengenai Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
Paragraf 3
 
Pengutamaan Petugas
 
====Pasal 104====
{{Perundangan pasal|104|1|Dalam keadaan tertentu untuk Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan:
 
a. memberhentikan arus Lalu Lintas dan/atau Pengguna Jalan;
 
b. memerintahkan Pengguna Jalan untuk jalan terus;
 
c. mempercepat arus Lalu Lintas;
 
d. memperlambat arus Lalu Lintas; dan/atau
 
e. mengalihkan arah arus Lalu Lintas.}}
 
{{Perundangan pasal|104|2|Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diutamakan daripada perintah yang diberikan oleh Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.}}
 
{{Perundangan pasal|104|3|Pengguna Jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).}}
 
{{Perundangan pasal|104|4|Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
Bagian Keempat
 
Tata Cara Berlalu Lintas
 
Paragraf 1
 
Ketertiban dan Keselamatan
 
====Pasal 105====
Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib:
 
a. berperilaku tertib; dan/atau
 
b. mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan.
 
====Pasal 106====
 
{{Perundangan pasal|106|1|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.}}
 
{{Perundangan pasal|106|2|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.}}
 
{{Perundangan pasal|106|3|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan.}}
 
{{Perundangan pasal|106|4|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan:
 
a. rambu perintah atau rambu larangan;
 
b. Marka Jalan;
 
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
 
d. gerakan Lalu Lintas;
 
e. berhenti dan Parkir;
 
f. peringatan dengan bunyi dan sinar;
 
g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau
 
h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain.}}
 
{{Perundangan pasal|106|5|Pada saat diadakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor wajib menunjukkan:
 
a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat
 
Tanda Coba Kendaraan Bermotor;
 
b. Surat Izin Mengemudi;
 
c. bukti lulus uji berkala; dan/atau d. tanda bukti lain yang sah.}}
 
{{Perundangan pasal|106|6|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan.}}
 
{{Perundangan pasal|106|7|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.}}
 
{{Perundangan pasal|106|8|Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.}}
 
{{Perundangan pasal|106|9|Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.}}
 
Paragraf 2
 
Penggunaan Lampu Utama
 
====Pasal 107====
 
{{Perundangan pasal|107|1|Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.}}
 
{{Perundangan pasal|107|2|Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.}}
 
Paragraf 3
 
Jalur atau Lajur Lalu Lintas
 
====Pasal 108====
{{Perundangan pasal|108|1|Dalam berlalu lintas Pengguna Jalan harus menggunakan jalur Jalan sebelah kiri.}}
 
{{Perundangan pasal|108|2|Penggunaan jalur Jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika:
 
a. Pengemudi bermaksud akan melewati Kendaraan di depannya; atau
 
b. diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk digunakan sementara sebagai jalur kiri.}}
 
{{Perundangan pasal|108|3|Sepeda Motor, Kendaraan Bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang, dan Kendaraan Tidak Bermotor berada pada lajur kiri Jalan.}}
 
{{Perundangan pasal|108|4|Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului Kendaraan lain.}}
 
====Pasal 109====
{{Perundangan pasal|109|1|Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan melewati Kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur Jalan sebelah kanan dari Kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.}}
 
{{Perundangan pasal|109|2|Dalam keadaan tertentu, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
{{Perundangan pasal|109|3|Jika Kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati Kendaraan tersebut.}}
 
====Pasal 110====
{{Perundangan pasal|110|1|Pengemudi yang berpapasan dengan Kendaraan lain dari arah berlawanan pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas wajib memberikan ruang gerak yang cukup di sebelah kanan Kendaraan.}}
 
{{Perundangan pasal|110|2|Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika terhalang oleh suatu rintangan atau Pengguna Jalan lain di depannya wajib mendahulukan Kendaraan yang datang dari arah berlawanan.}}
 
====Pasal 111====
Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bagi Kendaraan untuk saling berpapasan, Pengemudi Kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi kesempatan jalan kepada Kendaraan yang mendaki.
 
Paragraf 4
 
Belokan atau Simpangan
 
====Pasal 112====
{{Perundangan pasal|112|1|Pengemudi Kendaraan yang akan berbelok atau berbalik arah wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan.}}
 
{{Perundangan pasal|112|2|Pengemudi Kendaraan yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat.}}
 
{{Perundangan pasal|112|3|Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.}}
 
====Pasal 113====
{{Perundangan pasal|113|1|Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi wajib memberikan hak utama kepada:
 
a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah cabang persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas atau Marka Jalan;
 
b. Kendaraan dari Jalan utama jika Pengemudi tersebut datang dari cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari pekarangan yang berbatasan dengan Jalan;
 
c. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan sebelah kiri jika cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih dan sama besar;
 
d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri di persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus; atau
 
e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus.}}
 
{{Perundangan pasal|113|2|Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali Lalu Lintas yang berbentuk bundaran, Pengemudi harus memberikan hak utama kepada Kendaraan lain yang datang dari arah kanan.}}
 
====Pasal 114====
Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan Jalan, Pengemudi Kendaraan wajib:
 
a. berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain;
 
b. mendahulukan kereta api; dan
 
c. memberikan hak utama kepada Kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.
 
Paragraf 5
 
Kecepatan
 
====Pasal 115====
Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang:
 
a. mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau
 
b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain.
 
====Pasal 116====
{{Perundangan pasal|116|1|Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan Rambu Lalu Lintas.}}
 
{{Perundangan pasal|116|2|Selain sesuai dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika:
 
a. akan melewati Kendaraan Bermotor Umum yang sedang menurunkan dan menaikkan Penumpang;
 
b. akan melewati Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring;
 
c. cuaca hujan dan/atau genangan air;
 
d. memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas;
 
e. mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kereta api; dan/atau
 
f. melihat dan mengetahui ada Pejalan Kaki yang akan menyeberang.}}
 
====Pasal 117====
 
Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus mengamati situasi Lalu Lintas di samping dan di belakang Kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan Kendaraan lain.
 
Paragraf 6
 
Berhenti
 
====Pasal 118====
Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap
 
Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali:
 
a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh;
 
b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
 
c. di jalan tol.
 
====Pasal 119====
{{Perundangan pasal|119|1|Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan dan/atau menaikkan Penumpang wajib memberi isyarat tanda berhenti.}}
 
{{Perundangan pasal|119|1|Pengemudi Kendaraan yang berada di belakang Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan kendaraannya sementara.}}
 
Paragraf 7
 
Parkir
 
====Pasal 120====
Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.
 
====Pasal 121====
{{Perundangan pasal|121|1|Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan.}}
 
{{Perundangan pasal|121|2|Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping.}}
 
Paragraf 8
 
Kendaraan Tidak Bermotor
 
====Pasal 122====
{{Perundangan pasal|122|1|Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang:
 
a. dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik oleh Kendaraan Bermotor dengan kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan;
 
b. mengangkut atau menarik benda yang dapat merintangi atau membahayakan Pengguna Jalan lain; dan/atau
 
c. menggunakan jalur jalan Kendaraan Bermotor jika telah disediakan jalur jalan khusus bagi Kendaraan Tidak Bermotor.}}
 
{{Perundangan pasal|122|2|Pesepeda dilarang membawa Penumpang, kecuali jika sepeda tersebut telah dilengkapi dengan tempat Penumpang.}}
 
{{Perundangan pasal|122|3|Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi Kendaraan lain untuk mendahului.}}
 
====Pasal 123====
Pesepeda tunarungu harus menggunakan tanda pengenal yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang sepedanya.
 
Paragraf 9
 
Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum
 
====Pasal 124====
{{Perundangan pasal|124|1|Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek wajib:
 
a. mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan;
 
b. memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas;
 
c. menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah;
 
d. memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang;
 
e. menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan
 
f. mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.}}
 
{{Perundangan pasal|124|2|Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek dengan tarif ekonomi wajib mengangkut anak sekolah.}}
 
====Pasal 125====
Pengemudi Kendaraan Bermotor angkutan barang wajib menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan.
 
====Pasal 126====
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:
 
a. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan;
 
b. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan;
 
c. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau
 
d. melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek.
 
Bagian Kelima
 
Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas
 
Paragraf 1
 
Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas yang Diperbolehkan
 
====Pasal 127====
{{Perundangan pasal|127|1|Penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.}}
 
{{Perundangan pasal|127|2|Penggunaan jalan nasional dan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional.}}
 
{{Perundangan pasal|127|3|Penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi.}}
 
Paragraf 2
 
Tata Cara Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas
 
====Pasal 128====
{{Perundangan pasal|128|1|Penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 127 ayat 1|Pasal 127 ayat (1)]] yang mengakibatkan penutupan Jalan dapat diizinkan jika ada jalan alternatif.}}
 
{{Perundangan pasal|128|2|Pengalihan arus Lalu Lintas ke jalan alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sementara.}}
 
{{Perundangan pasal|128|3|Izin penggunaan Jalan sebagaimana dimaksud dalam [[#Pasal 127 ayat 2|Pasal 127 ayat (2)]] dan [[#Pasal 127 ayat 3|ayat (3)]] diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
Paragraf 3
 
Tanggung jawab
 
====Pasal 129====
{{Perundangan pasal|129|1|Pengguna Jalan di luar fungsi Jalan bertanggung jawab atas semua akibat yang ditimbulkan.}}
 
{{Perundangan pasal|129|2|Pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (3) bertanggung jawab menempatkan petugas pada ruas Jalan untuk menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
====Pasal 130====
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, Pasal 128, dan Pasal 129 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
Bagian Keenam
 
Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas
 
====Pasal 131====
{{Perundangan pasal|131|1|Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.}}
 
{{Perundangan pasal|131|2|Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang Jalan di tempat penyeberangan.}}
 
{{Perundangan pasal|131|3|Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.}}
 
==== Pasal 132 ====
{{Perundangan pasal|132|1|Pejalan Kaki wajib:
 
a. menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau Jalan yang paling tepi; atau
 
b. menyeberang di tempat yang telah ditentukan.}}
 
{{Perundangan pasal|132|2|Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejalan Kaki wajib memperhatikan Keselamatan dan Kelancaran Lalu Lintas.}}
 
{{Perundangan pasal|132|3|Pejalan Kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda khusus yang jelas dan mudah dikenali Pengguna Jalan lain.}}
 
Bagian Ketujuh
 
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas
 
====Pasal 133====
{{Perundangan pasal|133|1|Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan Ruang Lalu Lintas dan mengendalikan pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan Lalu Lintas berdasarkan kriteria:
 
a. perbandingan volume Lalu Lintas Kendaraan Bermotor dengan kapasitas Jalan;
 
b. ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum; dan
 
c. kualitas lingkungan.}}
 
{{Perundangan pasal|133|2|Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
 
a. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;
 
b. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;
 
c. pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;
 
d. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan klasifikasi fungsi Jalan;
 
e. pembatasan ruang Parkir pada kawasan tertentu dengan batasan ruang Parkir maksimal; dan/atau
 
f. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Tidak Bermotor Umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu.}}
 
{{Perundangan pasal|133|3|Pembatasan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
 
{{Perundangan pasal|133|4|Manajemen kebutuhan Lalu Lintas ditetapkan dan dievaluasi secara berkala oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan lingkup kewenangannya dengan melibatkan instansi terkait.}}
 
{{Perundangan pasal|133|5|Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen kebutuhan Lalu Lintas diatur dengan peraturan pemerintah.}}
 
Bagian Kedelapan
 
Hak Utama Pengguna Jalan untuk Kelancaran
 
Paragraf 1
 
Pengguna Jalan yang Memperoleh Hak Utama
 
====Pasal 134====
Pengguna Jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut:
 
a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;
 
b. ambulans yang mengangkut orang sakit;
 
c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada
 
Kecelakaan Lalu Lintas;
 
d. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;
 
e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara;
 
f. iring-iringan pengantar jenazah; dan
 
g. konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
Paragraf 2
 
Tata Cara Pengaturan Kelancaran
 
====Pasal 135====
(1) Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.
 
(2) Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan pengamanan jika mengetahui adanya Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
 
(3) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas tidak berlaku bagi Kendaraan yang mendapatkan hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134.
 
Bagian Kesembilan
 
Sanksi Administratif
 
====Pasal 136====
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 128 dikenai sanksi administratif.
 
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
 
(1) berupa:
 
a. peringatan tertulis;
 
b. penghentian sementara pelayanan umum;
 
c. penghentian sementara kegiatan;
 
d. denda administratif;
 
e. pembatalan izin; dan/atau f. pencabutan izin.
 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
===BAB X ANGKUTAN===
Bagian Kesatu
 
Angkutan Orang dan Barang
 
====Pasal 137====
(1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan
 
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
 
(2) Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.
 
(3) Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang.
 
(4) Mobil barang dilarang digunakan untuk angkutan orang, kecuali:


a. rasio Kendaraan Bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai;
a. rasio Kendaraan Bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai;
Baris 2.136: Baris 66:
b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau


c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.
c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.}}
 
{{Perundangan ayat|137|5|Ketentuan lebih lanjut mengenai mobil barang yang digunakan untuk angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mobil barang yang digunakan untuk angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.
}}}}
 
{{Perundangan bagian|Kedua|Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum|
Bagian Kedua
{{Perundangan pasal|138|
 
{{Perundangan ayat|138|1|Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.}}
Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum
{{Perundangan ayat|138|2|Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).}}
 
{{Perundangan ayat|138|3|Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.}}
====Pasal 138====
}}
(1) Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.
{{Perundangan pasal|139|
 
{{Perundangan ayat|139|1|Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara.}}
(2) Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
{{Perundangan ayat|139|2|Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi.}}
 
{{Perundangan ayat|139|3|Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.}}
(3) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.
{{Perundangan ayat|139|4|Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
 
}}}}
====Pasal 139====
{{Perundangan bagian|Ketiga|Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum|
(1) Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara.
{{Perundangan paragraf|1|Umum}}
 
{{Perundangan pasal|140|
(2) Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi.
 
(3) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.
 
(4) Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Bagian Ketiga
 
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
 
Paragraf 1
 
Umum
 
====Pasal 140====
Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor
Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor


Baris 2.176: Baris 91:


b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek.
b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek.
 
}}
Paragraf 2
{{Perundangan paragraf|2|Standar Pelayanan Angkutan Orang}}
 
{{Perundangan pasal|141|
Standar Pelayanan Angkutan Orang
{{Perundangan ayat|141|1|Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi:
 
====Pasal 141====
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi:


a. keamanan;
a. keamanan;
Baris 2.194: Baris 106:
e. kesetaraan; dan  
e. kesetaraan; dan  


f. keteraturan.
f. keteraturan.}}
 
{{Perundangan ayat|141|2|Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan.}}
(2) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan.
{{Perundangan ayat|141|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
}}
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan paragraf|3|Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek}}
 
{{Perundangan pasal|142|
Paragraf 3
 
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek
 
====Pasal 142====
Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a terdiri atas:
Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a terdiri atas:


Baris 2.213: Baris 120:
c. angkutan antarkota dalam provinsi;
c. angkutan antarkota dalam provinsi;


d. angkutan perkotaan; atau e. angkutan perdesaan.
d. angkutan perkotaan; atau  


====Pasal 143====
e. angkutan perdesaan.
}}
{{Perundangan pasal|143|
Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a harus:
Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a harus:


Baris 2.223: Baris 132:


c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan.
c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan.
 
}}
====Pasal 144====
{{Perundangan pasal|144|
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan:
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan:


Baris 2.237: Baris 146:
e. kesesuaian dengan kelas jalan;
e. kesesuaian dengan kelas jalan;


f. keterpaduan intramoda angkutan; dan g. keterpaduan antarmoda angkutan.
f. keterpaduan intramoda angkutan; dan  


====Pasal 145====
g. keterpaduan antarmoda angkutan.
(1) Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek.
}}
 
{{Perundangan pasal|145|
(2) Penyusunan rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait.
{{Perundangan ayat|145|1|Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek.}}
 
{{Perundangan ayat|145|2|Penyusunan rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait.}}
(3) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
{{Perundangan ayat|145|3|Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:


a. jaringan trayek lintas batas negara;
a. jaringan trayek lintas batas negara;
Baris 2.252: Baris 161:
c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi;
c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi;


d. jaringan trayek perkotaan; dan e. jaringan trayek perdesaan.
d. jaringan trayek perkotaan; dan  


(4) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji ulang secara berkala paling lama 5 (lima) tahun.
e. jaringan trayek perdesaan.}}
 
{{Perundangan ayat|145|4|Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji ulang secara berkala paling lama 5 (lima) tahun.}}
====Pasal 146====
}}
(1) Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan kawasan perkotaan.
{{Perundangan pasal|146|
{{Perundangan ayat|146|1|Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan kawasan perkotaan.}}


(2) Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
{{Perundangan ayat|146|2|Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:


a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah provinsi;
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah provinsi;
Baris 2.265: Baris 175:
b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau
b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau


c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota.
c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota.}}
 
}}
====Pasal 147====
{{Perundangan pasal|147|
(1) Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum lintas batas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan perjanjian antarnegara.
{{Perundangan ayat|147|1|Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum lintas batas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan perjanjian antarnegara.}}
 
{{Perundangan ayat|147|2|Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.}}
(2) Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.
}}
 
{{Perundangan pasal|148|
====Pasal 148====
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh:
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh:


Baris 2.280: Baris 189:


c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perkotaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perkotaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
}}
====Pasal 149====
{{Perundangan pasal|149|
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf e ditetapkan oleh:
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf e ditetapkan oleh:


Baris 2.289: Baris 198:


c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah provinsi.
c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah provinsi.
 
}}
====Pasal 150====
{{Perundangan pasal|150|
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur dengan peraturan pemerintah.
 
}}
Paragraf 4
{{Perundangan paragraf|4|Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek}}
 
{{Perundangan pasal|151|
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek
 
====Pasal 151====
Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas:
Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas:


Baris 2.304: Baris 210:
b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;
b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;


c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan d. angkutan orang di kawasan tertentu.
c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan  


==== Pasal 152 ====
d. angkutan orang di kawasan tertentu.
(1) Angkutan orang dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a harus digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi dalam kawasan perkotaan.
}}
 
{{Perundangan pasal|152|
(2) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
{{Perundangan ayat|152|1|Angkutan orang dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a harus digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi dalam kawasan perkotaan.}}
{{Perundangan ayat|152|2|Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:


a. berada dalam wilayah kota;
a. berada dalam wilayah kota;
Baris 2.317: Baris 224:
c. melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
c. melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau


d. melampaui wilayah provinsi.
d. melampaui wilayah provinsi.}}


(3) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jumlah maksimal kebutuhan taksi ditetapkan oleh:
{{Perundangan ayat|152|3|Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jumlah maksimal kebutuhan taksi ditetapkan oleh:


a. walikota untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kota;
a. walikota untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kota;
Baris 2.327: Baris 234:
c. gubernur untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau
c. gubernur untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau


d. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu lintas dan Angkutan Jalan untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah provinsi.
d. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu lintas dan Angkutan Jalan untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah provinsi.}}
 
}}
==== Pasal 153 ====
{{Perundangan pasal|153|
(1) Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilarang menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam trayek.
{{Perundangan ayat|153|1|Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilarang menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam trayek.}}
 
{{Perundangan ayat|153|2|Angkutan orang dengan tujuan tertentu diselenggarakan dengan menggunakan mobil penumpang umum atau mobil bus umum.}}
(2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu diselenggarakan dengan menggunakan mobil penumpang umum atau mobil bus umum.
}}
 
{{Perundangan pasal|154|
==== Pasal 154 ====
{{Perundangan ayat|154|1|Angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf c harus digunakan untuk pelayanan angkutan wisata.}}
(1) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf c harus digunakan untuk pelayanan angkutan wisata.
{{Perundangan ayat|154|2|Penyelenggaraan angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum dan mobil bus umum dengan tanda khusus.}}
 
{{Perundangan ayat|154|3|Angkutan orang untuk keperluan pariwisata tidak diperbolehkan menggunakan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, kecuali di daerah yang belum tersedia angkutan khusus untuk pariwisata.}}
(2) Penyelenggaraan angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum dan mobil bus umum dengan tanda khusus.
}}
 
{{Perundangan pasal|155|
(3) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata tidak diperbolehkan menggunakan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, kecuali di daerah yang belum tersedia angkutan khusus untuk pariwisata.
{{Perundangan ayat|155|1|Angkutan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d harus dilaksanakan melalui pelayanaan angkutan di jalan lokal dan jalan lingkungan.}}
 
{{Perundangan ayat|155|2|Angkutan orang di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum.}}
==== Pasal 155 ====
}}
(1) Angkutan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d harus dilaksanakan melalui pelayanaan angkutan di jalan lokal dan jalan lingkungan.
{{Perundangan pasal|156|
 
(2) Angkutan orang di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum.
 
==== Pasal 156 ====
Evaluasi wilayah operasi dan kebutuhan angkutan orang tidak dalam trayek dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan diumumkan kepada masyarakat.
Evaluasi wilayah operasi dan kebutuhan angkutan orang tidak dalam trayek dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan diumumkan kepada masyarakat.
 
}}
==== Pasal 157 ====
{{Perundangan pasal|157|
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
}}
Paragraf 5
{{Perundangan paragraf|5|Angkutan Massal}}
 
{{Perundangan pasal|158|
Angkutan Massal
{{Perundangan ayat|158|1|Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan perkotaan.}}
 
{{Perundangan ayat|158|2|Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan:
==== Pasal 158 ====
(1) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan perkotaan.
 
(2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan:


a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal;
a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal;
Baris 2.367: Baris 266:
c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; dan
c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; dan


d. angkutan pengumpan.
d. angkutan pengumpan.}}
 
}}
==== Pasal 159 ====
{{Perundangan pasal|159|
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
}}}}
Bagian Keempat
{{Perundangan bagian|Keempat|Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum|
 
{{Perundangan paragraf|1|Umum}}
Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
{{Perundangan pasal|160|
 
Paragraf 1
 
Umum
 
==== Pasal 160 ====
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas:
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas:


a. angkutan barang umum; dan b. angkutan barang khusus.
a. angkutan barang umum; dan  


Paragraf 2
b. angkutan barang khusus.
 
}}
Angkutan Barang Umum
{{Perundangan paragraf|2|Angkutan Barang Umum}}
 
{{Perundangan pasal|161|
==== Pasal 161 ====
Pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:


Baris 2.397: Baris 289:


c. menggunakan mobil barang.
c. menggunakan mobil barang.
 
}}
Paragraf 3
{{Perundangan paragraf|3|Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat}}
 
{{Perundangan pasal|162|
Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat
{{Perundangan ayat|162|1|Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib:
 
==== Pasal 162 ====
(1) Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib:


a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;
Baris 2.415: Baris 304:
e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan


f. mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
f. mendapat rekomendasi dari instansi terkait.}}
 
{{Perundangan ayat|162|2|Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
(2) Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
{{Perundangan ayat|162|3|Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut.}}
 
}}
(3) Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut.
{{Perundangan pasal|163|
 
{{Perundangan ayat|163|1|Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus wajib memberitahukan kepada pengelola pergudangan dan/atau penyelenggara angkutan barang sebelum barang dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.}}
==== Pasal 163 ====
{{Perundangan ayat|163|2|Penyelenggara angkutan barang yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus wajib menyediakan tempat penyimpanan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.}}
(1) Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus wajib memberitahukan kepada pengelola pergudangan dan/atau penyelenggara angkutan barang sebelum barang dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.
}}
 
{{Perundangan pasal|164|
(2) Penyelenggara angkutan barang yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus wajib menyediakan tempat penyimpanan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.
 
==== Pasal 164 ====
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
}}}}
Bagian Kelima
{{Perundangan bagian|Kelima|Angkutan Multimoda|
 
{{Perundangan pasal|165|
Angkutan Multimoda
{{Perundangan ayat|165|1|Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda.}}
 
{{Perundangan ayat|165|2|Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan badan hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain.}}
==== Pasal 165 ====
{{Perundangan ayat|165|3|Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan mendapat izin dari Pemerintah.}}
(1) Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda.
{{Perundangan ayat|165|4|Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
 
}}}}
(2) Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan badan hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain.
{{Perundangan bagian|Keenam|Dokumen Angkutan Orang dan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum|
 
{{Perundangan pasal|166|
(3) Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan mendapat izin dari Pemerintah.
{{Perundangan ayat|166|1|Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang melayani trayek tetap lintas batas negara, antarkota antarprovinsi, dan antarkota dalam provinsi harus dilengkapi dengan dokumen.}}
 
{{Perundangan ayat|166|2|Dokumen angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
Bagian Keenam
 
Dokumen Angkutan Orang dan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
 
==== Pasal 166 ====
(1) Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang melayani trayek tetap lintas batas negara, antarkota antarprovinsi, dan antarkota dalam provinsi harus dilengkapi dengan dokumen.
 
(2) Dokumen angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. tiket Penumpang umum untuk angkutan dalam trayek;
a. tiket Penumpang umum untuk angkutan dalam trayek;


b. tanda pengenal bagasi; dan c. manifes.
b. tanda pengenal bagasi; dan  


(3) Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi:
c. manifes.}}
{{Perundangan ayat|166|3|Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi:


a. surat perjanjian pengangkutan; dan b. surat muatan barang.
a. surat perjanjian pengangkutan; dan  


==== Pasal 167 ====
b. surat muatan barang.}}
(1) Perusahaan Angkutan Umum orang wajib:
}}
{{Perundangan pasal|167|
{{Perundangan ayat|167|1|Perusahaan Angkutan Umum orang wajib:


a. menyerahkan tiket Penumpang;
a. menyerahkan tiket Penumpang;
Baris 2.470: Baris 349:
Penumpang; dan
Penumpang; dan


d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi.
d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi.}}
 
{{Perundangan ayat|167|2|Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen identitas diri yang sah.}}
(2) Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen identitas diri yang sah.
}}
 
{{Perundangan pasal|168|
==== Pasal 168 ====
{{Perundangan ayat|168|1|Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat muatan barang sebagai bagian dokumen perjalanan.}}
(1) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat muatan barang sebagai bagian dokumen perjalanan.
{{Perundangan ayat|168|2|Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat perjanjian pengangkutan barang.}}
 
}}}}
(2) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat perjanjian pengangkutan barang.
{{Perundangan bagian|Ketujuh|Pengawasan Muatan Barang |
 
{{Perundangan pasal|169|
Bagian Ketujuh
{{Perundangan ayat|169|1|Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas jalan.}}
 
{{Perundangan ayat|169|2|Untuk mengawasi pemenuhan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan muatan angkutan barang.}}
Pengawasan Muatan Barang
{{Perundangan ayat|169|3|Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan menggunakan alat penimbangan.}}
 
{{Perundangan ayat|169|4|Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
==== Pasal 169 ====
(1) Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas jalan.
 
(2) Untuk mengawasi pemenuhan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan muatan angkutan barang.
 
(3) Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan menggunakan alat penimbangan.
 
(4) Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:


a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau  
a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau  


b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan.
b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan.}}
 
}}
==== Pasal 170 ====
{{Perundangan pasal|170|
(1) Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu.
{{Perundangan ayat|170|1|Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu.}}
 
{{Perundangan ayat|170|2|Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah.}}
(2) Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah.
{{Perundangan ayat|170|3|Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan oleh unit pelaksana penimbangan yang ditunjuk oleh Pemerintah.}}
 
{{Perundangan ayat|170|4|Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan.}}
(3) Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan oleh unit pelaksana penimbangan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
}}
 
{{Perundangan pasal|171|
(4) Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan.
{{Perundangan ayat|171|1|Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf b digunakan dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan penyidikan tindak pidana pelanggaran muatan.}}
 
{{Perundangan ayat|171|2|Pengoperasian alat penimbangan untuk pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pemeriksa Kendaraan Bermotor.}}
==== Pasal 171 ====
{{Perundangan ayat|171|3|Pengoperasian alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama dengan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
(1) Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf b digunakan dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan penyidikan tindak pidana pelanggaran muatan.
}}
 
{{Perundangan pasal|172|
(2) Pengoperasian alat penimbangan untuk pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pemeriksa Kendaraan Bermotor.
 
(3) Pengoperasian alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama dengan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
==== Pasal 172 ====
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.
 
}}}}
Bagian Kedelapan
{{Perundangan bagian|Kedelapan|Pengusahaan Angkutan|
 
{{Perundangan paragraf|1|Perizinan Angkutan}}
Pengusahaan Angkutan
{{Perundangan pasal|173|
 
{{Perundangan ayat|173|1|Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki:
Paragraf 1
 
Perizinan Angkutan
 
==== Pasal 173 ====
(1) Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki:


a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek;
a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek;
Baris 2.530: Baris 390:
b. izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau
b. izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau


c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat.
c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat.}}


(2) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
{{Perundangan ayat|173|2|Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:


a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau
a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau


b. pengangkutan jenazah.
b. pengangkutan jenazah.}}
 
}}
==== Pasal 174 ====
{{Perundangan pasal|174|
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan.
{{Perundangan ayat|174|1|Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan.}}
 
{{Perundangan ayat|174|2|Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.}}
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
{{Perundangan ayat|174|3|Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan.}}
 
}}
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan.
{{Perundangan pasal|175|
 
{{Perundangan ayat|175|1|Izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk jangka waktu tertentu.}}
==== Pasal 175 ====
{{Perundangan ayat|175|2|Perpanjangan izin harus melalui proses seleksi atau pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2).}}
(1) Izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk jangka waktu tertentu.
}}
 
{{Perundangan paragraf|2|Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang dalam Trayek}}
(2) Perpanjangan izin harus melalui proses seleksi atau pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2).
{{Perundangan pasal|176|
 
Paragraf 2
 
Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang dalam Trayek
 
==== Pasal 176 ====
Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a diberikan oleh:
Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a diberikan oleh:


Baris 2.586: Baris 440:


e. walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota.
e. walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota.
 
}}
==== Pasal 177 ====
{{Perundangan pasal|177|
Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek wajib:
Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek wajib:


Baris 2.593: Baris 447:


b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1).
b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1).
 
}}
==== Pasal 178 ====
{{Perundangan pasal|178|
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
}}
Paragraf 3
{{Perundangan paragraf|3|Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek}}
 
{{Perundangan pasal|179|
Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek
{{Perundangan ayat|179|1|Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b diberikan oleh:
 
==== Pasal 179 ====
(1) Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b diberikan oleh:


a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani:
Baris 2.616: Baris 467:
c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; dan
c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; dan


d. bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota.
d. bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota.}}


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|179|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
}}
Paragraf 4
{{Perundangan paragraf|4|Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat}}
 
{{Perundangan pasal|180|
Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat
{{Perundangan ayat|180|1|Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan rekomendasi dari instansi terkait.}}
 
{{Perundangan ayat|180|2|Izin penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
==== Pasal 180 ====
{{Perundangan ayat|180|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan barang khusus dan alat berat diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
(1) Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan rekomendasi dari instansi terkait.
}}}}
 
{{Perundangan bagian|Kesembilan|Tarif Angkutan|
(2) Izin penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan pasal|181|
 
{{Perundangan ayat|181|1|Tarif angkutan terdiri atas tarif Penumpang dan tarif barang.}}
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan barang khusus dan alat berat diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|181|2|Tarif Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
 
Bagian Kesembilan Tarif Angkutan Pasal 181
 
(1) Tarif angkutan terdiri atas tarif Penumpang dan tarif barang.
 
(2) Tarif Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:


a. tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek; dan
a. tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek; dan


b. tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek.
b. tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek.}}
 
}}
==== Pasal 182 ====
{{Perundangan pasal|182|
(1) Tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek terdiri atas:
{{Perundangan ayat|182|1|Tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek terdiri atas:


a. tarif kelas ekonomi; dan
a. tarif kelas ekonomi; dan


b. tarif kelas nonekonomi.
b. tarif kelas nonekonomi.}}
 
{{Perundangan ayat|182|2|Penetapan tarif kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
(2) Penetapan tarif kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:


a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota antarprovinsi, angkutan perkotaan, dan angkutan perdesaan yang wilayah pelayanannya melampaui wilayah provinsi;
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota antarprovinsi, angkutan perkotaan, dan angkutan perdesaan yang wilayah pelayanannya melampaui wilayah provinsi;
Baris 2.656: Baris 500:
c. bupati untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam kabupaten serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang wilayah pelayanannya dalam kabupaten; dan
c. bupati untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam kabupaten serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang wilayah pelayanannya dalam kabupaten; dan


d. walikota untuk angkutan orang yang melayani trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya dalam kota.
d. walikota untuk angkutan orang yang melayani trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya dalam kota.}}
 
{{Perundangan ayat|182|3|Tarif Penumpang angkutan orang dalam trayek kelas nonekonomi ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum.}}
(3) Tarif Penumpang angkutan orang dalam trayek kelas nonekonomi ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum.
{{Perundangan ayat|182|4|Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
}}
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan pasal|183|
 
{{Perundangan ayat|183|1|Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum atas persetujuan Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.}}
==== Pasal 183 ====
{{Perundangan ayat|183|2|Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.}}
(1) Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum atas persetujuan Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
}}
 
{{Perundangan pasal|184|
(2) Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.
Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.
 
}}}}
==== Pasal 184 ====
{{Perundangan bagian|Kesepuluh|Subsidi Angkutan Penumpang Umum|
Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
{{Perundangan pasal|185|
 
{{Perundangan ayat|185|1|Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi pada trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.}}
181 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan
{{Perundangan ayat|185|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan Penumpang umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
 
}}}}
antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.
{{Perundangan bagian|Kesebelas|Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Umum|
 
{{Perundangan paragraf|1|Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum}}
Bagian Kesepuluh
{{Perundangan pasal|186|
 
Subsidi Angkutan Penumpang Umum
 
==== Pasal 185 ====
(1) Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi pada trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan Penumpang umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
Bagian Kesebelas
 
Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Umum
 
Paragraf 1
 
Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum
 
==== Pasal 186 ====
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang.
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang.
 
}}
==== Pasal 187 ====
{{Perundangan pasal|187|
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan.
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan.
 
}}
==== Pasal 188 ====
{{Perundangan pasal|188|
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.
 
}}
===== Pasal 189 =====
{{Perundangan pasal|189|
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.
 
}}
==== Pasal 190 ====
{{Perundangan pasal|190|
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan.
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan.
 
}}
==== Pasal 191 ====
{{Perundangan pasal|191|
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
 
}}
==== Pasal 192 ====
{{Perundangan pasal|192|
(1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang.
{{Perundangan ayat|192|1|Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang.}}
 
{{Perundangan ayat|192|2|Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan.}}
(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan.
{{Perundangan ayat|192|3|Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak Penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati.}}
 
{{Perundangan ayat|192|4|Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut.}}
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak Penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati.
{{Perundangan ayat|192|5|Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.}}
 
}}
(4) Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut.
{{Perundangan pasal|193|
 
{{Perundangan ayat|193|1|Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.}}
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.
{{Perundangan ayat|193|2|Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.}}
 
{{Perundangan ayat|193|3|Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.}}
==== Pasal 193 ====
{{Perundangan ayat|193|4|Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang.}}
(1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.
{{Perundangan ayat|193|5|Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.}}
 
}}
(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.
{{Perundangan pasal|194|
 
{{Perundangan ayat|194|1|Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan Umum.}}
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.
{{Perundangan ayat|194|2|Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian pihak ketiga kepada Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.}}
 
}}
(4) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang.
{{Perundangan paragraf|2|Hak Perusahaan Angkutan Umum}}
 
{{Perundangan pasal|195|
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.
{{Perundangan ayat|195|1|Perusahaan Angkutan Umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan.}}
 
{{Perundangan ayat|195|2|Perusahaan Angkutan Umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan.}}
==== Pasal 194 ====
{{Perundangan ayat|195|3|Perusahaan Angkutan Umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).}}
(1) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan Umum.
}}
 
{{Perundangan pasal|196|
(2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian pihak ketiga kepada Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.
 
Paragraf 2
 
Hak Perusahaan Angkutan Umum
 
==== Pasal 195 ====
(1) Perusahaan Angkutan Umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan.
 
(2) Perusahaan Angkutan Umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan.
 
(3) Perusahaan Angkutan Umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
 
==== Pasal 196 ====
Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, Perusahaan Angkutan Umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, Perusahaan Angkutan Umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
}}}}
Bagian Kedua Belas
{{Perundangan bagian|Kedua Belas|Tanggung Jawab Penyelenggara|
 
{{Perundangan pasal|197|
Tanggung Jawab Penyelenggara
{{Perundangan ayat|197|1|Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan wajib:
 
==== Pasal 197 ====
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan wajib:


a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan;
a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan;
Baris 2.761: Baris 571:
b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan umum; dan
b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan umum; dan


c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang dan barang.
c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang dan barang.}}
 
{{Perundangan ayat|197|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
}}}}
 
{{Perundangan bagian|Ketiga Belas|Industri Jasa Angkutan Umum|
Bagian Ketiga Belas
{{Perundangan pasal|198|
 
{{Perundangan ayat|198|1|Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.}}
Industri Jasa Angkutan Umum
{{Perundangan ayat|198|2|Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus:
 
==== Pasal 198 ====
(1) Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.
 
(2) Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus:


a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar;
a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar;
Baris 2.782: Baris 587:
d. mendorong terciptanya pasar; dan
d. mendorong terciptanya pasar; dan


e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum.
e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum.}}
 
{{Perundangan ayat|198|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat diatur dengan peraturan pemerintah.}}
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat diatur dengan peraturan pemerintah.
}}}}
 
{{Perundangan bagian|Keempat Belas|Sanksi Administratif|
Bagian Keempat Belas
{{Perundangan pasal|199|
 
{{Perundangan ayat|199|1|Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, dan Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:
Sanksi Administratif
 
==== Pasal 199 ====
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal
 
177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, dan
 
Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:


a. peringatan tertulis;
a. peringatan tertulis;
Baris 2.801: Baris 598:
b. denda administratif;
b. denda administratif;


c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.
c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.}}
{{Perundangan ayat|199|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
}}}}}}
{{Perundangan bab|XI|KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN|
{{Perundangan bagian|Kesatu|Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|
{{Perundangan pasal|200|
{{Perundangan ayat|200|1|Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|200|2|Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama antara pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat.}}


=== BAB XI KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN ===
{{Perundangan ayat|200|3|Untuk mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan kegiatan:
Bagian Kesatu
 
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
 
==== Pasal 200 ====
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama antara pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat.
 
(3) Untuk mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan kegiatan:


a. penyusunan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
a. penyusunan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Baris 2.823: Baris 616:
c. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan berlalu lintas dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan etika masyarakat dalam berlalu lintas;
c. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan berlalu lintas dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan etika masyarakat dalam berlalu lintas;


d. pengkajian masalah Keamanan Lalu Lintas dan
d. pengkajian masalah Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
 
Angkutan Jalan;


e. manajemen keamanan Lalu Lintas;
e. manajemen keamanan Lalu Lintas;
Baris 2.831: Baris 622:
f. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan/atau patroli;
f. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan/atau patroli;


g. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan
g. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi; dan


Pengemudi; dan
h. penegakan hukum Lalu Lintas.}}
}}
{{Perundangan pasal|201|
{{Perundangan ayat|201|1|Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem keamanan dengan berpedoman pada program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}


h. penegakan hukum Lalu Lintas.
{{Perundangan ayat|201|2|Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi untuk memudahkan pendeteksian kejadian kejahatan di Kendaraan Bermotor.}}
 
}}
==== Pasal 201 ====
{{Perundangan pasal|202|
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem keamanan dengan berpedoman pada program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
(2) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi untuk memudahkan pendeteksian kejadian kejahatan di Kendaraan Bermotor.
 
==== Pasal 202 ====
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 dan Pasal 201 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 dan Pasal 201 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
}}}}
{{Perundangan bagian|Kedua|Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|
{{Perundangan pasal|203|
{{Perundangan ayat|203|1|Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}


Bagian Kedua
{{Perundangan ayat|203|2|Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi:
 
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
 
==== Pasal 203 ====
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya
 
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
(2) Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi:


a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Baris 2.862: Baris 646:
c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan


d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
}}
{{Perundangan pasal|204|
{{Perundangan ayat|203|1|Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}


==== Pasal 204 ====
{{Perundangan ayat|203|2|Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ke Pusat Kendali Sistem Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
}}
 
{{Perundangan pasal|205|
(2) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ke Pusat Kendali Sistem Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
==== Pasal 205 ====
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2) dan kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2) dan kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 diatur dengan peraturan pemerintah.
 
}}}}
Bagian Ketiga
{{Perundangan bagian|Ketiga|Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|
 
{{Perundangan pasal|206|
Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
{{Perundangan ayat|206|1|Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
 
==== Pasal 206 ====
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:


a. audit;
a. audit;
Baris 2.883: Baris 664:
b. inspeksi; dan
b. inspeksi; dan


c. pengamatan dan pemantauan.
c. pengamatan dan pemantauan.}}


(2) Audit bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
{{Perundangan ayat|206|2|Audit bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}


(3) Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|206|3|Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}


(4) Inspeksi bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
{{Perundangan ayat|206|4|Inspeksi bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}


(5) Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|206|5|Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}


(6) Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan secara berkelanjutan oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|206|6|Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan secara berkelanjutan oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}


(7) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan tindakan korektif dan/atau penegakan hukum.
{{Perundangan ayat|206|7|Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan tindakan korektif dan/atau penegakan hukum.}}
 
}}
==== Pasal 207 ====
{{Perundangan pasal|207|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
}}}}
{{Perundangan bagian|Keempat|Budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|
{{Perundangan pasal|208|
{{Perundangan ayat|208|1|Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertangggung jawab membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}


Bagian Keempat
{{Perundangan ayat|208|2|Upaya membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
 
Budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
 
Pasal 208
 
(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertangggung jawab membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
(2) Upaya membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:


a. pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini;
a. pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini;
Baris 2.918: Baris 695:
d. penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang mendorong pengguna jalan berperilaku tertib; dan
d. penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang mendorong pengguna jalan berperilaku tertib; dan


e. penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan.
e. penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan.}}
 
{{Perundangan ayat|208|3|Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program untuk mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas.}}
(3) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program untuk mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas.
}}}}}}
 
{{Perundangan bab|XII|DAMPAK LINGKUNGAN|
==== BAB XII DAMPAK LINGKUNGAN ====
{{Perundangan bagian|Kesatu|Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|
Bagian Kesatu
{{Perundangan pasal|209|
 
{{Perundangan ayat|209|1|Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
{{Perundangan ayat|209|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
 
}}}}
==== Pasal 209 ====
{{Perundangan bagian|Kedua|Pencegahan dan Penanggulangan Dampak Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|
(1) Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
{{Perundangan pasal|210|
 
{{Perundangan ayat|210|1|Setiap Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Jalan wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan.}}
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
{{Perundangan ayat|210|2|Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
 
}}
Bagian Kedua
{{Perundangan pasal|211|
 
Pencegahan dan Penanggulangan
 
Dampak Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
 
==== Pasal 210 ====
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Jalan wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan.
 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
==== Pasal 211 ====
Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.
Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.
 
}}
==== Pasal 212 ====
{{Perundangan pasal|212|
Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib melakukan perbaikan terhadap kendaraannya jika terjadi kerusakan yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.
Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib melakukan perbaikan terhadap kendaraannya jika terjadi kerusakan yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.
 
}}}}
Bagian Ketiga
{{Perundangan bagian|Ketiga|Hak dan Kewajiban|
 
{{Perundangan paragraf|1|Kewajiban Pemerintah}}
Hak dan Kewajiban
{{Perundangan pasal|213|
 
{{Perundangan ayat|213|1|Pemerintah wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
Paragraf 1
{{Perundangan ayat|213|2|Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib:
 
Kewajiban Pemerintah
 
==== Pasal 213 ====
(1) Pemerintah wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib:


a. merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;
a. merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;
Baris 2.968: Baris 727:
c. melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan Angkutan Umum, pemilik, dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor yang beroperasi di jalan; dan
c. melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan Angkutan Umum, pemilik, dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor yang beroperasi di jalan; dan


d. menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
d. menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
{{Perundangan paragraf|2|Hak dan Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum}}
Paragraf 2
{{Perundangan pasal|214|
 
{{Perundangan ayat|214|1|Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh kemudahan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan.}}
Hak dan Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum
{{Perundangan ayat|214|2|Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh informasi mengenai kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
}}
==== Pasal 214 ====
{{Perundangan pasal|215|
(1) Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh kemudahan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan.
 
(2) Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh informasi mengenai kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
==== Pasal 215 ====
Perusahaan Angkutan Umum wajib:
Perusahaan Angkutan Umum wajib:


Baris 2.991: Baris 745:


e. mematuhi baku mutu lingkungan hidup.
e. mematuhi baku mutu lingkungan hidup.
 
}}
Paragraf 3
{{Perundangan paragraf|3|Hak dan Kewajiban Masyarakat}}
 
{{Perundangan pasal|216|
Hak dan Kewajiban Masyarakat
{{Perundangan ayat|216|1|Masyarakat berhak mendapatkan Ruang Lalu Lintas yang ramah lingkungan.}}
 
{{Perundangan ayat|216|2|Masyarakat berhak memperoleh informasi tentang kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
==== Pasal 216 ====
}}
(1) Masyarakat berhak mendapatkan Ruang Lalu Lintas yang ramah lingkungan.
{{Perundangan pasal|217|
 
(2) Masyarakat berhak memperoleh informasi tentang kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
==== Pasal 217 ====
Masyarakat wajib menjaga kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Masyarakat wajib menjaga kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
}}}}}}}}
Bagian Keempat
{{Perundangan bab|XIII|PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN|
 
{{Perundangan bagian|Kesatu|Umum|
Sanksi Administratif
{{Perundangan pasal|219|
 
{{Perundangan ayat|219|1|Pengembangan industri dan teknologi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
==== Pasal 218 ====
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai dampak lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 dikenai sanksi administratif berupa:
 
a. peringatan tertulis;
 
b. denda administratif;
 
c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.
 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kriteria pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
=== BAB XIII PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN ===
Bagian Kesatu
 
Umum
 
==== Pasal 219 ====
(1) Pengembangan industri dan teknologi sarana dan
 
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:


a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan Bermotor;
a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan Bermotor;
Baris 3.043: Baris 773:
g. fasilitas pendidikan dan pelatihan personel Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
g. fasilitas pendidikan dan pelatihan personel Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan


h. komponen pendukung Kendaraan Bermotor.
h. komponen pendukung Kendaraan Bermotor.}}
 
{{Perundangan ayat|219|2|Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
(2) Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:


a. pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor;
a. pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor;
Baris 3.061: Baris 790:
g. pemberian fasilitas kerja sama dengan industri sejenis; dan/atau
g. pemberian fasilitas kerja sama dengan industri sejenis; dan/atau


h. pemberian fasilitas kerja sama pasar pengguna di dalam dan di luar negeri.
h. pemberian fasilitas kerja sama pasar pengguna di dalam dan di luar negeri.}}
 
}}}}
Bagian Kedua
{{Perundangan bagian|Kedua|Pengembangan Rancang Bangun Kendaraan Bermotor|
 
{{Perundangan pasal|220|
Pengembangan Rancang Bangun Kendaraan Bermotor
{{Perundangan ayat|220|1|Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh:
 
==== Pasal 220 ====
(1) Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh:


a. Pemerintah;
a. Pemerintah;
Baris 3.076: Baris 802:
c. badan hukum;
c. badan hukum;


d. lembaga penelitian; dan/atau e. perguruan tinggi.
d. lembaga penelitian; dan/atau  


(2) Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan:
e. perguruan tinggi.}}
{{Perundangan ayat|220|2|Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan:


a. dimensi utama dan konstruksi Kendaraan Bermotor;
a. dimensi utama dan konstruksi Kendaraan Bermotor;
Baris 3.098: Baris 825:
i. dimensi dan konstruksi bak muatan/volume tangki;
i. dimensi dan konstruksi bak muatan/volume tangki;


j. peruntukan Kendaraan Bermotor; dan k. fasilitas keluar darurat.
j. peruntukan Kendaraan Bermotor; dan  


(3) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
k. fasilitas keluar darurat.}}
 
{{Perundangan ayat|220|3|Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
==== Pasal 221 ====
}}
{{Perundangan pasal|221|
Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (2) dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya nasional, menerapkan standar keamanan dan keselamatan, serta memperhatikan kelestarian lingkungan.
Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (2) dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya nasional, menerapkan standar keamanan dan keselamatan, serta memperhatikan kelestarian lingkungan.
 
}}}}
Bagian Ketiga
{{Perundangan bagian|Ketiga|Pengembangan Industri dan Teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|
 
{{Perundangan pasal|222|
Pengembangan Industri dan Teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
{{Perundangan ayat|222|1|Pemerintah wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
{{Perundangan ayat|222|2|Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.}}
==== Pasal 222 ====
{{Perundangan ayat|222|3|Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi modernisasi fasilitas:
(1) Pemerintah wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
(2) Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.
 
(3) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi modernisasi fasilitas:


a. pengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
a. pengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Baris 3.122: Baris 845:
c. uji kelaikan Kendaraan;
c. uji kelaikan Kendaraan;


d. Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, serta
d. Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, serta Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
 
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;


e. pengawasan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. pengawasan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;


f. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan
f. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi;


Pengemudi;
g. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan


g. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan
h. keselamatan Pengemudi dan/atau Penumpang.}}
 
{{Perundangan ayat|222|4|Metode pengembangan industri dan teknologi meliputi:
Angkutan Jalan; dan
 
h. keselamatan Pengemudi dan/atau Penumpang.
 
(4) Metode pengembangan industri dan teknologi meliputi:


a. pemahaman teknologi;
a. pemahaman teknologi;
Baris 3.144: Baris 860:
b. pengalihan teknologi; dan
b. pengalihan teknologi; dan


c. fasilitasi riset teknologi.
c. fasilitasi riset teknologi.}}
 
{{Perundangan ayat|222|5|Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan pengesahan dari instansi terkait.}}
(5) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan pengesahan dari instansi terkait.
}}}}
 
{{Perundangan bagian|Keempat|Pemberdayaan Industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|
Bagian Keempat
{{Perundangan pasal|223|
 
{{Perundangan ayat|223|1|Untuk mengembangkan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (2), Pemerintah mendorong pemberdayaan industri dalam negeri.}}
Pemberdayaan Industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
{{Perundangan ayat|223|2|Untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemberian fasilitas, insentif bidang tertentu, dan menerapkan standar produk peralatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
}}
==== Pasal 223 ====
{{Perundangan pasal|224|
(1) Untuk mengembangkan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
{{Perundangan ayat|224|1|Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri atas:
 
222 ayat (2), Pemerintah mendorong pemberdayaan
 
industri dalam negeri.
 
(2) Untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemberian fasilitas, insentif bidang tertentu, dan menerapkan standar produk peralatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
==== Pasal 224 ====
(1) Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri atas:


a. rekayasa;
a. rekayasa;
Baris 3.170: Baris 877:
c. perakitan; dan/atau
c. perakitan; dan/atau


d. pemeliharaan dan perbaikan.
d. pemeliharaan dan perbaikan.}}
 
{{Perundangan ayat|224|2|Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mencakup alih teknologi yang disesuaikan dengan kearifan lokal.}}
(2) Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mencakup alih teknologi yang disesuaikan dengan kearifan lokal.
}}}}
 
{{Perundangan bagian|Kelima|Pengaturan Lebih Lanjut|
Bagian Kelima
{{Perundangan pasal|225|
 
Pengaturan Lebih Lanjut
 
==== Pasal 225 ====
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
 
}}}}}}
=== BAB XIV KECELAKAAN LALU LINTAS ===
{{Perundangan bab|XIV|KECELAKAAN LALU LINTAS|
Bagian Kesatu
{{Perundangan bagian|Kesatu|Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas|
 
{{Perundangan pasal|226|
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas
{{Perundangan ayat|226|1|Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui:
 
==== Pasal 226 ====
(1) Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui:


a. partisipasi para pemangku kepentingan;
a. partisipasi para pemangku kepentingan;
Baris 3.193: Baris 893:
b. pemberdayaan masyarakat;
b. pemberdayaan masyarakat;


c. penegakan hukum; dan d. kemitraan global.
c. penegakan hukum; dan  


(2) Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
d. kemitraan global.}}
 
{{Perundangan ayat|226|2|Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.}}
(3) Penyusunan program pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
{{Perundangan ayat|226|3|Penyusunan program pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
}}}}
Bagian Kedua
{{Perundangan bagian|Kedua|Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas|
 
{{Perundangan paragraf|1|Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas}}
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
{{Perundangan pasal|227|
 
Paragraf 1
 
Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
 
==== Pasal 227 ====
Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:
Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:


Baris 3.220: Baris 914:
e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;
e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;


f. mengamankan barang bukti; dan g. melakukan penyidikan perkara.
f. mengamankan barang bukti; dan  


==== Pasal 228 ====
g. melakukan penyidikan perkara.
}}
{{Perundangan pasal|228|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
}}
Paragraf 2
{{Perundangan paragraf|2|Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas}}
 
{{Perundangan pasal|229|
Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas
{{Perundangan ayat|229|1|Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
 
==== Pasal 229 ====
(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:


a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;


b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau  


(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.}}
 
{{Perundangan ayat|229|2|Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.}}
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
{{Perundangan ayat|229|3|Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.}}
 
{{Perundangan ayat|229|4|Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.}}
(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
{{Perundangan ayat|229|5|Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.}}
 
}}
(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.
{{Perundangan pasal|230|
 
==== Pasal 230 ====
Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
}}
Paragraf 3
{{Perundangan paragraf|3|Pertolongan dan Perawatan Korban}}
 
{{Perundangan pasal|231|
Pertolongan dan Perawatan Korban
{{Perundangan ayat|231|1|Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib:
 
==== Pasal 231 ====
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan
 
Lalu Lintas, wajib:


a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
Baris 3.260: Baris 946:
b. memberikan pertolongan kepada korban;
b. memberikan pertolongan kepada korban;


c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara
c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan


Republik Indonesia terdekat; dan
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.}}
 
{{Perundangan ayat|231|2|Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat.}}
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
}}
 
{{Perundangan pasal|232|
(2) Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat.
 
==== Pasal 232 ====
Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib:
Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib:


Baris 3.275: Baris 958:
b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau


c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara
c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
}}
Republik Indonesia.
{{Perundangan paragraf|4|Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas}}
 
{{Perundangan pasal|233|
Paragraf 4
{{Perundangan ayat|233|1|Setiap kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data Kecelakaan Lalu Lintas.}}
 
{{Perundangan ayat|233|2|Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari data forensik.}}
Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas
{{Perundangan ayat|233|3|Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data yang berasal dari rumah sakit.}}
 
{{Perundangan ayat|233|4|Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
==== Pasal 233 ====
}}}}
(1) Setiap kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data Kecelakaan Lalu Lintas.
{{Perundangan bagian|Ketiga|Kewajiban dan Tanggung Jawab|
 
{{Perundangan paragraf|1|Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan}}
(2) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari data forensik.
{{Perundangan pasal|234|
 
{{Perundangan ayat|233|1|Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.}}
(3) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data yang berasal dari rumah sakit.
{{Perundangan ayat|233|2|Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi.}}
 
{{Perundangan ayat|233|3|Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:
(4) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
Bagian Ketiga
 
Kewajiban dan Tanggung Jawab
 
Paragraf 1
 
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi,
 
Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan
 
==== Pasal 234 ====
(1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.
 
(2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi.
 
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
 
(2) tidak berlaku jika:


a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
Baris 3.315: Baris 978:
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau


c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.}}
 
}}
==== Pasal 235 ====
{{Perundangan pasal|235|
(1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
{{Perundangan ayat|235|1|Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.}}
 
{{Perundangan ayat|235|2|Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.}}
(2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
}}
 
{{Perundangan pasal|236|
==== Pasal 236 ====
{{Perundangan ayat|236|1|Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.}}
(1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
{{Perundangan ayat|236|2|Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.}}
 
}}
(2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.
{{Perundangan pasal|237|
 
{{Perundangan ayat|237|1|Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan.}}
==== Pasal 237 ====
{{Perundangan ayat|237|2|Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan.}}
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan.
}}
 
{{Perundangan paragraf|2|Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah}}
(2) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan.
{{Perundangan pasal|238|
 
{{Perundangan ayat|238|1|Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.}}
Paragraf 2
{{Perundangan ayat|238|2|Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.}}
 
}}
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
{{Perundangan pasal|239|
 
{{Perundangan ayat|239|1|Pemerintah mengembangkan program asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
==== Pasal 238 ====
{{Perundangan ayat|239|2|Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.}}
(1) Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.
}}}}
 
{{Perundangan bagian|Keempat|Hak Korban|
(2) Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.
{{Perundangan pasal|240|
 
==== Pasal 239 ====
(1) Pemerintah mengembangkan program asuransi
 
Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
(2) Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
 
Bagian Keempat
 
Hak Korban
 
==== Pasal 240 ====
Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:
Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:


Baris 3.360: Baris 1.010:


c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
 
}}
==== Pasal 241 ====
{{Perundangan pasal|241|
Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
}}}}}}
=== BAB XV PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT, MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT ===
{{Perundangan bab|XV|PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT, MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT|
Bagian Kesatu
{{Perundangan bagian|Kesatu|Ruang Lingkup Perlakuan Khusus|
 
{{Perundangan pasal|242|
Ruang Lingkup Perlakuan Khusus
{{Perundangan ayat|242|1|Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.}}
 
{{Perundangan ayat|242|2|Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Pasal 242
 
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.
 
(2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. aksesibilitas;
a. aksesibilitas;
Baris 3.379: Baris 1.024:
b. prioritas pelayanan; dan  
b. prioritas pelayanan; dan  


c. fasilitas pelayanan.
c. fasilitas pelayanan.}}
 
{{Perundangan ayat|242|3|Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak- anak, wanita hamil, dan orang sakit diatur dengan peraturan pemerintah.}}
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak- anak, wanita hamil, dan orang sakit diatur dengan peraturan pemerintah.
}}
 
{{Perundangan pasal|243|
==== Pasal 243 ====
Masyarakat secara kelompok dapat mengajukan gugatan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Masyarakat secara kelompok dapat mengajukan gugatan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
 
}}}}
Bagian Kedua
{{Perundangan bagian|Kedua|Sanksi Administratif|
 
{{Perundangan pasal|244|
Sanksi Administratif
{{Perundangan ayat|244|1|Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak- anak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif berupa:
 
==== Pasal 244 ====
(1) Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak- anak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif berupa:


a. peringatan tertulis;
a. peringatan tertulis;
Baris 3.397: Baris 1.038:
b. denda administratif;
b. denda administratif;


c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.
c. pembekuan izin; dan/atau  


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
d. pencabutan izin.}}
 
{{Perundangan ayat|244|12|Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.}}
=== BAB XVI SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN ===
}}}}}}
Bagian Kesatu
{{Perundangan bab|XVI|SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN|
 
{{Perundangan bagian|Kesatu|Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi|
Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi
{{Perundangan pasal|245|
 
{{Perundangan ayat|245|1|Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan sistem informasi dan komunikasi yang terpadu.}}
==== Pasal 245 ====
{{Perundangan ayat|245|2|Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
(1) Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan sistem informasi dan komunikasi yang terpadu.
{{Perundangan ayat|245|3|Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan serta operasional Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi:
 
(2) Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
(3) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan serta operasional Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi:


a. bidang prasarana Jalan;
a. bidang prasarana Jalan;
Baris 3.417: Baris 1.054:
b. bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
b. bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan


c. bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, penegakan hukum, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas.
c. bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, penegakan hukum, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas.}}
 
}}
==== Pasal 246 ====
{{Perundangan pasal|246|
(1) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) merupakan subsistem dalam Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|246|1|Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) merupakan subsistem dalam Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
{{Perundangan ayat|246|2|Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh pusat kendali yang mengintegrasikan data, informasi, dan komunikasi dari setiap subsistem.}}
(2) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh pusat kendali yang mengintegrasikan data, informasi, dan komunikasi dari setiap subsistem.
{{Perundangan ayat|246|3|Data, informasi, dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dapat diakses oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
}}}}
(3) Data, informasi, dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dapat diakses oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan bagian|Kedua|Pengelolaan Sistem Informasi dan Komunikasi|
 
{{Perundangan pasal|247|
Bagian Kedua
{{Perundangan ayat|247|1|Dalam mewujudkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengelola subsistem informasi dan komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kewenangannya.}}
 
{{Perundangan ayat|247|2|Subsistem informasi dan komunikasi yang dibangun oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terintegrasi dalam pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
Pengelolaan Sistem Informasi dan Komunikasi
{{Perundangan ayat|247|3|Pusat kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
}}}}
==== Pasal 247 ====
{{Perundangan bagian|Ketiga|Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi|
(1) Dalam mewujudkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengelola subsistem informasi dan komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kewenangannya.
{{Perundangan pasal|248|
 
{{Perundangan ayat|248|1|Untuk memenuhi tugas pokok dan fungsi berbagai pemangku kepentingan, dikembangkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data.}}
(2) Subsistem informasi dan komunikasi yang dibangun oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terintegrasi dalam pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|248|2|Sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data meliputi:
 
(3) Pusat kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
 
dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
Bagian Ketiga
 
Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi
 
==== Pasal 248 ====
(1) Untuk memenuhi tugas pokok dan fungsi berbagai pemangku kepentingan, dikembangkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data.
 
(2) Sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data meliputi:


a. perencanaan;
a. perencanaan;
Baris 3.464: Baris 1.088:
j. pengenalan tanda nomor Kendaraan Bermotor; dan/atau
j. pengenalan tanda nomor Kendaraan Bermotor; dan/atau


k. pengidentifikasian Kendaraan Bermotor di Ruang Lalu Lintas.
k. pengidentifikasian Kendaraan Bermotor di Ruang Lalu Lintas.}}
 
}}}}
Bagian Keempat
{{Perundangan bagian|Keempat|Pusat Kendali Sistem Informasi dan Komunikasi|
 
{{Perundangan pasal|249|
Pusat Kendali Sistem Informasi dan Komunikasi
{{Perundangan ayat|249|1|Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berfungsi sebagai pusat:
 
==== Pasal 249 ====
(1) Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu
 
Lintas dan Angkutan Jalan berfungsi sebagai pusat:


a. kendali;
a. kendali;
Baris 3.485: Baris 1.104:
e. pelayanan masyarakat; dan
e. pelayanan masyarakat; dan


f. rekam jejak elektronis untuk penegakan hukum.
f. rekam jejak elektronis untuk penegakan hukum.}}
 
{{Perundangan ayat|249|2|Pengelolaan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu.}}
(2) Pengelolaan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu.
{{Perundangan ayat|249|3|Kegiatan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sekurang-kurangnya meliputi:
 
(3) Kegiatan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sekurang-kurangnya meliputi:


a. pelayanan kebutuhan data, informasi, dan komunikasi tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
a. pelayanan kebutuhan data, informasi, dan komunikasi tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Baris 3.509: Baris 1.126:
i. dukungan pengendalian pergerakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
i. dukungan pengendalian pergerakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan


j. pemberian informasi tentang kondisi Jalan dan pelayanan publik.
j. pemberian informasi tentang kondisi Jalan dan pelayanan publik.}}
 
}}
==== Pasal 250 ====
{{Perundangan pasal|250|
Data dan informasi pada pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat.
Data dan informasi pada pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat.
 
}}
==== Pasal 251 ====
{{Perundangan pasal|251|
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat digunakan untuk penegakan hukum yang meliputi:
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat digunakan untuk penegakan hukum yang meliputi:


Baris 3.522: Baris 1.139:


c. pengejaran, penghadangan, penangkapan, dan penindakan terhadap pelaku dan/atau kendaraan yang terlibat kejahatan atau pelanggaran Lalu Lintas.
c. pengejaran, penghadangan, penangkapan, dan penindakan terhadap pelaku dan/atau kendaraan yang terlibat kejahatan atau pelanggaran Lalu Lintas.
 
}}}}
Bagian Kelima
{{Perundangan bagian|Kelima|Pengaturan Lebih Lanjut|
 
{{Perundangan pasal|252|
Pengaturan Lebih Lanjut
 
Pasal 252
 
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
 
}}}}}}
=== BAB XVII SUMBER DAYA MANUSIA ===
{{Perundangan bab|XVII|SUMBER DAYA MANUSIA|
 
{{Perundangan pasal|253|
==== Pasal 253 ====
{{Perundangan ayat|253|1|Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengembangkan sumber daya manusia untuk menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengembangkan sumber daya manusia untuk menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|253|2|Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan oleh:
 
(2) Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan oleh:


a. Pemerintah;
a. Pemerintah;
Baris 3.542: Baris 1.153:
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau  
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau  


c. lembaga swasta yang terakreditasi.
c. lembaga swasta yang terakreditasi.}}
}}
{{Perundangan pasal|254|
{{Perundangan ayat|254|1|Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan dan pelatihan bagi tenaga mekanik dan Pengemudi.}}


==== Pasal 254 ====
{{Perundangan ayat|254|2|Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan terhadap manajemen Perusahaan Angkutan Umum untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan dan pelatihan bagi tenaga mekanik dan Pengemudi.
}}
 
{{Perundangan pasal|255|
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan terhadap manajemen Perusahaan Angkutan Umum untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
==== Pasal 255 ====
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
 
}}}}
=== BAB XVIII PERAN SERTA MASYARAKAT ===
{{Perundangan bab|XVIII|PERAN SERTA MASYARAKAT|
 
{{Perundangan pasal|256|
==== Pasal 256 ====
{{Perundangan ayat|256|1|Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
(1) Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|256|2|Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
 
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:


a. pemantauan dan penjagaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
a. pemantauan dan penjagaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Baris 3.565: Baris 1.174:
c. pendapat dan pertimbangan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah terhadap kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menimbulkan dampak lingkungan; dan
c. pendapat dan pertimbangan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah terhadap kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menimbulkan dampak lingkungan; dan


d. dukungan terhadap penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
d. dukungan terhadap penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
{{Perundangan ayat|256|3|Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan/atau dukungan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).}}
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan/atau dukungan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
}}
 
{{Perundangan pasal|257|
==== Pasal 257 ====
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok,
}}
 
{{Perundangan pasal|258|
organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.
 
==== Pasal 258 ====
Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
}}}}
=== BAB XIX PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN ===
{{Perundangan bab|XIX|PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN|
Bagian Kesatu
{{Perundangan bagian|Kesatu|Penyidikan|
 
{{Perundangan pasal|259|
Penyidikan
{{Perundangan ayat|259|1|Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
 
==== Pasal 259 ====
(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:


a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan


b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini.}}
 
{{Perundangan ayat|259|2|Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:


a. Penyidik; dan
a. Penyidik; dan


b. Penyidik Pembantu.
b. Penyidik Pembantu.}}
 
}}
Paragraf 1
{{Perundangan paragraf|1|Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia}}
 
{{Perundangan pasal|260|
Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
{{Perundangan ayat|260|1|Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:
 
==== Pasal 260 ====
(1) Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:


a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
Baris 3.618: Baris 1.217:
h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau
h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau


i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.
i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.}}
 
{{Perundangan ayat|260|2|Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
(2) Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
}}
 
{{Perundangan pasal|261|
==== Pasal 261 ====
Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) huruf b mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), kecuali mengenai penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) huruf h yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) huruf b mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), kecuali mengenai penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) huruf h yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
}}
Paragraf 2
{{Perundangan paragraf|2|Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil}}
 
{{Perundangan pasal|262|
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
{{Perundangan ayat|262|1|Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:
 
==== Pasal 262 ====
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:


a. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus;
a. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus;
Baris 3.642: Baris 1.237:
e. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau
e. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau


f. melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.
f. melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.}}
 
{{Perundangan ayat|262|2|Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap.}}
(2) Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap.
{{Perundangan ayat|262|3|Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
}}
(3) Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
{{Perundangan paragraf|3|Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil}}
 
{{Perundangan pasal|263|
Paragraf 3
{{Perundangan ayat|263|1|Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selaku koordinator dan pengawas, melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
{{Perundangan ayat|263|2|Dalam melaksanakan kewenangannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
{{Perundangan ayat|263|3|Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta barang bukti kepada pengadilan melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
{{Perundangan ayat|263|4|Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.}}
==== Pasal 263 ====
}}}}
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selaku koordinator dan pengawas, melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan bagian|Kedua|Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan|
 
{{Perundangan paragraf|1|Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan}}
(2) Dalam melaksanakan kewenangannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
{{Perundangan pasal|264|
 
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta barang bukti kepada pengadilan melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
(4) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
 
Bagian Kedua
 
Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
 
Paragraf 1
 
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan
 
==== Pasal 264 ====
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan oleh:
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan oleh:


Baris 3.675: Baris 1.256:


b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
}}
==== Pasal 265 ====
{{Perundangan pasal|265|
(1) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 meliputi pemeriksaan:
{{Perundangan ayat|265|1|Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 meliputi pemeriksaan:


a. Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor;
a. Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor;
Baris 3.685: Baris 1.266:
c. fisik Kendaraan Bermotor;
c. fisik Kendaraan Bermotor;


d. daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang;
d. daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang; dan/atau
 
dan/atau
 
e. izin penyelenggaraan angkutan.


(2) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau insidental sesuai dengan kebutuhan.
e. izin penyelenggaraan angkutan.}}
 
{{Perundangan ayat|265|2|Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau insidental sesuai dengan kebutuhan.}}
(3) Untuk melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
{{Perundangan ayat|265|3|Untuk melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:


a. menghentikan Kendaraan Bermotor;
a. menghentikan Kendaraan Bermotor;
Baris 3.699: Baris 1.276:
b. meminta keterangan kepada Pengemudi; dan/atau
b. meminta keterangan kepada Pengemudi; dan/atau


c. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.
c. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.}}
 
}}
==== Pasal 266 ====
{{Perundangan pasal|266|
(1) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) dapat dilakukan secara insidental oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
{{Perundangan ayat|266|1|Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) dapat dilakukan secara insidental oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
 
{{Perundangan ayat|266|2|Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dapat dilakukan secara insidental oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.}}
(2) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dapat dilakukan secara insidental oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
{{Perundangan ayat|266|3|Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2) dalam keadaan tertentu dilakukan secara gabungan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.}}
 
{{Perundangan ayat|266|4|Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didampingi oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.}}
(3) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2) dalam keadaan tertentu dilakukan secara gabungan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
}}
 
{{Perundangan paragraf|2|Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan}}
(4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didampingi oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
{{Perundangan pasal|267|
 
{{Perundangan ayat|267|1|Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan.}}
Paragraf 2
{{Perundangan ayat|267|2|Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar.}}
 
{{Perundangan ayat|267|3|Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.}}
Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
{{Perundangan ayat|267|4|Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
 
{{Perundangan ayat|267|5|Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran.}}
==== Pasal 267 ====
}}
(1) Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan.
{{Perundangan pasal|268|
 
{{Perundangan ayat|268|1|Dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar untuk diambil.}}
(2) Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar.
{{Perundangan ayat|268|2|Sisa uang denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak diambil dalam waktu 1 (satu) tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara.}}
 
}}
(3) Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.
{{Perundangan pasal|269|
 
{{Perundangan ayat|269|1|Uang denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.}}
(4) Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
{{Perundangan ayat|269|2|Sebagian penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan sebagai insentif bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan penegakan hukum di Jalan yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.}}
 
}}}}
(5) Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran.
{{Perundangan bagian|Ketiga|Penanganan Benda Sitaan|
 
{{Perundangan pasal|270|
==== Pasal 268 ====
{{Perundangan ayat|270|1|Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.}}
(1) Dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar untuk diambil.
{{Perundangan ayat|270|2|Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara.}}
 
{{Perundangan ayat|270|3|Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula benda itu disita.}}
(2) Sisa uang denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak diambil dalam waktu 1 (satu) tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara.
{{Perundangan ayat|270|4|Tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.}}
 
}}
==== Pasal 269 ====
{{Perundangan pasal|271|
(1) Uang denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
{{Perundangan ayat|271|1|Penyidik wajib mengidentifikasi dan mengumumkan benda sitaan Kendaraan Bermotor yang belum diketahui pemiliknya melalui media massa.}}
 
{{Perundangan ayat|271|2|Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan ciri-ciri Kendaraan Bermotor, tempat penyimpanan, dan tanggal penyitaan.}}
(2) Sebagian penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan sebagai insentif bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan penegakan hukum di Jalan yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
{{Perundangan ayat|271|3|Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.}}
 
{{Perundangan ayat|271|4|Benda sitaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah lewat waktu 1 (satu) tahun dan belum diketahui pemiliknya dapat dilelang untuk negara berdasarkan penetapan pengadilan.}}
Bagian Ketiga
}}
 
{{Perundangan pasal|272|
Penanganan Benda Sitaan
{{Perundangan ayat|272|1|Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik.}}
 
{{Perundangan ayat|272|2|Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.}}
===== Pasal 270 =====
}}
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
}}}}
 
{{Perundangan bab|XX|KETENTUAN PIDANA|
(2) Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara.
{{Perundangan pasal|273|
 
{{Perundangan ayat|273|1|Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).}}
(3) Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula benda itu disita.
{{Perundangan ayat|273|2|Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|273|3|Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).}}
(4) Tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
{{Perundangan ayat|273|4|Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).}}
 
}}
==== Pasal 271 ====
{{Perundangan pasal|274|
(1) Penyidik wajib mengidentifikasi dan mengumumkan benda sitaan Kendaraan Bermotor yang belum diketahui pemiliknya melalui media massa.
{{Perundangan ayat|274|1|Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|274|2|Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).}}
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan ciri-ciri Kendaraan Bermotor, tempat penyimpanan, dan tanggal penyitaan.
}}
 
{{Perundangan pasal|275|
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
{{Perundangan ayat|275|1|Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|275|2|Setiap orang yang merusak Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sehingga tidak berfungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).}}
(4) Benda sitaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah lewat waktu 1 (satu) tahun dan belum diketahui pemiliknya dapat dilelang untuk negara berdasarkan penetapan pengadilan.
}}
 
{{Perundangan pasal|276|
==== Pasal 272 ====
(1) Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik.
 
(2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
 
=== BAB XX KETENTUAN PIDANA ===
 
==== Pasal 273 ====
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
 
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
 
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
 
(4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
 
==== Pasal 274 ====
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
 
(2) Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).
 
==== Pasal 275 ====
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
(2) Setiap orang yang merusak Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sehingga tidak berfungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
 
==== Pasal 276 ====
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek tidak singgah di Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek tidak singgah di Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 277 ====
{{Perundangan pasal|277|
Setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
 
}}
==== Pasal 278 ====
{{Perundangan pasal|278|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 279 ====
{{Perundangan pasal|279|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 280 ====
{{Perundangan pasal|280|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 281 ====
{{Perundangan pasal|281|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
 
}}
==== Pasal 282 ====
{{Perundangan pasal|282|
Setiap Pengguna Jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap Pengguna Jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 283 ====
{{Perundangan pasal|283|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 284 ====
{{Perundangan pasal|284|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
}}
{{Perundangan pasal|285|
{{Perundangan ayat|285|1|Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).}}


==== Pasal 285 ====
{{Perundangan ayat|285|2|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).}}
(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
}}
 
{{Perundangan pasal|286|
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
 
==== Pasal 286 ====
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 287 ====
{{Perundangan pasal|287|
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
{{Perundangan ayat|287|1|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|287|2|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).}}
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
{{Perundangan ayat|287|3|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d atau tata cara berhenti dan Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|287|4|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).}}
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d atau tata cara berhenti dan Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
{{Perundangan ayat|287|5|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|287|6|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).}}
(4) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
}}
 
{{Perundangan pasal|288|
(5) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
{{Perundangan ayat|288|1|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|288|2|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).}}
(6) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
{{Perundangan ayat|288|3|Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).}}
 
}}
==== Pasal 288 ====
{{Perundangan pasal|289|
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
 
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
(3) Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
 
==== Pasal 289 ====
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 290 ====
{{Perundangan pasal|290|
Setiap orang yang mengemudikan dan menumpang Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan dan menumpang Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 291 ====
{{Perundangan pasal|291|
(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
{{Perundangan ayat|291|1|Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|291|2|Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).}}
(2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
}}
 
{{Perundangan pasal|292|
==== Pasal 292 ====
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping yang mengangkut Penumpang lebih dari 1 (satu) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping yang mengangkut Penumpang lebih dari 1 (satu) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 293 ====
{{Perundangan pasal|293|
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
{{Perundangan ayat|293|1|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|293|2|Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).}}
(2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
}}
 
{{Perundangan pasal|294|
==== Pasal 294 ====
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan membelok atau berbalik arah, tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan membelok atau berbalik arah, tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 295 ====
{{Perundangan pasal|295|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 296 ====
{{Perundangan pasal|296|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada perlintasan antara kereta api dan Jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada perlintasan antara kereta api dan Jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 297 ====
{{Perundangan pasal|297|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor berbalapan di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor berbalapan di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
 
}}
==== Pasal 298 ====
{{Perundangan pasal|298|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang tidak memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang tidak memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 299 ====
{{Perundangan pasal|299|
Setiap orang yang mengendarai Kendaraan Tidak Bermotor yang dengan sengaja berpegang pada Kendaraan Bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat membahayakan Pengguna Jalan lain, dan/atau menggunakan jalur jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Setiap orang yang mengendarai Kendaraan Tidak Bermotor yang dengan sengaja berpegang pada Kendaraan Bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat membahayakan Pengguna Jalan lain, dan/atau menggunakan jalur jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 300 ====
{{Perundangan pasal|300|
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang:
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang:


Baris 3.883: Baris 1.424:


c. tidak menutup pintu kendaraan selama Kendaraan berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf e.
c. tidak menutup pintu kendaraan selama Kendaraan berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf e.
 
}}
==== Pasal 301 ====
{{Perundangan pasal|301|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor angkutan barang yang tidak menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor angkutan barang yang tidak menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 302 ====
{{Perundangan pasal|302|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 303 ====
{{Perundangan pasal|303|
Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 304 ====
{{Perundangan pasal|304|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu yang menaikkan atau menurunkan Penumpang lain di sepanjang perjalanan atau menggunakan Kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk keperluan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu yang menaikkan atau menurunkan Penumpang lain di sepanjang perjalanan atau menggunakan Kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk keperluan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 305 ====
{{Perundangan pasal|305|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, Parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, Parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 306 ====
{{Perundangan pasal|306|
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak dilengkapi surat muatan dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak dilengkapi surat muatan dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 307 ====
{{Perundangan pasal|307|
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 308 ====
{{Perundangan pasal|308|
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang:
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang:


a. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a;
a. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a;


b. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
b. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b;
 
173 ayat (1) huruf b;


c. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
c. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c; atau
 
173 ayat (1) huruf c; atau


d. menyimpang dari izin yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
d. menyimpang dari izin yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
 
}}
==== Pasal 309 ====
{{Perundangan pasal|309|
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya untuk penggantian kerugian yang diderita oleh Penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya untuk penggantian kerugian yang diderita oleh Penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 310 ====
{{Perundangan pasal|310|
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
{{Perundangan ayat|310|1|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|310|2|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).}}
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
{{Perundangan ayat|310|3|Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|310|4|Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).}}
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
}}
 
{{Perundangan pasal|311|
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
{{Perundangan ayat|311|1|Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|311|2|Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).}}
==== Pasal 311 ====
{{Perundangan ayat|311|3|Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).}}
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
{{Perundangan ayat|311|4|Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).}}
 
{{Perundangan ayat|311|5|Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).}}
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
}}
 
{{Perundangan pasal|312|
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
 
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
 
229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
 
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
 
==== Pasal 312 ====
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
 
}}
==== Pasal 313 ====
{{Perundangan pasal|313|
Setiap orang yang tidak mengasuransikan awak Kendaraan dan penumpangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Setiap orang yang tidak mengasuransikan awak Kendaraan dan penumpangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
 
}}
==== Pasal 314 ====
{{Perundangan pasal|314|
Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.
Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.
 
}}
==== Pasal 315 ====
{{Perundangan pasal|315|
(1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan Umum dan/atau pengurusnya.
{{Perundangan ayat|315|1|Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan Umum dan/atau pengurusnya.}}
 
{{Perundangan ayat|315|2|Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling banyak dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.}}
(2) Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling banyak dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
{{Perundangan ayat|315|3|Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan.}}
 
}}
(3) Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan.
{{Perundangan pasal|316|
 
{{Perundangan ayat|316|1|Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274, Pasal 275 ayat (1), Pasal 276, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 305, Pasal 306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 309, dan Pasal 313 adalah pelanggaran.}}
==== Pasal 316 ====
{{Perundangan ayat|316|2|Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275 ayat (2), Pasal 277, Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 adalah kejahatan.}}
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274, Pasal 275 ayat (1), Pasal 276, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 305, Pasal 306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 309, dan Pasal 313 adalah pelanggaran.
}}
 
{{Perundangan pasal|317|
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275 ayat (2), Pasal 277, Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 adalah kejahatan.
 
==== Pasal 317 ====
Dalam hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan, besaran nilai denda sebagaimana dimaksud dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Dalam hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan, besaran nilai denda sebagaimana dimaksud dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
 
}}}}
=== BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN ===
{{Perundangan bab|XXI|KETENTUAN PERALIHAN|
 
{{Perundangan pasal|318|
==== Pasal 318 ====
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pendidikan dan pelatihan Pengemudi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap berlangsung sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pendidikan dan pelatihan Pengemudi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap berlangsung sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
 
}}
==== Pasal 319 ====
{{Perundangan pasal|319|
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, audit yang sedang dilaksanakan oleh auditor Pemerintah tetap dijalankan sampai dengan selesainya audit.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, audit yang sedang dilaksanakan oleh auditor Pemerintah tetap dijalankan sampai dengan selesainya audit.
 
}}}}
=== BAB XXII KETENTUAN PENUTUP ===
{{Perundangan bab|XXII|KETENTUAN PENUTUP|
 
{{Perundangan pasal|320|
==== Pasal 320 ====
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
 
}}
==== Pasal 321 ====
{{Perundangan pasal|321|
Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
 
}}
==== Pasal 322 ====
{{Perundangan pasal|322|
Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
 
}}
==== Pasal 323 ====
{{Perundangan pasal|323|
Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan harus berfungsi paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan harus berfungsi paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
 
}}
==== Pasal 324 ====
{{Perundangan pasal|324|
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
 
}}
1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
{{Perundangan pasal|325|
 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
==== Pasal 325 ====
}}
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
{{Perundangan pasal|326|
 
Nomor 3480) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
 
==== Pasal 326 ====
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
}}}}


=== Penutup ===
=== Penutup ===
Disahkan di Jakarta
{| style="width:100%;"
|-
|  || style="width:50%;"|Disahkan di Jakarta<br/>pada tanggal 22 Juni 2009<br/><br/>{{center|PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br/><br/>ttd.<br/>DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO}}
|-
| style="width:50%;"|Diundangkan di Jakarta<br/>pada tanggal 22 Juni 2009<br/><br/>{{center|MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,<br/><br/>ttd.<br/>ANDI MATTALATTA}} ||
|}


pada tanggal 22 Juni 2009


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 96
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 96
Baris 4.037: Baris 1.547:


Setio Sapto Nugroho
Setio Sapto Nugroho
{{hr}}
Sumber: {{URL|https://peraturan.bpk.go.id/Details/38654/uu-no-22-tahun-2009}}
Mencabut:
*[[Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992]] tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Revisi terkini sejak 27 Oktober 2023 15.15


Pembukaan

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
{{{pejabat}}},





Konsideran

Menimbang: a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah;

c. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara;

d. bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang- undang yang baru;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;


Dasar Hukum

Mengingat: . Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Keputusan

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.

(BAB I)
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.  Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.

2.  Lalu Lintas  adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.

3.  Angkutan  adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.

4.  Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah serangkaian Simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

5.  Simpul  adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara.

6.  Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.

7.  Kendaraan  adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.

8.  Kendaraan Bermotor  adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.

9.  Kendaraan Tidak Bermotor  adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.

10.  Kendaraan Bermotor Umum  adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.

11.  Ruang Lalu Lintas Jalan  adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung.

12.  Jalan  adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.

13.  Terminal  adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.

14.  Halte  adalah tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.

15.  Parkir  adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.

16.  Berhenti  adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.

17.  Rambu Lalu Lintas  adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan.

18.  Marka Jalan  adalah suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.

19.  Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas  adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang dan/atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan.

20.  Sepeda Motor  adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.

21.  Perusahaan Angkutan Umum  adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.

22.  Pengguna Jasa  adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum.

23.  Pengemudi  adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi.

24.  Kecelakaan Lalu Lintas  adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

25.  Penumpang  adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan.

26.  Pejalan Kaki  adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan.

27.  Pengguna Jalan  adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas.

28.  Dana Preservasi Jalan  adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

29.  Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas  adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas.

30.  Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/atau Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum, dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas.

31.  Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/atau lingkungan.

32.  Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan.

33.  Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan.

34.  Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  adalah sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

35.  Penyidik  adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

36.  Penyidik Pembantu  adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

37.  Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,  adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

38.  Pemerintah Daerah  adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

39.  Menteri  adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan.

40.  Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia  adalah pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.


(BAB II)
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:

a. asas transparan;

b. asas akuntabel;

c. asas berkelanjutan;

d. asas partisipatif;

e. asas bermanfaat;

f. asas efisien dan efektif;

g. asas seimbang;

h. asas terpadu; dan

i. asas mandiri.

Pasal 3

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:

a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.


(BAB III)
RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG

Pasal 4

Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:

a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;

b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


(BAB IV)
PEMBINAAN

Pasal 5
1 Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.

2 Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. perencanaan;

b. pengaturan;

c. pengendalian; dan

d. pengawasan.


3 Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang meliputi:

a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;

b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;

d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan

e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Pasal 6
1 Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi:

a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional;

b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional;

c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional;

d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan

e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.


2 Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

3 Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota;

b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan

c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.


4 Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;

b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan

c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.



(BAB V)
PENYELENGGARAAN

Pasal 7
1 Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.

2 Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi:

a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;

b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;

d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan

e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Pasal 8

Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)] huruf a, yaitu:

a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya;

b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan;

c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan;

d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan;

e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan;

f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan

g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan.

Pasal 9

Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:

a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;

c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;

d. perizinan angkutan umum;

e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 10

Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:

a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor;

b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 11

Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi:

a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor;

b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 12

Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi:

a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor;

b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor;

c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas;

f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;

g. pendidikan berlalu lintas;

h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan

i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.

Pasal 13
1 Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi.

2 Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

3 Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

4 Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.


(BAB VI)
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 14
1 Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.

2 Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan.

3 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;

b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan

c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.


Pasal 15
1 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional.

2 Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

3 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi;

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.


Pasal 16
1 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.

2 Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan

c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.


3 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan

d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.


Pasal 17
1 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.

2 Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan

e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.


3 Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan

d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.


Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas

Paragraf 1 - Kelas Jalan

Pasal 19
1 Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:

a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.


2 Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;

b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;

c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan

d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.


3 Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton.

4 Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 20
1 Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh:

a. Pemerintah, untuk jalan nasional;

b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;

c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau

d. pemerintah kota, untuk jalan kota.


2 Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.

3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2 - Penggunaan dan Perlengkapan Jalan

Pasal 21
1 Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.

2 Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan.

3 Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.

4 Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22
1 Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.

2 Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.

3 Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.

4 Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.

5 Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.

6 Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.

7 Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23
1 Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 24
1 Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.

2 Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.

Pasal 25
1 Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:

a. Rambu Lalu Lintas;

b. Marka Jalan;

c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;

d. alat penerangan Jalan;

e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;

f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;

g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan

h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.


2 Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 26
1 Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:

a. Pemerintah untuk jalan nasional;

b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;

c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau

d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.


2 Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 27
1 Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas.

2 Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah.

Pasal 28
1 Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.

2 Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).

Bagian Ketiga
Dana Preservasi Jalan

Pasal 29
1 Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.

2 Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.

3 Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.

4 Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.

Pasal 31

Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan.

Pasal 32

Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.

Bagian Keempat
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal

Paragraf 1 - Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal

Pasal 33
1 Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal.

2 Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.

Pasal 34
1 Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.

2 Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.

Pasal 35

Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.

Paragraf 2 - Penetapan Lokasi Terminal

Pasal 37
1 Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:

a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;

b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;

c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas;

d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;

e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;

f. permintaan angkutan;

g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;

h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dann Angkutan Jalan; dan/atau

i. kelestarian lingkungan hidup.


Paragraf 3 - Fasilitas Terminal

Pasal 38
1 Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.

2 Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.

3 Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan.

Paragraf 4 - Lingkungan Kerja Terminal

Pasal 39
1 Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.

2 Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.

3 Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.

Paragraf 5 - Pembangunan dan Pengoperasian Terminal

Pasal 40
1 Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:

a. rancang bangun;

b. buku kerja rancang bangun;

c. rencana induk Terminal;

d. analisis dampak Lalu Lintas; dan

e. analisis mengenai dampak lingkungan.


2 Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:

a. perencanaan;

b. pelaksanaan; dan

c. pengawasan operasional Terminal.


Pasal 41
1 Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.

2 Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6 - Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kelima
Fasilitas Parkir

Pasal 43
1 Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.

2 Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:

a. usaha khusus perparkiran; atau

b. penunjang usaha pokok.


3 Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44

Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:

a. rencana umum tata ruang;

b. analisis dampak lalu lintas; dan

c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.

Bagian Keenam
Fasilitas Pendukung

Pasal 45
1 Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. trotoar;

b. lajur sepeda;

c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;

d. Halte; dan/atau

e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.


2 Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:

a. Pemerintah untuk jalan nasional;

b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;

c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa;

d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan

e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.


Pasal 46
1 Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta.

2 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.


(BAB VII)
KENDARAAN

Bagian Kesatu
Jenis dan Fungsi Kendaraan

Pasal 47
1 Kendaraan terdiri atas:

a. Kendaraan Bermotor; dan

b. Kendaraan Tidak Bermotor.


2 Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:

a. sepeda motor;

b. mobil penumpang;

c. mobil bus;

d. mobil barang; dan

e. kendaraan khusus.


3 Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi:

a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan

b. Kendaraan Bermotor Umum.


4 Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam:

a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan

b. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.


Bagian Kedua
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor

Pasal 48
1 Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.

2 Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. susunan;

b. perlengkapan;

c. ukuran;

d. karoseri;

e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya;

f. pemuatan;

g. penggunaan;

h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau

i. penempelan Kendaraan Bermotor.


3 Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas:

a. emisi gas buang;

b. kebisingan suara;

c. efisiensi sistem rem utama;

d. efisiensi sistem rem parkir;

e. kincup roda depan;

f. suara klakson;

g. daya pancar dan arah sinar lampu utama;

h. radius putar;

i. akurasi alat penunjuk kecepatan;

j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan

k. kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat kendaraan.


4 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengujian Kendaraan Bermotor

Pasal 49
1 Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian.

2 Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. uji tipe; dan

b. uji berkala.


Pasal 50
1 Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.

2 Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan yang dilakukan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan

b. penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya.


3 Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 51
1 Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe.

2 Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang telah lulus uji tipe diterbitkan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa.

3 Penanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan dan kereta tempelan, serta Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi harus meregistrasikan tipe produksinya.

4 Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji tipe.

5 Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.

6 Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 52
1 Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut.

2 Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui.

3 Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang.

4 Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi ulang.

Pasal 53
1 Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan.

2 Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan

b. pengesahan hasil uji.


3 Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh:

a. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota;

b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat izin dari Pemerintah; atau

c. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan izin dari Pemerintah.


Pasal 54
1 Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.

2 Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. susunan;

b. perlengkapan;

c. ukuran;

d. karoseri; dan

e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya.


3 Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:

a. emisi gas buang Kendaraan Bermotor;

b. tingkat kebisingan;

c. kemampuan rem utama;

d. kemampuan rem parkir;

e. kincup roda depan;

f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama;

g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan

h. kedalaman alur ban.


4 Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu.

5 Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian kartu uji dan tanda uji.

6 Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji.

7 Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji.

Pasal 55
1 Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b diberikan oleh:

a. petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota; dan

b. petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit pelaksana pengujian swasta.


2 Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan.

Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat
Perlengkapan Kendaraan Bermotor

Pasal 57
1 Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.

2 Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.

3 Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurang- kurangnya terdiri atas:

a. sabuk keselamatan;

b. ban cadangan;

c. segitiga pengaman;

d. dongkrak;

e. pembuka roda;

f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan

g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas Lintas.


4 Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 58

Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.

Pasal 59
1 Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.

2 Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna:

a. merah;

b. biru; dan

c. kuning.


3 Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.

4 Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.

5 Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:

a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan

c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus.


6 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

7 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Kelima
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor

Pasal 60
1 Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor, wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.

2 Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.

3 Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang industri.

4 Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

5 Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

6 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan peraturan pemerintah.


Bagian Keenam
Kendaraan Tidak Bermotor

Pasal 61
1 Setiap Kendaraan Tidak Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan, meliputi:

a. persyaratan teknis; dan

b. persyaratan tata cara memuat barang.


2 Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a sekurang-kurangnya meliputi:

a. konstruksi;

b. sistem kemudi;

c. sistem roda;

d. sistem rem;

e. lampu dan pemantul cahaya; dan

f. alat peringatan dengan bunyi.


3 Persyaratan tata cara memuat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya meliputi dimensi dan berat.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 62
1 Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda.

2 Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.

Pasal 63
1 Pemerintah Daerah dapat menentukan jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor di daerahnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.

2 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

3 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat lintas kabupaten/kota diatur dengan peraturan daerah provinsi.

Bagian Ketujuh
Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor

Pasal 64
1 Setiap Kendaraan Bermotor wajib diregistrasikan.

2 Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. registrasi Kendaraan Bermotor baru;

b. registrasi perubahan identitas Kendaraan Bermotor dan pemilik;

c. registrasi perpanjangan Kendaraan Bermotor; dan/atau

d. registrasi pengesahan Kendaraan Bermotor.


3 Registrasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:

a. tertib administrasi;

b. pengendalian dan pengawasan Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Indonesia;

c. mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau kejahatan;

d. perencanaan, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

e. perencanaan pembangunan nasional.


4 Registrasi Kendaraan Bermotor dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan Bermotor.

5 Data registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian.

6 Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 65
1 Registrasi Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan:

a. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan pemiliknya;

b. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor; dan

c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.


2 Sebagai bukti bahwa Kendaraan Bermotor telah diregistrasi, pemilik diberi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.

Pasal 66

Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk pertama kali harus memenuhi persyaratan:

a. memiliki sertifikat registrasi uji tipe;

b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor yang sah; dan

c. memiliki hasil pemeriksaan cek fisik Kendaraan Bermotor.

Pasal 67
1 Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor, pembayaran pajak Kendaraan Bermotor, dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan secara terintegrasi dan terkoordinasi dalam Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap.

2 Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah Daerah.

3 Mekanisme penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap dikoordinasikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Presiden.

Pasal 68
1 Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.

2 Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data Kendaraan Bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi Kendaraan Bermotor, dan masa berlaku.

3 Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kode wilayah, nomor registrasi, dan masa berlaku.

4 Tanda Nomor Kendaraan Bermotor harus memenuhi syarat bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan.

5 Selain Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor khusus dan/atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor rahasia.

6 Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 69
1 Setiap Kendaraan Bermotor yang belum diregistrasi dapat dioperasikan di Jalan untuk kepentingan tertentu dengan dilengkapi Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor.

2 Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada badan usaha di bidang penjualan, pembuatan, perakitan, atau impor Kendaraan Bermotor.

3 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 70
1 Buku Pemilik Kendaraan Bermotor berlaku selama kepemilikannya tidak dipindahtangankan.

2 Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun.

3 Sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor wajib diajukan permohonan perpanjangan.

Pasal 71
1 Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia jika:

a. bukti registrasi hilang atau rusak;

b. spesifikasi teknis dan/atau fungsi Kendaraan Bermotor diubah;

c. kepemilikan Kendaraan Bermotor beralih; atau

d. Kendaraan Bermotor digunakan secara terus- menerus lebih dari 3 (tiga) bulan di luar wilayah Kendaraan diregistrasi.


2 Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut terakhir diregistrasi.

3 Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut dioperasikan.

Pasal 72
1 Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia diatur dengan peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan dilaporkan untuk pendataan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2 Registrasi Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3 Registrasi Kendaraan Bermotor perwakilan negara asing dan lembaga internasional diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 73
1 Kendaraan Bermotor Umum yang telah diregistrasi dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum atas dasar:

a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor Umum; atau

b. usulan pejabat yang berwenang memberi izin angkutan umum.


2 Setiap Kendaraan Bermotor Umum yang tidak lagi digunakan sebagai angkutan umum wajib dihapuskan dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum.

Pasal 74
1 Kendaraan Bermotor yang telah diregistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor atas dasar:

a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor; atau

b. pertimbangan pejabat yang berwenang melaksanakan registrasi Kendaraan Bermotor.


2 Penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika:

a. Kendaraan Bermotor rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan; atau

b. pemilik Kendaraan Bermotor tidak melakukan registrasi ulang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.


3 Kendaraan Bermotor yang telah dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi kembali.

Pasal 75

Ketentuan lebih lanjut mengenai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Kedelapan
Sanksi Administratif

Pasal 76
1 Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembayaran denda;

c. pembekuan izin; dan/atau

d. pencabutan izin.


2 Setiap orang yang menyelenggarakan bengkel umum yang melanggar ketentuan Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembayaran denda; dan/atau

c. penutupan bengkel umum.


3 Setiap petugas pengesah swasta yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembayaran denda;

c. pembekuan sertifikat pengesah; dan/atau

d. pencabutan sertifikat pengesah.


4 Setiap petugas penguji atau pengesah uji berkala yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.


(BAB VIII)
PENGEMUDI

Bagian Kesatu
Surat Izin Mengemudi

Paragraf 1 - Persyaratan Pengemudi

Pasal 77
1 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.

2 Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis:

a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan

b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum.


3 Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.

4 Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum.

5 Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan.

Paragraf 2 - Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi

Pasal 78
1 Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari Pemerintah.

2 Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

3 Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4 Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 79
1 Setiap calon Pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji.

2 Instruktur atau penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelanggaran dan/atau Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi saat calon Pengemudi belajar atau menjalani ujian.

Paragraf 3 - Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi

Pasal 80

Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a digolongkan menjadi:

a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;

d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan

e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.

Pasal 81
1 Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian.

2 Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:

a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;

b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan

c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.


3 Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk;

b. pengisian formulir permohonan; dan

c. rumusan sidik jari.


4 Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan

b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis.


5 Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. ujian teori;

b. ujian praktik; dan/atau

c. ujian keterampilan melalui simulator.


6 Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan:

a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan

b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.


Pasal 82

Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b digolongkan menjadi:

a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan

c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram.

Pasal 83
1 Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus.

2 Syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:

a. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum;

b. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan

c. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum.


3 Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

a. lulus ujian teori yang meliputi pengetahuan mengenai:

1. pelayanan angkutan umum;

2. fasilitas umum dan fasilitas sosial;

3. pengujian Kendaraan Bermotor;

4. tata cara mengangkut orang dan/atau barang;

5. tempat penting di wilayah domisili;

6. jenis barang berbahaya; dan

7. pengoperasian peralatan keamanan.

b. lulus ujian praktik, yang meliputi:

1. menaikkan dan menurunkan penumpang dan/atau barang di Terminal dan di tempat tertentu lainnya;

2. tata cara mengangkut orang dan/atau barang;

3. mengisi surat muatan;

4. etika Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum; dan

5. pengoperasian peralatan keamanan.


4 Dengan memperhatikan syarat usia, setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan:

a. Surat Izin Mengemudi A Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan;

b. untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I atau Surat Izin Mengemudi A Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan

c. untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B II atau Surat Izin Mengemudi B I Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.


5 Selain harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), setiap orang yang mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 84

Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor dapat digunakan sebagai Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor yang jumlah beratnya sama atau lebih rendah, sebagai berikut:

a. Surat Izin Mengemudi A Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A;

b. Surat Izin Mengemudi B I dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A;

c. Surat Izin Mengemudi B I Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, dan Surat Izin Mengemudi B I;

d. Surat Izin Mengemudi B II dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A dan Surat Izin Mengemudi B I; atau

e. Surat Izin Mengemudi B II Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, Surat Izin Mengemudi B I, Surat Izin Mengemudi B I Umum, dan Surat Izin Mengemudi B II.

Pasal 85
1 Surat Izin Mengemudi berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain.

2 Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

3 Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4 Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara lain, Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan di Indonesia dapat pula berlaku di negara lain dan Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di Indonesia.

5 Pemegang Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi internasional yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 4 - Fungsi Surat Izin Mengemudi

Pasal 86
1 Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi mengemudi.

2 Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai registrasi Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap Pengemudi.

3 Data pada registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian.

Bagian Kedua
Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi

Paragraf 1 - Penerbitan Surat Izin Mengemudi

Pasal 87
1 Surat Izin Mengemudi diberikan kepada setiap calon Pengemudi yang lulus ujian mengemudi.

2 Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3 Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyelenggarakan sistem informasi penerbitan Surat Izin Mengemudi.

4 Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menaati prosedur penerbitan Surat Izin Mengemudi.

Pasal 88

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2 - Pemberian Tanda Pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi

Pasal 89
1 Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan tanda atau data pelanggaran terhadap Surat Izin Mengemudi milik Pengemudi yang melakukan pelanggaran tindak pidana Lalu Lintas.

2 Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara atau mencabut Surat Izin Mengemudi sementara sebelum diputus oleh pengadilan.

3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda atau data pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Ketiga
Waktu Kerja Pengemudi

Pasal 90
1 Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

2 Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam sehari.

3 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam.

4 Dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.

Bagian Keempat
Sanksi Administratif

Pasal 91
1 Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa sanksi disiplin dan/atau etika profesi kepolisian.

2 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 92
1 Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dikenai sanksi administratif.

2 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pemberian denda administratif;

c. pembekuan izin; dan/atau

d. pencabutan izin.


3 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.


(BAB IX)
LALU LINTAS

Bagian Kesatu
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Paragraf 1 - Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Pasal 93
1 Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus;

b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki;

c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;

d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas;

e. pemaduan berbagai moda angkutan;

f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan;

g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau

h. perlindungan terhadap lingkungan.


3 Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan:

a. perencanaan;

b. pengaturan;

c. perekayasaan;

d. pemberdayaan; dan

e. pengawasan.


Pasal 94
1 Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf a meliputi:

a. identifikasi masalah Lalu Lintas;

b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas;

c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang;

d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan;

e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung Kendaraan;

f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas;

g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas;

h. penetapan tingkat pelayanan; dan

i. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas.


2 Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi:

a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan

b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.


3 Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c meliputi:

a. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan Jalan yang tidak berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan;

b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan Jalan yang berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; dan

c. optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam rangka meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan hukum.


4 Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi pemberian:

a. arahan;

b. bimbingan;

c. penyuluhan;

d. pelatihan; dan

e. bantuan teknis.


5 Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e meliputi:

a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan;

b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan

c. tindakan penegakan hukum.


Pasal 95
1 Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) huruf a yang berupa perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk diatur dengan:

a. peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jalan nasional;

b. peraturan daerah provinsi untuk jalan provinsi;

c. peraturan daerah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; atau

d. peraturan daerah kota untuk jalan kota.


2 Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.

Paragraf 2 - Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Pasal 96
1 Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, Pasal 94 ayat (2), Pasal 94 ayat (3) huruf b, Pasal 94 ayat (4), serta Pasal 94 ayat (5) huruf a dan huruf b untuk jaringan jalan nasional.

2 Menteri yang membidangi Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i, serta Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional.

3 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf i, Pasal 94 ayat (3) huruf c, dan Pasal 94 ayat (5).

4 Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan provinsi setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.

5 Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kabupaten dan/atau jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.

6 Walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kota setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.

Pasal 97
1 Dalam hal terjadi perubahan arus Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian.

2 Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan yang bersifat sementara.

3 Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepada instansi terkait.

Pasal 98
1 Penanggung jawab pelaksana Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas wajib berkoordinasi dan membuat analisis, evaluasi, dan laporan pelaksanaan berdasarkan data dan kinerjanya.

2 Laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Kedua
Analisis Dampak Lalu Lintas

Pasal 99
1 Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.

2 Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:

a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan;

c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak;

d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan

e. rencana pemantauan dan evaluasi.


3 Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang-undangan.

Pasal 100
1 Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat.

2 Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 101

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dan Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan Petugas yang Berwenang

Paragraf 1 - Syarat dan Prosedur Pemasangan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan Marka Jalan

Pasal 102
1 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan yang bersifat perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk pada jaringan atau ruas Jalan pemasangannya harus diselesaikan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pemberlakuan peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1).

2 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemasangan.

3 Ketentuan lebih lanjut mengenai kekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2 - Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas

Pasal 103
1 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan.

2 Rambu Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Marka Jalan.

3 Dalam hal terjadi kondisi kemacetan Lalu Lintas yang tidak memungkinkan gerak Kendaraan, fungsi marka kotak kuning harus diutamakan daripada Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 3 - Pengutamaan Petugas

Pasal 104
1 Dalam keadaan tertentu untuk Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan:

a. memberhentikan arus Lalu Lintas dan/atau Pengguna Jalan;

b. memerintahkan Pengguna Jalan untuk jalan terus;

c. mempercepat arus Lalu Lintas;

d. memperlambat arus Lalu Lintas; dan/atau

e. mengalihkan arah arus Lalu Lintas.


2 Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diutamakan daripada perintah yang diberikan oleh Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.

3 Pengguna Jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4 Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Keempat
Tata Cara Berlalu Lintas

Paragraf 1 - Ketertiban dan Keselamatan

Pasal 105

Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib:

a. berperilaku tertib; dan/atau

b. mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan.

Pasal 106
1 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.

2 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.

3 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan.

4 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan:

a. rambu perintah atau rambu larangan;

b. Marka Jalan;

c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;

d. gerakan Lalu Lintas;

e. berhenti dan Parkir;

f. peringatan dengan bunyi dan sinar;

g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau

h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain.


5 Pada saat diadakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor wajib menunjukkan:

a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat

Tanda Coba Kendaraan Bermotor;

b. Surat Izin Mengemudi;

c. bukti lulus uji berkala; dan/atau d. tanda bukti lain yang sah.


6 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan.

7 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

8 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

9 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.

Paragraf 2 - Penggunaan Lampu Utama

Pasal 107
1 Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.

2 Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.

Paragraf 3 - Jalur atau Lajur Lalu Lintas

Pasal 108
1 Dalam berlalu lintas Pengguna Jalan harus menggunakan jalur Jalan sebelah kiri.

2 Penggunaan jalur Jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika:

a. Pengemudi bermaksud akan melewati Kendaraan di depannya; atau

b. diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk digunakan sementara sebagai jalur kiri.


3 Sepeda Motor, Kendaraan Bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang, dan Kendaraan Tidak Bermotor berada pada lajur kiri Jalan.

4 Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului Kendaraan lain.

Pasal 109
1 Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan melewati Kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur Jalan sebelah kanan dari Kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.

2 Dalam keadaan tertentu, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

3 Jika Kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati Kendaraan tersebut.

Pasal 110
1 Pengemudi yang berpapasan dengan Kendaraan lain dari arah berlawanan pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas wajib memberikan ruang gerak yang cukup di sebelah kanan Kendaraan.

2 Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika terhalang oleh suatu rintangan atau Pengguna Jalan lain di depannya wajib mendahulukan Kendaraan yang datang dari arah berlawanan.

Pasal 111

Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bagi Kendaraan untuk saling berpapasan, Pengemudi Kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi kesempatan jalan kepada Kendaraan yang mendaki.

Paragraf 4 - Belokan atau Simpangan

Pasal 112
1 Pengemudi Kendaraan yang akan berbelok atau berbalik arah wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan.

2 Pengemudi Kendaraan yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat.

3 Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.

Pasal 113
1 Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi wajib memberikan hak utama kepada:

a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah cabang persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas atau Marka Jalan;

b. Kendaraan dari Jalan utama jika Pengemudi tersebut datang dari cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari pekarangan yang berbatasan dengan Jalan;

c. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan sebelah kiri jika cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih dan sama besar;

d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri di persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus; atau

e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus.


2 Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali Lalu Lintas yang berbentuk bundaran, Pengemudi harus memberikan hak utama kepada Kendaraan lain yang datang dari arah kanan.

Pasal 114

Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan Jalan, Pengemudi Kendaraan wajib:

a. berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain;

b. mendahulukan kereta api; dan

c. memberikan hak utama kepada Kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

Paragraf 5 - Kecepatan

Pasal 115

Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang:

a. mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau

b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain.

Pasal 116
1 Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan Rambu Lalu Lintas.

2 Selain sesuai dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika:

a. akan melewati Kendaraan Bermotor Umum yang sedang menurunkan dan menaikkan Penumpang;

b. akan melewati Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring;

c. cuaca hujan dan/atau genangan air;

d. memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas;

e. mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kereta api; dan/atau

f. melihat dan mengetahui ada Pejalan Kaki yang akan menyeberang.


Pasal 117

Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus mengamati situasi Lalu Lintas di samping dan di belakang Kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan Kendaraan lain.

Paragraf 6 - Berhenti

Pasal 118

Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali:

a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh;

b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau

c. di jalan tol.

Pasal 119
1 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan dan/atau menaikkan Penumpang wajib memberi isyarat tanda berhenti.

2 Pengemudi Kendaraan yang berada di belakang Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan kendaraannya sementara.

Paragraf 7 - Parkir

Pasal 120

Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.

Pasal 121
1 Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan.

2 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping.

Paragraf 8 - Kendaraan Tidak Bermotor

Pasal 122
1 Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang:

a. dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik oleh Kendaraan Bermotor dengan kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan;

b. mengangkut atau menarik benda yang dapat merintangi atau membahayakan Pengguna Jalan lain; dan/atau

c. menggunakan jalur jalan Kendaraan Bermotor jika telah disediakan jalur jalan khusus bagi Kendaraan Tidak Bermotor.


2 Pesepeda dilarang membawa Penumpang, kecuali jika sepeda tersebut telah dilengkapi dengan tempat Penumpang.

3 Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi Kendaraan lain untuk mendahului.

Pasal 123

Pesepeda tunarungu harus menggunakan tanda pengenal yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang sepedanya.

Paragraf 9 - Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum

Pasal 124
1 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek wajib:

a. mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan;

b. memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas;

c. menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah;

d. memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang;

e. menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan

f. mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.


2 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek dengan tarif ekonomi wajib mengangkut anak sekolah.

Pasal 125

Pengemudi Kendaraan Bermotor angkutan barang wajib menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan.

Pasal 126

Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:

a. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan;

b. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan;

c. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau

d. melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek.

Bagian Kelima
Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas

Paragraf 1 - Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas yang Diperbolehkan

Pasal 127
1 Penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.

2 Penggunaan jalan nasional dan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional.

3 Penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi.

Paragraf 2 - Tata Cara Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas

Pasal 128
1 Penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) yang mengakibatkan penutupan Jalan dapat diizinkan jika ada jalan alternatif.

2 Pengalihan arus Lalu Lintas ke jalan alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sementara.

3 Izin penggunaan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 3 - Tanggung jawab

Pasal 129
1 Pengguna Jalan di luar fungsi Jalan bertanggung jawab atas semua akibat yang ditimbulkan.

2 Pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (3) bertanggung jawab menempatkan petugas pada ruas Jalan untuk menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 130

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, Pasal 128, dan Pasal 129 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas

Pasal 131
1 Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.

2 Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang Jalan di tempat penyeberangan.

3 Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.

Pasal 132
1 Pejalan Kaki wajib:

a. menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau Jalan yang paling tepi; atau

b. menyeberang di tempat yang telah ditentukan.


2 Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejalan Kaki wajib memperhatikan Keselamatan dan Kelancaran Lalu Lintas.

3 Pejalan Kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda khusus yang jelas dan mudah dikenali Pengguna Jalan lain.

Bagian Ketujuh
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas

Pasal 133
1 Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan Ruang Lalu Lintas dan mengendalikan pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan Lalu Lintas berdasarkan kriteria:

a. perbandingan volume Lalu Lintas Kendaraan Bermotor dengan kapasitas Jalan;

b. ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum; dan

c. kualitas lingkungan.


2 Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:

a. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;

b. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;

c. pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu;

d. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan klasifikasi fungsi Jalan;

e. pembatasan ruang Parkir pada kawasan tertentu dengan batasan ruang Parkir maksimal; dan/atau

f. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Tidak Bermotor Umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu.


3 Pembatasan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4 Manajemen kebutuhan Lalu Lintas ditetapkan dan dievaluasi secara berkala oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan lingkup kewenangannya dengan melibatkan instansi terkait.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen kebutuhan Lalu Lintas diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kesembilan
Sanksi Administratif

Pasal 136
1 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 128 dikenai sanksi administratif.

2 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara pelayanan umum;

c. penghentian sementara kegiatan;

d. denda administratif;

e. pembatalan izin; dan/atau

f. pencabutan izin.


3 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.


(BAB X)
ANGKUTAN

Bagian Kesatu
Angkutan Orang dan Barang

Pasal 137
1 Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.

2 Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.

3 Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang.

4 Mobil barang dilarang digunakan untuk angkutan orang, kecuali:

a. rasio Kendaraan Bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai;

b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau

c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.


5 Ketentuan lebih lanjut mengenai mobil barang yang digunakan untuk angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua
Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum

Pasal 138
1 Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.

2 Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3 Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.

Pasal 139
1 Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara.

2 Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi.

3 Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.

4 Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Paragraf 1 - Umum

Pasal 140

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor

Umum terdiri atas:

a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan

b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek.

Paragraf 2 - Standar Pelayanan Angkutan Orang

Pasal 141
1 Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi:

a. keamanan;

b. keselamatan;

c. kenyamanan;

d. keterjangkauan;

e. kesetaraan; dan

f. keteraturan.


2 Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan.

3 Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 3 - Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek

Pasal 142

Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a terdiri atas:

a. angkutan lintas batas negara;

b. angkutan antarkota antarprovinsi;

c. angkutan antarkota dalam provinsi;

d. angkutan perkotaan; atau

e. angkutan perdesaan.

Pasal 143

Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a harus:

a. memiliki rute tetap dan teratur;

b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan

c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan.

Pasal 144

Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan:

a. tata ruang wilayah;

b. tingkat permintaan jasa angkutan;

c. kemampuan penyediaan jasa angkutan;

d. ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. kesesuaian dengan kelas jalan;

f. keterpaduan intramoda angkutan; dan

g. keterpaduan antarmoda angkutan.

Pasal 145
1 Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek.

2 Penyusunan rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait.

3 Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. jaringan trayek lintas batas negara;

b. jaringan trayek antarkota antarprovinsi;

c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi;

d. jaringan trayek perkotaan; dan

e. jaringan trayek perdesaan.


4 Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji ulang secara berkala paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 146
1 Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan kawasan perkotaan.

2 Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah provinsi;

b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau

c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota.


Pasal 147
1 Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum lintas batas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan perjanjian antarnegara.

2 Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 148

Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh:

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota antarprovinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) provinsi;

b. gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota dalam provinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; atau

c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perkotaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 149

Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf e ditetapkan oleh:

a. bupati untuk kawasan perdesaan yang menghubungkan 1 (satu) daerah kabupaten;

b. gubernur untuk kawasan perdesaan yang melampaui 1 (satu) daerah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau

c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah provinsi.

Pasal 150

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 4 - Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek

Pasal 151

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas:

a. angkutan orang dengan menggunakan taksi;

b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;

c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan

d. angkutan orang di kawasan tertentu.

Pasal 152
1 Angkutan orang dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a harus digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi dalam kawasan perkotaan.

2 Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:

a. berada dalam wilayah kota;

b. berada dalam wilayah kabupaten;

c. melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau

d. melampaui wilayah provinsi.


3 Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jumlah maksimal kebutuhan taksi ditetapkan oleh:

a. walikota untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kota;

b. bupati untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten;

c. gubernur untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau

d. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu lintas dan Angkutan Jalan untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah provinsi.


Pasal 153
1 Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilarang menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam trayek.

2 Angkutan orang dengan tujuan tertentu diselenggarakan dengan menggunakan mobil penumpang umum atau mobil bus umum.

Pasal 154
1 Angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf c harus digunakan untuk pelayanan angkutan wisata.

2 Penyelenggaraan angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum dan mobil bus umum dengan tanda khusus.

3 Angkutan orang untuk keperluan pariwisata tidak diperbolehkan menggunakan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, kecuali di daerah yang belum tersedia angkutan khusus untuk pariwisata.

Pasal 155
1 Angkutan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d harus dilaksanakan melalui pelayanaan angkutan di jalan lokal dan jalan lingkungan.

2 Angkutan orang di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum.

Pasal 156

Evaluasi wilayah operasi dan kebutuhan angkutan orang tidak dalam trayek dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan diumumkan kepada masyarakat.

Pasal 157

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 5 - Angkutan Massal

Pasal 158
1 Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan perkotaan.

2 Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan:

a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal;

b. lajur khusus;

c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; dan

d. angkutan pengumpan.


Pasal 159

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Keempat
Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Paragraf 1 - Umum

Pasal 160

Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas:

a. angkutan barang umum; dan

b. angkutan barang khusus.

Paragraf 2 - Angkutan Barang Umum

Pasal 161

Pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas Jalan;

b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat dan membongkar barang; dan

c. menggunakan mobil barang.

Paragraf 3 - Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat

Pasal 162
1 Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib:

a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;

b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut;

c. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan;

d. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;

e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

f. mendapat rekomendasi dari instansi terkait.


2 Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3 Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut.

Pasal 163
1 Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus wajib memberitahukan kepada pengelola pergudangan dan/atau penyelenggara angkutan barang sebelum barang dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.

2 Penyelenggara angkutan barang yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus wajib menyediakan tempat penyimpanan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.

Pasal 164

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Kelima
Angkutan Multimoda

Pasal 165
1 Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda.

2 Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan badan hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain.

3 Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan mendapat izin dari Pemerintah.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keenam
Dokumen Angkutan Orang dan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Pasal 166
1 Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang melayani trayek tetap lintas batas negara, antarkota antarprovinsi, dan antarkota dalam provinsi harus dilengkapi dengan dokumen.

2 Dokumen angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. tiket Penumpang umum untuk angkutan dalam trayek;

b. tanda pengenal bagasi; dan

c. manifes.


3 Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi:

a. surat perjanjian pengangkutan; dan

b. surat muatan barang.


Pasal 167
1 Perusahaan Angkutan Umum orang wajib:

a. menyerahkan tiket Penumpang;

b. menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek;

c. menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada

Penumpang; dan

d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi.


2 Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen identitas diri yang sah.

Pasal 168
1 Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat muatan barang sebagai bagian dokumen perjalanan.

2 Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat perjanjian pengangkutan barang.

Bagian Ketujuh
Pengawasan Muatan Barang

Pasal 169
1 Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas jalan.

2 Untuk mengawasi pemenuhan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan muatan angkutan barang.

3 Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan menggunakan alat penimbangan.

4 Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:

a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau

b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan.


Pasal 170
1 Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu.

2 Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah.

3 Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan oleh unit pelaksana penimbangan yang ditunjuk oleh Pemerintah.

4 Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan.

Pasal 171
1 Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf b digunakan dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan penyidikan tindak pidana pelanggaran muatan.

2 Pengoperasian alat penimbangan untuk pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pemeriksa Kendaraan Bermotor.

3 Pengoperasian alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama dengan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 172

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedelapan
Pengusahaan Angkutan

Paragraf 1 - Perizinan Angkutan

Pasal 173
1 Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki:

a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek;

b. izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau

c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat.


2 Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau

b. pengangkutan jenazah.


Pasal 174
1 Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan.

2 Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

3 Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan.

Pasal 175
1 Izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk jangka waktu tertentu.

2 Perpanjangan izin harus melalui proses seleksi atau pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2).

Paragraf 2 - Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang dalam Trayek

Pasal 176

Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a diberikan oleh:

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:

1. trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antarnegara;

2. trayek antarkabupaten/kota yang melampaui wilayah

1 (satu) provinsi;

3. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; dan

4. trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu) provinsi.

b. gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:

1. trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;

2. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan

3. trayek perdesaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten dalam satu provinsi.

c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

d. bupati untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:

1. trayek perdesaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten; dan

2. trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten.

e. walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota.

Pasal 177

Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek wajib:

a. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang diberikan; dan

b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1).

Pasal 178

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 3 - Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek

Pasal 179
1 Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b diberikan oleh:

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani:

1. angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui 1 (satu) daerah provinsi;

2. angkutan dengan tujuan tertentu; atau

3. angkutan pariwisata.

b. gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;

c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; dan

d. bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota.


2 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 4 - Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat

Pasal 180
1 Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan rekomendasi dari instansi terkait.

2 Izin penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

3 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan barang khusus dan alat berat diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Kesembilan
Tarif Angkutan

Pasal 181
1 Tarif angkutan terdiri atas tarif Penumpang dan tarif barang.

2 Tarif Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek; dan

b. tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek.


Pasal 182
1 Tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek terdiri atas:

a. tarif kelas ekonomi; dan

b. tarif kelas nonekonomi.


2 Penetapan tarif kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota antarprovinsi, angkutan perkotaan, dan angkutan perdesaan yang wilayah pelayanannya melampaui wilayah provinsi;

b. gubernur untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam provinsi serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang melampaui batas satu kabupaten/kota dalam satu provinsi;

c. bupati untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam kabupaten serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang wilayah pelayanannya dalam kabupaten; dan

d. walikota untuk angkutan orang yang melayani trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya dalam kota.


3 Tarif Penumpang angkutan orang dalam trayek kelas nonekonomi ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 183
1 Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum atas persetujuan Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.

2 Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.

Pasal 184

Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.

Bagian Kesepuluh
Subsidi Angkutan Penumpang Umum

Pasal 185
1 Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi pada trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

2 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan Penumpang umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kesebelas
Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Umum

Paragraf 1 - Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 186

Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang.

Pasal 187

Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan.

Pasal 188

Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.

Pasal 189

Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.

Pasal 190

Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan.

Pasal 191

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.

Pasal 192
1 Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang.

2 Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan.

3 Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak Penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati.

4 Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 193
1 Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.

2 Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.

3 Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.

4 Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang.

5 Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 194
1 Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan Umum.

2 Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian pihak ketiga kepada Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.

Paragraf 2 - Hak Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 195
1 Perusahaan Angkutan Umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan.

2 Perusahaan Angkutan Umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan.

3 Perusahaan Angkutan Umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 196

Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, Perusahaan Angkutan Umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Belas
Tanggung Jawab Penyelenggara

Pasal 197
1 Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan wajib:

a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan;

b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan umum; dan

c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang dan barang.


2 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Ketiga Belas
Industri Jasa Angkutan Umum

Pasal 198
1 Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.

2 Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus:

a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar;

b. menetapkan standar pelayanan minimal;

c. menetapkan kriteria persaingan yang sehat;

d. mendorong terciptanya pasar; dan

e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum.


3 Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat Belas
Sanksi Administratif

Pasal 199
1 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, dan Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.


2 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(BAB XI)
KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 200
1 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama antara pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat.

3 Untuk mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan kegiatan:

a. penyusunan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan berlalu lintas dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan etika masyarakat dalam berlalu lintas;

d. pengkajian masalah Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. manajemen keamanan Lalu Lintas;

f. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan/atau patroli;

g. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi; dan

h. penegakan hukum Lalu Lintas.


Pasal 201
1 Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem keamanan dengan berpedoman pada program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi untuk memudahkan pendeteksian kejadian kejahatan di Kendaraan Bermotor.

Pasal 202

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 dan Pasal 201 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Kedua
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 203
1 Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi:

a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


Pasal 204
1 Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ke Pusat Kendali Sistem Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 205

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2) dan kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 206
1 Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. audit;

b. inspeksi; dan

c. pengamatan dan pemantauan.


2 Audit bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3 Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

4 Inspeksi bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

5 Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

6 Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan secara berkelanjutan oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

7 Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan tindakan korektif dan/atau penegakan hukum.

Pasal 207

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat
Budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 208
1 Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertangggung jawab membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Upaya membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini;

b. sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. pemberian penghargaan terhadap tindakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

d. penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang mendorong pengguna jalan berperilaku tertib; dan

e. penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan.


3 Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program untuk mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas.

(BAB XII)
DAMPAK LINGKUNGAN

Bagian Kesatu
Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 209
1 Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2 Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua
Pencegahan dan Penanggulangan Dampak Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 210
1 Setiap Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Jalan wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan.

2 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 211

Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.

Pasal 212

Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib melakukan perbaikan terhadap kendaraannya jika terjadi kerusakan yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban

Paragraf 1 - Kewajiban Pemerintah

Pasal 213
1 Pemerintah wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib:

a. merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;

b. membangun dan mengembangkan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;

c. melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan Angkutan Umum, pemilik, dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor yang beroperasi di jalan; dan

d. menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


Paragraf 2 - Hak dan Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 214
1 Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh kemudahan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan.

2 Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh informasi mengenai kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 215

Perusahaan Angkutan Umum wajib:

a. melaksanakan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah;

b. menyediakan sarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;

c. memberi informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi jasa angkutan umum;

d. memberi penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan sarana angkutan umum; dan

e. mematuhi baku mutu lingkungan hidup.

Paragraf 3 - Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 216
1 Masyarakat berhak mendapatkan Ruang Lalu Lintas yang ramah lingkungan.

2 Masyarakat berhak memperoleh informasi tentang kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 217

Masyarakat wajib menjaga kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(BAB XIII)
PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 219
1 Pengembangan industri dan teknologi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan Bermotor;

b. peralatan penegakan hukum;

c. peralatan uji laik kendaraan;

d. fasilitas Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. peralatan registrasi dan identifikasi Kendaraan dan Pengemudi;

f. teknologi serta informasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

g. fasilitas pendidikan dan pelatihan personel Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

h. komponen pendukung Kendaraan Bermotor.


2 Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor;

b. pengembangan standardisasi Kendaraan dan/atau komponen Kendaraan Bermotor;

c. pengalihan teknologi;

d. penggunaan sebanyak-banyaknya muatan lokal;

e. pengembangan industri bahan baku dan komponen;

f. pemberian kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;

g. pemberian fasilitas kerja sama dengan industri sejenis; dan/atau

h. pemberian fasilitas kerja sama pasar pengguna di dalam dan di luar negeri.


Bagian Kedua
Pengembangan Rancang Bangun Kendaraan Bermotor

Pasal 220
1 Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh:

a. Pemerintah;

b. Pemerintah Daerah;

c. badan hukum;

d. lembaga penelitian; dan/atau

e. perguruan tinggi.


2 Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan:

a. dimensi utama dan konstruksi Kendaraan Bermotor;

b. kesesuaian material;

c. kesesuaian motor penggerak;

d. kesesuaian daya dukung jalan;

e. bentuk fisik Kendaraan Bermotor;

f. dimensi, konstruksi, posisi, dan jarak tempat duduk;

g. posisi lampu;

h. jumlah tempat duduk;

i. dimensi dan konstruksi bak muatan/volume tangki;

j. peruntukan Kendaraan Bermotor; dan

k. fasilitas keluar darurat.


3 Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 221

Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (2) dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya nasional, menerapkan standar keamanan dan keselamatan, serta memperhatikan kelestarian lingkungan.

Bagian Ketiga
Pengembangan Industri dan Teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 222
1 Pemerintah wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.

3 Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi modernisasi fasilitas:

a. pengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. penegakan hukum;

c. uji kelaikan Kendaraan;

d. Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, serta Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. pengawasan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

f. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi;

g. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

h. keselamatan Pengemudi dan/atau Penumpang.


4 Metode pengembangan industri dan teknologi meliputi:

a. pemahaman teknologi;

b. pengalihan teknologi; dan

c. fasilitasi riset teknologi.


5 Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan pengesahan dari instansi terkait.

Bagian Keempat
Pemberdayaan Industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 223
1 Untuk mengembangkan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (2), Pemerintah mendorong pemberdayaan industri dalam negeri.

2 Untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemberian fasilitas, insentif bidang tertentu, dan menerapkan standar produk peralatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 224
1 Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri atas:

a. rekayasa;

b. produksi;

c. perakitan; dan/atau

d. pemeliharaan dan perbaikan.


2 Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mencakup alih teknologi yang disesuaikan dengan kearifan lokal.

Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 225

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

(BAB XIV)
KECELAKAAN LALU LINTAS

Bagian Kesatu
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 226
1 Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui:

a. partisipasi para pemangku kepentingan;

b. pemberdayaan masyarakat;

c. penegakan hukum; dan

d. kemitraan global.


2 Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

3 Penyusunan program pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Kedua
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

Paragraf 1 - Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 227

Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:

a. mendatangi tempat kejadian dengan segera;

b. menolong korban;

c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;

d. mengolah tempat kejadian perkara;

e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;

f. mengamankan barang bukti; dan

g. melakukan penyidikan perkara.

Pasal 228

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2 - Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 229
1 Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.


2 Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

3 Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

4 Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

5 Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Pasal 230

Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3 - Pertolongan dan Perawatan Korban

Pasal 231
1 Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib:

a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;

b. memberikan pertolongan kepada korban;

c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan

d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.


2 Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat.

Pasal 232

Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib:

a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu Lintas;

b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau

c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 4 - Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 233
1 Setiap kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data Kecelakaan Lalu Lintas.

2 Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari data forensik.

3 Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data yang berasal dari rumah sakit.

4 Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab

Paragraf 1 - Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan

Pasal 234
1 Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.

2 Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi.

3 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;

b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau

c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.


Pasal 235
1 Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

2 Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Pasal 236
1 Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.

2 Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.

Pasal 237
1 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan.

2 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan.

Paragraf 2 - Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah

Pasal 238
1 Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.

2 Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.

Pasal 239
1 Pemerintah mengembangkan program asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Hak Korban

Pasal 240

Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:

a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;

b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan

c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.

Pasal 241

Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(BAB XV)
PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT, MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Perlakuan Khusus

Pasal 242
1 Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.

2 Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. aksesibilitas;

b. prioritas pelayanan; dan

c. fasilitas pelayanan.


3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak- anak, wanita hamil, dan orang sakit diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 243

Masyarakat secara kelompok dapat mengajukan gugatan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 244
1 Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak- anak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. pembekuan izin; dan/atau

d. pencabutan izin.


12 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

(BAB XVI)
SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 245
1 Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan sistem informasi dan komunikasi yang terpadu.

2 Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3 Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan serta operasional Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi:

a. bidang prasarana Jalan;

b. bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, penegakan hukum, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas.


Pasal 246
1 Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) merupakan subsistem dalam Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh pusat kendali yang mengintegrasikan data, informasi, dan komunikasi dari setiap subsistem.

3 Data, informasi, dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dapat diakses oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Kedua
Pengelolaan Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 247
1 Dalam mewujudkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengelola subsistem informasi dan komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kewenangannya.

2 Subsistem informasi dan komunikasi yang dibangun oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terintegrasi dalam pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

3 Pusat kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Ketiga
Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 248
1 Untuk memenuhi tugas pokok dan fungsi berbagai pemangku kepentingan, dikembangkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data.

2 Sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data meliputi:

a. perencanaan;

b. perumusan kebijakan;

c. pemantauan; d. pengawasan; e. pengendalian;

f. informasi geografi;

g. pelacakan;

h. informasi Pengguna Jalan;

i. pendeteksian arus Lalu Lintas;

j. pengenalan tanda nomor Kendaraan Bermotor; dan/atau

k. pengidentifikasian Kendaraan Bermotor di Ruang Lalu Lintas.


Bagian Keempat
Pusat Kendali Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 249
1 Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berfungsi sebagai pusat:

a. kendali;

b. koordinasi;

c. komunikasi;

d. data dan informasi terpadu;

e. pelayanan masyarakat; dan

f. rekam jejak elektronis untuk penegakan hukum.


2 Pengelolaan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu.

3 Kegiatan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sekurang-kurangnya meliputi:

a. pelayanan kebutuhan data, informasi, dan komunikasi tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. dukungan tindakan cepat terhadap pelanggaran, kemacetan, dan kecelakaan serta kejadian lain yang berdampak terhadap Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. analisis, evaluasi terhadap pelanggaran, kemacetan, dan Kecelakaan Lalu Lintas;

d. dukungan penegakan hukum dengan alat elektronik dan secara langsung;

e. dukungan pelayanan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor;

f. pemberian informasi hilang temu Kendaraan Bermotor;

g. pemberian informasi kualitas baku mutu udara;

h. dukungan pengendalian Lalu Lintas dengan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli;

i. dukungan pengendalian pergerakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

j. pemberian informasi tentang kondisi Jalan dan pelayanan publik.


Pasal 250

Data dan informasi pada pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat.

Pasal 251

Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat digunakan untuk penegakan hukum yang meliputi:

a. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau kejahatan lain;

b. tindakan penanganan kecelakaan, pelanggaran, dan kemacetan Lalu Lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau

c. pengejaran, penghadangan, penangkapan, dan penindakan terhadap pelaku dan/atau kendaraan yang terlibat kejahatan atau pelanggaran Lalu Lintas.

Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 252

Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

(BAB XVII)
SUMBER DAYA MANUSIA

Pasal 253
1 Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengembangkan sumber daya manusia untuk menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan oleh:

a. Pemerintah;

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau

c. lembaga swasta yang terakreditasi.


Pasal 254
1 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan dan pelatihan bagi tenaga mekanik dan Pengemudi.

2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan terhadap manajemen Perusahaan Angkutan Umum untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 255

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

(BAB XVIII)
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 256
1 Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. pemantauan dan penjagaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. masukan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. pendapat dan pertimbangan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah terhadap kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menimbulkan dampak lingkungan; dan

d. dukungan terhadap penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


3 Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan/atau dukungan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 257

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.

Pasal 258

Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(BAB XIX)
PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu
Penyidikan

Pasal 259
1 Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:

a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini.


2 Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

a. Penyidik; dan

b. Penyidik Pembantu.


Paragraf 1 - Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 260
1 Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:

a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;

b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;

d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti;

e. melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti;

h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau

i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.


2 Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 261

Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) huruf b mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), kecuali mengenai penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) huruf h yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 2 - Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Pasal 262
1 Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:

a. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus;

b. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum;

c. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap;

d. melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;

e. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau

f. melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.


2 Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap.

3 Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 3 - Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Pasal 263
1 Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selaku koordinator dan pengawas, melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Dalam melaksanakan kewenangannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3 Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta barang bukti kepada pengadilan melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4 Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Bagian Kedua
Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Paragraf 1 - Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan

Pasal 264

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan oleh:

a. Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 265
1 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 meliputi pemeriksaan:

a. Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor;

b. tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji;

c. fisik Kendaraan Bermotor;

d. daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang; dan/atau

e. izin penyelenggaraan angkutan.


2 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau insidental sesuai dengan kebutuhan.

3 Untuk melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

a. menghentikan Kendaraan Bermotor;

b. meminta keterangan kepada Pengemudi; dan/atau

c. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.


Pasal 266
1 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) dapat dilakukan secara insidental oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dapat dilakukan secara insidental oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

3 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2) dalam keadaan tertentu dilakukan secara gabungan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

4 Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didampingi oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2 - Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 267
1 Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan.

2 Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar.

3 Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.

4 Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

5 Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran.

Pasal 268
1 Dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar untuk diambil.

2 Sisa uang denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak diambil dalam waktu 1 (satu) tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara.

Pasal 269
1 Uang denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.

2 Sebagian penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan sebagai insentif bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan penegakan hukum di Jalan yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Penanganan Benda Sitaan

Pasal 270
1 Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2 Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara.

3 Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula benda itu disita.

4 Tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 271
1 Penyidik wajib mengidentifikasi dan mengumumkan benda sitaan Kendaraan Bermotor yang belum diketahui pemiliknya melalui media massa.

2 Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan ciri-ciri Kendaraan Bermotor, tempat penyimpanan, dan tanggal penyitaan.

3 Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

4 Benda sitaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah lewat waktu 1 (satu) tahun dan belum diketahui pemiliknya dapat dilelang untuk negara berdasarkan penetapan pengadilan.

Pasal 272
1 Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik.

2 Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.


(BAB XX)
KETENTUAN PIDANA

Pasal 273
1 Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).

4 Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 274
1 Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

2 Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).

Pasal 275
1 Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

2 Setiap orang yang merusak Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sehingga tidak berfungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 276

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek tidak singgah di Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 277

Setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 278

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 279

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 280

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 281

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 282

Setiap Pengguna Jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 283

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 284

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 285
1 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

2 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 286

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 287
1 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

2 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

3 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d atau tata cara berhenti dan Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

4 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

5 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

6 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 288
1 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

2 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

3 Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 289

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 290

Setiap orang yang mengemudikan dan menumpang Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 291
1 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

2 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 292

Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping yang mengangkut Penumpang lebih dari 1 (satu) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 293
1 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

2 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Pasal 294

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan membelok atau berbalik arah, tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 295

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 296

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada perlintasan antara kereta api dan Jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 297

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor berbalapan di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pasal 298

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang tidak memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 299

Setiap orang yang mengendarai Kendaraan Tidak Bermotor yang dengan sengaja berpegang pada Kendaraan Bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat membahayakan Pengguna Jalan lain, dan/atau menggunakan jalur jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Pasal 300

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang:

a. tidak menggunakan lajur yang telah ditentukan atau tidak menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf c;

b. tidak memberhentikan kendaraannya selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf d; atau

c. tidak menutup pintu kendaraan selama Kendaraan berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf e.

Pasal 301

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor angkutan barang yang tidak menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 302

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 303

Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 304

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu yang menaikkan atau menurunkan Penumpang lain di sepanjang perjalanan atau menggunakan Kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk keperluan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 305

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, Parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 306

Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak dilengkapi surat muatan dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 307

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 308

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang:

a. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a;

b. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b;

c. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c; atau

d. menyimpang dari izin yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.

Pasal 309

Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya untuk penggantian kerugian yang diderita oleh Penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 310
1 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

2 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

3 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

4 Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 311
1 Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

4 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

5 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 312

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Pasal 313

Setiap orang yang tidak mengasuransikan awak Kendaraan dan penumpangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 314

Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.

Pasal 315
1 Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan Umum dan/atau pengurusnya.

2 Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling banyak dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

3 Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan.

Pasal 316
1 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274, Pasal 275 ayat (1), Pasal 276, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 305, Pasal 306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 309, dan Pasal 313 adalah pelanggaran.

2 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275 ayat (2), Pasal 277, Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 adalah kejahatan.

Pasal 317

Dalam hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan, besaran nilai denda sebagaimana dimaksud dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

(BAB XXI)
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 318

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pendidikan dan pelatihan Pengemudi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap berlangsung sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 319

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, audit yang sedang dilaksanakan oleh auditor Pemerintah tetap dijalankan sampai dengan selesainya audit.

(BAB XXII)
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 320

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 321

Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 322

Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 323

Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan harus berfungsi paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 324

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 325

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 326

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Penutup

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.
ANDI MATTALATTA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 96

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

Bidang Perekonomian dan Industri,

Setio Sapto Nugroho


Sumber: peraturan.bpk.go.id/Details/38654/uu-no-22-tahun-2009

Mencabut: