Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 36: | Baris 36: | ||
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG. | Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG. | ||
{{Perundangan pasal|I| | |||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 | Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 | ||
Baris 556: | Baris 555: | ||
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. | Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. | ||
}} | |||
{{Perundangan pasal|II| | |||
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. | Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. | ||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. | Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. | ||
}} | |||
Disahkan di Jakarta | Disahkan di Jakarta | ||
Revisi terkini sejak 25 Oktober 2023 19.42
PRESIDEN REPLJBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan kejahatan yang serius yang membahayakan ideologi negara, keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan, dan berbagai aspek kehidupan bcrmasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta bcrsifat lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan tertentu sehingga pemberantasannya perlu dilakukan secara khusus, terencana, terarah, terpadu, dan berkesinambungan, bcrdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa adanya keterlibatan orang atau kelompok orang
serta keterlibatan warga negara Indonesia dalam organisasi di dalam dan/ atau di luar negen yang bermaksud mclakukan permufakatan jahat yang mengarah pada tindak pidana terorisme, berpotensi mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara, serta perdamaian dunia;
c. bahwa untuk memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin pelindungan dan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4284);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG.
Pasal I[sunting sumber]
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/ atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. 3. Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk rnenjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. 4. Ancarnan Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukurn berupa ucapan, tulisan, garnbar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan rnaupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau rnasyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat. 5. Bahan Peledak adalah sernua bahan yang dapat rneledak, semua jenis mesiu, born, born pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua Bahan Peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk rnenimbulkan ledakan. 6. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
7. Objek Vital yang Strategis adalah kawasan, tempat, lokasi, bangunan, atau instalasi yang: a. menyangkut hajat hidup orang banyak, harkat dan martabat bangsa; b. merupakan sumber pendapatan negara yang mempunyai nilai politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau c. menyangkut pertahanan dan keamanan yang sangat tinggi.
8. Fasilitas Publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. 9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 10. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 11. Korban Tindak Pidana Terorisme yang selanjutnya disebut Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu Tindak Pidana Terorisme. 12. Pemerintah Republik Indonesia adalah Pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. 13. Perwakilan Negara Asing adalah perwakilan diplomatik dan konsuler asing beserta stafnya.
14. Organisasi lnternasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa Bangsa, atau organisasi yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal5
Tindak Pidana Terorisme yang diatur dalam Undang Undang ini harus dianggap bukan tindak pidana politik, dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal6
Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
4. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 1 0A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
(1) Setiap Orang yang secara melawan hukum memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, membuat, menenma, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati. (2) Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan bahan potensial sebagai Bahan Peledak atau memperdagangkan senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, bahan nuklir, radioaktif atau komponennya untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) Dalam hal bahan potensial atau komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbukti digunakan dalam Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(4) Setiap Orang yang memasukkan ke dan/atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia suatu barang selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dapat dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
5. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 12A dan Pasal 12B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1) Setiap Orang yang dengan maksud melakukan Tindak Pidana Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang berada di dalam negeri dan/ atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. (2) Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota Korporasi yang ditetapkan dan/ atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 12B
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/ atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. (2) Setiap Orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. (3) Setiap Orang yang dengan mengumpulkan, dan/ atau tulisan atau dokumen, baik sengaja membuat, menyebarluaskan elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. (4) Setiap warga negara Indonesia yang dijatuhi pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. (5) Pelaksanaan pidana dimaksud pada ayat tambahan sebagaimana (4) dilakukan setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok.
6. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
Setiap Orang yang memiliki hubungan dengan organisasi Terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme dipiclana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
7. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
Setiap Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana climaksucl dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal l0A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 128, Pasal 13 huruf b clan huruf c, clan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 1 0A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal
13A.
8. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15 Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat,
persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal l0A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13
huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal9, Pasal 10, Pasal l0A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.
9. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16A
Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu per tiga).
10. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara Tindak Pidana Terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang Undang ini.
(2) Untuk kepentingan berwenang melakukan tersangka dalam jangka (seratus dua puluh) hari. penyidikan, penyidik penahanan terhadap waktu paling lama 120
(3) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari. (4) Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak mencukupi, permohonan perpanjangan dapat diajukan oleh penyidik kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari. (5) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari. (6) Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencukupi, dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penuntut umum kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. (7) Pelaksanaan penahanan tersangka Tindak Pidana
Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia. (8) Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
11. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
( 1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari. (2) Apabila jangka waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik. (3) Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan ayat (2) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak . . asas1 manus1a.
(4) Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
12. Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28A
Penuntut umum melakukan penelitian berkas perkara Tindak Pidana Terorisme dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak berkas perkara dari penyidik diterima.
13. Ke ten tuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi se bagai berikut:
Pasal 31
(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang: a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa; dan b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan Terorisme. (2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf b dilakukan setelah mendapat penetapan dari ketua pengadilan negen yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik yang menyetujui dilakukannya penyadapan berdasarkan permohonan secara tertulis penyidik atau atasan penyidik. (3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untukjangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(4) Hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan Tindak Pidana Terorisme.
(5) Penyadapan wajib dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan dilaporkan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
14. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3 lA sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A
Dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan/ atau melaksanakan Tindak Pidana Terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
15. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasa133
(1) Penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana Terorisme wajib diberi pelindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/ atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. (2) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
16. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal34
( 1) Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 yang diberikan kepada penyidik, penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya berupa: a. pelindungan atas keamanan pribadi dari
ancaman fisik dan mental; b. kerahasiaan identitas; dan c. bentuk pelindungan lain yang diajukan secara khusus oleh penyidik, penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan. (2) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan. (3) Ketentuan mengenai tata cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
17. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal34A
(1) Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang diberikan kepada pelapor, ahli, dan saksi beserta keluarganya berupa: a. pelindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental; b. kerahasiaan identitas;
c. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan terdakwa; dan d. pemberian keterangan tanpa hadirnya saksi yang dilakukan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual. (2) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban. (3) Tata cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
18. Judul BAB VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VI
PELINDUNGAN TERHADAP KOREAN
19. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A dan Pasal 35B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A
(1) Korban merupakan tanggungjawab negara.
(2) Karban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Korban langsung; atau
b. Karban tidak langsung.
(3) Karban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penyidik berdasarkan hasil olah tempat kejadian Tindak Pidana Terorisme.
(4) Bentuk tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) berupa: a. bantuan medis;
b. rehabilitasi psikososial dan psikologis;
c. santunan bagi keluarga dalam hal Korban meninggal dunia; dan d. kompensasi.
Pasal 358
(1) Pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, serta santunan bagi yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (4) huruf a sampai dengan huruf c dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban serta dapat bekerjasama dengan instansi / lem baga terkai t. (2) Bantuan medis sebagaimana dimaksud pada ayat
( 1) diberikan sesaat setelah terjadinya Tindak
Pidana Terorisme.
(3) Tata cara pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, serta santunan bagi yang meninggal dunia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
20. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal36
(1) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35A ayat (4} huruf d diberikan kepada Korban atau ahli warisnya.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara. (3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, keluarga, atau ahli warisnya melalui lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban, dimulai sejak saat penyidikan. (4) Dalam hal Korban, keluarga, atau ahli wansnya tidak mengajukan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kompensasi diajukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban. (5) Penuntut umum menyampaikan jumlah
kompensasi berdasarkan jumlah kerugian yang diderita Korban akibat Tindak Pidana Terorisme dalam tuntutan. (6) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. (7) Dalam hal Korban belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan tidak di bawah pengampuan, kompensasi dititipkan kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban. (8) Dalam hal pelaku dinyatakan bebas berdasarkan putusan pengadilan, kompensasi kepada Karban tetap diberikan. (9) Dalam hal pelaku Tindak Pidana Terorisme meninggal dunia atau tidak ditemukan siapa pelakunya, Korban dapat diberikan kompensasi berdasarkan penetapan pengadilan.
(10) Pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
21. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 36B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal36A
( 1) Korban berhak mendapatkan restitusi.
(2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada Korban atau ahli warisnya. (3) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Korban atau ahli warisnya kepada penyidik sejak tahap penyidikan. (4) Penuntut umum menyampaikan jumlah restitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan jumlah kerugian yang diderita Korban akibat Tindak Pidana Terorisme dalam tuntutan. (5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. (6) Dalam hal pelaku tidak membayar restitusi, pelaku dikenai pidana penjara pengganti paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 36B
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan, penentuan jumlah kerugian, pembayaran kompensasi dan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 36A diatur dengan Peraturan Pemerintah.
22. Pasal 37 dihapus.
23. Pasal 38 dihapus.
24. Pasal 39 dihapus.
25. Pasal 40 dihapus.
26. Pasal 41 dihapus.
27. Pasal 42 dihapus.
28. Ketentuan Pasal 43 tetap, penjelasan Pasal 43 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal.
29. Di antara BAB VII dan BAB VIII ditambahkan 3 (tiga) BAB baru, yakni BAB VIIA, BAB VIIB, dan BAB VIIC sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VIIA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME
Bagian Kesatu
Umum
Pasal43A
( 1) Pemerintah wajib melakukan pencegahan Tindak Pidana Terorisme.
(2) Dalam upaya pencegahan Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.
(3) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1)
dilaksanakan melalui:
a. kesiapsiagaan nasional; b. kontra radikalisasi; dan c. deradikalisasi.
Bagian Kedua
Kesiapsiagaan Nasional
Pasal 438
(1) Kesiapsiagaan nasional merupakan suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan. (2) Kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43A ayat (3) huruf a dilakukan oleh
Pemerintah. (3) Pelaksanaan kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kementerian/lembaga yang terkait di bawah koordinasi badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme. (4) Kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, pelindungan dan peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian Terorisme, serta pemetaan wilayah rawan paham radikal Terorisme. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan kesiapsiagaan nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Kontra Radikalisasi
Pasal 43C
(1) Kontra radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal Terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penye baran paham radikal Terorisme. (2) Kontra radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilakukan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan penanggulangan urusan di terorisme dengan bidang melibatkan kementerian/lembaga terkait. (3) Kontra radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontra naras1, kontra propaganda, atau kontra ideologi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kontra radikalisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Deradikalisasi
Pasal 43D
( 1) Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal Terorisme yang telah terjadi.
(2) Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
( 1) dilakukan kepada:
a. tersangka; b. terdakwa; c. terpidana; d. narapidana;
e. mantan narapidana Terorisme; atau
f. orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal Terorisme. (3) Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait. (4) Deradikalisasi terhadap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diberikan melalui tahapan: a. identifikasi dan penilaian;
b. rehabilitasi;
c. reedukasi; dan
d. reintegrasi sosial.
(5) Deradikalisasi terhadap orang atau kelompok orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dapat dilaksanakan melalui: a. pembinaan wawasan kebangsaan;
b. pembinaan wawasan keagamaan; dan/ atau c. kewirausahaan. (6) Pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan identifikasi dan penilaian.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIIB
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Pasal 43E
( 1) Badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan disebut Badan
terorisme yang selanjutnya
Nasional Penanggulangan
Terorisme, berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. (2) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menjadi pusat analisis dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai fasilitas bagi Presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani Terorisme. (3) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
Pasal 43F
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berfungsi:
a. menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan Terorisme;
b. menyelenggarakan koordinasi kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan Terorisme; dan c. melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Pasal 43G
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43F, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bertugas: a. merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan Terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi; b. mengoordinasikan antarpenegak hukum dalam penanggulangan Terorisme; c. mengoordinasikan program pemulihan Korban; dan d. merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan Terorisme di bidang kerja sama in ternasional.
Pasal 43H
Ketentuan mengenai susunan organisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua Peran Tentara Nasional Indonesia
Pasal 43I
(1) Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
(2) Dalam mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Pengawasan
Pasal43J
( 1) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk tim pengawas penanggulangan Terorisme. (2) Ketentuan mengenai pembentukan tim pengawas
penanggulangan Terorisme diatur dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
BAB VIIC KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43K
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemeriksaan terhadap perkara Tindak Pidana Terorisme yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Pasal43L
( 1) Korban langsung yang diakibatkan dari Tindak Pidana Terorisme sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku dan belum mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis berhak mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis. (2) Karban langsung sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dapat mengajukan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban. (3) Pengajuan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam keten tuan peraturan perundang- undangan dan dilengkapi dengan surat penetapan Korban yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku. (5) Pemberian kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(6) Besaran kompensasi kepada Korban dihitung dan ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban setelah mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan serta pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
30. Pasal 46 dihapus.
31. Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 46A dan Pasal 46B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal46A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan Tindak Pidana Terorisme yang ada dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pendanaan terorisme.
Pasal 46B
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal II[sunting sumber]
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2018
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2018
MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 92
Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Deputi Bidang Hukum dang-undangan,
. Rokib
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA